Halaman

Senin, 29 Agustus 2011

Setiap Habis Ramadhan

Setiap habis Ramadhan
Hamba rindu lagi Ramadhan
Saat - saat padat beribadah
Tak terhingga nilai mahalnya


Ramadhan akan segera beranjak meninggalkan kita. Bulan yang seharusnya saya isi dengan berbagai ritual ibadah yang akan mendekatkan saya dengan sang Khalik, pencipta saya. Tapi seperti biasa, saya sering kali alpa, mengabaikan esensi ibadah yang seharusnya diperbanyak selama bulan Ramadhan. Saya terlena dengan banyak hal. Masalah pekerjaan, masalah hati, masalah duniawi. Dan tanpa terasa saya akan ditinggalkan Ramadhan.

Setiap habis Ramadhan
Hamba cemas kalau tak sampai
Umur hamba di tahun depan
Berilah hamba kesempatan


Dalam kesadaran beramunisi penuh, saya tahu benar bahwa ada kemungkinan saya tidak bisa bertemu lagi Ramadhan tahun depan. Tidak akan ada lagi kesempatan bagi saya untuk mempertebal keimanan dengan memanfaatkan moment bulan penuh maghfiroh seperti yang Allah janjikan. Saya cemas, saya memintakan diberi kesempatan sekali lagi. Tapi sering kali saya zhalim, ketika saya diberi kesempatan saya tidak memanfaatkannya dengan benar. Apapun itu, di akhir Ramadhan tahun ini, saya tetap meminta diberikan kesempatan.

Setiap habis Ramadhan
Rindu hamba tak pernah menghilang
Mohon tambah umur setahun lagi
Berilah hamba kesempatan


Setidaknya beri saya umur setahun lagi untuk saya memperbaiki diri. Mungkin saya akan lalai seperti biasa, karena itu saya mohon dibimbing, diberi keistiqomahan dalam menjalankan keislaman saya secara kaffah. Saya tahu saya bukan nabi yang akan langsung diingatkan ketika saya berbuat salah, tapi setidaknya beri saya selalu kesadaran untuk berjalan di koridor yang Allah ridhoi. Berjalan dengan kebenaran menurut Allah dan bukan lagi kebenaran menurut saya, karena sering kali yang benar menurut saya justru salah besar di mata Allah. Untuk itu pulalah saya minta diberikan lagi kesempatan, setidaknya setahun lagi untuk saya membenahi diri.

Alangkah nikmat ibadah bulan Ramadhan
Sekeluarga, sekampung, senegara
Kaum muslimin dan muslimat se dunia
Seluruhnya kumpul di persatukan
Dalam memohon ridho-Nya


Saya akan merindukan Ramadhan. Saya akan merindukan saat-saat bagaimana saya menahan diri untuk tidak berkomentar tentang banyak hal. Saya akan merindukan bagaimana saya sekuat tenaga menahan pandangan dari sesuatu yang tidak pantas saya lihat. Saya akan merindukan Ramadhan. Bulan di saat saya sangat rajin mendahulukan sholat di awal waktu daripada berbagai kepentingan. Bulan yang menggembleng saya dengan mewajibkan diri sendiri untuk memperbanyak sholat sunnah dan bersedekah. Saya akan merindukan belenggu itu.

Sekarang di akhir Ramadhan, di saat-saat menuju kemenangan, rasanya tidak pantas kalau saya tidak minta dimaafkan. Meskipun saya membelenggu diri dari semua hawa nafsu, bukan berarti saya luput dari dosa ataupun perbuatan yang menyakitkan. Karenanya, dengan segala kerendahan hati saya meminta maaf lahir batin. Izinkan saya melebur segala kesalahan saya dengan dibukakan pintu maaf dari sekalian banyak orang yang pernah terhubungkan. Entah itu kesalahan yang sengaja maupun yang tidak sengaja, termasuk lintasan hati di dalamnya.

Bersama ini Apisindica mengucapkan :
SELAMAT IDUL FITRI 1 SYAWAL 1432 H
MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN

Semoga kita kembali pada kefitrian yang hakiki serta dipertemukan lagi dengan Ramadhan yang agung di tahun mendatang. Amin.

Rabu, 24 Agustus 2011

Sebuah Pelabuhan

Saya mencari pelabuhan,

Suatu daratan dimana saya tidak ragu untuk melempar sauh dan bersandar. Daratannya boleh sebuah pulau secara keseluruhan atau hanya sebidang pantai berpasir putih yang menjanjikan kenyamanan. Saya hanya ingin menepi, berharap untuk jangka waktu yang panjang karena ternyata saya bosan menarik jangkar kemudian mencari lagi tepian.

Sebetulnya saya sudah bersahabat dengan gelombang sejak lama, terombang-ambing dalam lautan pencarian. Kadang saya bergerak ke tepian ketika saya melihat ada daratan, tapi tak jarang saya terhempas kembali ke tengah padahal saya belum sepenuhnya mendekat. Daratannya menipu, mirip fatamorgana. Semakin saya mendekat, semakin saya yakin bahwa disana tidak ada pelabuhan yang saya reka dalam imaji. Saya kembali berkelana mencari.

Beberapa kali saya berlabuh, menemukan apa yang selama ini saya dambakan. Pelabuhan yang menjanjikan langkah terpadu menuju asa yang mungkin bisa direalisasikan. Kepadanya saya melempar jangkar keterikatan, mencoba menyelaraskan dua kepribadian agar bisa berjalan beriringan. Kepadanya saya menggantungkan harapan bahwa dia adalah ujung dari sebuah pencarian. Sebuah pelabuhan.

Tapi sebuah cerita selalu memiliki ujung, akhir yang masih bisa diurai meskipun dalam keadaan kusut sekalipun. Saya terombang-ambing lagi badai, angin memaksa saya untuk menarik jangkar dan terhempas lagi ke lautan. Meninggalkan daratan yang dulunya penuh pengharapan. Meninggalkan asa yang mungkin pernah tergambar di bibir pantai. Asa yang lambat laun terhapus ketika ombak menciumi butiran pasir. Menghapus jejak. Selamanya.

Sekarang, saya sedang menginderai adanya daratan terpampang menantang. Daratan yang saya yakini ada pelabuhan disana. Memang masih samar dan masih terhalang kawanan awan yang membentuk jelaga. Tapi entah kenapa kapal saya seperti tidak bisa dikendalikan, saya terus melaju mencoba menyibak kelabu. Saya terus berjalan padahal daratannya seperti timbul tenggelam. Dia mungkin ragu seperti halnya saya dulu. Belum yakin atas apa yang sebetulnya tengah dia rasakan tentang saya yang ambigu.

Saya memang melihat tepian untuk saya berlabuh, tapi saya juga belum sepenuhnya yakin untuk melempar sauh dan kemudian bersandar. Ketergesa-gesaan hanya akan menimbulkan gelombang, membangunkan laut dari tidur tenangnya yang panjang. Izinkan saya sesaat untuk duduk di buritan kemudian mengamati dari jarak yang sedemikian dekat. Biarkan saya menyulam benang-benang kepercayaan dan keyakinan bahwa dia memang sebuah pemberhentian dimana saya bisa meletakan hati saya disana. Tanpa ada keraguan.

Kamu juga saya izinkan duduk mengamati di tepian. Memilah dan menilai kelayakan apakah saya pantas untuk bersandar. Gunakan lampu di mercu suar sebagai pertanda ketika kamu sudah membuat sebuah keputusan. Wartakan pada angin bagaimana kata hatimu sehingga angin akan menggerakan gelombang dan membawa saya terdampar atau justru membuat saya karam. Apapun itu, keputusan tetap harus dibuat. Dan dalam prosesnya, saya akan menikmati pelangi yang menghubungkan saya dan kamu, tak peduli bagaimana hasilnya nanti.

Saya melihat pelabuhan, dan mudah-mudahan pelabuhan itu adanya di hatimu. Selamanya, sampai mati, karena sepertinya saya mulai menyadari kalau namamu memang jodohku.


Senin, 22 Agustus 2011

Mungkin Dia

Sampai saat ini sebetulnya saya sering bertanya, bagaimanakah sosoknya jodoh itu? Seseorang yang sudah dijanjikan Tuhan akan menjadi pasangan saya. Seseorang yang katanya diambil dari tulang rusuk saya yang mulanya menempel pada sternum, tulang dada. Seseorang yang ditasbihkan dalam suratan menjadi pendamping saya sampai mati.

Saya selalu bertanya tanpa kunjung ada jawaban. Dan kemudian saya bimbang.

Seringkali saya dirundung ketakutan. Bagaimana bila jodoh saya ternyata sudah meninggal ketika justru belum sempat kami beririsan. Bagaimana bila ternyata saya salah mengambil jalan yang ternyata justru menjauhkan saya dari sosoknya yang berdiri mengundang. Semua ketakutan itu saya pelihara dari mulai saya mengerti apa itu cinta sampai detik ini. Ketakutan-ketakutan yang sebetulnya tidak beralasan ketika saya percaya terhadap Tuhan.

Tapi saya manusia biasa. Gudang segala keraguan dan ketakutan.

Setiap saya menjalin sebuah hubungan, saya bertanya kepada semesta, bagaimana saya tahu kalau dia itu adalah jodoh saya yang telah Tuhan persiapkan? Bagaimana saya yakin kalau dengan dia saya akan menghabiskan sisa hidup saya, menjadi hamba Tuhan secara bersama-sama? Banyak bagaimana yang ternyata membuat saya limbung dan kemudian mengabaikan banyak pertanda. Tapi bukankah jodoh itu ketika saya abaikan dia akan datang lagi dan lagi dengan cara yang mungkin misterius? Saya percaya Tuhan tidak pernah tidur, jadi ketika saya salah membaca pertanda, saya akan kembali ditunjukan dan didekatkan kepada dia. Jodoh saya.

Katanya saya hanya perlu memupuk yakin. Mempersubur keimanan.

Sampai kemudian dia datang, sosok yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Hadir dari dunia yang tidak pernah terpikirkan akan saya jamah perantaraan senyumnya. Entah bagaimana awalnya, saya hanya merasa bahwa dia adalah orangnya. Beginikah cara Tuhan bekerja? Tanpa awalan Dia hanya menumbuhkan keyakinan yang sebelumnya seperti hilang tidak pernah terundang. Saya hanya merasa kalau bersamanya saya ingin menghabiskan sisa hidup saya. Bersamanya saya ingin membagi hidup saya tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat.

Jangan anggap saya seperti memudahkan. Berada di titik ini saya telah melampaui banyak persimpangan, pertentangan dan pertimbangan. Dan di ujung pencarian, hati saya tetap berujar bahwa dia adalah orang yang mungkin selama ini saya cari di setiap pergulatan. Dia adalah mungkin rusuk yang selama ini hilang dari urutan rusuk yang menyusun rangka badan saya. Memang saya masih menggunakan kata mungkin, karena keyakinan saya masih belum sepenuhnya utuh. Setidaknya saya mengalami kemajuan, belum pernah saya merasa seyakin ini ketika merintis sebuah hubungan. Bersamanya saya merasa dilengkapkan, bersamanya volume hidup saya mencapai batas maksimal.

Sekarang saya tidak lepas berdoa. Meminta diberi keyakinan yang terus berkembang kian matang. Meminta diberikan pertanda yang tidak lagi harus diraba, karena apabila hanya dipandang sudah nampak cukup meyakinkan maka saya akan yakin bahwa dia adalah orangnya. Jodoh saya. Seorang perempuan yang dikirim Tuhan dari dunia yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Seorang perempuan solehah yang kelak akan menjadi ibu anak-anak saya.

Tuhan, tolong saya dimudahkan agar saya tetap konsisten dengan perasaan yang sekarang tumbuh tidak kenal batasan. Dan tolong saya dibimbing agar saya tidak lagi terjerumus dan kembali pada episode-episode yang telah lampau. Biarkan itu menjadi sejarah saya, yang mungkin buram. Amin.

Jumat, 19 Agustus 2011

2 tahun Silam

Masih ingatkah kamu Ramadhan dua tahun lalu? Saat itu dengan tegas kamu mengatakan tidak untuk tawaran hati yang aku ungkapkan dengan terbata. Kamu bilang kamu tidak ingin menjadkan aku sebagai pelarian, meskipun sebetulnya tidak sedikitpun aku keberatan. Memang, saat itu kamu belum sepenuhnya lepas dari kekasihmu yang menurutmu hanya memberimu kekosongan. Kamu masih diambang keraguan diantara pilihan untuk tetap bertahan atau mengambil langkah menyudahkan.

Dan aku datang membuat runyam. Memperkeruh keadaan yang sedang tidak jelas juntrungannya. Menawarkan sebongkah hati untuk saling berbagi, mengulurkan tangan untuk saling berpegangan. Awalnya kamu memang gamang, melayani apa yang sedang aku lakukan. Tapi beberapa kali kamu berhenti, menengok ke belakang dan kemudian bimbang. Sesaat melepaskan genggaman, kemudian menyambutnya lagi dan berjalan berdampingan.

Saat itu aku tidak peduli. Aku memilih buta ketika kamu seringkali beringsut mundur dan menghampiri pacarmu yang kosong untuk sekedar menggugat. Tidak aku pedulikan perasaanku yang sebetulnya juga berdarah-darah, dipermainkan oleh sikapmu yang seringnya ambigu. Tapi aku bertahan juga entah untuk apa. Mungkin aku bodoh, tapi saat itu sepertinya aku tidak punya pilihan selain memperjuangkan apa yang aku rasakan sampai titik akhir yang belum jelas tergambar.

Saat itu ramadhan. Dan kamu menolakku. Memberiku kepedihan yang lumayan karena aku sudah terlanjur membelanjakan banyak hal. Mempertaruhkan persahabatanku dengan banyak orang yang justru menentang apa yang aku lakukan. Menurut mereka aku salah jalan, memboroskan perasaan terhadap orang yang tidak layak. Aku bergeming, memilih diam dan bertahan kepada kebodohanku mencintaimu yang masih bimbang dan belum mau memutuskan.

Aku memang salah. Datang seperti rautan yang memperuncing keadaan antara kamu dengan pacarmu yang kosong. Seperti hapusan aku ingin menghilangkan coretan cerita yang pernah kalian torehkan dalam putaran waktu terhitung bulan. Tapi kenapa kemudian kamu melayani? Tapi kenapa kemudian kamu sepertinya nyaman dengan apa yang aku lakukan? Kamu seakan memanfaatkan kebodohanku demi kepentinganmu.

Sampai aku tersadar ketika kamu akhirnya memutuskan untuk tidak lagi melayani. Memilih menjadi bagain kosong kekasihmu yang sering kamu ributkan. Aku menerima dan kemudian beringsrut mundur, memberi kesempatan bagi hatiku sendiri untuk tersembuhkan meskipun harus dengan cara menutup semua akses komunikasi denganmu. Aku tidak ingin kamu dilimbung bimbang, dan aku tidak ingin perasaanku terombang-ambing lagi dengan kebodohan yang bisa saja berulang.

Tapi kamu mengikutiku bagai hantu, bahkan sampai saat ini. Untuk apa kamu memfollow twitterku dan sering berkomentar tentang apa yang aku tuliskan? Untuk apa kamu berulang-ulang meng-add pin BB ku. Seperti tidak jera ketika aku hapus dan kamu meng-add-nya kembali, begitu seterusnya sampai aku bosan dan menyerah di ujung jalan. Kamu masih mengungkit cerita lama, menghadirkan perasaan yang sebetulnya belum purna menghilang. Kamu tahu itu, dan lagi-lagi kamu memanfaatkannya.

Sudahlah, aku tidak ingin melakukan kebodohan seperti saat ramadhan 2 tahun silam. Aku memang masih sendirian, tapi bukan berarti aku bisa kembali kepadamu yang sudah aku ibaratkan sebagai barang usang. Pantang bagiku mengorek-ngorek barang lama meskipun mereka menjanjikan rasa baru yang mungkin lebih menawan. Sekian.

Rabu, 17 Agustus 2011

Pagi

Menangislah, menangislah terus sampai kamu merasa beban yang membatu dihatimu terkikis hingga musnah. Bukankah itu fungsinya glandula lakrimalis si kelenjar air mata yang Tuhan ciptakan menggantung di kedua sudut kelopakmu? Membantu mengenyahkan apa yang menggelayut berat dihatimu ketika hati itu sendiri tidak lagi bisa diajak berkompromi. Menangislah, karena menangis tidak selalu menunjukan kalau kamu lemah. Kadangkala untuk menjadi kuat kita harus berteman dengan air mata.

Gunakan waktumu, tidak peduli kalau beberapa hari ini kamu habiskan waktumu untuk berderai tidak berhenti. Biarkan saja air mata itu membentuk jejak dan mengkristal di wajahmu. Setidaknya kamu akan merasa puas karena telah menumpahkan perasaanmu dalam denting kesedihan, atau mungkin justru penyesalan. Entahlah. Yang pasti menangislah terus ketika kamu merasa masih perlu, dan baru berhenti saat kamu merasa sudah cukup.

Aku belum bisa menyibak tirai kesedihanmu. Kamu masih bersembunyi di balik tameng besi seperti tempurung kura-kura yang kuat tersendikan antara plastron dengan epistronnya. Tempurung atas dan tempurung bawah. Kamu masih belum bersedia menguak apa yang menjadi kekhawatiranmu, kesedihanmu dan mungkin bisa jadi penyesalanmu. Aku mengerti, makanya aku memberimu keleluasaan. Tidak ada paksaan untuk kamu menceritakan apa yang sebetulnya kamu rasakan.

Biarkan aku menerka-nerka. Menelisik dari kumpulan prosa yang mengalir dalam dawai beraromakan cinta. Mungkin aku salah karena aku hanya meraba-raba, mungkin aku berlaku sok tahu karena hanya mengejawantahkan kumpulan kata menjadi sebuah premis yang mungkin akan kamu tentang habis-habisan. Aku hanya khawatir, tidak suka melihatmu terlarut dalam kesedihan panjang seperti sekarang.

Aku rasa semua ini karena pagi. Pagi yang kamu inderai lewat ujung cuping hidungmu. Pagi yang datang menurunkan embun yang ternyata memabukkan, sementara kamu terlanjur menyesapnya terlalu dalam. Kamu kemudian terlena karena embun itu menyejukan hatimu yang sedang dihadang kerontang akibat sebuah pengkhianatan. Pagi itu datang, membawa kegembiraan melalui sebuah pengharapan. Dan kamu hidup dalam pengharapan itu, sebut saja berlebihan. Mungkin.

Kamu hanya terbuai. Kamu tidak sadar kalau sebetulnya pagi akan berubah siang meski besok pagi pasti akan kembali datang. Kamu terlanjur asik mencumbui apa yang pagi hadirkan seperti ketika kamu memutuskan duduk di tepian danau sambil menikmati tarian angsa yang berputar penuh keindahan. Sambil kamu sesap terus udara pagi, kamu meretas banyak harapan yang tidak sempat terungkapkan. Kamu bertaruh atas dasar keyakinan yang lagi-lagi menurutmu patut untuk diperjuangkan.

Ketika pagi beranjak makin terang, kamu dilimbung silau. Tidak siap dengan berbagai kemungkinan yang sebetulnya sudah kamu sadari dari awal. Akhirnya kamu hanya bisa bersedih seperti sekarang karena ternyata kenyataan tidak sejalan dengan apa yang kamu harapkan. Pagi ternyata tidak abadi, pagi ternyata termiliki, dan pagi ternyata punya jalannya sendiri.

Apapun itu, aku harap kamu belajar sesuatu. Tidaklah mudah menurunkan sauh untuk berlabuh meski perlahan tanpa cukup perbekalan. Tidak ada sebuah negeri yang berisi hanya sepenggal pagi, sehingga kamu harus siap berbagi dengan siang, sore bahkan malam. Dan kalau pagi ternyata memutuskan untuk berjalan di pematangnya tanpa kamu dalam gandengan, maka cukup kamu ikhlaskan. Karena pasti akan datang pagi-pagi lain yang membawa kepastian di hari-hari mendatang.

Menangislah. Kalau perlu sampai kamu tertidur karena letih. Tapi kamu perlu tahu bahwa disini masih ada aku, sahabat yang mengamatimu dari jauh. Yang siap untuk mendengar keluhanmu ketika kamu sudah merasa perlu dan mampu. Aku berjanji tidak akan menghakimi, karena seperti halnya kamu, aku juga pernah terlena sebuah negeri bernama pagi.

Senin, 15 Agustus 2011

Ingatan tentangmu

I miss you, still.

Sebaris kalimat pembuka yang aku terima dari emailmu semalam. Email yang membuatku tersenyum sendiri dan mengingat sebuah episode tentang kita. Dulu. Episode yang (lagi-lagi) terpaksa ditamatkan karena waktu tayangnya yang sudah habis. Bukan karena kita tidak ingin memperpanjangnya menjadi season 2 seperti halnya sinetron di Indonesia, tapi saat itu kita sama-sama berdiri di tingkat kewarasan penuh. Sadar bahwa semua akan sulit untuk diperjuangkan.

Email semalam adalah perangkat komunikasi kita yang sempat terputus beberapa tahun lalu. Kita sama-sama berhenti berkirim kabar bahkan untuk saling mengucapkan selamat ulang tahun. Kamu yang meminta, katamu akan sulit untuk berhenti memikirkan tentang kita apabila kita masih intens berkomunikasi. Aku setuju, guna menjaga perasaanmu. Tidak ingin lagi ada kegiatan saling menyakiti, cukup bagiku pernah menyakitimu sekali waktu itu. Waktu aku akhirnya meninggalkanmu di bandara.

Kamu membuka emailmu dengan pertanyaan-pertanyaan ingatkah aku? Tentu saja aku ingat. Semuanya. Kamu dan memorinya masih menempati sepenggal ruang di dalam ingatanku, selamanya akan begitu. Aku tidak ingin menghapusnya dengan alasan apapun. Kamu terlalu istimewa untuk disingkirkan dengan mudah, terlalu indah untuk tidak dikenang sebagai masa lalu yang mendewasakan. Kamu akan tetap begitu, istimewa dan indah.

Aku ingat bagaimana kamu mengkhawatirkanku saat aku menjalankan puasa di tengah musim panas yang melelahkan. Aku ingat bagaimana pertengkaran-pertengakaran kita ketika kamu bersikukuh menyuruhku membatalkan puasa karena katamu wajahku terlihat pucat. Aku ingat semuanya. Bahkan aku ingat bagaimana kamu menemaniku berbuka dan sahur sambil mengantuk di meja makan apartemen kita. Mukamu lucu ketika itu, ada sungkan tapi kamu merasa perlu. Perpaduan antara keberatan dan rasa sayang.

