Halaman

Kamis, 07 Agustus 2008

TERLAMBAT BERTEMU

Pagi itu ketika untuk kesekian kalinya aku melihatmu, hatiku bersenandung lirih: Diriku dan dirimu, mungkin terlambat bertemu.....Kau sudah punya cinta, begitu juga aku....Meski kadang hatiku, ingin selalu bersamamu.....Mengapa semua indah, bila ada dekatmu....Getar lebih terasa dari cinta yang ada....Tak bisa aku hindari, meski kadang sadari.....Mungkin diriku yang salah. Pasti diriku yang salah.

Ternyata kebersamaan kita menimbulkan perasaan lain, setidaknya di hatiku. Sebenernya dari awal melihatmu, kamu sudah menawan hatiku. Pertemuan yang intens, seringnya saling pandang untuk kemudian saling melemparkan seulas senyum, menguatkan perasaan itu. Rasa sayang mulai merambati. Aku tak bisa memungkiri semua itu. Setiap melihatmu duduk disana, mengerjakan sesuatu, berkonsentrasi dan sesekali melirik ke arahku, membuatku semakin tersiksa. Sial...kenapa senyummu begitu manis.

Aku sadar bahwa ini salah, aku tahu bahwa ini tidak adil untuk pasangan kita masing-masing. Tapi aku lebih sadar bahwa tidak ada perasaan cinta dan sayang yang salah. Tak ada yang salah dalam cinta, yang ada hanya ketidaktepatan. Waktunya tidak tepat, tempatnya tidak tepat bahkan mungkin rasanya yang tidak tepat. Masih pantaskah cinta kemudian dipersalahkan?

Terlambat bertemu mungkin satu-satunya hal yang tepat untuk menggambarkan keadaan kita saat ini. terlambat mengembangkan layar cinta karena biduk telah tertambat di dermaga yang lain, dermaga yang disinggahi terlalu awal. Sebelum aku mengenalmu kemudian jatuh cinta.

Adilkah semua ini untuk kita? Untuk mereka? Buat kita tidak adil, karena terpaksa kita menerima cinta yang sudah terlanjur ada, mematahkan angan kita. Tidak adil karena harus menanggalkan rasa yang terlanjur indah, rasa yang menuntunku untuk berjalan di setapak kecilku dalam dimensi yang lain. Berbeda dengan warna yang biasa aku hirup. Adilkah untukku? Tidak, aku yakin itu tidak adil.

Kalau untukku saja itu tidak adil, apalagi untuk dia. Kekasih yang selama ini senantiasa menemaniku melukis angkasa. Aku hanya akan menyakitinya, membuatnya menangis. Padahal mendengarnya menangis pasti akan seperti mendengar hatiku patah. Koyak. Adilkah aku mengingkari perasaan yang sudah lama ada hanya karena aku menemukan nuansa baru? Adilkah aku melegalkan istilah terlambat bertemu dengan seseorang hanya untuk meninggalkannya? Melepaskan semua cita kita, menguapkannya ke angkasa tanpa sisa.

Adil atau tidak adil mungkin hanya akan membelengguku, memberondongku dengan perasaan bersalah tak bertepi. Saatnya aku tersadar dan memilih. Memilih kembali kepadanya, mencoba melupakanmu yang hadir dalam kondisi terlambat bertemu.

Tidak ada komentar: