Halaman

Kamis, 24 April 2008

MENJADI SELINGKUHAN

Gelap. Itu yang aku rasakan saat aku mengirim email yang sangat panjang untukmu kemarin. Rasanya seperti menyelam ke dasar samudera tanpa cadangan udara. Sesak. Butuh keberanian dan nyali lebih ketika kucoba menyalakan komputer dan membaca kembali draft email yang kukirim.

Draft Email [Non Edit]

Dear You,

Aku nggak tahu harus memulainya dari mana, tanganku gemetar menulis email ini. Semuanya membingungkan, semuanya tak karuan. Sebenarnya aku tak mampu lagi menggugat, tapi aku harus kuat. Aku lelah.

Aku mulai dari awal perjumpaan kita. Sore itu, di sebuah gerai kopi, kamu tiba-tiba minta izin untuk duduk semeja denganku. Aku kaget. Aku tidak mengenalmu, bahkan ketika aku berusaha membuka memori ingatanku aku tak jua menemukan file kamu. Nama mungkin aku sering lupa, tapi wajah harusnya ingat. Paling nggak pernah lihat. Tapi saat itu aku benar-benar blank, nggak tahu siapa kamu. Dan dengan muka bego aku hanya berujar “silahkan”.

Percakapanpun dimulai. Sebenarnya kamu yang lebih banyak cerita, sementara aku hanya mendengarkan. Aku memang terbuka, tapi tidak seterbuka kamu, apalagi terhadap orang asing. Kamu bilang bahwa kamu sudah memperhatikan aku sejak tadi, aku yang tak peduli dengan keramaian gerai, yang matanya hanya tertuju pada layar laptop sore itu. Dan kamu juga bilang bahwa kamu tertarik padaku, makanya memberanikan diri untuk menyapa dan duduk semeja denganku.

Aku kemudian menemukan kualitas lain darimu. Ternyata kamu tak hanya good looking tapi juga smart. Sesuatu yang membuatku kemudian nyaman ngobrol denganmu saat itu. Kamu banyak cerita tentang pekerjaanmu, tentang ketertarikanmu pada politik, bahkan tentang kehidupan pribadimu. Jangan salahkan aku yang waktu itu tak bisa lepas menatap wajahmu. Suruh siapa senyummu manis. Suruh siapa matamu hilang kalau ketawa.

Obrolan sore itu diakhiri dengan saling tukar nomer HP. Dan kita berjanji untuk bertemu di tempat yang sama dua hari lagi. Ya, dua hari lagi. Dua hari yang ternyata membuatku tak bisa melepaskan pikiranku tentangmu. Dua hari yang menyiksa. Dua hari penuh penantian panjang. Apalagi sebelum kita ketemuan lagi, kamu selalu membuatku luluh lantak. Kaya siang itu waktu aku sms kamu buat nanya kamu sedang apa, kamu jawab bahwa kamu sedang di kantor, depan komputer, mikirin aku. Sialan….itu membuat aku tak mampu lagi menunggu.

Sore yang ditunggu datang juga. Hatiku dag dig dug. Nggak tahu nanti mesti ngomongin apa. Nggak tahu musti ngapain. Tapi rasanya senang, kayak anak kecil yang dijanjikan bakal dapet permen.

Gerai kopi masih sepi waktu kita ketemu, tapi hatiku gaduh. Kamu sangat menawan dengan pakaian kerjamu. Obrolan kita mengalir dengan sendirinya. Saling membuka hati. Saling meyelam di dalamnya.

Tiba-tiba aku tersentak dengan pengakuanmu. Kamu bilang bahwa kamu sebenernya sudah memiliki kekasih, meskipun hubungannya nggak berjalan lancar. Kamu juga bilang bahwa pacaran dengan dia itu hampa karena dia kosong. Beda sama aku katamu. Aku bisa mengimbangi semua topik pembicaraanmu, karena aku nggak kosong seperti pacarmu.

Aku jauh lebih tersentak ketika kamu memintaku menjadi selingkuhanmu. Kamu janjikan bahwa kamu akan putus dengan pacarmu. Tinggal menunggu momen yang tepat katamu. Kamu nggak tahan lagi dengan kekosongan yang dia beri.

