“Cuuuuuuh” Tiba-tiba
anak kecil itu meludahi saya. Untung saya berhasil menghindar sehingga ludah
anak kecil itu tidak membasahi baju ikhram yang sedang saya kenakan. Sempat
hilang kesadaran beberapa saat kemudian saya teringat dan mengucapkan istigfar
beberapa kali. Istigfar yang saya lanjutkan dengan permohonan ampunan kepada
Allah Sang Pemilik Hidup. Saya takut ini merupakan balasan dari apa yang pernah
saya lakukan.
Anak kecil itu seorang perempuan. Berdarah arab yang
terlihat jelas dari bentuk hidung dan matanya. Duduk di kursi roda di sekitaran
maqom Ibrahim. Entah cacat atau tidak karena bisa jadi dia hanya didudukan di
atas kursi roda milik kerabatnya, saya tidak tahu. Yang pasti ketika saya baru
selesai menyempurnakan tawaf umroh saya di putaran ketujuh, ketika peluh masih
belum kering membasahi hampir seluruh permukaan kulit, saya tanpa sengaja
mengamatinya. Matanya yang polos memperhatikan saya seperti mengiba dari
kejauhan. Lewat sorot matanya dia membewarakan kesedihan yang mendalam. Menurut
saya.
Mata kami terus berpandangan sampai akhirnya saya memiliki
kesempatan untuk medekatinya. Saya sengaja melewati anak kecil itu ketika akan
melaksanakan shalat mutlak di belakang maqom Ibrahim sebelum prosesi sa’i.
Ketika saya berjalan mendekat, dia terus menatap saya dengan sorot yang sama.
Tidak berubah, tidak bergeming. Hati saya menciut seperti bisa merasakan pesan
sedih yang dia ingin sampaikan. Karenanya ketika saya tepat berada di
hadapannya, saya membungkukkan badan sambil mengusap tangannya dan mengucapkan “Assalamualaikum”.
Seketika kemudian dia meludahi saya. Astagfirullah.
Entah kenapa dia meludahi saya, saya tidak tahu. Saya hanya
beranjak meninggalkan anak itu sambil mengucap istigfar berulang-ulang. Dari
jauh saya melirik ke arah anak itu dan dia masih saja memandangi saya dengan
tatapan yang serupa. Saya anggap ini mungkin ganjaran atas kelakuan saya selama
di tanah air sehingga selesai shalat mutlak saya berdoa memohon pengampunan.
Saya menceritakan kejadian tersebut kepada pembimbing saya ketika menuju ke
bukit Safa, saya bertanya apakah saya perlu shalat taubat karena kejadian tadi.
Pembimbing saya bilang tidak perlu, cukuplah beristigfar dan memohon
pengampunan dari Allah. Satu yang membuat saya sedikit tenang, pembimbing saya
bilang mungkin anak kecil tadi meludahi karena dia saya sentuh tangannya.
Budaya di Arab memang tidak membolehkan laki-laki menyentuh perempuan yang
bukan mukhrimnya, dan itu sudah diajarkan dari mereka kecil. Ya semoga saja itu
hanya kesalahan saya sebatas menyentuhnya. Amin.
Siapa yang tidak takut akan balasan atas banyak kesalahan?
Sudah menjadi cerita kalau kita sedang berada di Tanah Haram maka akan banyak
kejadian yang berupa balasan dari semua yang sudah pernah kita lakukan. Saya
pun demikian. Sebelum berangkat dari tanah air saya melakukan shalat taubat.
Meminta pengampunan dari banyak dosa, meminta dijauhkan dari segala macam
balasan atas apa yang pernah saya lakukan. Tapi kalaupun harus kejadian maka
saya meminta perasaan iklhas yang paling rebah dengan tanah. Itu saja.
Saya sadar benar kalau saya bukan orang yang sangat baik,
tapi saya juga tidak jahat. Kalau soal dosa, saya berdalaih karena saya manusia.
Gudangnya dosa. Karenanya ketika menginjakan kaki di Tanah Haram baik itu Madinah
maupun Mekkah, saya sudah ikhlas lahir batin kalau ada kejadian yang akan
membuat sadar kalau itu adalah balasan. Alangkah lebih baik menurut saya kalau
saya diingatkan meskipun dengan cara dibalas oleh hal yang tidak mengenakan.
Setidaknya saya langsung bisa meminta sebentuk pengampunan.
Ternyata manusia juga gudangnya ketakutan.
Ketakutan-ketakutan yang saya khawatirkan akan mendapatkan balasan langsung
alhamdulillah tidak kejadian. Dan mungkin Allah punya cara lain untuk
membalasnya nanti kemudian, lagi-lagi saya hanya bisa berserah dan pasrah. Saya
berdoa agar saya selalu diberi waktu untuk bertaubat sebelum datangnya hari
pembalasan. Amiiin.
Selama di Tanah Haram saya justru mendapatkan banyak
kemudahan. Saya bisa berulang-ulang shalat di Rawdah yang penuh sesak dan masuknya
saling berebutan. Rawdah berada di dalam masjid Nabawi di Madinah. Rawdah
merupakan mimbar tempat Rasulullah memimpin shalat, dan Rawdah ini pulalah yang
disebut sebagai Taman Surga. Tidak heran banyak orang berebutan untuk bisa
shalat di sana. Di Madinah saya juga berkesempatan beberapa kali bershalawat di
makam Nabi yang tidak kalah sesaknya. Pernah ketika saya sesenggukan ingat dosa
selepas shalat duha di Nabawi, orang arab di sebelah saya menepuk bahu dan
menawarkan tisue. Saya ambil satu tapi dia bersikeras agar saya mengambil
lebih. Dan sesenggukan saya semakin menjadi setelahnya.
Masih di hari yang sama setelah shalat duha dan kejadian
saya diberi tisue, seperti biasa sebelum pulang ke hotel saya pasti mengisi
botol air minum saya dengan air zam-zam yang banyak tersedia di dalam masjid.
Karena jarak yang sangat pendek antara kran galon dengan lantai maka untuk
mengisi botol biasanya jamaah mengisi berulang kali menggunakan gelas platik
yang juga tersedia di situ. Pagi itu saya duduk di depan galon dan mulai mengisi
gelas pertama, tapi belum juga penuh saya ditepuk oleh orang di belakang saya.
Ketika saya menoleh, saya menemui orang india yang tanpa banyak bicara
menepuk-nepuk galon tempat saya mengambil air. Setelah itu dia mengangkatnya
sehingga saya bisa langsung mengisikan zam-zam ke dalam botol minum tanpa harus
berulang kali menuangnya perantaraan gelas. Saya mengucapkan “syukron” ketika
botol minuman saya telah penuh kemudian pamit pergi. Beberapa langkah saya
menoleh lagi dan sudah tidak ada orang yang tadi menolong saya. Entah kemana.
Di Mekkah lain lagi. Pernah suatu saat saya keluar dari
Masjidil Haram, berjalan pelan menuju hotel sambil mengamati ribuan orang yang
berlalu lalang. Dalam hati saya berkata “Kok nggak ada orang cina yah?”
kemudian melanjutkan perjalanan pulang menuju hotel. Beberapa meter sebelum pintu
hotel saya merasa ada yang menjajari langkah saya, cuaca panas dengan suhu
hampir 50 derajat membuat saya lebih sering menutupi kepala dengan
sorban dan berjalan menunduk. Karena terhalang pinggiran sorban tersebut
kemudian saya mendongakan kepala dan menoleh. Ada bapak-bapak yang berjalalan
bersisian dengan saya. Melihat saya menengokan kepala dia kemudian tersenyum
dan mengajak bersalaman. Dia lalu bertanya “Are you from Indonesia?” Ketika
saya menganggukan kepala dia kemudian bilang “I’m from China”. Subhanallah,
hanya itu yang keluar dari mulut saya yang menganga.
Alhamdulillah di perjalanan Umrah kali ini saya juga
berkesempatan memegang Hajar Aswad. Batu hitam di salah satu sudut Kabah. Awalnya
saya sangsi melihat ribuan orang yang berebut ingin memegang bahkan menciumnya.
Tapi ketika saya tawaf sunnah selepas shalat dzuhur, saya merasa ada yang
mendorong saya untuk terus mengelilingi kabah di putaran yang paling kecil
hingga jarak saya sedemikian dekat dengan batu itu. Sambil berdoa dan
melafadzkan nama Allah saya berhasil menyeruak masuk ke dalam kerumunan
orang-orang tersebut dan tangan saya bisa dengan leluasa mengelus batu hitam
tersebut. Hanya saja ketika saya mencoba untuk membungkukkan badan ingin
menciumnya, dari arah samping ada laki-laki arab berukuran badan 3 kali lebih
besar dari saya mendorong sehingga saya terpelanting ke samping. Sadar saya
tidak mungkin maju lagi, perlahan saya mundur dak keluar dari kerumunan. Rezeki
saya hanya sampai mengelus, itupun sudah syukur Alhamdulillah.
Kejadian di Masjidil Haram yang paling membuat saya
merinding adalah kejadian ketika saya Shalat dzuhur berjamaah untuk terakhir
kalinya. Selepas salam seperti biasa saya beristigfar kemudian membaca shalawat
dan takbir. Ketika sedang membaca shalawat, saat masjid masih dalam kondisi
penuh bahkan shaft masih terisi penuh kecuali orang di sebelah saya yang entah
kemana ada laki-laki yang tiba-tiba duduk di sebelah saya. Dia menepuk bahu
saya kemudian saya menoleh. Saya bisa jelas melihat dia kecuali mukanya karena
tertunduk sangat dalam. Putih, bersih, botak dan wangi.
Dia bertanya “Are you malaysian?” Bukan, saya bilang “I’m
Indonesian”. Dia kemudian memperkenalkan namanya dan asalnya yang dari Yaman.
Sayang saya tidak jelas mendengar namanya ketika dia menyebutkannya tadi. Dia
bilang “I have no money, can i ask you some?” sambil menunjuk saku di dadanya
dan tetap dengan tertunduk dalam. Saya balik bertanya “How much do you need?”
Dia bilang “Up to You”. Saya lalu mengambil uang dari dalam tas sebanyak 10
real dan bertanya “it is enough?” Dia bilang “yes” kemudian “Syukron”. Setelah
mengantongi uang dia berdiri dan pergi. Saya memasukan dompet lagi ke dalam tas
dan ketika saya menengok ke arah dia pergi saya tidak menemukannya, padahal
jarak saya memasukan dompet dengan menengok tidak lebih dari 10 detik.
Sampai hari ini saya masih dengan jelas bisa mengingat baju
yang dia kenakan dan wangi yang semerbak dari tubuhnya. Entahlah dia siapa,
saya juga tidak tahu. Mungkin saya dimintai uang karena saya kurang bersedekah
di Indonesia, atau bisa jadi dia itu adalah..... Sudahlah tidak perlu
menebak-nebak yang pasti saya ridha memberikan uang itu, bahkan kalau diingat
sekarang rasanya kurang saya memberinya hanya 10 real mengingat harga kopi di
luar pelataran mesjid saja mencapai harga 13 real. Ya semoga saja dia masih
mendapatkan derma dari orang-orang yang dimintanya seperti saya. Amin.
Banyak pengalaman yang saya petik dari perjalanan Umrah
kemarin. Tapi yang paling berharga untuk saya adalah perjalanan rohani ini
membuat saya semakin sabar, semakin ikhlas dan semakin nrimo. Tidak selamanya
apa yang saya inginkan akan dikabulkan. Tidak semua yang ingin saya hindarkan
akan selamanya terhindar. Jadi tetaplah saja berdoa dan menghamba. Semoga saja
perasaan ini tidak hanya bertahan sampai sekarang, tapi sampai tahun-tahun ke
depan. Kalau bisa sampai saya mati nanti. Amiin. Mohon saya didoakan.
APIS : Rindu Kabah L