Halaman

Sabtu, 27 September 2008

DI PENGHUJUNG RAMADHAN


Ya Allah,
Terima Kasih hari ini Kau masih bangunkan aku dalam keadaan mengecap bulan penuh barokah. Bulan Ramadhan. Terima Kasih Juga Kau masih menguatkan imanku untuk menjalankan Titah-Mu, sebagai bukti penghambaan diriku yang paling hakiki terhadapMu.

Ya Allah,
Aku tahu meskipun Kau tak pernah berpaling dariku, tak pernah meninggalkanku dalam kegelapan berkepanjangan, bahkan selalu menungguku kembali ke arahMu saat aku terseok mengecap dosa. Aku sering tak mengacuhkanMu. Aku merasa bahwa Kau akan selalu memaafkanku ketika aku tersadar dan sesenggukkan memohon pengampunanMU. Mungkin itulah kelemahan yang kupunya, dengan mudahnya melakukan dosa, menyicip nista untuk kemudian meminta pengampunanMU, dan yakin akan dimaafkan.

Bulan Ramadhan tahun ini memang aku jalani dengan berpuasa setiap hari. Tidak henti. Tanpa lelah. Tapi aku tersadar, itu bukan esensi utamanya. Aku kehilangan makna terdalam dari Ramadhan. Aku kembali terjebak dalam stereotipe menahan lapar dan dahaga, dan mungkin hanya itu yang aku peroleh selama menjalankan puasa tahun ini. Hanya lapar dan dahaga, tak lebih. Tapi aku tak ingin berburuk sangka kepadaMu, aku sangat yakin Kau tak akan pernah menzhalimi hambaMU. Aku yakin ada sedikit berkah yang aku dapatkan, sepenggal pahala untuk mengimbangi setumpuk dosa baik yang tak aku sadari maupun yang dengan sadar aku lakukan. Aku sangat yakin dengan keadilanMu. Terima Kasih.

Di penghujung ramadhan ini, aku berdiri di titik of nowhere. Mencoba merefleksikan diri, menelaah apa yang telah terjadi selama hampir sebulan ini. Sebulan yang menurut orang-orang beriman merupakan bulan pengampunan, bulannya ketika para Malaikat turun ke bumi, membagi-bagikan rahmat, berkah bahkan anugrah. Setidaknya aku berharap dengan merefleksikan diri, aku bisa belajar sesuatu untuk mejadi lebih baik di waktu mendatang. Kalaupun aku tak sampai ke Ramadhan tahun depan nantinya, setidaknya aku bahagia telah menyadari kesalahanku.

Emosi. Hal yang paling sulit aku kendalikan di bulan ramadhan ini. Terlahir sebagai anak dengan tingkat emosional tinggi, menyulitkanku untuk sedikit melunak. Bahkan di bulan ampunan ini. Pekerjaan dengan ritme super cepat, dengan banyak orang yang saling terkoneksi seringkali menyentuh ubun-ubunku untuk kemudian memuntahkan emosiku yang tidak tertahan. Aku sulit sekali mengontrol emosiku, sedikit saja ada masalah, aku pasti menyalak. Aku tak bisa sedikit saja bersabar. Kesabaranku sering luluh lantak bahkan dikemunculannya yang masih primordial.

Mulut. Sudah jadi rahasia umum, mulutku sering tak bisa berhenti berkata-kata, membusa. Dari sanalah kelemahanku terekspose. Banyak kalimat tidak seharusnya, kata yang tabu, bahkan umpatan yang tidak layak keluar begitu saja. Seringnya mengimbangi tingkat emosiku yang juga meninggi. Ketika seharusnya pada bulan ini dari mulutku lebih banyak keluar doa dan puja, aku malah menggantinya dengan sumpah serapah, dusta dan nista.

Nafsu. Oh my God. The hardest thing to do is maintaining my desire. I would never talk about my that speciall weakness. Realize my sin about that is enough. Just promise to myself and to God of course for not doing that anymore. But would I ?????????

Tidak ada komentar: