Halaman

Rabu, 26 November 2008

Kembali Sendiri


Siapa yang harus disalahkan ketika semua ini terjadi? Never ending question. Atau jangan-jangan itu adalah jawaban dan bukannya pertanyaan. Jawaban atas kejadian-kejadian yang terjadi antara aku dan kamu. Mencari siapa yang salah tidak akan membawa hubungan kita ke arah yang lebih jelas, yang lebih terang. Dengan terus mencari siapa yang salah justru akan memperumit cara untuk memperjelas akhir itu sendiri.

Dengan kesadaran beramunisi penuh aku menyadari yang salah mungkin aku. Yah, aku. Aku dengan segala kesibukanku kerap membuatmu merasa jadi prioritas kedua, meski aku tidak bermaksud seperti itu. Dan harusnya kamu menyadari bahwa kamu selalu menjadi prioritas utamaku, tak ada yang bisa menggantikan posisimu di urutan nomor satu. Kalaupun aku sibuk, telpon dan sms bukannya terus mengalir dariku atau darimu hanya sekedar untuk melepas rindu. Berusaha untuk tetap menjaga pendar api antara kita.

Apakah pertemuan yang kita jalani hanya 2 atau 3 kali seminggu tidak lantas membuatmu mengerti? Tidak cukup bagimu untuk tetap mempercayaiku? Padahal meskipun tidak bisa bertemu muka atau sekedar pegangan tangan, kita terlibat dalam percakapan panjang di telpon sampai berjam-jam. Tidak cukupkah semua itu? Dan bukankah ketika akhir minggupun kita tidak bisa bersama karena aku ada kerjaan di kota asalku, aku membayarnya di hari-hari berikutnya? Tak cukupkah itu?

Mungkin benar aku yang salah maka aku memohonkan sebaris maaf. Tak akan ada pemicu dari perilakumu kalau aku lebih bisa mendalami perasaanmu, menyelami semua nadir kehidupanmu. Tapi aku kembali bertanya, mengapa kamu melakukannya berulang? Bukankah di awal komitmen kita, kita menyepakati bahwa tidak ada ampun untuk ketidaksetiaan. Tidak ada alasan yang masuk akal untuk membenarkan tindakan itu, meskipun itu berlandaskan kesepian karena masing-masing kita terikat dengan kesibukan yang teramat sangat.

Sebagai pembenaran dan sedikit pembelaan atas diriku, aku dari awal sudah mengutarakannya bahwa aku bekerja sebagai karyawan baru dengan posisi yang sudah lumayan di atas sehingga tanggung jawabku juga berlipat-lipat. Kesibukanku bukan hanya melulu soal kerjaaan inti tapi sisi manajemennya juga turut aku benahi. Mungkin kamu masih ingat seringkali aku mengirim pesan padamu kalau aku sedang meeting padahal waktu jam kerja sudah berlalu dari sore tadi. Tapi itu semuanya benar, aku tidak mengada-ngada. Kalau aku punya pilihan, aku lebih memilih berdua denganmu menghabiskan titisan malam menggelayut berat daripada semua itu.

Ketika akhir minggu aku pulang, kamu juga tahu bahwa aku punya bisnis yang harus diurus. Kamu tahu itu. Dan bukankah setiap kali kamu kuajak serta bersamaku, kamu menolaknya. Kamu lebih memilih menghabiskan minggu bersama teman-temanmu. Aku pikir kamu bahagia dengan mereka dan itu bisa menghilangkan perasaan kesepianmu. Ternyata tidak, kamu justu menjadikan itu semua untuk membenarkan tindakanmu selingkuh, membagi cinta, atau mungkin hanya berbagi nafsu.

Sekali mungkin aku bisa memaafkannya, menelaah kesalahanku. Tapi ketika itu dilakukan sampai 2 kali dengan orang yang berbeda pula dalam waktu 2 bulan, aku merasa itu bukan hanya kesalahanku. Itu kesalahan kolektif, atau mungkin itu sudah sifat dasarmu. Aku bisa apa? Yang bisa aku lakukan hanya melepaskanmu, membebaskanmu, agar kamu tidak merasa terbelenggu oleh aku, oleh hubungan kita.

Kini biarkan aku berjalan di setapak kecil berbatuku. Sendiri.

Tidak ada komentar: