Halaman

Minggu, 17 Agustus 2008

WHEN YOU SAY SORRY

Kata temen gue, memberi maaf itu jauh lebih susah dibandingkan dengan meminta maaf. Katanya lagi memberi maaf lebih banyak mempertaruhkan ego kita dibanding dengan meminta maaf itu sendiri. Buat gue meminta maaf memang jauh lebih mudah, lebih enteng dikatakan, kadang tanpa beban. Hanya untuk meleburkan kewajiban setelah melakukan kesalahan. Tapi yang namanya memberi maaf, susahnya minta ampun. Gue mungkin orang yang gampang memberi maaf, tapi tidak mudah melupakan.

Kembali gue menyadari salah satu lagi kelemahan gue. Gue bukan orang yang mudah melupakan kesalahan orang lain. Bertahun-tahun kadang kala gue masih mengingat (dan tentunya masih “terganggu”) dengan perilaku orang yang telah membuat hati gue terluka dan sakit. Dimaafkan mungkin, tapi tidak pasti dilupakan. Diingat untuk kemudian digugat kemudian hari. Gue sadar betul perilaku itu nggak bagus, nggak manner, tapi terkadang sakit itu terlalu membekas. Meninggalkan jejak air mata tak hanya di pipi tapi juga di hati.

Parahnya, kadang (bahkan seringkali) gue selalu menuntut orang untuk memaafkan semua kesalahan gue, melupakannya dan tak menggugatnya kembali di kemudian hari. Tapi gue sendiri? Nggak bisa lepas dari perilaku yang mungkin diharapkan orang dari gue untuk sekedar memaafkan. Tak adil. Kembali gue bertindak nggak adil, bukan hanya untuk orang lain tapi juga untuk diri gue sendiri. Nggak adil buat gue karena gue senantiasa menyiksa diri untuk mengingat kejahatan atau kealpaan orang. Seakan dunia gue hanya berkutat disana, menuntut dan mengugat.

Bekerja di perusahaan gue yang ini membuka mata gue. Ternyata tak hanya memberi maaf yang susahnya setengah mati, tapi meminta maaf juga demikian. Apalagi meminta maaf untuk sesuatu yang nggak kita pernah lakuin. Atau meminta maaf untuk sekedar menutupi kesalahan orang lain, yang notabene atasan kita. Butuh kekuatan lebih just for say sorry. Sepenggal kata dengan jutaan makna dan ekspektasi. Magical word selain kata cinta. Maaf adalah kata beraroma nirwana, suci tapi kadang dinodai oleh artinya itu sendiri.

Menjadi orang yang selalu “terpaksa” untuk meminta maaf sebagai pelebur kesalahan orang lain ternyata jauh lebih sulit dibanding menjadi diri sendiri. Jauh lebih sulit dari menerima kekalahan dalam persaingan. Untuk melakukan hal itu (meminta maaf), kita terkadang menjadi seseorang yang bodoh, yang nalarnya kemudian “dipaksa” tak sejalan dengan kenyataan. Bertindak hanya untuk menyelamatkan muka seseorang dari rasa malu, dengan taruhan muka sendiri tercoreng.

Ketika gue tersadar bahwa meminta maaf untuk orang lain itu ternyata susahnya setengah mati, lantas gue tergugah dan bertanya. Bukankah hal itu sering juga gue lakuin? Memaksa orang dengan sadar atau tidak untuk meminta maaf atas kesalahan gue. Dan gue nggak pernah mau peduli, seakan itu adalah kewajiban dia terhadap gue. Gue yang bukan siapa-siapa, yang ongkang-ongkang di atas pertaruhan seseorang akan malu.

Mengucapkan maaf juga ternyata tidak mudah, apalagi sepenuh hati. Sehingga ketika kita mengucapkan kata maaf kita harus dengan tulus memaknainya. Maaf bukan kata yang bisa diulang-ulang untuk kesalahan yang sama. Bukan sekedar legitimasi atas peleburan kesalahan kita yang ternyata itu-itu saja. Mulai sekarang, gue harus membiasakan diri untuk selalu mengucapkan maaf dengan tulus, bahkan untuk kesalahan kecil sekalipun.

Doakan yah!!!!!!!!!

Tidak ada komentar: