Halaman

Senin, 27 Desember 2010

Twenty Nine

29 putaran penuh sudah saya lewati. Putaran dengan lintasan yang berbeda-beda meski jaraknya selalu sama. Putaran yang selalu melingkarkan saya dengan banyak pembelajaran, baik itu melalui kebahagiaan ataupun dengan kesedihan. Semuanya saya masukan kedalam jambangan, untuk suatu hari nanti dibaca kembali sebagai testimoni. Semacam dokumentasi.

29 putaran penuh saya sudah melesat bak anak panah yang terlontar dari busurnya. 29 kali tali busurnya meregang dan melemparkan saya pada putaran dengan lintasan yang selalu tidak sama. Mengantarkan pada undakan-undakan menanjak untuk sekedar meretas mimpi, membuatnya menjadi tidak lagi maya. 29 putaran yang memberi saya banyak pengalaman bahwa tidak semua mimpi dan harap bisa direalisasi. Banyak sekali mimpi yang kadang memang harus dipelihara hanya sebagai mimpi.

Seperti putaran-putaran sebelumnya, malam ini saya duduk dalam kesederhanaan. Menikmati kesunyian yang disabdakan alam. Saya mencoba mentafakuri semua yang sudah terjadi dalam hidup saya. Merefleksi semua kejadian dengan beragam perspektif yang kemudian diakhiri dengan perasaan syukur yang teramat dalam. Hari ini saya diberi kenikmatan lebih. Menjejak di usia 29 tahun.

Saya tidak lagi muda. Sudah jauh saya beranjak dari titik nol. Sudah beragam macam persinggahan saya kunjungi, ternyata sampai titik 29 ini saya masih ambigu. Masih sedemikian betahnya diayunambingkan abu-abu, masih sebegitu nyamannya dibelai kelabu. Saya tidak akan lagi mempertanyakan karena bertanya ternyata tidak membuat saya kemana-mana. Saya hanya akan menjalani dengan amunisi keiklasan sepenuh yang saya mampu. Meniti guratan ini sebagai takdir yang hanya harus dijalani.

Tidak ada pesta malam ini, tidak ada keriaan dengan menghentak lantai dansa, bahkan tidak ada nyala lilin yang harus dipadamkan. Saya hanya ingin duduk mencumbui sepi sambil bersyukur atas apa yang sudah dialami. Merenung tentang semuanya dengan perasaan indah. Penuh kepasrahan.

Malam ini, saya Apisindica mengucap ribuan syukur kepada Tuhan untuk kesempatan menjalani 29 putaran tanpa henti. Menguntai ribuan serak doa agar Tuhan senantiasa berada di samping saya bahkan ketika saya sedang alpa. Saya yakin Tuhan punya kapasitas itu, tak akan pernah berpaling dalam membimbing saya. Tak lupa, dengan segala kerendahan hati saya juga mengucap beribu terima kasih kepada keluarga, teman, sahabat, kolega atas semua pengalaman yang telah diberikan sehingga memberi coretan tersendiri dalam hidup saya. Tanpa bantuan, doa serta dukungan dari kalian semua, saya tahu saya tidak akan menjadi siapa-siapa. Terima kasih sudah menemani saya menjalani setiap putarannya. Memiliki kalian semua adalah berkah yang tidak akan saya sesali sampai mati.

Doa saya yang paling utama hari ini sama dengan tahun-tahun sebelumnya, semoga saya diberi kesempatan untuk terus bertransformasi menjadi manusia yang lebih baik dari sekarang. Merangkak dan belajar menjadi seseorang yang hidup dalam kebenaran menurut Tuhan, bukan lagi kebenaran menurut saya.

Tuhan, saya hanya ingin bahagia. Kalaupun bahagia menurut saya sangat sulit untuk dikabulkan, maka ijinkan saya meminta diberi kebesaran hati untuk berdamai dengan jalan yang telah Engkau gariskan. Ijinkan saya meminta perasaan sederhana yang terus bertambah subur dalam memaknai takdir yang telah Engkau tuliskan. Biarkan saya terus belajar mengerti bahagia yang telah Engkau tentukan.

Rabu, 22 Desember 2010

Unconditional Love

Posisinya tidak akan pernah tergeser oleh apapun dari hati saya. Menempati sudut terindah yang memang khusus saya sediakan untuknya. Bolehlah banyak yang hilir mudik mengisi ataupun sekedar lewat menambah mozaik hati dan mengubah komposisinya, tapi dia akan selalu berada di tempatnya. Tidak bergeming.

Saya tidak keberatan ketika kemudian saya selalu dikaitkan dengannya. Dibilang kalau saya seperti terikat dan tidak bisa beranjak dari bayang-bayangnya. Sampai kapanpun dia tidak akan pernah jadi masa lalu, tidak akan terhapus bahkan ketika puzzle hati saya berbentuk penuh saat ada seseorang yang kemudian datang menawarkan cinta lain.

Buat saya, cintanya tidak bisa dibandingkan. Tidak akan ada tandingan. Cinta lain boleh saja mati meranggas diganjar kerontang, boleh saja tenggelam digulung gelombang. Tapi saya yakin cintanya akan seperti biasanya, tanpa syarat. Tidak banyak aturan yang mengekang dan membatasi saya untuk berlaku ini dan itu. Cintanya indah.

Kadang saya berpikir telah berlaku tidak adil. Tidak mampu saya menyamai apa yang telah dia beri, tidak sanggup saya membagi perasaan yang harusnya membuat dia bahagia. Namun seperti yang telah saya duga, dia tidak pernah mempermasalahkan itu. Tidak membuat dia kemudian memadamkan cinta yang menyala dengan pendar yang asalnya entah dari mana. Tidak pernah meredup bahkan ketika hujan mengguyurnya di hampir setiap kesempatan.

Saya ingin belajar darinya tentang cinta. Bagaimana ikhlas mencintai tanpa menuntut untuk dicintai dengan porsi yang sama. Belajar agar tanpa pamrih menyemai benih kebaikan dan sayang tanpa berharap bahwa di akhir masa tanam dia akan mengeruk keuntungan. Belajar bahwa mencintai tanpa syarat itu semudah menghela udara. Seringan meniup buih sabun. Segampang itu.

Dia mencintai saya seperti itu. Dengan indah.

Dia saya panggil Mamih. Seorang perempuan perkasa yang dari rahimnya yang agung saya kemudian dikenalkan pada hidup. Hidup yang ternyata tidak mudah untuk dijalani. Tapi berkat cintanya semua bisa dilalui, membuatkan saya jalan alternatif untuk keluar dari berbagai kemelut. Meratakan titian terjal berbatu yang harus saya tempuh. Semua berkat cinta tanpa syarat dari Mamih.

Hari ini, saya yang tidak akan pernah bisa menandingi cinta yang sudah dia beri hanya ingin mengucapkan kalimat sederhana: SELAMAT HARI IBU, MAMIH! Semoga saya bisa terus membuat Mamih bangga dengan jalan saya sendiri. Karena seperti yang sering Mamih bilang, saya pasti memiliki jalan khusus untuk membuat Mamih bangga dan bahagia.

Mungkin Mamih belum bangga dan bahagia karena saya belum berkeluarga seperti keinginan Mamih. Tapi percayalah, kalau saya akan menempuh jalan lain untuk membuat Mamih bangga. Kebahagiaan bukan hanya bisa diraih dengan berkeluarga. Saya yakin Mamih mengerti itu. Waktu saya hanya belum tiba, karenanya saya tetap memohon doa Mamih untuk kebahagiaan saya. Apapun itu bentuknya.

Doakan saya Mih! Seperti saya yang mendoakan Mamih di hari ibu ini agar semua apa yang belum Mamih raih bisa dijangkau dalam rentang waktu yang tidak lagi lama. Amin.

Jumat, 17 Desember 2010

Menyiasati Waktu

Saat ini saya memiliki kesibukan baru. Bukan menulis jurnal-jurnal ilmiah yang membuat muntah darah, bukan juga direpotkan oleh tagihan laporan akhir tahun yang memusingkan, atau dibuat mati rasa saat molekul-molekul DNA yang tidak mau muncul setelah serangkaian proses isolasi panjang yang menghabiskan waktu di laboratorium. Bukan itu.

Kesibukan baru ini kemudian membuat saya menyadari kalau saya ternyata belum mempelajari tentang hal ini sebelumnya. Sudah sering saya menepi kemudian menetap dan diakhiri dengan beranjak lagi. Telah banyak pelajaran yang saya catat di buku perjalanan hati untuk sekedar mengingat apa yang boleh dan tidak boleh saya ulangi di perjalanan berikutnya. Tapi ternyata saya luput tentang sesuatu. Sebuah pengalaman yang baru saya alami sekarang.

Menjalani LDR bukan kali pertama buat saya. Berat memang, tapi bukan hal yang mustahil untuk dijalani. Bukan sesuatu yang lantas harus dihindari karena ketika kita percaya kalau kita bisa maka segalanya akan berjalan seringan udara yang kita hela. Jadi kalau sekarang saya kembali dititipi Tuhan seseorang dengan paket lengkap jarak dan waktu, saya siap. Benar-benar siap. Tidak ada keraguan sedikitpun untuk kemudian mematikan semua rasa yang sudah terlanjur dibelanjakan. Tak akan ada istilah beringsut mundur untuk menurunkan jangkar sebelum saya berlayar. Saya sudah siap.

Banyak yang sangsi dan meragukan. LDR menurut mereka terlalu berat buat saya yang sudah mereka kenal sepak terjangnya sedemikian rupa. Akan sulit katanya bagi saya untuk sekedar menjaga hati kemudian menguatkan tekad. Saya hanya bisa tersenyum, tapi akan saya buktikan kalau mereka salah. Akan saya tunjukan kalau saya kuat, apalagi seseorang titipan Tuhan itu menyayangi saya sedemikian rupa. Menyayangi dengan kapasitas yang luar biasa besar. Masih perlukah saya mencari “hiburan” sesaat dengan mempertaruhkan apa yang sudah dia berikan? Tidak.

Saya tahu benar bahwa sosok sangat diperlukan dalam sebuah hubungan. Kadang dengan bersentuhan kita merasa bahwa kita memang termiliki. Bahkan hanya dengan saling berpandangan kita akan jauh menyadari kalau kita memang bersama seseorang yang harus dipertahankan. Saya mengamini semuanya. Tapi kemudian saya menelaah apa yang telah saya jalani dengannya selama beberapa waktu. Dan itu cukup. Cukup untuk saya tetap berjalan dengannya tanpa harus senantiasa bersentuhan ataupun berpandangan. Caranya memperlakukan saya jauh lebih dari kehadiran sebuah sosok.

Saya menikmati kesibukan baru yang untuk pertama kalinya saya pelajari. Mencoba menyelaminya dengan segenap hati. Bereksperimen ini dan itu untuk sekedar menemukan formula yang pas, sehingga ketika hal itu diulang kembali tidak perlu banyak pikiran bagaimana menyikapinya. Kesibukan meramu bagaimana dua sosok yang katanya saling mencintai itu bisa bertemu dalam kisaran waktu yang juga terbatasi. Memanfaatkan setiap jengkal kemungkinan untuk sekedar menghidupkan rasa sayang secara terus menerus. Membuatnya tetap menyala.

Belakangan ini saya disibukan oleh kegiatan itu. Kegiatan menyiasati waktu yang seringnya tidak cocok agar saya dan dia bisa bertemu. Suatu kegiatan yang dirasa mahal, bukan karena memang memaksa salah satu untuk terbang tapi juga karena batasan yang dihadirkan waktu. Apapun itu, saya menikmati disibukan olehnya, karena saya yakin bahwa imbalan dari semua itu adalah sebuah pertemuan. Pertemuan yang akan membuat saya semakin terpatri kepadanya. Selamanya.

Rabu, 08 Desember 2010

Kerinduan

Apa yang aku senangi dari sebuah long distance relationship?

Perasaan rindu. Bagaimana aku harus menata hati, mengatur perasaan yang seringkali membuncah untuk sekedar melihat senyum itu tersungging di wajahnya. Rindu senantiasa membawaku untuk selalu teringat kepadanya. Memagari hati.

Boleh bilang aku berlebihan, karena aku yakin di luaran sana banyak orang yang tidak setuju dengan apa yang aku kemukakan. Long distance relationship katanya pasti lebih banyak menyusahkan, membatasi gerak langkah ketika ingin bertegur sapa dengan nyata. Mengungkung perasaan yang seharusnya lancar tertata dalam ruang penuh kebebasan.

Banyak aku menyetujui, mengamini semua hal yang menyulitkan dalam sebuah hubungan yang berjarak. Tetapi ketika kita sudah memutuskan untuk menjalaninya, kemudian selalu mengcomplain tentang apa yang sebetulnya sudah kita ketahui konsekuensinya maka itu hanya akan membuat kerdil. Membuat tandus perasaan yang semestinya bisa dibuat subur bahkan pada saat musim gugur.

Aku menikmati rindu. Mengabadikannya dalam berlembar-lembar surat cinta. Surat yang kadang aku tulis dengan perasaan bahagia ataupun dengan air mata. Keduanya menjadi semacam pupuk yang menyuburkan rindu. Membuatnya berbunga di halaman yang kering walau hujan selalu memapah di ujung penglihatan.

Surat berisi rindu aku simpan di buritan, di ujung belakang sebuah kapal yang pastinya sedang berlayar. Kemudian aku berdoa, berharap bahwa akan ada gelombang yang menerjang dan menghanyutkannya ke negeri sebrang. Tempat dimana rindu itu semestinya bermuara, tempat dimana rindu itu menemukan tuannya. Hati seorang kekasih.

Hujan boleh saja turun mengaburkan penglihatan. Meninggalkan becek di jalan tanah yang membuatnya menjadi sukar dilewati. Tapi hujan tidak akan menyurutkan rindu untuk bersanding di tempatnya. Tidak akan kemudian membuatnya kehilangan pijakan untuk melangkah, mencari bagian-bagian yang tidak tergenang untuk sampai di tujuan. Sudah ditasbihkan kalau rindu pasti akan menemukan jalannya. Mengakhiri pengembaraannya dan melempar sauh kemudian berlabuh.

Pagi ini aku terbangun dan merasa rindu. Kubuka jendela kemudian kuterbangkan dia ke angkasa. Kulihat dia melayang kemudian menghilang di balik awan. Dia tidak lagi terinderai retina, tapi aku punya keyakinan kalau dia akan sampai ke tujuan. Mewartakan sebuah kisah tentang kerinduan yang tertahan.

Senin, 29 November 2010

When You Love Someone

I love you but it’s not so easy to make you here with me, I wanna touch and hold you forever, But you’re still in my dream

Dari awal aku sadar bahwa mencintaimu tidak akan mudah. Bukan perkara perasaan yang kemudian membuncah memenuhi parit-parit hati yang semula kerontang dihajar kering tak berkesudahan. Bukan juga masalah menjaga hati yang sudah sedemikian terlatih menanti tulus sebuah tawaran berjalan bergenggaman. Bukan itu. Masalahnya hanya sulit sekali menghadirkan sosok yang belakangan mengisi ruang doa penuh pengharapan. Terlalu banyak batasan yang mengerubung, padahal ingin rasanya senantiasa bersentuhan untuk sekedar menyadarkan bahwa kita tidak akan terpisahkan. Kamu nyata hanya tak teraba, mengendap dalam rahim mimpi hingga waktunya tiba.

And I can’t stand to wait ‘till nite is coming to my life, But I still have a time to break a silence

Mimpi hadir saat pekat menjemput hari, saat lelap menyapa sanubari. Mimpi menjadi sebuah hiburan tersendiri atas jiwa yang rindu sebuah belai mesra. Kamu adalah bagian dari mimpi, menitis dalam lembar-lembar jalan cerita yang ditayangkan silih berganti. Kamu bertumbuh dalam rahim imaji, menghadirkan beribu harap untuk terus dijalani. Kadang aku tak kuasa menanti terbuai gelap hanya untuk bersua mimpi, rasanya seperti disiksa penantian panjang tanpa kepastian. Tapi kemudian aku tersadar, aku memiliki banyak kesempatan untuk mendobrak semua belenggu. Berjuang saat matahari belum tertutup tirai malam, mengerahkan semua kekuatan sambil menunggu mimpi menjelma menjadi kenyataan.

When you love someone, Just be brave to say that you want him to be with you, When you hold your love, Don’t ever let it go, Or you will loose your chance, To make your dreams come true…

Aku mencintaimu. Entah untuk keberapa kalinya kuretas kalimat itu. Kalimat yang kemudian menantangku untuk berkata bahwa aku ingin bersamamu selamanya. Menjalani setiap jengkal perjalanan, menyulam jaring laba-laba tempat kita akan bersarang. Aku tidak akan membiarkanmu untuk lepas dari genggaman, karena aku seperti kamu, yakin bahwa yang kita jalani benar adanya. Akan kujaga pendar asmara yang menyeruap hangat, menambahkan kayu bakar lagi dan lagi di bawah kualinya. Menjaganya tetap dengan suhu yang konstan. Tak perlu dipertanyakan, aku hanya tidak ingin kehilangan banyak kesempatan. Kesempatan untuk mewujudkan semua mimpi saat mereka menetas dari rahim penantian.

I used to hide and watch you from a distance and i knew you realized, I was looking for a time to get closer at least to say… “hello”, And I can’t stand to wait your love is coming to my life

Jarak boleh saja membelenggu. Boleh saja berkontemplasi dengan waktu menciptakan banyak ketidakmungkinan. Tapi jarak justru memberiku sebuah pengalaman baru, pembelajaran. Bagaimana mengakali rentang untuk sekedar bersembunyi kemudian mengawasi. Mencari waktu untuk beringsut mendekat dan menyapa. Tak sabar rasanya menanti waktu itu datang, waktu yang akan mengukuhkan apa yang sudah kita kumpulkan. Merekatkan potongan demi potongan perjalanan yang sudah dibelanjakan demi sebuah akhir yang membahagiakan.

When you love someone, Just be brave to say that you want him to be with you, When you hold your love, Don’t ever let it go, Or you will loose your chance, To make your dreams come true…

Aku mencintaimu, dan aku berani mengucapkan kalau aku ingin bersamamu selamanya. Mendayung perahu berdua menyusuri riak-riak yang pasti bakal ada. Bekerja sama menyibak semua bentuk sangsi dan kemudian membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin dijalani. Aku juga berharap kalau kamu akan berjuang seperti apa yang aku lakukan, tidak membuyarkan mimpi yang sedang ditayangkan. Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang tak perlu lagi diragukan. Demi satu tujuan. Membuat mimpi menjadi jalan cerita sungguhan.

And I never thought that I’m so strong, I stuck on you and wait so long, But when love comes it can’t be wrong, Don’t ever give up just try and try to get what you want, Cause love will find the way….

Tidak pernah terpikirkan kalau aku akan sekuat ini. Memiliki tenaga ekstra yang entah dari mana datangnya. Terpatri pada hatimu, dan bersedia menunggu dalam kisaran waktu yang tak menentu. Tapi aku tidak akan pernah menyesalinya karena cinta tidak pernah salah. Berjuang dan berkorban untuk cinta adalah bahan bakar yang justru akan membuatnya terus menyala. Menghangatkan. Jadi jangan pernah terpikir untuk menyerah karena dengan mencoba dan terus mencoba, justru kita sedang mengusahakan cinta menemukan jalannya. Mempersatukan kita. Selamanya.


based on "when you love someone" lyrics
sang by Endah Feat. Resha

Rabu, 24 November 2010

Perjalanan Hati

Lihat, hujan sudah datang lagi hampir tiap hari. Sebenarnya tahun ini tidak ada kemarau, musim membelot, menghadirkan cumbu basah di hampir setiap kesempatan. Menciptakan genangan.

Harusnya musim menjadi pertanda, semacam tonggak bahwa waktu terus berputar merobek tanggal demi tanggal. Mengikuti titah, tanpa bantah. Dalam perjalanan waktu, selalu banyak cerita yang dihadirkan. Cerita yang dijemput ketika aku sekedar istirahat menghela nafas yang sedikit tersenggal, atau ketika aku mengelap keringat yang menetes di kening. Cerita yang tidak akan pernah bisa dihapus dalam ranah ingatan. Menjadi kenangan.

Kenangan sebagaimana namanya hadir hanya untuk dikenang. Ditampilkan ketika hati sedang ingin merunut sebuah perjalanan. Entah perjalanan yang memmbahagiakan ataupun menyedihkan, tapi semuanya pasti dilakukan untuk sebuah tujuan. Berkaca.

Musim berganti tak bisa ditahan membawa waktu dulu menjadi sekarang. Mengantarkan hati dari satu perjalanan ke perjalanan berikutnya. Perjalanan yang mungkin berseri atau perjalanan yang selalu mengharuskan memulainya dari titik nol. Semuanya tidak bisa dihindari karena sudah tercatat dalam buku takdir. Aku hanya menjalani.

Masa lalu hanya masa lalu. Kalaupun aku kemudian sedikit terpaut di belakang, itu bukan karena aku memang ingin. Bagaimanapun dibutuhkan sedikit waktu untuk melepaskannya, mengikisnya perlahan dari relief yang sudah terpatri. Tidak akan bisa dilupakan, karena semua hal pasti berbekas. Sekuat apapun aku berusaha menghapusnya, semua akan muncul lagi pada saat yang seringkali tidak bisa diduga. Makanya beri aku sedikit luang untuk menjejalkan semuanya ke dalam laci kenangan. Menumpuknya dengan barang-barang usang yang memang hanya bisa disimpan. Tidak dapat dilupakan.

Aku seperti halnya kamu, pasti punya masa lalu. Punya orang-orang di waktu terdahulu yang mengisi jambangan perasaan dengan rasa yang berwarna bagai pelangi. Dan itu tidak bisa dihindari, tidak bisa serta merta dihanyutkan dalam deras perasaan yang kini kamu berikan. Semuanya mengkristal, bisa dinikmati tanpa bisa diselusupi. Biarkan begitu, tak perlu dikhawatirkan.

Kalau kamu merasa terancam maka kamu salah. Aku sudah menamatkan peranku dalam cerita masa lalu. Kalaupun untuk yang terakhir itu aku masih sering tanpa sengaja mengungkit, semua hanya masalah waktu. Detik belum cukup menyembuhkan luka yang dulu menganga. Putaran jarum jam belum dirasa lebih untuk menyelusupkan semuanya ke dalam kotak-kotak kenangan. Semua masih tanpa terduga berlarian minta ditayangkan meski baur. Membayangi langkah.

Tidak perlulah kamu cemburu pada masa lalu. Cukup yakin bahwa sekarang aku nyata. Berdiri disampingmu memapah mentari meski hujan kerap menyembunyikannya di balik kelabu. Aku ada, bersamamu meniti rasa yang pastinya bukan lagi fatamorgana.

Jumat, 19 November 2010

Turus Waktu

Bukankah cinta itu seharusnya membebaskan? Memberangus semua perbedaan menjadi semacam jembatan dari dua kepentingan. Membebaskan hati yang terpasung ketidakberdayaan, membuatnya menemukan jalan pulang.

Aku melihat jalanan terpampang di hadapan. Tidak mulus memang karena masih dapat kuinderai adanya terjal dan kerikil yang menghadang, tapi aku merasa bahwa itu adalah jalan pulang. Jalan yang akan mengantarkanku pada ujung sebuah pencarian. Jalan yang akan membuatku terbebas dari gelap berkepanjangan. Aku hanya mengharapkan adanya rumah di akhir jalan yang tak lagi temaram. Rumah tempat merebahkan semua bentuk kebahagiaan.

Bukannya cinta itu seharusnya membebaskan? Membuat jernih semua kalut yang menggelayut muram. Menjadi sebuah pemberhentian untuk sekedar berteduh kala hujan yang datang tanpa pesan. Memberi naungan.

Cinta membebaskan, bukan membelenggu. Kalaupun cinta itu membelenggu, pasti karena ulah waktu. Seringkali apa yang disebut waktu tidak berpihak pada sesuatu yang sedang kita anyam. Berdiri bersebrangan seakan menantang untuk ditaklukan, memberi rintang yang seharusnya bisa dienyahkan ketika kita berjuang.

Sekarang waktu sedang tidak berpihak kepadaku. Dia bersekongkol dengan jarak memberiku batasan dalam ruang yang menyesakan. Waktu seperti memperlambat putarannya, berjalan mungkin tanpa awahan sehingga lebih lama sampai tujuan. Aku pikir hanya jarak yang membelot, tapi ternyata waktu juga. Keduanya berkontemplasi, memberiku sebuah arena untuk berjuang. Memaksaku untuk beringsut melawan.

Bukankah cinta itu seharusnya membebaskan? Memberi kelonggaran dalam mengekspresikan apa yang disebut kasih sayang. Menyibak aturan-aturan normatif yang seringkali menyusahkan. Membenarkan atas semua bentuk usaha yang dilakukan berdasar keyakinan. Yakin kalau semua halang rintang bisa dilalui dengan benar.

Aku ingin cinta segera membebaskanku dari jerat waktu yang mengungkung. Waktu yang memaksa aku untuk membuat turus dari hari yang berlalu di dinding reka imaji. Setiap hari goresan turus bertambah satu, memapah sebuah perjumpaan yang dirasa langka. Perjumpaan yang baru akan terlaksana setelah hitungan turus genap sempurna. Aku setia menanti sambil mengores turus demi turus, karena aku yakin bahwa ini memang sudah jalannya. Ditasbihkan untuk aku lalui bersamanya.

Waktu, aku tahu kalau kamu hanya memainkan perananmu. Karenanya aku tidak akan menggugat, tidak akan pula menyumpah. Aku hanya minta satu hal, temani aku melewati detik. Menjemput setiap pertemuan yang pastinya akan berjarak. Jadilah saksi dari setiap turus yang kugores, turus yang juga menggambarkan kerinduanku yang mendalam.

Sayang, aku rindu padamu. Dan apabila kamu bertanya seberapa aku merindukanmu, genggamlah jantungku dan hitung denyutannya. Sebanyak itulah aku merindukanmu.

Senin, 01 November 2010

Jarak

Kepada jarak,

Aku tidak tahu kenapa engkau senantiasa mengikutiku. Mengintil tak mau lepas memegang ujung baju, seperti seorang bocah yang takut terpisah dari ibunya ketika diajak ke pasar malam. Menempel layaknya kembar siam pada dada dengan belahan hati tunggal sehingga ketika dicoba dipisahkan pasti harus mengorbankan salah satu. Terlalu kuat engkau menempel, membuatku sedikit terbelenggu. Membatasi ruang gerak yang seharusnya bisa membebaskan.

Sedemikian jatuh cintanyakah engkau kepadaku duhai jarak?

Lagi-lagi engkau memberiku batasan, memasung perasaan yang sebetulnya dimungkinkan untuk terbang. Engkau memenjarakanku pada ruangan sempit yang sebetulnya hanya membekukan langkah. Masih punya hati engkau rupanya, memilih hanya membelenggu kaki sementara engkau bebaskan tangan dan badanku untuk meraih apa yang masih bisa digapai. Tapi tetap saja itu memberatkanku. Bagaimanapun aku butuh langkah untuk maju.

Sesekali engkau memang melepaskan cengkramanmu, membuatku dapat melangkah bebas. Ternyata engkau masih bisa diakali, masih bisa dimanipulasi meskipun kesempatan tersebut datangnya langka. Seperti menetes dari ujung keran ke dalam periuk yang aku simpan untuk menadah, dan aku baru bisa lepas setelah periuknya penuh. Memakan waktu. Itupun dengan berbagai perjanjian yang mengharuskan aku kembali dalam pasunganmu.

Akhirnya aku hanya bisa belajar menikmati. Menyerap sari dari apa yang tengah terjadi. Kejadian berulang-ulang dengan jarak yang selalu jadi halangan. Menjadi semacam barier dalam menemukan kebahagiaan, menjadi faktor pembatas untuk menguatkan hati yang sedang dihinggapi suka. Berontak tidak akan membawaku kemana-mana, karena itu hanya akan membuatku cepat lelah dan menyerah. Padahal aku tidak ingin menyerah, aku masih yakin kalau semuanya bisa diperjuangkan. Mencari strategi agar waktu berjalan secepat kecepatan cahaya untuk kemudian mengalahkan jarak.

Aku tidak akan bersimpuh dan memelas belas kasihanmu, jarak! Jangan harap. Aku sudah terbiasa diikutimu bahkan dipenjarakan olehmu, jadi kalau terjadi sekali lagi itu hanya akan membuatku semakin kuat. Semakin yakin bahwa sebetulnya engkau bisa ditaklukan dan engkau hanya sekelompok soal yang harus diselesaikan dalam ujian. Ketika aku berhasil mengerjakannya dengan tepat maka aku akan keluar sebagai pemenang. Juara.

Jangan bosan ketika aku kadangkala bertanya apa maksud kehadiranmu. Apakah engkau memang diutus Tuhan untuk menjadikanku pejuang, atau justru engkau dikirim setan untuk membuatku tenggelam? Aku hanya ingin tahu. Hanya itu, meski apapun jawabannya itu tidak akan mempengaruhi keputusanku untuk senantiasa berusaha. Memperjuangkan apa yang aku yakini.

Bersahabatlah kali ini denganku, jarak! Aku ingin Long Distance Relationshipku kali ini bisa berhasil dan menjadikan aku dan dia sebagai pemenang.

Jumat, 29 Oktober 2010

Mesin Waktu

Saya sedang menunggangi mesin waktu. Berbeda dengan orang kebanyakan yang menggunakannya untuk menjelajahi masa depan, saya justru menggunakannya untuk menyusuri alur masa lalu. Mencoba meniti kembali perasaan yang dulu pernah membuncah di dada. Perasaan yang membuat saya seperti berada di nirwana. Jatuh cinta.

Bukan membuka laci kenangan dengan orang dari masa lalu. Tidak. Saya tidak hidup untuk masa lalu, apalagi dengan orang yang memang sudah ditamatkan ceritanya dalam untaian takdir. Bukan pula mencoba menyebrangi jembatan kemungkinan untuk merunut kembali cerita yang dulu sebenarnya belum tuntas dimainkan. Jembatan itu hanya menghubungkan saya pada keputusasaan. Jembatan tanpa ujung yang seringkali membuat saya tersesat dipermaikan perasaan.

Saya mengenang masa lalu untuk kemudian bersyukur bahwa ternyata saya belum mati rasa. Saya masih bisa merasakan apa yang orang bilang dimabuk asmara. Perasaan dilambung harapan yang membuat saya serasa bermain di atas gumpalan awan. Bahagia. Bersama mesin waktu saya mengumpulkan lagi serakan-serakan puzzle yang dulu berantakan untuk kemudian saya susun menjadi gambar hati penuh berwarna merah.

Saya menemukan lagi seseorang.

Bersamanya saya menemukan rasa yang sempat hilang dalam lorong perjalanan. Bersamanya saya menggambar lagi seulas senyum kebahagiaan yang tidak hanya nampak di bibir tetapi juga di hati. Bersamanya saya seperti menaiki roller coaster, menimbulkan ketegangan-ketegangan perasaan yang justru menciptakan kelegaan di setiap akhir putaran. Kelegaan yang seringkali justru membuat ketagihan. Ingin terus mencobanya lagi dan lagi.

Kadang saya tidak mengerti bagaimana mulanya perasaan itu bisa muncul kemudian bertumbuh. Saya hanya seperti sedang memakan gulali. Manis. Sensasi yang layaknya dialami anak kecil ketika berhenti menangis karena gulali tersebut memenuhi rongga mulutnya. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi selain menghisap sarinya kemudian tersenyum bahagia. Saya ingin seperti anak kecil itu. Tersenyum bahagia.

Dari balik jendela sambil menaiki mesin waktu saya mengamati hujan yang tidak kunjung reda, tapi ada perasaan lain disana. Perasaan tidak lagi takut akan guntur bahkan kilat. Rasa yang justru menggoda saya untuk bermain di luar menikmati tiap cipratan air ketika mereka menyentuh tanah. Saya ingin menikmati sensasi basah tanpa takut mengigil dingin setelahnya. Saya tidak lagi takut karena saya merasa bahwa saya sekarang sudah memiliki seseorang. Seseorang yang pastinya menghangatkan saya dengan peluknya setelah saya bermain hujan di tegalan.

Saya memanggilnya seseorang. Seseorang yang membuat hati saya hangat ketika namanya muncul di layar telpon. Seseorang yang sudah saya reka untuk berjalan bersamanya sambil tak lepas berpegangan tangan menuju satu hal. Bahagia.

Saya sedang menaiki mesin waktu. Bergerak mundur mengumpulkan serakan mimpi dan perasaan yang sempat tertinggal di belakang. Tapi saya tidak ingin tertambat di sana karena sekarang saya sudah memiliki mimpi yang harus mulai diretas. Saya sedang mengumpulkan amunisi dari masa lalu untuk kemudian melesat. Bersamanya saya hanya ingin beriringan sesuai titah alam tanpa perlu lagi menunggangi mesin waktu.

Senin, 25 Oktober 2010

Pelabuhan

Saya mencari pelabuhan,

Suatu daratan dimana saya tidak ragu untuk melempar sauh dan bersandar. Daratannya boleh sebuah pulau secara keseluruhan atau hanya sebidang pantai berpasir putih yang menjanjikan kenyamanan. Saya hanya ingin menepi, berharap untuk jangka waktu yang panjang karena ternyata saya bosan menarik jangkar kemudian mencari lagi tepian.

Sebetulnya saya sudah bersahabat dengan gelombang sejak lama, terombang-ambing dalam lautan pencarian. Kadang saya bergerak ke tepian ketika saya melihat ada daratan, tapi tak jarang saya terhempas kembali ke tengah padahal saya belum sepenuhnya mendekat. Daratannya menipu, mirip fatamorgana. Semakin saya mendekat, semakin saya yakin bahwa disana tidak ada pelabuhan yang saya reka dalam imaji. Saya kembali berkelana mencari.

Beberapa kali saya berlabuh, menemukan apa yang selama ini saya dambakan. Pelabuhan yang menjanjikan langkah terpadu menuju asa yang mungkin bisa direalisasikan. Kepadanya saya melempar jangkar keterikatan, mencoba menyelaraskan dua kepribadian agar bisa berjalan beriringan. Kepadanya saya menggantungkan harapan bahwa dia adalah ujung dari sebuah pencarian. Sebuah pelabuhan.

Tapi sebuah cerita selalu memiliki ujung, akhir yang masih bisa diurai meskipun dalam keadaan kusut sekalipun. Saya terombang-ambing lagi badai, angin memaksa saya untuk menarik jangkar dan terhempas lagi ke lautan. Meninggalkan daratan yang dulunya penuh pengharapan. Meninggalkan asa yang mungkin pernah tergambar di bibir pantai. Asa yang lambat laun terhapus ketika ombak menciumi butiran pasir. Menghapus jejak. Selamanya.

Sekarang, saya sedang menginderai adanya daratan terpampang menantang. Daratan yang saya yakini ada pelabuhan disana. Memang masih samar dan masih terhalang kawanan awan yang membentuk jelaga. Tapi entah kenapa kapal saya seperti tidak bisa dikendalikan, saya terus melaju mencoba menyibak kelabu. Saya terus berjalan padahal daratannya seperti timbul tenggelam. Dia mungkin ragu seperti halnya saya dulu. Belum yakin atas apa yang sebetulnya tengah dia rasakan tentang saya yang ambigu.

Saya memang melihat tepian untuk saya berlabuh, tapi saya juga belum yakin untuk melempar sauh dan kemudian bersandar. Ketergesa-gesaan hanya akan menimbulkan gelombang, membangunkan laut dari tidur tenangnya yang panjang. Izinkan saya untuk duduk di buritan kemudian mengamati dari jarak yang sedemikian dekat. Biarkan saya menyulam benang-benang kepercayaan dan keyakinan bahwa dia memang sebuah pemberhentian dimana saya bisa meletakan hati saya disana. Tanpa ada keraguan.

Kamu juga saya izinkan duduk mengamati di tepian. Memilah dan menilai kelayakan apakah saya pantas untuk bersandar. Gunakan lampu di mercu suar sebagai pertanda ketika kamu sudah membuat sebuah keputusan. Wartakan pada angin bagaimana kata hatimu sehingga angin akan menggerakan gelombang dan membawa saya terdampar atau justru membuat saya karam. Apapun itu, keputusan tetap harus dibuat. Dan dalam prosesnya, saya akan menikmati pelangi yang menghubungkan saya dan kamu, tak peduli bagaimana hasilnya nanti.

Saya melihat pelabuhan, dan mudah-mudahan pelabuhan itu ada disana. Di hatimu.

Kamis, 14 Oktober 2010

Hanya Ingin Tahu

Hanya ingin tahu, apakah mungkin seorang teman itu statusnya berubah menjadi sesuatu yang lebih intim. Sebutlah menjadi seorang pacar?

Hanya ingin tahu juga, apakah ketika aku menerima tawaran hati dari seseorang yang awalnya sekedar teman itu salah?

Apakah itu terlalu beresiko? Aku bingung. Setiap langkah yang kita ambil dalam menjalani hidup ini bukankah juga mengandung resiko, jadi mungkin saja resiko dalam perubahan status itu adalah sesuatu yang wajar bukan? Aku hanya takut walau aku tidak tahu karena apa. Aku hanya tahu bahwa mengambil sebuah resiko adalah sebuah pelajaran juga yang tentunya mendewasakan.

Jangan suruh aku bertanya pada hati karena aku sudah melakukannya berulang-ulang, tapi jawabannya masih saru. Mungkin hati membelot dengan tidak mau menjawab, atau dia justru melindungi diriku yang sudah seringkali hancur dan merangkak lagi dari titian awal. Hati tidak mau memutuskan, dia menyerahkan tugas yang dia emban kepada logika yang aku tampung di kepala. Tapi pantaskah sesuatu yang berhubungan dengan hati ditanyakan pada logika? Bukankah yang tahu tentang hati hanyalah hati sendiri? Mereka saling melempar tanggung jawab dan membiarkan aku bagai pelanduk yang gamang di tengah-tengah.

Resiko yang paling besar sebetulnya adalah mempertaruhkan persahabatan. Hanya ingin tahu, apakah ketika ternyata hubungan yang dibangun tidak berjalan lancar, persahabatan yang dulu terbentuk masih bisa dipertahankan? Mungkinkah erat komunikasi sebelum ada embel-embel hati masih bisa dijaga seperti dulu? Itu juga yang membuat aku bingung. Kalaupun nanti dalam perjalanan waktu kita tidak bisa mempertahankan semuanya, bisakah kita kembali pada persahabatan seakrab sekarang? Aku hanya tidak ingin kehilangan seorang teman.

Hey kamu, aku tahu kamu akan membaca tulisan ini jadi sebelum kamu jauh berjalan, tolong tanyakan juga apa yang aku tanyakan pada hatimu. Apakah tidak terlalu beresiko? Apalagi kamu sudah tahu siapa aku, bagaimana aku. Tapi kalaupun kamu tetap pada pendirianmu dan mengambil resiko tersebut, mari kita tanggung bersama resiko itu. Masing-masing memikul beban yang sama berat. Aku tidak mau memberatkanmu, jadi tanyalah hatimu lagi. Pantaskah aku yang sudah kamu kenal betul bagaimana sepak terjangnya menjadi seseorang yang akan kamu titipkan hatimu?

Aku punya masa lalu, dan kamu tahu itu. Bagaimanapun aku tidak akan pernah bisa merubah masa lalu itu. Sebutlah aku sering mengenang, tapi seringkali itu hanya kulakukan sebagai wisata hati. Melakukan napak tilas pada pematang yang sudah aku lalui. Sekedar meremajakan ingatan, memberi asupan pada hati yang kerontang. Menikmati sensasi yang dulu pernah dikecap. Aku tahu pasti kalau kamu juga tahu itu.

Hey kamu, aku hanya ingin tahu benarkah langkah yang kita tempuh belakangan ini? Tidak akan menyesalkah kamu dengan apa yang akan kamu lakukan? Selagi belum pasti, tanya dulu hatimu kemudian beri tahu aku apa yang dibilang hatimu.

Selasa, 12 Oktober 2010

Drama ( lagi-lagi )

Seorang teman pernah bilang ketika hidup tanpa drama maka kemampuan menulis akan berkurang.

Saya setuju.

Ketika memainkan drama, saya bisa mengeksplorasi maksimal kemampuan menulis. Banyak rentetan kata yang kemudian tercurah bagai hujan yang turun belakangan ini. Meluap dari got-got yang kehabisan daya tampungnya, menggenang di jalanan yang berlubang. Saya bisa menulis tanpa banyak berpikir dengan hasil yang memuaskan. Menurut saya.

Tapi saya seringkali berlaku bagai sutradara atau penulis skenario atas hidup saya sendiri. Mencipta sebuah drama yang hanya direka dalam kepala. Mengurai berbagai kejadian dalam segmen-segmen yang berkelanjutan, mengumpulkan serakannya kemudian menayangkan dalam layar imagi. Menjadi sebuah cerita utuh yang kadang diselingi commercial break.

Tidak bermaksud menyaingi Tuhan, karena sampai sekarang saya masih percaya kalau Dia adalah penulis skenario yang paling hebat, setidaknya untuk hidup saya. Skenario yang seringnya tidak bisa ditebak bagaimana alur atau plotnya. Skenario yang scriptnya justru baru saya pegang setelah cerita dimainkan lebih dari setengah jalan. Skenario yang membuat saya harus siap dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi di tengah saya memainkan lakon yang awalnya jelas tetapi kemudian buram.

Kalau sedang diberi jalan cerita yang sedikit tidak menguntungkan maka saya berharap lebih banyak iklan yang tayang, karena saat jeda itu saya memiliki kesempatan untuk memutar kepala. Mencari celah bagaimana menyelesaikan masalah yang menghadang, merunut benang kusut dan berharap bisa memintalnya dalam alur yang tidak lagi memusingkan. Tapi banyaknya saya kalah langkah, saya hanya bisa mengikuti jalan cerita yang sebetulnya tidak saya suka sambil berdoa agar episodenya cepat selesai. Berdamai dengan apa yang sudah dituliskan seringkali adalah sebuah penyelesaian.

Sekarang saya sedang berdamai. Berusaha memaknai dengan penuh kesadaran atas apa yang terjadi belakangan ini dalam hidup saya. Tidak mencoba keluar dari jalan cerita yang ada karena saya terantuk langkah pada kenyataan bahwa ternyata dia bukan lagi milik saya. Seorang pemain yang awalnya dikirim untuk meramaikan cerita dimana saya bisa meniti warna pelangi, sekarang diberhentikan paksa. Tanpa prolog, dia diberi script untuk keluar dari jalan cerita yang justru menurut saya episodenya baru saja dimulai.

Tidak ada lagi mata segaris. Untuk kesekiankalinya dia pamit dan berjalan dalam tracknya sendiri, memainkan skenario yang mungkin baru saja diterimanya. Tanpa saya sebagai peran pembantu utama, bahkan tidak sebagai cameo. Saya tidak lagi terlibat. Saya ditamatkan perannya dalam segmen kali ini. Entah dalam kisaran waktu yang pendek atau panjang, atau mungkin saya tamat selamanya. Entahlah.

Jumat, 08 Oktober 2010

Analogi

Biasanya kalau ada temen yang nanya sekarang gue lagi deket sama siapa, terus gue jawabnya nggak punya karena gue nggak laku pasti deh mereka teriak: BOHONG!!!

Sebelkan? Udah nggak laku masih aja disebut pembohong. Empati sedikit kenapa sih!!

Ini bukan curhat, tapi beneran deh kayaknya ada sesuatu yang salah sama hidup gue. Masa jadi jomblo kok menahun, untung gue bukan tipe orang yang merasa HARUS punya pacar. Selama gue bisa menjalani semua sesuai dengan apa yang memang harus dijalani, semua itu tidak jadi masalah. Palingan ada sesuatu yang dirasa kurang aja, tapi toh itu tidak mempengaruhi kebahagiaan yang akhirnya bisa gue peroleh. Kebahagiaan itu diciptakan, jadi semuanya tergantung mindset. Ketika mindset kita mengarahkan untuk mencipta kebahagiaan maka kebahagiaan itu pasti akan terbentuk meski kita tidak berpasangan.

Yang mau teriak gue sedang dalam fase denial atau menghibur diri atas apa yang terjadi, silahkan berteriak dengan kencang. Bebas!

Beberapa waktu lalu sempet chat sama temen. Bisa dibilang temen deket meski belom pernah ketemu. Anehnya dia itu tau gue banget, entah cara dia menganalisis gimana pokoknya dia tuh ngertiin banget sifat dan kelakuan gue. Jangan-jangan dia sebenernya suka lagi sama gue makanya banyak nyari tahu siapa gue. Hahaha, ngasal.

Ngobrolnya sih seperti biasa, ngalor ngidul nggak jelas juntrungannya. Ada aja yang diomongin sampai akhirnya dia nanya soal siapa yang lagi deket sama gue. Dan seperti biasa gue selalu jawab dengan “nggak laku”. Ya emang nggak laku jadi mau jawab gimana lagi.

Dia bilang sebenernya gue itu bukan nggak laku tapi gue mahal. Kata dia lagi orang akan melihat gue dari tingkat pendidikan, pekerjaan dan siapa gue sekarang ini. Bukan gue kalo nggak ngeyel, jadi gue bantah dong semua analisis dia. Tingkat pendidikan, hari gini S2 udah bejibun udah bukan hal yang mewah jadi tidak bisa dibanggakan. Pekerjaan? Dia pasti becanda. Gue seorang abdi negara yang semua orang juga tahu gajinya berapa. Kalo siapa gue sekarang, gue juga nggak tahu. Emang sekarang gue siapa? Perasaan bukan siapa-siapa.

Dia juga nggak mau kalah. Dia memberikan analogi yang ternyata paling masuk akal di otak gue. Analogi yang bikin gue berpikir berulang-ulang dan menemukan banyak hal yang logis. Dia bilang kalau gue diibaratkan toko ZARA (dia tahu banget gue penggila zara) maka akan banyak orang yang mikir seribu kali untuk hanya sekedar melangkah masuk ke dalam tokonya. Akan banyak pertimbangan, bahkan untuk orang-orang yang memiliki banyak uang sekalipun. Mereka bukan tidak bisa beli, tapi mereka merasa bahwa tempat mereka bukan disana.

Seketika gue tertohok. Bukan karena apa-apa, tapi karena saking logisnya analogi yang dia berikan. Katakanlah gue memang tidak semahal Zara, tapi mungkin image yang gue bentuk membuat orang berpikir kalau gue mahal. Hadeeeh, boleh dilihat kok kalau gue ini harganya kayak di pasar baru. Terjangkau.

Sekarang gue setidaknya tahu kenapa gue nggak laku-laku. Masalahnya ada di image, pencitraan diri. Nggak mahal tapi berlagak sok ingin terlihat mahal. Sok berkualitas padahal juga KW yang entah KW berapa.

Percakapan malam itu bikin gue harus mulai lagi mengatur strategi bagaimana bersikap, bagaimana bertingkah laku. Tidak ada yang tidak bisa diperbaiki selama gue masih mau berusaha. Tujuannya baik dan pasti bukan hanya masalah mendapatkan pasangan karena perbaikan diri itu akan mengubah semua aspek kehidupan menjadi lebih baik. Dan kalaupun ketika gue sudah memperbaiki diri ternyata tetap tidak juga mendapatkan pasangan, itu sih masalah takdir. Mau apa lagi, diterima saja.

Rabu, 22 September 2010

Sahabat Sejati

Dia bisa dibilang sahabat saya yang paling dekat. Seseorang yang menjelma menjadi sosok yang paling mengerti apa maunya saya. Bersamanya saya tumbuh dewasa, dengannya saya bertransformasi dari bukan apa-apa menjadi seperti sekarang ini.

Sesuatu yang paling saya suka dari persahabatan kami adalah dia tidak pernah memaksakan kehendaknya. Dia memang seringkali memberi masukan tapi keputusan akhir tetap ada di tangan saya. Dan dia sangat percaya bahwa apa yang kemudian saya putuskan, apapun itu sudah dipikirkan dengan matang. Akhirnya dia hanya meminta saya bertanggung jawab atas apa yang sudah saya putuskan.

Dia adalah sahabat yang paling sering menemani ketika saya dirundung suatu masalah, bukan sekali dua kali tapi setiap kali. Memberi saya pelukan yang menguatkan, elusan yang mendamaikan bahkan kecupan yang menyejukan. Dengannya saya tidak pernah sungkan untuk bercerita tentang banyak hal walaupun sebetulnya saya juga sadar kalau dia tahu semua rahasia yang saya sembunyikan. Tanpa perlu kata, dia sudah bisa membaca apa yang tidak bisa orang lain raba.

Kadang kami memang bertengkar, bahkan untuk masalah-masalah sepele yang sebetulnya tidak layak untuk menjadi bahan perdebatan. Bagaimanapun kami 2 ego yang bisa saja bersebrangan, tidak selaras dalam memandang sesuatu. Tidak sama dalam menentukan takaran baik dan buruk akan suatu hal, tapi semua itu ternyata memperkaya persahabatan kami, memberinya warna tidak hanya merah atau biru tetapi juga warna yang tidak biasa seperti krusia bahkan toska.

Tidak berlebihan kiranya kalau saya juga menyebutnya sebagai pahlawan. Seseorang yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan banyak hal. Itu juga yang saya pelajari dari persahabatan kami. Dia mengajarkan bahwa berbagi itu adalah suatu keharusan, dan berbagi tidak selalu harus berupa materi. Ketika yang bisa dibagi hanya sebuah kasih maka bagilah kasih tersebut karena menurut dia hidup itu adalah cinta. Hidup itu adalah kasih. Jadi hal yang paling esensi dari hidup adalah berbagi cinta dan berbagi kasih. Dua hal itu yang akan mendamaikan.

Dia betul-betul pahlawan saya, dan hari ini pahlawan saya merayakan hari jadinya yang ke-51. Usia yang tidak lagi muda, usia yang seharusnya hidup tinggal menunggu dibahagiakan oleh anaknya. Saya.

Mamie, Selamat Ulang Tahun Yah! Semoga Mamie panjang umur, sehat selalu dan tetap dilimpahi rezeki yang melimpah. Amiin. Permohonan maaf saya setiap tahunnya sama, maaf saya belum bisa memberi Mamie menantu dan cucu. Jangan pernah bosan mendengar permintaan maaf yang selalu berulang karena seperti Mamie bilang semua itu ada saatnya. Dan ternyata untuk saya saat itu belum tiba. Mamie jangan khawatir, saya tetap bahagia. Berpasangan atau tidak, cita-cita saya tetap membahagiakan Mamie. Buat saya, bahagia itu adalah ketika melihat Mamie menemukan kebahagiaan. Dan saya yakin bahwa ukuran kebahagiaan itu bukan hanya mendapat menantu dan cucu. Saya akan membahagiakan Mamie dengan cara saya sendiri.

Terima kasih Mam, untuk selalu berada di dekat saya selama ini. Tanpa Mamie saya bukan siapa-siapa. I love you Mam! Always....

Senin, 13 September 2010

Jangan Dibandingkan

Bukankah ini hanya masalah waktu? Begitu aku membatin ketika pertanyaan itu berputar berulang-ulang memasuki gendang pendengaran.

Selayaknya kelahiran, kita tidak pernah bisa memilih kapan kita dilahirkan. Semua sudah disuratkan tanpa bisa ditawar. Tertulis bagai cetak biru DNA yang terus dihasilkan dari untai yang tidak pernah bisa diubah. Mengikuti takdir.

Semua hanyalah soal waktu. Tidak lebih. Hanya kadangkala waktu nampak tidak berpihak pada seseorang, dalam kasus ini kepadaku. Jadi jangan bandingkan aku dengan mereka yang justru dipihaki oleh waktu. Jangan bandingkan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dibandingkan. Memaksakan hanya akan menempatkanku sebagai objek yang selalu kalah, digerus waktu yang terus melaju tanpa bisa dilihat sebagai sesuatu.

Aku sebetulnya tidak bosan mendengar pertanyaan itu menggaung berulang-ulang seperti teriakan di bibir sumur yang meraung dipantulkan berkali-kali. Sudah sangat wajar pertanyaan itu mengarah kepadaku, mengingat angka yang seakan tercetak nyata di keningku. Dua angka yang setiap tahunnya berubah ketika aku sampai pada saat yang dinamakan ulang tahun. Waktu tidak bisa ditahan, membuat ulang tahun seakan terjadi hanya dalam hitungan hari. Mengantarkanku merangkak pada usia yang menurut mereka tidak lagi muda.

Tapi bukankah angka itu hanyalah angka. Angka tidak bisa dijadikan takaran, bukan ukuran atas seseorang sudah pantas atau tidak. Bukan juga gambaran dari sebuah fase kedewasaan. Tua tidak sama dengan dewasa. Angka tidak sama dengan matang. Angka hanya sebuah tanda sudah sejauh mana kita berjalan. Menapaki titian waktu dari titik nol dulu.

Aku tidak sedang berlari menghindar karena sampai kapanpun hal ini harus aku hadapi. Menghindar bukan suatu penyelesaian. Berlari hanya akan memberiku muatan lebih dalam beban yang sudah aku pikul sejak lama. Sejak menurut mereka aku sudah cukup untuk menentukan. Aku hanya tidak ingin dibandingkan. Semua hanya masalah waktu. Cukuplah membandingkan aku dengan mereka yang lebih cepat memutuskan, atau dengan mereka yang dalam takdirnya sudah tercatat lebih cepat keluar dari kesendirian.

Takdir tidak bisa digugat. Mungkin bisa diubah sedikit dengan doa. Tidak perlulah kalian mendengar semua doa yang selalu aku tasbihkan, karena aku senantiasa memanjatkan doa yang paling baik, yang bisa membawaku ke arah yang tidak lagi temaram.

Aku hanya minta janganlah lagi aku dibandingkan tentang hal itu melulu. Lihatlah dari sudut pandang yang berbeda. Apa yang sudah aku capai dan apa yang tidak mereka capai. Apa yang sudah aku gapai dalam kisaran waktu yang menurut kalian sudah berlebihan. Bandingkan itu dengan mereka yang selalu kalian banggakan. Aku yakin aku menang, aku yakin aku lebih dari apa yang mereka telah dapatkan.

Bukankah semua itu hanyalah masalah waktu? Menikah adalah takdir yang sudah dipersiapkan oleh Tuhan. Aku yakin akan tiba waktunya nanti ketika Tuhan sudah menentukan. Mungkin tidak sekarang, tapi pasti kelak akan dijelang.

PS: ditulis setelah momen lebaran ketika banyak keluarga besar yang (lagi-lagi) mempertanyakan.

Kamis, 09 September 2010

Hujan, Ramadhan dan Memafkan

Coba lihat keluar jedela. Bukankah hujan masih datang sesering angin? Sebenarnya saya tidak suka hujan. Rintik seringkali membawa saya pada kenangan-kenangan yang sebetulnya ingin saya lupa. Genangan air di jalanan yang berlubang hanya menyiksa saya dengan memori yang tidak mau enyah dari labirin ingatan. Hal-hal tentang hujan semuanya menyakitkan, memberatkan langkah ketika ingin beranjak ke arah pencerahan.

Kali ini berbeda. Hujan yang turun di hampir sepanjang ramadhan memberi saya perspektif baru mengenai basah. Hujan memberi nasihat ketika perciknya mencumbu aspal jalanan kemudian terlindi dan menguap menjadi awan. Tidak peduli siklusnya berulang setiap hari, karena saya tidak bosan mencermati. Saya menjadi kagum tanpa disiksa oleh masa lalu yang selalu datang menunggang hujan.

Cermatilah hujan dengan siklusnya! Tapi jangan abaikan peran matahari, karena dia juga mengandung kalimat yang harus dicerna benar untuk menjadikan siklus hujan sebuah prosa yang mengagumkan.

Air – Hujan – Basah – Matahari – Kering – Hujan (lagi). Apa yang saya peroleh??

Saya memperoleh pencerahan. Setitik cahaya terang yang akhirnya saya temukan di lorong gelap sebuah pencarian. Terang yang saya harap bisa membuat saya bermain di tanah lapang tanpa takut tidak mampu menemukan jalan pulang. Ramadhan kali ini saya kiranya dapat sedikit menginderai jalan itu, memang masih samar tapi saya yakin pada saatnya semua akan menjadi jelas. Memapah dan memandu saya untuk pulang.

Cermatilah siklus hujan kemudian bandingkan dengan saya sebagai mahluk Tuhan. Kalau dosa yang sering saya lakukan diibaratkan dengan hujan di ramadhan kali ini, hitung berapa banyak yang sudah saya dapatkan. Begitu banyaknya yang pasti menjadikan saya seorang pendosa yang tidak termaafkan. Tapi seperti saya bilang, jangan pernah abaikan peran matahari. Peran Tuhan. Apakah matahari pernah bosan menguapkan air yang turun karena hujan? Tidak. Sesering apa hujan itu turun, sesering itu jugalah matahari bekerja mengeringkannya.

Tuhan bekerja seperti itu. Setiap kali kita melakukan sebuah dosa, tidak peduli sesadar apa kita melakukannya, apakah Tuhan tidak memaakannya? Tuhan akan memaafkannya. Membasuh semua dosa dengan ampunan. Tidak berpikiran bahwa ketika kita sudah dimaafkan kita tidak akan melakukan dosa yang sama. Berulang kali kita lakukan, berulang kali juga Tuhan memafkan. Tidak pernah bosan. Bukankah Tuhan sebegitu baiknya, kita hanya seringkali alpa dan mengabaikannya.

Di ujung Ramadhan ini, saya ingin belajar seperti Tuhan. Memaafkan tanpa berprasangka. Membuka lebar pintu maaf tanpa memilih siapa yang harus harus dimaafkan dan siapa yang tidak. Mungkin lebih dari itu, saya juga ingin belajar melupakan setelah memaafkan karena melupakan buat saya jauh lebih sulit daripada memaafkan. Saya hanya ingin belajar seperti Tuhan. Tidak ada embel-embel lain setelah keluar prosesi memberi maaf.

Tapi saya juga manusia biasa. Manusia yang sering melakukan perbuatan dosa kepada sesama manusia sesering hujan yang turun mencumbu pekarangan. Saya sadar benar bahwa dari mulut saya ini kerap keluar kalimat-kalimat yang tidak pantas untuk di dengar. Saya tahu bahwa otak acap kali memerintahkan saya untuk bertindak yang merugikan orang lain, menzhalimi. Saya juga tidak lupa bahwa seringkali hati saya berprasangka yang tidak-tidak kepada banyak orang. Saya Tahu dan sadar benar.

Karenanya, di penghujung Ramadhan yang mulia ini ijinkan saya untuk luruh bersimpuh dalam untai maaf. Ijinkan saya untuk meminta helai-helai pengampunan kepada sesama manusia. Biarkan saya memintalnya menjadi baju hangat yang akan saya pakai ketika kelak saya bertemu Tuhan melalui jalan yang saat ini masih terlihat samar. Setidaknya saya ingin mempersiapkan diri. Memakai baju yang pantas di hadapan-Nya.

Sekali lagi, ijinkan saya mengucapkan

MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN.

Semoga di akhir perjuangan ramadhan ini kita semua kembali kepada Fitrah yang hakiki. Amin.

Kamis, 02 September 2010

Untukmu Sahabat

Saya tidak menyangka perjalanan waktu akan mempertemukan lagi saya dan kamu seperti malam ini. Duduk bersama dengan dimensi yang masih sama seperti dua tahun lalu ketika saya pertama kali mengenalmu. Dimensi yang ternyata membuat kita merasa berada dalam satu kisaran, melingkarkan satu sama lain dengan ikatan yang kemudian kita sebut persahabatan.

Kamu tahu, saya senang sekali melihatmu tertawa seperti barusan. Rasanya saya memiliki keyakinan kalau hidupmu masih menyenangkan seperti dulu. Memang saya tidak selalu berada di sampingmu ketika banyak kejadian menempa kehidupanmu, tapi saya juga tahu kalau kamu selalu yakin saya selalu berada di dekatmu. Dapat diandalkan ketika kamu butuh sekedar kawan untuk berbincang.

Bukan saya tidak ingin intens berhubungan denganmu seperti dulu, tapi banyak alasan yang menyebabkan saya harus memilih opsi yang sebetulnya tidak ingin saya lakukan. Banyak pertimbangan yang menurut saya demi kebaikan. Kebaikanmu. Karena tidak ada yang melebihi kebahagiaan saya selain melihatmu menjalani hidup ini dengan baik. Dengan bahagia.

Ketika kamu memutuskan untuk berhubungan dengan seseorang, saya tidak pernah melarang. Sebagai seorang sahabat saya justru mendukung, mendoakanmu untuk mendapatkan kebahagiaan yang memang kamu harapkan. Tidak peduli konsekuensinya saya harus menjauh karena memang kemudian ternyata pasanganmu tidak menyukai saya, meski saya juga tidak tahu karena apa. Saya cukup tahu diri, saya tahu benar siapa saya dan siapa pasanganmu, jadi menyingkir buat saya adalah bentuk sokongan dan dukungan terhadap jalan yang akan kamu hadang. Saya tidak keberatan.

Saya senang melihatmu masih bisa tertawa seperti barusan, meski di akhir tawa kamu mengajarkan saya sesuatu. Bahwa seringkali yang terlihat menyenangkan belum tentu seindah kenyataan. Ternyata di balik tawamu kamu menyimpan luka. Hubunganmu yang mengharuskan saya menyingkir ternyata sedang dilanda prahara. Kamu sedang menghadapi marut dan runyam sebuah hubungan.

Saya sedih karena saya tidak pernah membayangkan bahwa kejadiannya bakalan seperti ini. Saya sedih karena dalam periode saya mengasingkan diri saya tidak peka untuk sekedar bertanya. Saya benar-benar berubah menjadi asing hanya dengan alasan tahu diri, dan saya menyesal untuk itu. Saya harusnya tetap menjadi seorang sahabat yang tetap bisa diandalkan meskipun saya tidak lagi beririsan dengan kamu dan hubunganmu. Seharusnya saya tetap menjadi sosok yang bisa menentramkan ketika gundah menggelayuti langkah yang kamu lakukan. Saya menyesal tidak berada disana.

Tapi saya memiliki keyakinan kalau kamu akan mampu menghadapi semuanya. Saya yakin kamu memiliki kualitas lebih untuk kemudian memutuskan apa yang harus kamu lakukan. Dan saya berjanji mulai saat ini saya akan kembali menjadi lebih peka, lebih pintar meraba apa yang kamu sembunyikan. Mungkin saya tidak bisa membantumu untuk menyelesaikan semua masalah, tapi mungkin dengan kembali menjadi nyata saya bisa menjadi semacam kekuatan untuk kamu menemukan terang.

Sahabat, saya senang melihatmu masih bisa tertawa malam ini seperti dulu. Dan semoga tawa itu tetap sama sampai kapanpun walau banyak kepedihan yang ternyata membayang di ujung penglihatan. Mari kita sama-sama songsong lagi cahaya dalam genggam erat sebuah persahabatan.

Senin, 30 Agustus 2010

Kepada Angin

Aku menitipkan surat kepada angin. Sepucuk surat cinta yang dibuat dari bulir-bulir air mata kerinduan. Surat yang kuretas perlahan sambil menunggu waktu yang tiba tidak menentu.

Angin aku pilih sebagai sarana karena aku yakin kalau dia tidak akan berdusta. Kalaupun dia tersesat, dia hanya akan berputar-putar pada kisaran tujuh arah mata angin. Pada akhirnya pasti akan sampai pada tujuannya. Mungkin angin tidak akan segera sampai, karena aku tahu kalau dia sering labuh sebentar di ujung batang. Mengamati embun yang menyublim di lembaran daun, atau mengawasi gutasi yang menetes ketika pagi. Tapi aku yakin kalau dia sadar akan tugasnya, menyampaikan suratku pada seseorang yang menunggu di negeri seberang.

Sebelum mengenal angin, pernah aku menampung rindu dalam berlembar-lembar surat cinta. Kemudian kusimpan surat itu di buritan, berharap ombak akan menghanyutkannya dan menabrak karang di negeri seberang. Negeri tempat sebelah hatiku sedang meretas mimpi. Mewujudkan sesuatu yang dari dulu dicita-citakannya. Menjadi seseorang.

Tapi ombak membelot, dia tidak menepati janjinya. Dia menggulung surat itu menjadi serpihan, menawarkan pada hiu untuk mencabik dan menghancurkannya dalam sekali gigitan. Ombak membuat cintaku waktu itu kandas tidak pada tuannya. Ombak membuatku kehilangan satu kesempatan. Ombak merenggut harapan untuk menyandingkan perasaan yang sering timbul tenggelam. Ombak memberiku suatu pengalaman. Kehilangan.

Hingga aku bertemu angin. Darinya aku belajar lagi bagaimana percaya, bagaimana cara memberi kesempatan kedua. Angin mengajariku bahwa memaafkan dan melupakan jauh lebih baik dari memendam. Berusaha tidak mengungkit-ungkit akan membawa cara pandang baru dalam melihat sesuatu. Angin membentukku dengan pola pikir yang lebih baru tentang dia. Si mata segaris.

Dulu buatku kesalahannya tidak termaafkan, atau kalaupun sudah kumaafkan bukan berarti aku mau kembali. Cukup sudah dia menciptakan banyak prahara, rasanya begitu banyak noktah yang dia cecerkan di putih rasa yang aku berikan. Tapi perasaan ternyata tidak bisa dipungkiri, aku masih menyimpan sesuatu. Pendar cinta yang ternyata belum mati semua, ada binar kecil yang masih menyala di sudut asa. Angin kemudian meniupnya, memberikan napas kehidupan. Membuatnya menjadi besar. Membuatnya kembali berbinar.

Ketika dia, belahan hatiku yang masih meretas mimpi di negeri seberang bertanya untuk kesekian kalinya tentang kesempatan kedua, aku menjawab tidak lagi ragu. Aku berujar sekeras angin yang menerbangkanku pada cakrawala penuh warna. Aku mengatakan iya. Aku memberinya kesempatan kedua. Kesempatan untuk merangkai kata penjadi prosa kemudian drama. Kesempatan untuk kami mengejawantahkan mimpi yang sebelumnya tertunda sementara. Aku kembali padanya.

Aku menitipkan surat kepada angin. Tidak peduli sesering apa dia hinggap di cabang-cabang ranting untuk mengamati absisi, atau labuh di ujung genting untuk menelaah purnama. Aku tidak peduli, karena sekarang aku yakin kalau pesanku tidak akan disabotase seperti halnya yang dilakukan ombak. Aku yakin pesanku akan sampai tujuan dengan selamat, ke haribaan seseorang yang tak ragu lagi kusebut sayang.

Sekarang aku menunggu waktu berpihak kepadaku. Waktu ketika dia akan kembali pulang, selamanya.

Selasa, 24 Agustus 2010

Mencintai kekasih orang

Mencintai kekasih orang itu sering kali menyulitkan, terlebih ketika dia justru juga melayani.

Mencintai kekasih orang itu sering kali tidak lebih dari memboroskan energi. Mengorbankan apa yang seharusnya tidak layak dikorbankan, membelanjakan hati pada sesuatu yang tampak nyata padahal palsu. Semua hanya sia-sia.

Tapi katanya tidak pernah ada yang sia-sia dalam cinta. Tidak ada percuma ketika kita berjalan di haluan yang kita yakini benar, walau itu akan menyakiti. Bukan hanya menyakiti pasangan resmi dari orang yang kita cintai, tapi lebih parah. Menyakiti diri kita sendiri. Menyodorkan dengan rela sebongkah perasaan untuk dibuat menjadi serpihan. Kita sering tahu benar resikonya, tapi kita tetap menjalaninya. Entah untuk alasan apa.

Mencintai kekasih orang itu sering kali menyulitkan, terlebih ketika jerat cinta itu berbekas tak mau hilang dari labirin bernama memori.

Mencintai kekasih orang itu sering kali menyulitkan, terlebih ketika kita ternyata benar-benar jatuh cinta kepadanya. Memilih buta dengan menjalani apa yang tidak bisa ditolelir logika. Memilih didera ribuan kecewa karena ternyata kita seringkali menelan pahit yang dijejalkan paksa ke dalam selaksa. Membatin ketika dia, kekasih orang yang kita cintai itu dengan ringan bercerita tentang pasangannya. Rasanya hanya ingin berdua tanpa membicarakan sesuatu yang justru membuat luka semakin menganga.

Apa yang kita dapat dari itu semua? Tidak ada, kecuali kesakitan dan perasaan terabaikan.

Aku pernah mengalaminya. Mencintai dengan segenap hati seseorang yang masih dalam suatu hubungan. Berusaha menyelusup dalam runyam masalah yang sedang mereka hadapi. Menjelma menjadi zat yang justru memperkeruh. Layaknya rautan yang justru memperuncing, bagai apusan yang ingin menghilangkan apa yang telah dituliskan. Aku menjalaninya dengan sadar, sadar bahwa di akhir cerita aku pasti tidak akan mendapat apa-apa.

Aku menikmati semuanya. Menikmati remah-remah sisa yang aku pungut di halaman orang. Memanfaatkan semua kesempatan kecil untuk menunjukkan bahwa aku punya hati warna perak yang siap dibagi. Bodoh memang, karena meskipun aku mendapat sesuatu, itu pasti hanya bagian kecil dari apa yang seharusnya tidak aku banggakan.Potongan-potongan kecil itu tidak akan membawaku kemana-mana.

Ketika aku sadar, semua telah terlanjur jauh. Sudah banyak yang aku belanjakan. Sudah banyak fragmen-fragmen yang justru mengendap di labirin perasaan. Berkarat tak mau hilang, menancap menyebabkan luka ketika sedikit bergerak.

Aku memang menjauh. Dia juga menjauh. Tapi itu tidak lantas membuat semuanya usai. Sampai saat ini aku masih memendam perasaan. Entah untuk apa?

Rabu, 18 Agustus 2010

Hanya Perlu Percaya


Akan kubiarkan jiwaku menggelandang
Menyusuri parit-parit kotor tanpa batasan
Menikam sunyi yang berkepanjangan bila diperlukan
Semuanya hanya untuk satu tujuan

Berlabuh.

Kadang angin menantang menghandang
Meruntuhkan asa yang sebetulnya telah remuk redam
Kuretas perlahan harap yang masih tampak di ujung penglihatan
Suram tapi menjanjikan di akhir penantian

Tak kupedulikan telapak yang mengelupas digerogoti aspal jalanan
Kusingkirkan takut yang mengikis bongkah-bongkah keberanian
Aku jatuh untuk kemudian tidak hanya bangkit tapi berlari
Mengejar cahaya berpendar dari wujud yang tampak berkilauan

Seseorang,

Sosok itu masih juga belum jelas
Tapi kuyakin dia menyongsong dengan tangan terbuka penuh kasih sayang
Senyum pasti tersungging di wajah yang masih sedikit samar
Dia tidak mau mendekat meski tidak juga lantas menghindar

Aku tahu dia menungguku datang
Menjadi semacam hadiah dari apa yang telah aku terjang
Buah dari semua harap yang kuuntai dalam bulir doa nan panjang

Bilakah akhir dari semua pencarian ini?
Sebuah pertanyaan mendengung bising di gendang pendengaran
Kapanpun itu kuharap waktu tidak membelot dari apa yang kurencanakan
Setia menantiku menyelesaikan tiap episode yang memang harus dimainkan

Seseorang itu pasti akan datang, aku hanya perlu percaya.

Senin, 16 Agustus 2010

Drama

Saya ingat, bulan puasa tahun lalu cobaan terberat saya adalah kamu. Hadir dengan cara yang tidak disangka-sangka, menetap dengan penuh keragu-raguan kemudian menyingkir dengan menimbulkan banyak pertanyaan. Semuanya saya jalani sebagian besar di bulan puasa, dan bagian besar itu adalah bagian yang justru menyakitkan. Bagian yang masih menyisakan jejak luka sampai sekarang.

Harusnya ketika saya memaafkan, mengiklaskan semua hal untuk kemudian melepaskanmu pergi, tidak boleh ada lagi jejak luka. Tidak boleh lagi ada serpihan kecil yang menyakiti ketika saya meniti kembali jalanan itu saat sekedar mencoba mengingat atau mengenang. Harusnya semua impas, tidak meninggalkan muatan beban yang memebelenggu langkah kaki. Harusnya memang seperti itu, tapi ternyata saya tidak kuasa. Saya tidak sekuat apa yang saya bayangkan.

Mungkin semuanya akan jauh lebih mudah ketika kita berjalan di setapak yang benar-benar berbeda, tanpa pernah beririsan lagi. Tapi kamu tidak mau memilih opsi itu, kamu lebih memilih opsi untuk menetap dengan cara yang lagi-lagi tidak aku pahami. Menawarkan sebuah jabat tangan yang membingungkan, kekasih bukan tapi lebih dari sebuah persahabatan.

Saya tidak mau, tapi kamu terus menerus mengerubungi.

Saya pernah mencoba berlari menghindar, tapi kamu justru malah mengejar dengan kecepatan dua kali dari yang saya lakukan. Kita terengah-engah dipijakan asa yang tetap masih baur. Tidak jelas.

Saya mencoba menjelaskan, tapi itu tidak lantas membuatmu mengerti. Saya mencoba berpasangan dengan orang lain, tapi kamu tidak peduli. Katamu kamu sudah sedemikiannya tergantung pada saya. Tapi ketika saya mengagas untuk menjadikan apa yang kita jalani sesuatu yang resmi kamu tidak mau. Entah pertimbangan apa lagi yang masih kamu pikirkan. Entah bagian dari diri saya yang mana yang masih membuatmu ragu.

Cobalah sesekali meraba perasaanku. Aku hanya ingin kepastian. Jangan kamu tarik ulur perasaan yang saya pertaruhkan untuk sesuatu yang sebetulnya tidak saya pahami. Tolong, saya tidak ingin mendrama lagi seperti halnya bulan puasa tahun lalu. Saya ingin puasa tahun ini saya jalani dengan penuh konsentrasi beribadah.

Setidaknya, biarkan satu bulan ini saya tidak dipusingkan dengan drama banyak babak yang selalu kamu bagi dengan saya. Biarkan saya tenang dalam proses penghambaan saya terhadap Tuhan, satu bulan penuh ini saja. Izinkan saya untuk tidak mengotori ibadah yang saya jalani dengan perasaan-perasaan cinta yang seringnya mubadzir.

Sekali lagi saya tegaskan, saya sedang ingin ibadah dengan khusuk. Jangan ganggu saya untuk sementara waktu.

Selasa, 10 Agustus 2010

Maaf

Mulut saya satu, tapi seringnya tidak lebih baik dari comberan. Banyak kata yang tidak pantas keluar dari sana baik itu berupa cacian ataupun umpatan. Mungkin ada yang tidak saya sadari tapi tidak sedikit juga yang justru dengan sadar saya ucapkan. Semuanya seringkali menyakitkan, paling tidak menimbulkan luka di hati orang lain.

Katanya saya well-educated. Kalau dirunut sudah sekian banyak jenjang pendidikan formal maupun informal yang saya jalani. Seharusnya semakin banyak ilmu yang saya peroleh, semakin pandai juga saya bersikap terhadap orang lain. Tapi kembali seringkali saya justru bertindak seperti orang yang tidak berpendidikan. Berlaku tanpa memikirkan perasaan orang lain karena saya hanya ingin tujuan saya tercapai. Tidak peduli kalau itu ternyata menyakiti banyak orang di sekitar saya.

Saya sedari kecil diajarkan untuk tidak mendendam. Belajar memaafkan kemudian melupakan. Ternyata saya gagal mempraktekannya, saya bisa memaafkan tapi saya tidak jarang sukar untuk melupakan. Karena saya tidak bisa melupakan jatuhnya saya mendendam. Berpikiran bagaimana membuat orang yang pernah menyakiti saya merasakan apa yang pernah saya rasakan. Terlihat sangat kekanak-kanakan memang, tapi itulah realita.

Manusiawi. Itu yang sering saya jadikan alasan sebagai pijak pembenaran atas apa yang saya lakukan. Manusia tempatnya salah, dan saya manusia sehingga silogismenya adalah saya tempatnya salah dan itu manusiawi. Saya bukan malaikat yang selalu bertindak benar, saya bukan nabi yang tindak tanduknya dijaga Tuhan dari perbuatan salah. Saya mengagung-agungkan prinsip itu untuk menutupi segala kesalahan saya, padahal jauh di lubuk hati, saya tahu saya memang salah.

Apa saya bangga dengan segala kesalahan dan kekhilafan yang selalu saya lakukan? Tidak, karena saya juga sadar kalau semua itu tidak benar dan tidak sesuai dengan ajaran agama yang saya yakini. Semua agama mengajarkan kebenaran, sehingga ketika kita melakukan suatu kesalahan kita juga diajarkan untuk meminta maaf.

Ramadhan sudah berdiri diambang pintu, tinggal selangkah lagi untuk masuk dan mewarnai hari-hari saya satu bulan kedepan. Saya ingin bersuka cita menyambutnya dengan hati yang bersih. Karenanya, pada momentum yang tepat ini ijinkan saya untuk meminta maaf lahir dan batin kepada orang-orang di sekitar saya atas segala perbuatan, perkataan ataupun lintasan hati yang tidak sesuai dengan sebagai mana mestinya.

Tolong saya juga didoakan agar bisa konsisten menjalankan ibadah dan pada akhirnya saya akan keluar sebagai pemenang. Sosok yang saya harapkan bisa jauh lebih baik dari saya yang sekarang baik itu dalam konteks hubungan saya dengan Tuhan maupun hubungan saya dengan sesama manusia.

Saya berdoa mudah-mudahan saya tidak lagi menjadi pribadi yang selalu menyakiti orang-orang yang kebetulan berinteraksi dengan saya. Amin.

MARHABAN YA RAMADHAN. SELAMAT DATANG RAMADHAN 1431 H.

Kamis, 05 Agustus 2010

Ditinggal Menikah

Semalam kamu paksa aku untuk ikut bermobil denganmu. Hari sudah teramat larut dan rasanya lelah telah memberondongku untuk sekedar menikmati gelap. Kamu tetap memaksa meski aku sudah berulang kali menolaknya. Kamu bilang ada sesuatu yang penting.

Bahasa tubuhmu menggambarkan sebuah kerisauan. Entah apa, yang pasti aku melihat sebuah beban bergelayut di wajahmu.

Ketika kutanya kita mau kemana, kamu hanya menjawab singkat. “Nanti juga tahu!”

Ketika kutanya mau membicarakan apa, kamu juga menjawab dengan singkat. “Nanti kalau sudah sampai disana, kamu juga akan tahu!”

Hening lebih banyak mendominasi perjalanan kita. Tidak banyak percakapan yang tercipta, tidak banyak kata yang terlontar. Bosan. Dan ketika aku berusaha membunuh kebosanan itu dengan bermain BB, kamu marah. Kamu bilang aku tidak berempati dengan muatan beban yang akan kamu sampaikan kepadaku. Aku menyerah, akhirnya aku hanya berusaha menikmati alunan musik dari speaker di mobilmu malam itu.

Mobil menepi di tepian jalan dengan pemandangan kota Bandung. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah kelipan lampu rumah-rumah penduduk yang membuat semuanya jauh lebih indah. Aku ingat tempat ini, tempat dimana kita sering menghabiskan malam-malam panjang tanpa tujuan. Menikmati pekat, menghitung bintang. Disini juga kita sering berbagi cerita tentang apapun. Saling mencaci, saling mentertawakan kebodohan masing-masing.

“Aku akan menikah!” dia berkata tiba-tiba. Posisi tubuhnya berada beberapa meter di depanku sehingga aku tidak bisa melihat raut wajahnya ketika dia mengatakan hal itu. Tapi dari getar suaranya, aku tahu kalau dia mengatakannya dengan penuh kehati-hatian.

“Aku sudah tahu” jawabku singkat

“Kamu tidak keberatan? Maksudku kamu tidak apa-apa?” dia bertanya dengan posisi masih memunggungiku. Lagi-lagi aku kehilangan momen mengamati wajahnya ketika berkata semua itu.

“Untuk apa aku harus keberatan? Dari awal aku sudah bilang bahwa kalau kamu mau menikah ya tidak apa-apa. Jangan mengkhawatirkanku, aku baik-baik saja dan itu bukan masalah besar. Ini semua hanya masalah waktu, kalau waktu lebih berpihak kepadamu sehingga membuatmu harus menikah lebih dulu aku ridho”

“Benarkah?” Dia bertanya lagi. Kali ini dia membalikan tubuhnya dan memandangku.

“Sungguh. Jodohmu lebih dahulu sampai, tidak ada alasan untuk menunda-nundanya lagi. Tidak perlulah memperhatikan perasaanku, aku akan seperti biasanya. Mendukungmu dengan segenap kesungguhan. Bukan salahmu juga kalau jodohku datang terlambat, meski kamu harus yakin seperti halnya aku kalau jodohku itu akan datang suatu hari nanti. Sekali lagi ini hanya masalah waktu”

Tiba-tiba dia menghambur ke arahku kemudian memelukku dan berkata “ terima kasih atas pengertianmu”

Malam itu, di bawah jutaan bintang yang dihadirkan langit malam Bandung yang cerah dua orang laki-laki berpelukan erat. Tidak lagi ada beban dari laki-laki yang selalu memanggilku AA. Semuanya lenyap menguap seiring dengan angin yang mengigilkan tubuh karena malam semakin condong ke arah pagi.

Adikku akan segera menikah, melangkahiku.

Senin, 02 Agustus 2010

Hero

Dia ditinggal ayahnya ketika masih berumur 2 bulan. Umur yang pastinya belum bisa menginderai dengan pasti mana laki-laki yang akan dipanggilnya ayah kelak. Apalagi sejak lahir dia selalu ditinggal berperang, dan perang itu juga yang kemudian merenggut nyawa ayahnya. Timah panas bersarang di dada sebelah kanan laki-laki yang seharusnya akan dia panggil ayah. Laki-laki yang wafat ketika bertugas memberantas pemberontakan PRRI di Padang.

Sejak itu dia menjadi yatim. Beruntung ibunya sangat menyayanginya. Mendidik dan mengajarkannya untuk menjadi seorang pahlawan seperti ayahnya. Dia juga tidak lantas kehilangan figur seorang ayah karena beberapa tahun kemudian dia mendapatkan ayah baru. Ayah tiri yang juga menyayanginya dengan sepenuh hati. Dari bukan ayah biologisnya itulah dia belajar bagaimana menjadi seorang laki-laki, menjadi seorang ayah kelak yang kasih sayangnya tidak pernah luntur seiring usia.

Hari ini dia tepat berusia 54 tahun. Dan pada usia itu sebenarnya dia sudah menjadi seorang pahlawan.

Memang dia bukan pahlawan yang berperang melawan ketidakadilan. Bukan pahlawan yang namanya diagungkan karena pernah memanggul senjata memberantas segala bentuk pemberontakan. Tapi dia tetap menjelma menjadi seorang pahlawan, tanpa perlu sertifikat maupun pengakuan luas dari orang luar. Dia tetap seorang pahlawan, terutama bagi saya.

Pahlawan itu saya panggil Papih.

Hari ini Papih Saya berulang tahun yang ke-54. Pahlawan hidup saya yang telah mendedikasikan semua waktu dan pemikirannya untuk membesarkan saya, hari ini merayakan hari jadinya. Usia yang tidak lagi muda, tapi tetap bersemangat dalam menjalani hidup. Demi keluarga termasuk saya di dalamnya.

Dia, Papih saya, yang tidak pernah mendapatkan figur ayah kandungnya justru menjelma menjadi seorang ayah yang paling sempurna di mata saya. Ayah yang tahu bagaimana menempatkan diri menjadi seorang ayah, teman maupun sahabat bagi saya. Saya bangga terhadap dia, pemikiran dan dedikasinya. Selamanya.

SELAMAT ULANG TAHUN PAPIH...
Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan lahir batin, memberi rizki halal yang tidak pernah berhenti, dan menjadikan sisa umur Papih bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Amiin.

Terima kasih juga untuk tidak pernah segera meminta cucu dari saya, padahal saya tahu di umur yang sudah mulai senja pastinya Papih mengharapkan kehadiran cucu di tengah keluarga kita. Nanti yah Pih, soal cucu akan Apis usahan segera bagaimanapun caranya. Tapi kalau cucunya cina boleh kan ya Pih? (keukeuh)

I do love you Papih!

Rabu, 28 Juli 2010

Blog No Comment

Email dari seorang teman :

Apis, nampaknya masa-masa kejayaan taman aksara sudah mulai sirna yah? Memang sih lo masih produktif seperti dulu tapi coba lo lihat jumlah yang komen ditiap postingan yang lo buat. Makin hari makin berkurang, bahkan tidak menutup kemungkinan kalo suatu hari nanti nggak bakalan ada yang komen. Hehehe, knock on wood. Mudah-mudahan sih nggak. Becanda gue...

Pada kemana temen-temen lo yang dulu rajin drop komen itu? Kalo gue kan konsisten yah, dari pertama nemu blog elo emang nggak pernah komen. Tapi temen-temen lo yang dulu ngeramein jagad perblog-an kok jadi jarang kelihatan. Jangan bilang mereka udah nggak aktif di blog karena gue masih bisa lihat jejak MEREKA di blog-blog lain. Mereka drop komen disana, tapi nggak di blog lo. Ada apa yah? Lo sekarang musuhan sama mereka?


Hehehe, maafkan. Gue Cuma kepo. Tapi tenang, gue bakalan setia jadi pembaca blog elo kok mesti tetep bakal konsisten nggak pernah komen. Keep on writting yah lebah maduku....

Love,
Beruang Sirkus


Saya setengah ngakak selesai baca email dari teman yang memang terkenal kepo itu. Geli. Dia mengaku pembaca setia blog saya tapi sepertinya dia melewatkan beberapa bagian yang justru penting tentang blog ini. Bagian dimana saya hidup didalamnya, bagian dimana saya sudah berkomitmen dengan apa yang saya lakukan. Menulis.

Buat saya menulis bukan lagi menjadi suatu sarana untuk mencurahkan perasaan, bukan lagi cara untuk mengumbar sesuatu dengan deretan kata berirama. Buat saya menulis itu adalah kebutuhan. Menulis membuat saya lengkap sebagai manusia. Menulis membuat saya menghargai lebih diri saya sendiri, tanpa orang lain sebagai tolak ukurnya.

Menulis membuat saya belajar menjadi diri sendiri.

Soal taman aksara blog saya, saya tidak pernah merasa bahwa itu pernah mengalami kejayaan kemudian sekarang mengalami kemunduran. Blog saya memang mengalami metamorfosa karena saya juga tumbuh dewasa. Cara pandang saya terhadap sesuatu berubah seiring pertambahan usia. Memang masih sering saya kuak mengenai cinta, masa lalu, kesedihan dan perasaan terabaikan, tapi saya memandangnya dengan perspektif yang tidak lagi sama. Saya banyak belajar dari masa lalu, jadi ketika saya menulis tentang itu semua, saya seperti sedang memberikan testimoni dalam perjalanan hidup saya. Memberi nilai lebih atas apa yang pernah saya alami.

Saya bertanya pada benak saya, adakah keinginan untuk dikomentari ketika saya mempublish sebuah tulisan? Tidak. Hati saya menjawab tegas. Saya menulis untuk diri saya sendiri, bukan untuk orang lain. Ketika saya berbagi dengan orang-orang yang kebetulan membaca, saya hanya berharap mereka ikut belajar sesuatu bersama saya. Mungkin tidak bernilai, tapi tamasya hati tanpa disadari akan menimbulkan semacam turbulensi. Memporak-porandakan dengan ujung sebuah kelegaan.

Komentar saya anggap sebagai apresiasi lebih dari apa yang hati saya ingin utarakan. Komentar saya jadikan pemacu semangat untuk terus menulis. Tapi mohon diingat, saya tidak akan pernah berhenti menulis meskipun tulisan-tulisan saya tidak ada yang membaca ataupun mengapresiasi perantara komentar. Itu janji saya pada diri saya sendiri.

Mengenai teman-teman blog yang dulu, mereka masih ada di dekat saya. Mengerubungi dengan cara yang tidak biasa. Menjauh untuk kemudian melekat di hati selamanya. Memberi noktah-noktah warna pada transformasi saya sebagai anak manusia. Dan meskipun mereka teman-teman saya, tidak ada hak saya untuk menyuruhnya memberikan komentar dari apapun yang saya tulis. Mereka hidup dengan dunia mereka sendiri, ketertarikan sendiri terhadap ragam tulisan yang banyak dihidangkan tidak hanya oleh saya. Semua berdasarkan selera. Semua memiliki pangsa.

Karenanya saya tidak cemburu melihat mereka aktif di blog orang lain sementara tidak di blog saya. Cukuplah saya hidup dengan komitmen untuk terus berkarya. Menyulam kata dan menjadikannya sebuah prosa. Untuk saya. Selamanya.

Beruang Sirkus, terima kasih telah mengingatkan saya mengenai komitmen dan konsekuensi bukan sekedar mengenai tulisan dan komentar. Saya benar-benar berterima kasih.

Senin, 26 Juli 2010

Berubahlah!

Siapa bilang mencintaimu itu mudah?

Awalnya aku juga berpikir kalau mencintaimu itu mudah. Semudah menghela udara atau semudah mengucapkan kata tanpa muatan beban. Ternyata aku salah. Mencintaimu itu menyulitkan, membuatku harus memilih opsi-opsi yang seharusnya kuhindari.

Harusnya mungkin mudah, tapi entah kenapa sepertinya kamu selalu berlindung dibalik baju besimu. Harusnya mudah kalau saja kamu mengizinkanku untuk masuk lebih dalam, menelisik apa yang berkecamuk di hatimu. Membiarkanku tidak hanya sekedar menunggu di depan pintu yang memang sesekali kamu buka. Sesekali itu tidak cukup, karena belum banyak yang bisa aku gali dari sana.

Setiap orang punya rahasia. Setiap orang punya masa lalu yang tidak ingin dibagi bahkan ketika mereka sudah berpasangan. Dan aku menghargai itu, tak ada niatanku untuk mengetahui rahasia yang kamu simpan atau dengan sengaja menguak masa lalu yang mungkin ingin kamu lupa. Aku hanya ingin berperan seperti layaknya seorang kekasih. Tempat berbagi.

Bagaimana mungkin kamu tidak mempercayaiku seperti ini? Bukankah sudah kita bicarakan sejak awal bahwa tidak akan ada proses menghakimi tentang masa lalu kita masing-masing. Waktu tidak pernah berhenti di masa lalu, waktu terus berlalu dan dalam perjalanannya itu kamu bertemu aku. Tidak ada hak aku untuk mengetahui bagaimana kamu di masa lalu kecuali kamu yang menceritakannya sendiri. Aku hidup dengan kamu yang sekarang, itu yang penting.

Entah bagaimana lagi harus aku yakinkan bahwa aku benar-benar percaya padamu. Tidak cukupkah semua obrolan panjang sore itu ketika kita belum memilih untuk menjalani semuanya bersama. Bagaimana lagi aku harus membuktikan bahwa aku benar-benar jatuh cinta kepadamu, bukan sekedar jatuh kasihan seperti yang selalu kamu pikirkan. Buang pikiran jelek itu karena tak ada sedikitpun perasaan tersebut di hatiku. Aku tulus mencintaimu, belajar mencintaimu tepatnya.

Jalan kita tidak akan pernah mudah, kita tahu itu. Jangan kamu buat tambah sulit dengan selalu berlindung dalam sesuatu yang tidak aku mengerti. Berlari menghindar dari suatu keadaan tidak akan menyelesaikan masalah. Bertopeng kepalsuan tidak akan pernah menjadikanmu siapa-siapa. Berdamailah dengan keadaan meski aku tidak tahu keadaan apa yang kamu hindari.

Setiap kamu menghindar, setiap kamu berprasangka, kamu telah menempatkanku pada posisi yang justru mempertanyakan. Apakah masih layak sebenarnya cinta ini kita semai? Masih pantaskah kita berjalan beriringan ketika salah satu dari kita tidak saling mempercayai? Lama-lama keyakinanku goyah. Jangan berharap berlebihan kepadaku tentang sesuatu karena aku juga punya hati yang selalu bisa kuajak berdiskusi.

Berubahlah, tapi jangan demi aku. Berubahlah demi dirimu sendiri. Untuk kebaikanmu.

Kamis, 22 Juli 2010

Lirik dan Melodi

Aku baru ingat kalau aku masih punya hutang padamu. Janji untuk mengerjakan proyek bersama yang dulu kita sempat gagas berdua. Kamu sudah mengerjakan bagianmu sementara aku sama sekali belum menyentuhnya sampai akhirnya lupa berkepanjangan. Waktu itu aku bilang sedang banyak kerjaan sehingga tidak bisa langsung mengerjakannya.

Project itu rencananya akan menjadi master piece kita berdua, mungkin bisa jadi semacam kado bagi hubungan kita yang sebenarnya sulit dimengerti. Diskusi-diskusi panjang baik melalui lisan maupun media tulisan seringkali kita tempuh demi mengerjakan project tersebut. Kamu yang dengan sabar menunggu aku yang seringnya moody, sementara aku seringnya tiba-tiba kehilangan ide bahkan ketika euforia mempersatukan kita untuk berjalan pada akhir batas pencarian.

Kamu biasanya kemudian memelukku ketika aku berlaku seperti itu, kemudian kamu akan bilang “tidak apa-apa” atau “jangan dipaksakan” sambil mengecup ringan kening atau kepalaku.

Mungkin hubungan yang turun naik juga ikut mempengaruhi project kita itu hingga akhirnya terbengkalai. Aku yang kemudian lupa dan kamu yang mungkin akhirnya menyerah dan menganggap bahwa aku tidak bisa diharapkan, berhenti meretas mimpi yang pada awalnya kita yakini pasti bisa direalisasikan menjadi karya. Kita sama-sama dipaksa melepas harap seiring dengan hubungan itu sendiri yang menguap tinggal kenangan.

Awalnya kita bilang kalau kita pasti bisa profesional. Dapat mengesampingkan perasaan dalam menggarap karya itu. Tidak peduli kalau akhirnya cinta kita tidak tertamatkan, tapi karya itu harus lahir sebagai komitmen terhadap sesuatu yang pernah kita perjuangkan. Kamu bilang setidaknya hubungan kita bisa menghasilkan buah tangan. Oleh-oleh yang akan bisa dikenang ketika tua.

Ternyata harapan itu memang hanya harapan meski aku sadar bahwa semuanya bisa dimulai lagi, terlebih hanya tinggal separuh jalan untuk merealisasikannya. Separuh jalan yang menjadi bagianku untuk digarap. Separuh jalan sudah kamu tuntaskan maka sekarang tugasku untuk mempurnakannya. Tapi kadang masih ada keraguan yang menggelitik di hatiku, masihkah perlu semua ini dientaskan? Masih perlukah kita menjalaninya lagi sementara luka itu masih menganga? Mengurai benang kusut yang tak pernah menemukan pangkal.

Kini ketika kamu sudah benar-benar pergi, aku berfikir bahwa tidak ada salahnya untuk menyelasaikannya. Menamatkan sesuatu yang sudah kita mulai. Memberi akhir pada lambungan imaji yang dulu pernah kita perbincangkan di kamar kosanmu sambil sesekali berpegangan tangan.

Aku masih menyimpannya. Dua buah lagu tanpa lirik yang berulang kali kamu mainkan dengan pianomu malam itu. Kamu bilang, kamu yang membuat melodinya dan aku bertugas menautkan liriknya.Lirik yang sampai sekarang belum juga bertandang dan menetap pada melodinya. Lirik yang belum sempat terurai dan menjadikan melodi itu sebuah lagu sempurna.

Aku akan menepati janjiku padamu meski sekarang kamu telah pergi. Akan aku selesaikan semuanya, menyempurnakan lagu yang setidaknya bukan hanya bisa disenandungkan tapi juga kemudian dinyanyikan. Menamatkan apa yang pernah kita gantungkan pada sebuah asa bermotif kenangan. Aku berjanji padamu, kamu akan mendengarkan sebuah lagu.

Rasanya ingin sekali melihat dan mendengarmu memainkan piano seperti dulu...