Menjadi selingkuhanmu. Itulah satu-satunya pilihanku saat itu. Aku terlanjur mengagumi kepintaranmu, kepribadianmu, dan keberadaanmu. Ya, jadi selingkuhanmu. Itu yang aku putuskan.

Bulan demi bulan kita menjalin “hubungan” itu, tapi kamu tidak juga memutuskan pacarmu. Kamu bilang, kamu masih belum bisa. Waktunya belum tepat. Lalu kapan? Aku tersiksa dengan semua ini. Tapi aku sadar dengan konsekuensi atas keputusan yang telah kubuat. Jadi selingkuhanmu.

Pagi sampai siang kamu selalu jadi milikku, selalu ada untukku. Tapi sore membuatku sakit. Tiap sore kamu datengin pacarmu di kantornya untuk pulang bareng kemudian makan malam. Sementara aku? Ya aku sebagai selingkuhanmu kembali ke kamar kostku hanya untuk mengenangmu. Makan malam sendirian sambil didera cemburu. Tapi aku sadar, aku bisa apa? Aku hanya selingkuhan, sekedar selingan dari kekosongan pacarmu itu.

Sama halnya dengan sabtu. Dari pagi kita selalu bersama, di kostku atau di rumahmu. Tapi kalau waktu menjelang sore, kembali aku terhempas ke pusaran yang sama, tersadar sebagai selingkuhan. Aku sering dandanin kamu, menyuruhmu pakai baju yang mana, menyisir rambutmu. Semuanya tidak bukan agar kamu terlihat so great di depan pacarmu.

Mungkin kamu nggak mendengar kalau hatiku menjerit. Perih. Menjadi selingkuhan membuatku rela menjadi yang kedua. Menjadi Mayang Sari bukannya Halimah.

Minggu lalu akhirnya kamu bilang bahwa kamu sudah putus dengan pacarmu. Akhirnya kamu putus juga. Akhirnya aku bisa memilikimu sepenuhnya. Kamu bilang selain kosong, pacarmu juga ternyata selingkuh. Alasan yang aku rasa absurd untuk putus sebenernya. Bagaimana tidak, kamu marah karena pacarmu ketahuan selingkuh sementara kamu sudah selingkuh denganku dari berbulan-bulan yang lalu. Tapi semuanya nggak penting. Yang penting aku bisa memilikimu sepenuhnya. Tak lagi berbagi.

Beberapa hari kemudian ketika aku memintamu untuk menjemputku di kantor, kamu bilang kamu nggak bisa. Kenapa? Dan mengalirlah cerita itu. Kamu bilang kamu sudah balik lagi dengan pacarmu. What? Kemarin malem dia nelpon kamu, bilang kalau dia lagi sakit dan memintamu untuk balik lagi dengannya. Dan kamu mau. Sekali lagi, dan kamu mau. Sesuatu yang aku nggak ngerti.

Aku seperti tersadar. Berdiri di point of no return, aku teriak di gagang telpon kantorku. Aku minta putus denganmu. Aku sudah lelah. Sudah banyak aku korbankan perasaanku. Tapi kini aku sudah sadar, apalagi dengan sikapmu yang sepertinya nyaman dengan keadaan itu. Kalau bisa dapat dua kenapa musti satu. Sialan.

Puluhan kali kau menelponku, tapi aku tak angkat. Puluhan SMS aku tak acuhkan. Kamu minta maaf. Tapi menurutku sudah basi. Silahkan menikmati kekosongan yang kau benci tapi kau layani. Biarkan aku menenangkan diri. Mencoba menghapus jejakmu di hatiku.

Kamu masih mencoba menelpon dan meng-sms ku, bahkan sampai hari-hari berikutnya. Dan ketika aku sudah mulai lebih tenang, aku membalas singkat smsmu.

“Aku sudah lelah. Baca saja email yang akan kukirimkan padamu sekarang”

Hugs, Yuda

Malam itu seusai aku mengirimkan email untukmu, aku menghapus nomer HP mu dari phonebook ku. Aku berjalan gontai, menutup pintu kamarku, menutup juga pintu hatiku untukmu.

Tidak ada komentar: