Halaman

Minggu, 10 Agustus 2008

HE NAMED AYAH

Apa yang membuat seseorang bernama ayah memiliki hak untuk menentukan jalan hidup anaknya? Apa yang membuat dirinya merasa berhak untuk menjadikan anaknya seperti apa yang dia inginkan tanpa memperhatikan keinginan si anak? Dan apa yang ada di pikiran sang ayah ketika anaknya berontak menolak keinginannya? Dan mengapa tetap memaksakan kehendak?

Jangan hanya karena sang ayah merasa telah membesarkan, memberi makan dan memberikan rasa aman kemudian menjadi bertindak sewenang-wenang. Atau jangan hanya karena merasa telah berjasa meniupkan kehidupan ke anaknya melalui perantaraan seekor sperma yang tumbuh dalam tubuhnya, kemudian dia menjadi merasa sangat berhak atas kehidupan anknya. Tidak, seharusnya seorang ayah tidak bertindak seperti itu.

Gue bener-bener terenyuh baca artikelnya Samuel Mulia di Kompas minggu kemaren. Di sana dia menceritakan “curhatan” anak seorang temennya yang merasa sangat tertekan. Tertekan karena mempunyai ayah yang selalu memaksakan kehendak. Sang ayah merasa dirinya orang yang paling berhak untuk menentukan jalan hidup anaknya, terutama dalam bidang pendidikan.
Anak tersebut di caci maki ketika dia tidak masuk fakultas kedokteran, dibilang bodoh kemudian dimusuhi. Sekarang ketika si anak ingin melanjutkan ke jenjang S2, kembali keinginannya terbentur dengan ego sang ayah. Menurut ayahnya, ilmu ini yang paling bagus dan pastinya harus diambil sama anaknya. Sementara sang anak kembali meyakinkan kalau itu bukan dunianya, bukan tujuan hidup yang ingin dicapainya.

Kok ada yah ayah model beginian? Tapi jangan salah, ternyata banyak sekali ayah otoriter seperti itu. Samuel Mulia pun secara eksplisit menceritakan bahwa ayahnya dulu juga otoriter dalam hal pendidikan anak. Beruntung Samuel bisa menyelesaikan pendidikan dokternya, meski habis lulus malah bertekad jadi penulis. Ada juga Barry temen gue yang setelah lulus kuliah akuntansi langsung berikrar tidak mau bekerja di bidang akuntansi dan ingin jadi tim kreatif di salah satu majalah. Imagine, dia berikrar on his graduation day. Dia bilang, dia lulus jadi akuntan hanya untuk melunasi keinginan ayahnya. But is he happy? NO. Big No.

Kemudian gue hanya bisa bersyukur kalo ayah gue nggak seperti itu. Sedikit otoriter memang, tapi untuk soal pendidikan, dia membebaskan gue untuk memilih sesuatu yang sesuai keinginan gue. Waktu S1 mau milih ini boleh, lanjut S2 ngambil itu silahkan. Selama gue berprestasi dan bahagia, bokap gue selalu mendukung. Kalo soal otoriter, wajar lah. Namanya juga ayah, dia pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Asal otoriternya beralasan dan tidak kebablasan.

Dan gue, sebagai calon ayah nanti [amien], hanya bisa bertekad dalam diri kalo gue akan membebaskan anak gue kelak untuk memilih jalan hidupnya sendiri selama tidak bertentangan dengan norma, agama dan kebiasaan. Gue ingin anak gue terbang bebas menemukan dunianya dengan pijakan diri gue sebagai ayahnya. Akan gue biarkan dia keluar dari kepompong emasnya perantaraan gue sebagai ranting tempatnya menggantung. I’ll do my best for my child. Dunia akhirat.

Masalahnya, kapan gue mau punya anak? Yang pasti sekarang dalam proses. Bukan proses menunggu kelahiran anak gue itu, tapi dalam proses pemikiran. Kapan yah gue siap menikah dan kemudian punya anak? Never ending question.

Tidak ada komentar: