Inikah Mati?
Sebuah lorong gelap
dengan cahaya samar di kejauhan saat kemampuan mata hanya terbatas sampai sana.
Lorong yang banyak orang perbincangkan karena merupakan penghubung antara dunia
kasat mata dengan dunia antah berantah yang mereka sebut akhirat. Sebetulnya
aku ragu, dari mana mereka tahu tentang lorong ini padahal mereka belum
mengecap mati.
Inikah Mati?
Saat raga merasa
melayang seringan awan. Tanpa beban, tanpa persoalan. Katanya tidak berlaku
lagi hukum gravitasi Newton yang membuat kita menapak pada tanah. Sesuatu yang
juga katanya membedakan antara massa dengan berat. Entahlah apa itu karena aku
sama sekali tidak mengerti. Yang aku tahu adalah sekarang aku melangkah bagai
terbang. Tidak kurasakan gaya gesek yang biasanya menempelkan telapak kakiku
pada tanah. Aku benar-benar melayang. Tanpa sayap.
Kerongkonganku berat.
Tak ada lagi suara yang bisa aku keluarkan dari sana, padahal banyak sekali
kalimat yang ingin aku sampaikan. Bukan protes karena aku ingat bahwa kalau
mati itu sudah tiba maka katanya tidak ada lagi proses tawar menawar. Katanya
sejago apapun aku berkelit kata, semuanya hanya akan sia-sia. Lagi-lagi
katanya, karena sungguh ini adalah pengalamanku yang pertama.
Inikah Mati?
Kulihat seseorang
dengan wajah berpendarkan cahaya menunggu di ujung penglihatan. Seseorang
dengan wujud yang tidak pernah kukenali sebelumnya. Diakah yang disebut
malaikat? Perpanjangan tangan Tuhan yang bertugas untuk menghitung berapa
banyak kebaikan dan kenistaan yang sudah aku lakukan? Tiba-tiba aku gemetaran.
Kepalaku berdenyut tidak karuan karena sebelum aku sampai pada sosok itu,
kepalaku mencoba menghitung. Semakin mendekat, semakin baur hitungan yang sudah
aku lakukan.
Aku tahu aku banyak
dosa. Aku tahu hidupku nista. Aku meracau sambil terus berjalan mendekat ke
arahnya. Mungkin sebenarnya aku tidak berjalan karena kakiku tidak berasa
melangkah. Mungkin juga aku sebenarnya tidak mendekat karena dalam diriku aku
merasa berlari menghindar. Sekuat tenaga aku beringsut mundur tetapi kenapa tetap
saja jarak antara kami justru mendekat padahal dia tidak bergerak. Kepalaku
semakin berdenyut. Telingaku semakin berdengung. Mataku semakin silau karena
semakin dekat dia semakin berpendar.
Inikah Mati?
Bingung. Tidak ada
sekelompok orang dengan jubah putih dan jubah hitam yang berdiri bersebrangan
seperti yang aku lihat di film-film. Aku tidak bisa melihat mereka, padahal
keberadaannya bisa dijadikan petunjuk bagaimana statusku sekarang. Mati ataukah
bukan. Aku semakin limbung karena cahaya menyilaukan itu terus menghantam
mataku, membuatnya kehilangan daya akomodasi sama sekali.
Cahaya benderang itu
terus menghadang dan dengan sisa keberanian yang terkandung di badan, aku
berusaha menantang. Kubuka mataku lebih lebar, tak peduli kalau itu bisa
membutakan. Membakar retinaku sampai hitam. Aku tidak peduli karena entah dari
mana datangnya, keberanian itu terhunus bagai pedang.
Cahaya itu masih
menyilaukan. Tapi perlahan aku menyadari kalau itu bukan datang dari sosok yang
tidak pernah aku kenali. Cahaya itu terasa akrab, datang dari balik terali di
atas jendela kamarku. Cahaya yang setiap harinya sengaja kubiarkan menerobos untuk
memberikan sensasi terang.
Syukurlah, ternyata aku
belum mati. Itu hanya cahaya matahari.
Apisindica : Tiba-tiba ingat mati…
Apisindica : Tiba-tiba ingat mati…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar