Halaman

Senin, 22 Desember 2008

Surat untuk Nnd


Dear Nnd

Hai Nnd, apa kabarmu sekarang? Lama kita tidak berkomunikasi “intim” seperti di awal-awal perpisahan kita. Masihkah kau seperti dulu? Dengan idealisme tinggi untuk membangun kampung halamanmu? Sebenarnya tidak penting kutanyakan itu, karena aku yakin kamu masih seperti dulu. Maafkan basa-basiku, tapi entah kenapa aku canggung bahkan ketika hanya ingin menanyakan kabarmu. Perasaan ini masih ada di sana, di lubuk hatiku. Untukmu. Mungkin itu yang menyebabkan kenapa aku merasa kikuk.

Lewat surat ini aku tak ingin mengungkit cerita lalu, cerita yang melingkarkan aku dan kamu waktu dulu. Perantaraan surat ini aku hanya ingin mengenang, sekedar membebaskan sebuah rasa yang terpenjara. Membiarkannya berlalri sejenak, menemukan tempatnya berlabuh. Berpijak tanpa koyak. Tidak masalah apakah kau masih memelihara rasa itu sepertiku atau tidak, aku hanya ingin mengenangmu dalam indah. Berusaha mengentaskan suatu perasaan. Rindu.

Tahukah kamu bahwa aku merindukanmu? Rindu seperti dulu saat malam-malam kita ngobrol di halaman belakang rumahku, mencumbui pekat yang membahana. Menikmati sunyi. Membiarkan rasa yang ada di hati kita berkelana dengan jalannya sendiri, tapi muaranya sama. Cinta. Bagi kita dulu cinta tak perlu diucapkan, tak usah disuarakan. Katamu cinta kita cukup dihayati dalam diam dan sunyi, karena dalam diam katamu lagi cinta itu akan mengenai sasaran. Ingatkah kamu semua itu? Aku masih seperti dulu, masih mencintaimu dalam diam. Tak akan berubah, meskipun rasa itu sekarang sudah bertransformasi jadi sesuatau yang baru, yang lebih indah, yang entah apa namanya.

Aku yakin kau sudah bersama seseorang disana. Seseorang yang mungkin kau cintai juga dalam diam. Aku tak cemburu, karena cinta memang harus seperti itu. Membebaskan. Apalagi episode aku dan kamu memang sudah usai. Bukan karena kita yang menyerah, bukan karena kita yang berhenti berjuang. Keadaan yang menyerah, keadaan yang memanksa kita berjalan mundur ke titik awal kita masing-masing. Cinta kita luruh seumpama helai daun yang mengalami absisi dari rantingnya. Rontok. Untung aku masih sempat memunguti serakannya untuk kemudian kutata seperti herbarium. Awet dan tetap indah.

Nnd, izinkan aku mengenang semua itu, sekedar mencicipi rasa manis dari hubungan kita dulu. Kalaupun aku sudah bersama dengan seseorang sekarang, perasaan indah untukmu akan tetap ada disana. Bersemayam dalam altar suci berbingkai kenangan. Kamu harus yakin itu. Kekasihku atau bukan, kau tetap Nnd yang kupuja. Ketika dengan ikhlas aku melepaskan semua rasa itu, kau justru menjelma menjadi seorang sahabat. Sahabat tanpa syarat.

Kini kuuntai doa demi kebahagiaanmu selalu. Aku berharap kau menemukan pelabuhan cintamu yang sejati. Dimana bisa kau pancangkan panji-panji kesetiaan yang tak goyah. Aku sudah cukup bahagia masih bisa berhubungan denganmu, meskipun itu hanya berbagi perasaan sederhana. Sepenggal potongan skenario perjalanan kita yang penuh warna.

Akhirnya aku harus beranjak, kereta waktuku akan melaju. Masih banyak tempat yang harus dijelajah, disinggahi. Kalaupun kau menunggu di stasiun yang sama, mungkin kereta waktuku tak akan kau kenali. Meski begitu aku berharap kita tidak saling melupakan karena semuanya terlalu indah. Aku akan mengenangmu dalam hening. Selalu.

Tangerang, 21 Desember 2008.

Tidak ada komentar: