Halaman

Rabu, 03 Desember 2008

He Passed Away



Malam ini, sepi menyelinap ke dalam hatiku. Memberondongku dengan rasa hampa. Bayanganmu berlarian berebut minta untuk ditayangkan, tapi ketika aku mencoba untuk menegakkannya, bayanganmu membaur. Tak juga jelas dan tak juga kabur.

Hari ini, 7 tahun yang lalu aku kehilanganmu. Kehilangan seseorang yang tak juga aku mengerti arti hadirnya untukku. Yang pasti kini aku merindukanmu, mendamba hadirmu lagi dalam kelam. Sekarang kamu adalah fatamorgana, ada hanya untuk dikenang dalam perih. Diingat dalam air mata, dimaknai dengan sedih.

Kuputar lagi lagu itu di mobilku, lagu yang memaksaku masuk ke pusaran yang mengingatkan aku padamu………

Masih kuingat semua semangatmu….Masih kuingat jelas raut wajahmu…..Tapi kini kau telah pergi jauh…..Meninggalkanku di sini…..Sepi

Racun yang telah mengalir di darahmu…..Membutakan semua harap dan anganmu…..Hingga akhirnya kau menutup mata….Meninggalkanku di sini….Sepi…..Tinggalkan aku untuk selamanya

Apakah kau masih mengingatku…..Walau kita di tempat berbeda…..Akankah kau ada di sampingku….Di saat kurindukan hadirmu.

Sampai sekarang aku nggak mengerti, mengapa dulu, waktu aku masih hijau, sehijau shreek, engkau bersikukuh ingin menjadi sahabatku. Padahal aku merasa kita berada di jalan yang berbeda meski dunianya sama. Engkau dengan hidupmu yang serba bebas, sementara aku di dunia kecilku yang serba teratur.

Memang berat, tak mudah bersahabat dengan orang yang tak mudah dijamah dunianya. Kau memang punya dunia unik ciptaanmu sendiri dan kadang kau ajak aku bermain disana. Tapi ketika aku mencoba menyelaminya lebih dalam, aku terkapar, aku terantuk pada kenyataan bahwa duniamu kokoh meski sebenarnya rapuh. Ingatkah kamu akan permintaanku dulu? Aku cuma memintamu mengizinkanku masuk lebih dalam, mengenalmu dengan perspektif yang berbeda. Tapi kau tak mau, bahkan sampai tanah merah itu memisahkan pandangan kita.

Aku mengenangmu hari ini. Mencoba membentangkan ingatanku akan seseorang yang dulu pernah menjadi sahabtku. Sahabat rapuhku yang bersembunyi di balik baju bajanya. Sahabat yang pernah mengajarkanku bahwa hidup ini adalah jambangan kesedihan, isinya hanya perih melulu. Katamu kalaupun ada orang yang merasa bahagia, artinya dia berhasil memaknai kesedihannya itu dengan perspektif lain yang membuatnya bahagia.

Sedang apa kau di sana sekarang? Masihkah kau petik gitarmu dengan irama yang indah seperti dulu? Seperti saat kita habiskan malam-malam di bawah kerlipan jutaan bintang. Atau kau sedang menulis puisi. Puisi tentang kenyataan hidup yang tak bisa kau pahami, yang membuatmu kemudian memutuskan bahwa kematian adalah jalan terbaik untuk memecahkan jambangan berisi kesedihanmu.

Padahal pecahnya jambanganmu memaksaku untuk memunguti seripahannya, kemudian memasukannya ke dalam jambanganku sendiri. Menambah isinya dengan kepedihan baru. Tak sadarkah kamu? Mungkin kau bahagia dengan caramu sendiri, tapi buatku itu bodoh. Mengakhiri mengisi jambanganmu dengan kata mati adalah sesuatu yang egois.

Tak pernahkan kau pikirkan perasaanku? Tak kau pertimbangkankah semua yang sudah kita jalani, kita tulis dalam hati kita masing-masing.

Akhirnya aku hanya berharap, semoga kau di sana bahagia. Semoga kau memiliki jambangan baru yang tak kau isi lagi dengan kesedihan. Aku masih berharap kau masih menulis puisi di sana? Puisi yang akan kubaca suatu saat nanti…..dan kuharap ada puisi tentang kita dulu, tentang kerinduanmu padaku, tentang semua rasa dulu……Kuharap!


Tangerang, 3 Desember 2008; 24.00 am

Tidak ada komentar: