Halaman

Selasa, 26 Agustus 2008

SURAT UNTUK DIA

Kelar meeting kemaren langsung pengen nangis. Pengen marah, pengen teriak. Bener-bener mati rasa, serba salah, bingung. Bukan karena meeting ngebahas kerjaan yang super duper banyak, itu udah biasa. Tapi ini lebih ke masalah hati, hati gue cape banget. Merasa bahwa yang udah gue kerjain sia-sia semuanya.

Gue ngerasa kalo gue lagi berada di satu titik yang entah mau kemana. Titik yang membawa gue ke gerbang keputusasaan. Gue berasa nggak bernyawa, terpontang-panting dalam terowongan gelap gulita yang kemudian meluluhlantakkan gue di titik yang sama. Nggak beranjak kemana-mana.

Dulu waktu ada rencana kalo perusahaan gue mau nyewa jasa konsultan untuk memberi arahan yang jelas, gue seneng banget. Gue seakan menemukan setitik cahaya dalam jelaga tak bertepi. Yang akan menyingkap tabir kelam tak berujung. Kepadanya gue akan menggantungkan harapan, berharap dia kan membuka wawasan bos gue. Membawa gue ke suatu pencerahan.

Tapi kelar meeting kemaren, gue kembali terpuruk. Gue ngerasa kalau harapan gue padanya terlalu tinggi. Kehadirannya ternyata tak membawa gue mana-mana. Malah terasa gue tenggelam lebih dalam. Aku tak bisa bergantung padanya. dahan yang dia sediakan tak cukup kuat gue rasakan untuyk gue bergantung. Gue kecewa. Bahkan dikehadirannya yang baru dua kali.

Makanya, setelah selesai meeting gue nyoba nulis surat buat dia. Bukan untuk menggugat, hanya untuk berbagi. Siapa tahu beban yang menggelayut di hati dan perasaan gue, bisa kikis meski tipis. Bisa pudar walau samar. Sekedar berkeluh kesah, berharap ragu dan kecewa bisa musnah.

Tangerang, 22 Agustus 2008
Dear NA

Dulu waktu kehadiaran ibu dibicarakan akan mewarnai kinerja kami, saya senang sekali. Seakan menemukan oase di gurun kering kami selama ini. Membawa angin baru yang menerbangkan kami ke sebuah tujuan yang jelas. Membuka wawasan kami dan pimpinan kami, untuk kemudian berjalan bersama menuju ke suatu arah. Pencerahan.

Pada Ibu, kami terutama saya menggantungkan harapan. Berharap agar kehadiran Ibu menguatkan kami, meyakinkan pimpinan kami bahwa apa yang dia inginkan hanya sekedar ego. Meskipun realistis tapi terlalu memaksakan. Dan Ibu tahu bahwa kami hanya berdua. Bayangkan Bu, dua orang untuk sekian belas produk yang ingin dikembangkan.

Dari awal saya hanya meraba-raba, mencoba menekan ego saya untuk menegakkan ego bos saya. tapi sekarang saya lelah, putus asa tepatnya. Saya merasa kalau saya sia-sia. Mengerjakan sesuatu yang menurut saya terlalu dini untuk diinisiasi. Saya benar-benar putus asa.

Saya ingat kemaren ibu bilang bahwa mahasiswa ibu di Bogor, daya survivenya rendah. Hal itu disebabkan karena mereka terbiasa hidup di metropolitan. Saya tersenyum miris. Ternyata saya sama dengan mereka, mahasiswa ibu. Saya merasa sudah tidak bisa bertahan lagi. Kalaupun saya masih bisa berdiri, saya nggak yakin sampai kapan. saya tidak sekuat apa yang saya bayangkan.

Terus terang saya sedikit kecewa dengan ibu. Di meeting kemarin, ibu sama sekali tidak membela saya padahal saya yakin bahwa konsep yang saya utarakan itu benar. Mengapa ibu tidak mengcounter keinginan bos saya, padahal ibu tahu bahwa kami lelah? Saya yakin ibu tahu itu. Tapi mengapa?

Mungkin saya memang harus berhenti bertanya dan tersadar bahwa ini sudah nasib saya. Saya hanya bisa bergantung dan berharap pada kekuatan saya sendiri. Mencoba berdiri tegak padahal kaki bergemeretak, siap jatuh kapan saja. Saya akan berjuang demi kebebasan saya, secepatnya.

-Yuda-

Question : would i send that email?

Tidak ada komentar: