Halaman

Kamis, 30 Juni 2011

Disambangi dalam Mimpi

Semalam aku bermimpi dia datang ke tempatku. Wajahnya bersih, bersahabat dan tanpa pandangan penuh selidik. Matanya hanya menyapu sekilas keseluruhan tubuhku, dan diakhiri dengan senyuman manis. Tak ada kesan menghakimi.

Ketika dalam mimpi itu dia datang, dia tak bersuara, tapi dari matanya aku bisa tahu banyak kata yang tercipta. Kebisuannya justru mengigilkan tubuhku, menggulungku dalam perasaan bersalah yang teramat sangat. Aku beringsut mencari pojokan untuk berlindung. Bibirnya yang tak berujar sepatah katapun justru menenggelamkanku dalam perasaan berdosa.

Aku duduk berhadapan dengan dia dalam dimensi yang sulit dimengerti. Kita tidak saling berbicara, tapi hati saling berujar. Hatiku yang berujar banyak tepatnya. Dia hanya menatapku, lagi-lagi tanpa ada kesan menghakimi.

Aku berdosa pada dia, hatiku berisyarat. Aku telah mengambil banyak kesempatan ketika dia sedang tidak berada di sana. Aku menikmati setiap momen yang tercipta, menyelesupkannya dalam kompartemen hatiku. Aku bermaksud untuk memiliki semua momen itu padahal justru dia yang paling berhak untuk mendapatkan semuanya. Aku mencoba curang dengan menganggap dia tidak ada, padahal jelas-jelas dia ada disana. Mungkin tidak mengamati, tapi instingnya aku yakin bisa merabanya. Makanya dia datang dalam mimpiku malam tadi.

Aku berulang kali minta maaf dalam mimpi tadi malam, tapi dia hanya meresponnya dengan senyuman. Senyuman yang aku sendiri tidak bisa mengerti apa artinya. Aku hanya melihat sebuah telaga ketidakrelaan disana, tidak rela karena aku berusaha merenggut kebahagiaannya. Matanya kemudian mengirimkan banyak isyarat melalui perantaraan udara, memintaku untuk mengerti posisi dia. Aku kemudian dipaksa bergulat dengan logika hati dan rasa, sehingga aku terengah-engah sebelum akhirnya berdiri pada satu keputusan.

Dengan tatapan tanpa menghakimi, tanpa selidik justru membuatku tak berdaya. Hatiku luluh lantak kemudian otak dengan kesadaran yang masih sedikit tersisa memerintahkanku untuk mulai mengemasi hati kecil perakku yang tak terasa sudah lebur. Beranjak untuk memberi kesempatan kepada dia bahagia dengan apa yang sesungguhnya sudah dia miliki dari awal. Aku hanya berusaha merebut kebahagiaan itu. Makanya meskipun tanpa kata, aku tahu dia hanya meminta sesuatu yang menjadi miliknya. Dan memang sudah saatnya aku mengembalikan semuanya. Mengembalikan kebahagiaannya.

Iya semalam aku bermimpi tentang dia. Kekasih resmi dari orang yang aku cintai.

Senin, 27 Juni 2011

Inikah Mati?

Inikah Mati?

Sebuah lorong gelap dengan cahaya samar di kejauhan saat kemampuan mata hanya terbatas sampai sana. Lorong yang banyak orang perbincangkan karena merupakan penghubung antara dunia kasat mata dengan dunia antah berantah yang mereka sebut akhirat. Sebetulnya aku ragu, dari mana mereka tahu tentang lorong ini padahal mereka belum mengecap mati.

Inikah Mati?

Saat raga merasa melayang seringan awan. Tanpa beban, tanpa persoalan. Katanya tidak berlaku lagi hukum gravitasi Newton yang membuat kita menapak pada tanah. Sesuatu yang juga katanya membedakan antara massa dengan berat. Entahlah apa itu karena aku sama sekali tidak mengerti. Yang aku tahu adalah sekarang aku melangkah bagai terbang. Tidak kurasakan gaya gesek yang biasanya menempelkan telapak kakiku pada tanah. Aku benar-benar melayang. Tanpa sayap.

Kerongkonganku berat. Tak ada lagi suara yang bisa aku keluarkan dari sana, padahal banyak sekali kalimat yang ingin aku sampaikan. Bukan protes karena aku ingat bahwa kalau mati itu sudah tiba maka katanya tidak ada lagi proses tawar menawar. Katanya sejago apapun aku berkelit kata, semuanya hanya akan sia-sia. Lagi-lagi katanya, karena sungguh ini adalah pengalamanku yang pertama.

Inikah Mati?

Kulihat seseorang dengan wajah berpendarkan cahaya menunggu di ujung penglihatan. Seseorang dengan wujud yang tidak pernah kukenali sebelumnya. Diakah yang disebut malaikat? Perpanjangan tangan Tuhan yang bertugas untuk menghitung berapa banyak kebaikan dan kenistaan yang sudah aku lakukan? Tiba-tiba aku gemetaran. Kepalaku berdenyut tidak karuan karena sebelum aku sampai pada sosok itu, kepalaku mencoba menghitung. Semakin mendekat, semakin baur hitungan yang sudah aku lakukan.

Aku tahu aku banyak dosa. Aku tahu hidupku nista. Aku meracau sambil terus berjalan mendekat ke arahnya. Mungkin sebenarnya aku tidak berjalan karena kakiku tidak berasa melangkah. Mungkin juga aku sebenarnya tidak mendekat karena dalam diriku aku merasa berlari menghindar. Sekuat tenaga aku beringsut mundur tetapi kenapa tetap saja jarak antara kami justru mendekat padahal dia tidak bergerak. Kepalaku semakin berdenyut. Telingaku semakin berdengung. Mataku semakin silau karena semakin dekat dia semakin berpendar.

Inikah Mati?

Bingung. Tidak ada sekelompok orang dengan jubah putih dan jubah hitam yang berdiri bersebrangan seperti yang aku lihat di film-film. Aku tidak bisa melihat mereka, padahal keberadaannya bisa dijadikan petunjuk bagaimana statusku sekarang. Mati ataukah bukan. Aku semakin limbung karena cahaya menyilaukan itu terus menghantam mataku, membuatnya kehilangan daya akomodasi sama sekali.

Cahaya benderang itu terus menghadang dan dengan sisa keberanian yang terkandung di badan, aku berusaha menantang. Kubuka mataku lebih lebar, tak peduli kalau itu bisa membutakan. Membakar retinaku sampai hitam. Aku tidak peduli karena entah dari mana datangnya, keberanian itu terhunus bagai pedang.

Cahaya itu masih menyilaukan. Tapi perlahan aku menyadari kalau itu bukan datang dari sosok yang tidak pernah aku kenali. Cahaya itu terasa akrab, datang dari balik terali di atas jendela kamarku. Cahaya yang setiap harinya sengaja kubiarkan menerobos untuk memberikan sensasi terang.

Syukurlah, ternyata aku belum mati. Itu hanya cahaya matahari.


Rabu, 22 Juni 2011

Kehilangan

Saya pernah memberinya langkah bimbang. Bukan sekali, tapi berulang kali.

Saya menyelusup perlahan diantara hubungan dia dengan kekasihnya yang hampir berakhir. Hampir, yang berarti belum benar-benar berakhir. Hubungan yang mungkin masih bisa dipertahankan dengan menggagas ulang tujuan mereka untuk bersama. Hubungan yang mungkin masih bisa diperbaiki dengan saling meraba hati masing-masing. Mungkin, karena saya saat itu tidak peduli. Saya memilih tetap menyelusup perlahan memanfaatkan keadaan.

Saya tidak menyuruhnya untuk memutuskan kekasihnya, tapi saya juga tidak lantas memberinya nasihat untuk mempertahankan apa yang sudah mereka jalani. Saya hadir sebagai saya sendiri, seseorang yang mencintainya diam-diam. Seseorang yang karena kedekatan beberapa saat merasakan ada yang lain dalam labirin perasaan, sesuatu yang tumbuh berawal dari persahabatan kemudian tanpa disangka menjadi apa yang disebut cinta.

Saya mencintainya dalam hening. Bukan saya tidak berani mengungkapkan, tapi saya bertahan demi sebuah alasan. Biarkan dia menyelesaikan apa yang memang harus dia selesaikan, entah itu bertahan ataupun memilih untuk mengakhiri jalinan. Saya tidak ingin menginterferensi karena saya tahu benar ketika saya melakukan itu maka akan bermuatan sebuah tujuan. Saya tidak ingin sejahat itu, saya hanya berusaha adil terhadap kekasihnya yang menurut dia sudah tidak lagi mengerti dirinya. Tidak dapat lagi memahami jalan pikirannya.

Saat itu saya menjelma menjadi seorang ksatria, selalu ada ketika dia ingin sekedar berkeluh kesah. Sebetulnya saya tidak ingin berada di posisi itu karena ada misi terselubung yang saya semai dalam hati. Tapi saya ingin dianggap kalau saya ada, bisa diandalkan. Setidaknya saya bisa meminjamkan bahu saya ketika dia ingin menangis, atau menggenggam tangannya ketika dia tengah bimbang. Saya tahu saya salah, karena diam-diam saya memanfaatkan keadaan. Saya salah karena saya berada di tempat yang waktu yang salah. Menyemai rasa di pematang yang belum sepenuhnya dibebaskan. Memagari pekarangan orang.

Ketika akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya, saya berada disana. Menjadi saksi saat bulir air mata menyublim dari kedua kelenjarnya. Saya disana menyaksikan betapa rapuh kelopak jiwanya. Dan sejak saat itu saya menggila, tidak lagi menyemai tapi menabur benih di setiap kesempatan. Saya memberanikan diri mengungkapkan apa yang berkecamuk dalam lobus hati, berusaha memberinya pengertian bahwa telah sekian lama saya menunggu saat ini. Membebaskan perasaan saya, membuka gerbang yang memenjarakan dan membuat saya kerdil.

Dia bimbang. Melayani kemudian beringsut mundur. Melayani lagi kemudian mundur dua langkah. Melayani dengan bentuk ketidakpastian yang membuat saya justru menebak-nebak kemana arah yang sebetulnya dia giring. Saya balas melayani dengan bentuk ketidakpastian yang hampir sama. Berjalan kadang bertolak belakang, kemudian bertemu di satu titik saat keduanya sama-sama lelah. Saling menyeka keringat yang meleleh di dahi. Entah untuk apa, karena semua masih dalam koridor ketidakpastian yang sama.

Di akhir pergulatan, dia memilih untuk pergi menjauh. Meninggalkan jejak yang sebetulnya masih dapat dibaui sampai sekarang. Memberi kenangan yang terus berputar-putar bagai gangsingan, sesaat berheti tapi kemudian dia putar lagi perantaraan kemunculannya yang terkadang tiba-tiba. Mengikuti bagai hantu, mengintil bagai anak kecil yang takut hilang di arena pasar malam. Dan saya terus terombang ambing turbulensi memori.

Saya tidak pernah benar-benar kehilangan dia, karena kehilangan sesuatu yang sebetulnya tidak pernah saya punya adalah absurd. Dan selayaknya rumput liar, akan ada saatnya bagi saya untuk menepi dan benar-benar pergi.

Senin, 20 Juni 2011

Bercermin

Tadi pagi secara selintas saya mendengar ceramah subuh di salah satu televisi, dan diakhir ceramahnya si penceramah menyimpulkan bahwa ada tiga hal yang harus disegerakan ketika waktunya telah tiba. Pertama, segerakan sholat ketika adzan telah berkumandang. Kedua, segerakan membayar hutang ketika kita sudah ada rezekinya. Dan ketiga, segerakan menikah ketika kita sudah bertemu jodohnya.

Saya seperti biasa kemudian menganalisis versi saya. Menimpali dalam hati sesuka saya, tapi mau tidak mau saya seperti diajak berkaca di cermin buram yang saya punya. Cermin yang selalu saya bawa kemana-mana untuk sekedar mematut diri. Melihat bayangan yang terbentuk ketika saya butuh untuk melihat seperti apa saya sebenarnya.

Kenapa saya senang mematut diri di cermin? Dan kenapa harus buram? Saya senang bercermin di cermin saya sendiri karena cermin tidak pernah berbohong. Bayangan yang terbentuk murni bayangan saya ketika itu, dan cermin tidak pernah menghakimi. Dia tidak pernah protes mengenai penampakan saya, atau topeng yang sedang saya pakai. Dia jujur. Kalau masalah buram, karena sering kali saya hidup dalam kebenaran menurut saya dan bukan menurut Tuhan.

Kembali ke kesimpulan penceramah tadi pagi. Menyegerakan sholat, menyegerakan membayar hutang dan menyegerakan menikah. Masalah sholat, saya sedang membenahi diri setiap hari. Berusaha menjalankan shalat dengan teratur tanpa meninggalkannya. Mungkin masih sekedar prosesi, rutinitas yang sudah menjadi bagian hidup tapi setidaknya itu adalah bentuk penghambaan saya terhadap Tuhan. Soal menyegerakan waktu pelaksanaannya, saya masih harus terus belajar. Seringnya saya tidak segera melaksanakannya ketika waktunya sudah tiba, ada saja alasan untuk mengulur-ulurnya.

Perkara membayar hutang, selama saya tidak kelupaan saya selalu membayar tepat waktu. Buktinya saya tidak pernah didenda bank penyedia kartu kredit saya. Saya mahir memberi pinjaman hutang tapi tidak mahir dalam proses penagihannya. Sudah beberapa pihak yang sampai sekarang tidak lantas mengembalikan pinjamannya. Dulu waktu memberi pinjam, saya jatuh kasihan, tapi setelah dipinjamkan mereka tidak jatuh kasihan terhadap saya yang harus menagih. Proses menagih kewajiban saya, tapi masalah mereka tidak mau mengembalikan pinjamannya itu urusan mereka. Mungkin mereka belum ada rezeki, makanya tidak lantas menyegerakan membayar hutang. Saya doakan semoga mereka dilimpahi banyak rezeki dan ingat akan hutangnya.

Ini yang paling spektakuler, yang paling banyak menyita analisis saya tadi pagi. Menyegerakan menikah ketika sudah ada jodohnya. Saya bercermin kemudia saya menyimpulkan versi saya, saya belum menikah atau mengulur-ngulur menikah bukan karena apa-apa tapi lebih karena belum ketemu jodohnya. Saya malah balik bertanya, apa sih rasanya ketemu jodoh? Bagaimana bisa timbul keyakinan dalam hati bahwa dia adalah jodoh saya? Seseorang yang akan menemani saya sampai mati. Saya belum sampai pada tahapan itu, itulah kenapa saya belum menikah sampai umur saya yang sekarang. Masih muda juga ( i wish).

Seorang teman menanggapi ketika masalah ini saya share di twitter. Katanya jodoh saya pasti ada, hanya saja belum sampai karena dia pakai angkot dan seperti kebanyakan angkot, sering ngetem. Jadi sampainya pasti lama. Saya mengamini dan turut meyakini kalau jodoh saya memang pasti ada. Kalau masalah disuruh menunggu, stok sabar saya masih banyak jadi tidak masalah kalau masih disuruh menunggu.

Selesai bercermin, saya kemudian bergumam sendiri “Saya tidak sabar menunggu hari pernikahan saya sendiri, ingin tahu jodoh seperti apa yang sudah dikirim Tuhan untuk saya sampai sebegini lama”

Jumat, 17 Juni 2011

(Lagi-Lagi) Tentang Hati

Jikalau aku memilih egois, tentu sudah kusuruh kamu pulang ke Indonesia sejak dulu. Atau mungkin justru tidak akan aku biarkan kamu pergi hanya untuk sekedar menunjukkan bahwa kamu bisa. Aku mengenal kamu lebih dari cukup kalau hanya untuk sekedar sampai pada satu kesimpulan bahwa kamu tidak akan bertahan lama. Aku tahu siapa kamu, orang seperti apa dirimu.

Bukan aku menyepelekan usahamu untuk membuktikan bahwa kamu sudah beranjak dewasa, sudah mampu memutuskan apa yang sekiranya bisa dijalani dan mana yang tidak. Aku mengerti bahwa cepat atau lambat, proses itu akan segera menghampirimu. Mengajakmu berpetualang dalam rimba yang penuh dengan tantangan yang harus dipecahkan. Tapi sering kali kamu tidak tahu apa yang sebenarnya kamu mau. Kamu hanya mengikuti egomu tanpa berpikir panjang tentang ini dan itu di akhir sebuah keputusan.

Aku menghargai keputusanmu, bahkan aku mendukungmu seperti biasanya. Aku tidak ingin bersikap egois, menghambatmu menjadi dewasa dengan caramu sendiri. Kenapa? Karena waktu terus berpacu seiring dengan uban yang mungkin tumbuh di kepalamu. Dan kamu memang harus menjalani semua itu, makanya waktu dulu dengan berat hati aku menyetujui keputusanmu untuk hengkang dari Indonesia. Sekedar untuk melihatmu tumbuh seperti yang mungkin kamu mau.

Cinta tidak boleh menjadikanku egois. Cinta tidak boleh menghambat seseorang yang aku sayangi tertambat pada titik yang sama yang justru akan membuatnya tidak bergerak kemana-mana. Cinta itu membebaskan, menggenggam tanpa cengkraman. Karenanya kamu bebas untuk bergerak semaumu, mengikuti alur yang sudah sebelumnya kamu cipta dalam ruang imajimu. Alur yang akan mengantarkanmu pada ujung yang pastinya kamu mau.

Cinta tidak boleh menjadikanku egois. Karenanya aku mengiyakan ketika kamu justru meminta aku menamatkan rasa itu sesaat sebelum kepergianmu. Cinta yang aku punya tidak boleh memberatkan langkahmu, membebani kakimu dengan sesuatu yang mungkin tidak perlu. Sudahlah, mengikhlaskan kamu untuk berlalu mungkin bentuk pengorbanan yang tidak harus dipermasalahkan. Aku dulu mencintaimu dan mau berkorban demi sesuatu yang kamu pikir akan lebih baik, dan aku bangga pernah melakukan itu.

Meskipun waktu sudah jauh berderap dari waktu itu, tapi lihat aku tidak berubah. Aku masih tetap sama seperti dulu, saat pertama kali kita bertemu di kantin kampusku. Kampus kita. Tidak banyak yang berubah, meskipun beberapa hati pernah singgah tapi masih kusediakan sedikit ruang untuk hatimu yang sekeras batu. Aku tahu dibalik semua kekukuhan yang kamu pelihara, kamu akan tetap kembali padaku seperti biasanya. Dan aku tetap menunggu.

Panggil aku bodoh karena menghabiskan waktu hanya untuk menunggu dan menunggu. Entah jampi-jampi apa yang kamu pernah ucapkan diatas namaku dulu sehingga aku sulit sekali berpaling darimu. Setia sampai saat ini memelihara rasa yang sebetulnya aku juga tidak tahu entah untuk apa. Disadari atau tidak kamu seperti memanfaatkan semua keadaan ini, menuai rasa nyaman tanpa ingin berkomitmen lagi seperti dulu. Dan bodohnya lagi, aku masih saja mau.

Ajarkan aku menjadi egois dan berani memintamu kembali ke Indonesia walau untuk alasan yang ambigu. Biarkan aku menyayangimu dengan caraku sendiri yang mungkin tidak bisa dimengerti. Jangan pertanyakan sebanyak apa cinta yang aku punya, cukup kau pegang pergelangan tanganku. Cari detak nadi dan hitung denyutannya. Sebanyak itu aku mencintaimu. Dulu, kini hingga mungkin nanti. Pasti.

Senin, 13 Juni 2011

Jealous

Ternyata saya cemburu, padahal saya tidak berhak untuk melakukan itu. Dia bukan siapa-siapa saya lagi, jadi ketika dia memulai hidupnya lagi dengan berhubungan dengan seseorang kenapa saya harus cemburu.

Mungkin benar kata teman-teman saya, cemburu yang saya rasakan akibat karena saya sampai sekarang ternyata belum bertemu dengan seseorang yang bisa mengisi hati saya. Saya merasa kalah oleh keadaan, kalah bersaing dengan dia yang ternyata lagi-lagi lebih dahulu menemukan pelabuhannya yang baru.

Picik memang kalau MISALNYA saya merasa seperti itu, tapi sumpah, tidak sedikitpun saya merasa tidak senang ketika dia menurunkan jangkar hatinya dan kemudian berlabuh. Cerita diantara kami sudah berakhir, diterminasi dengan cara yang dewasa. Saling sadar bahwa hidup harus terus berjalan meskipun tidak lagi bisa bersamaan. Hidup harus terus dijalani, dan apabila dalam perjalanannya bertemu dengan pasangan yang baru itu adalah takdir yang tidak bisa dihindari. Tidak mungkin kita selalu terpaku pada masa lalu.

Saya hanya cemburu. Entah untuk alasan apa. Terdengar klise pastinya apabila saya mempertanyakan kemudian seperti tidak tahu jawabannya dengan pasti. Disadari atau tidak, kalau saja saya mau melihat hati saya lebih dalam saya akan tahu jawabannya. Dengan JELAS. Jawaban yang sebetulnya sudah saya temukan sejak pertama kali menyadari bahwa dia sudah mulai menata hubungannya yang baru.

Kemudian hati saya tergelitik untuk bertanya pada diri saya sendiri. Jangan-jangan saya masih mencintainya seperti dulu? Tapi seperti biasa diri saya menolak untuk menjawab, seperti diberi pertanyaan retorik yang sebetulnya tidak membutuhkan jawaban. Tidak mau mengakui karena ada hal-hal yang membuat saya melihat lagi jalanan yang pernah kami lewati ketika masih bersamaan. Menggugat cerita-cerita yang bagai onak dalam daging. Menyakitkan ketika berusaha untuk disingkirkan. Dan mungkin karena itu saya lebih memilih onak itu tetap bersarang ketimbang harus menyingkirkannya dan merasakan kepedihan.

Saya mungkin bodoh. Melepas sebuah jalinan yang disadari atau tidak membuat saya berada di dalam bentuk kenyamanan yang luar biasa. Melepas seseorang yang sebetulnya mencintai saya jauh di luar kapasitas saya mencintai dia. Hanya gara-gara sedikit kesalahan yang sebetulnya dapat dengan mudah diabaikan, saya melepaskan genggamannya. Tapi itu bila dilihat dengan pikiran saya yang sekarang, dulu kesalahan itu tetap saja menyesakkan.

Menyesal di hari kemudian memang seringkali tidak ada gunanya. Tapi menurut saya tetap berguna. Setidaknya kita menjadi tahu bahwa kita pernah membuat sebuah kesalahan dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi di waktu yang akan datang. Pembelajaran yang berharga bahwa ternyata melepas seseorang yang sebetulnya berkualitas itu ternyata sebuah kesalahan.

Soal cemburu, biarkan itu jadi urusan saya sendiri. Saya harus dengan dewasa belajar menjalani konsekuensi atas apa yang pernah saya perbuat. Lambat laun rasa itu mungkin akan terkikis seiring dengan kebahagiaan yang dia reguk dari hubungannya kali ini.

Tidak ada yang melebihi kebahagiaan saya selain melihat dia, seseorang yang pernah mengisi labirin hati saya mendapatkan kebahagiaannya.

Terucap sebingkai doa agar hubungannya kali ini bisa mengantarkannya pada kebahagiaan yang selama ini dia cari. Amin.

Rabu, 08 Juni 2011

Backpacker

Saya orangnya tidak suka diremehkan, apalagi tentang hal-hal yang sebetulnya tidak tampak dari luar. Bukan berarti karena gaya hidup yang selama ini saya jalani kemudian orang-orang di luaran sana menilai bahwa saya tidak mau diajak ini dan itu yang nampak menyusahkan. Saya bisa kalau saya mau.

Tengah tahun lalu saya ditantang untuk melakukan perjalanan backpacker ke negara tetangga. Biasa, ada promo tiket pesawat murah untuk terbang di tahun berikutnya. Merasa ditantang dan diremehkan karena teman-teman saya menganggap kalau saya tidak akan bisa, maka saya pun mengiyakan. Jadilah tengah tahun lalu saya dan beberapa teman membeli tiket untuk perjalanan Backpacker saya yang pertama. Negara yang ditujupun sebetulnya tidak asing buat saya. Singapura.

Karena terbang untuk tahun berikutnya, saya sampai lupa kalau saya ada rencana untuk pergi backpacker tersebut. Kalau saja sebulan sebelumnya pihak maskapai tersebut tidak mengirimi saya email tentang konfirmasi ulang keberangkatan saya, mungkin saya akan lupa.

Jadilah minggu kemarin itu saya mengunjungi Singapura (lagi), bedanya dengan perjalanan sebelum-sebelumnya adalah kali ini saya beneran backpakeran. Pergi hanya dengan satu buah tas gendong, dan tanpa ada embel-embel masalah hati.

Selayaknya perjalanan backpacker, saya dan 4 orang teman menginap di salah satu hostel di dekat kawasan little India. Dan ini juga pengalaman pertama saya menginap di hostel yang satu kamar berisi 8 orang penghuni campur dengan tamu-tamu yang lain. Awalnya saya takjub dengan suasana kamarnya, tapi selama ada kasurnya pikiran saya aman. Dan untuk pertama kalinya pula saya tidur di ranjang tingkat bagian atas. Seru juga ternyata, karena harus mikir-mikir kalau mau banyak gerak takut si bule di bawah terganggu. Harus hati-hati pas turun tangga biar tidak jatuh dan tidak menimbulkan banyak suara.

Perjalanan kali ini, saya total mengikuti apa yang sudah direncanakan teman-teman saya. Turun naik MRT, jalan kaki, istirahat sambil curi-curi tidur siang sebentar di mushola, makan di tempat makan murah yang setiap mau makan yang pertama dilihat adalah harganya dan bukan menunya dan harus nasi. Semuanya menyenangkan, dan saya tidak mengeluh. Kecuali bagian gerahnya karena Singapura kemarin itu sedang benar-benar panas amat sangat. Tapi keseluruhan perjalan backpacker kemarin sungguh menyenangkan, dan saya tidak kapok. Catet, saya tidak kapok.

Bukan ke Singapura kalau tidak belanja, dan meskipun judulnya backpacker tetap saya dan teman-teman ‘menyempatkan’ diri untuk mengunjungi orchard semalaman. Dan karena ketertarikan masing-masing berlainan, maka kami memutuskan untuk berpencar dan berjanji untuk bertemu di tempat yang sudah ditentukan pada jam yang sudah ditentukan juga. Dan ini kesempatan bagi saya untuk melipir bertemu dengan calon mertua (tidak jadi) yang sebelumnya sudah janjian untuk bertemu. Sepertinya mereka masih sayang sama saya, meskipun anaknya sudah tidak (sedikit curcol). Mereka membawa saya makan di restauran yang lumayan dan membelanjai saya beberapa barang. Kata mereka mumpung Tangs lagi sale besar-besaran. Saya bukan memanfaatkan keadaan, tapi kalau dikasih saya tidak menolak.

Inti dari perjalanan kemarin ke Singapura, Backpacker itu hanya slogan saat pergi karena pulang dari sana saya tetap menjadi miss jing-jing. Tapi saya tidak kapok lho buat pergi backpacker, jadi kalau misalnya ada yang mengajak saya untuk backpacker lagi. Asal cocok dengan jadwal kerjaan, saya pasti mengiyakan. So, anyone???

Senin, 06 Juni 2011

Mari Berbincang

Kemarilah, duduk di sebelahku dan mari kita berbincang seperti layaknya dua orang dewasa. Dua orang yang sudah paham benar apa itu hidup sehingga tidak lagi ada kata yang beramunisikan amarah.

Aku dan kamu sama-sama sudah tahu bahwa dalam menuju ‘kita’ dibutuhkan banyak usaha. Diperlukan ribuan langkah berani untuk sekedar menjajal semua kemungkinan yang bisa dipertimbangkan. Dibutuhkan tidak hanya satu jalan karena jalan yang awalnya terlihat bisa saja berujung pada kebuntuan, atau ternyata jalan tersebut terjal sehingga menimbulkan sebuah ketidakmungkinan. Tapi aku dan kamu sama-sama berusaha, saling menggagas semua cara untuk sampai pada sebuah titik pemberhentian. Kita.

Aku dan kamu berproses. Saling meredam ego masing-masing, saling mengalah padahal mungkin sebetulnya tidak ada yang ingin merasa kalah. Tapi aku dan kamu melakukan itu, menghilangkan segala bentuk dominansi, sama-sama merasa memiliki tanggung jawab untuk sekedar membuat apa yang sudah dirintis setidaknya berguna. Tidak kemudian menjadi sia-sia karena terpentalkan oleh tindakan yang justru akan menjauhkan.

Sini, mari berbincang seperti layaknya dua orang dewasa. Dua orang yang sudah banyak pengalaman untuk urusan hati. Dua orang yang tidak akan saling mendendam ketika keadaan memaksa untuk melangkah mundur dan kemudian saling terpisahkan.

Dalam perjalanan menuju ‘kita’ proses mutlak dibutuhkan. Diperlukan aktivitas saling mengamati, menilik bagaimana sebetulnya kamu di mata aku dan sebaliknya. Proses saling mengenal karakter masing-masing untuk kemudian dipertimbangkan apakah memungkinkan untuk saling melangkah bergandengan. Dan itu tidak akan sebentar, dibutuhkan sedikit waktu ekstra untuk saling merefleksi. Saling meraba hati. Jadi jangan kamu umbar kata cinta terlalu dini, karena selayaknya manusia dewasa aku dan kamu sudah paham betul apa itu konsekuensi.

Kalaupun ternyata aku sekarang melangkah mundur, bukan berarti itu adalah keputusan yang tergesa-gesa. Bukan pula mengecilkan arti semua proses yang sudah kita jalani belakangan ini. Bolehlah kamu bilang aku menyerah, tapi aku merasa menyerah sekarang akan jauh lebih baik daripada nanti pada saat aku dan kamu sudah menjadi ‘kita’. Proses yang sudah aku dan kamu lewati ternyata tidak membawa ke sebuah titik nyaman, karena aku merasa banyak hal yang tidak bisa disatukan.

Jangan menutup mata, aku juga tahu benar kalau kamu merasakan hal yang serupa. Kamu hanya berusaha lebih, ingin memperbaiki ini dan itu sambil berjalan bergandengan. Kamu hanya ingin mempertaruhkan sesuatu yang sebetulnya kamu tidak yakin akan bermuara pada apa yang sebetulnya kita impikan. Aku tidak ingin seperti itu, karena pada akhirnya aku dan kamu hanya akan saling menyakiti. Dan aku tidak ingin menyakitimu.

Marilah kita berbincang selayaknya dua orang dewasa. Kita bicarakan apa yang memang harus kita diskusikan. Tidak saling memaksakan keinginan apalagi kita sudah bisa mereka akhir cerita yang akan menghadang. Aku dan kamu berhak untuk bahagia, dan mungkin kebahagiaan tersebut harus diraih dengan menempuh jalan yang justru saling menjauhkan.

Aku tidak ingin hidup layaknya kelopak bunga, entah itu kelopak mawar atau justru kamboja. Indah sesaat yang kemudian luruh dan menjadi hiasan pusara.