Katamu, kamu kemarin teringat aku karena ada mahasiswamu yang juga melakukan puasa. Dan itu seperti memacu ingatanmu untuk menaiki mesin waktu dan kembali ke masa lalu. Masa-masa yang pernah kita lalui bersama yang di dalamnya terdapat irisan bulan puasa yang aku jalankan bersamamu. Ya bersamamu, karena kadang kamu juga melakukan puasa meskipun sering siang-siang aku terima sms mu yang mengabarkan kalau kamu minum karena tidak kuat, atau kamu yang meminta ijin untuk makan duluan pada jam-jam terakhir kita melakukan puasa.

Semua ingatan berlarian minta ditayangkan dalam gambar kenangan. Mungkin itu juga yang kamu rasakan disana, berhenti pada titik-titik memori tentang kita. Tentang kita yang ternyata harus mengubur impian untuk terus berpegangan, saling berbesar hati untuk melepaskan mimpi yang kita genggam bersamaan. Semua demi tujuan yang tidak bisa lagi kita perjuangkan, tujuan yang ternyata mengharuskan kita berjalan berlawanan.

Tapi seperti yang kamu bilang dulu ketika kita berpisah di bandara, tidak pernah ada yang sia-sia dengan cinta. Tidak ada yang salah ketika kita memutuskan untuk tidak lagi beriringan. Semua sudah ditasbihkan, semua hadir karena alasan. Dan katamu butuh banyak alasan untuk melepasku waktu itu. Masa studiku yang telah berakhir dan mengharuskanku kembai ke Indonesia, kariermu yang mulai menanjak dan tidak akan pernah gampang untuk ditinggalkan, semua jadi alasan yang mengantarkan kita pada perpisahan. Tapi kita sudah sama-sama dewasa, tidak ada lagi keegoisan dalam keputusan yang kita buat. Semua sudah dipikirkan.

Ramadhan tahun ini kamu datang lagi, perantaraan kalimat-kalimat maya di layar komputerku. Saling mengenang satu sama lain untuk alasan yang mungkin sama. Demi masa lalu. Soal kerinduanmu, jangan khawatir. Aku juga merindukanmu dengan caraku sendiri yang mungkin tidak akan kamu mengerti.

Kamis, 11 Agustus 2011

Ayo Sekolah!!

Baru baca Kening, bukunya Rakhmawati Fitri alias Fitri Tropika. Di tulisannya yang berjudul “Hello Good bye”, tepatnya di halaman 101 ada kalimat seperti ini: “ Jangan Cuma berwacana! Kamu mau lanjutin sekolah ke luar tapi bahkan nyari schoolarshipnya aja belum, Start to act, no talk only!”

Dan gue rasanya seperti ditampar berulang-ulang. Panas. Gue disindir habis-habisan sama kalimat itu. Selama ini gue hanya berwacana untuk melanjutkan studi, tapi nggak banyak tindakan yang udah gue lakuin. Termasuk menghubungi professor-professor itu. Bawaannya males, bawaannya keder, bawaannya nyerah duluan. Nggak keukeuh kayak waktu dulu.

Lama nggak belajar formal bikin gue males. Bikin otak gue mutung. Bikin gue nggak percaya diri apa iyah gue masih bisa belajar lagi kayak dulu. Gue tau itu cuma ketakutan gue aja, tapi beneran, bekerja itu bikin otak gue berhenti membentuk lekukan-lekukan baru buat nyimpan memori. Aus.

Dan untuk studi lanjutan itu, gue udah nggak bisa pindah dari bidang ilmu yang gue gelutin di 2 tahapan sebelumnya. Sudah terlanjur terperosok jauh, jadi mau tidak mau, suka tidak suka, gue harus ngambil bidang ilmu itu lagi. Ilmu yang menurut kebanyakan orang tidak cocok sama sifat gue yang pecicilan dan banyak omong.

Kalau ditanya kenapa gue suka sama biologi, gue juga nggak tau jawabannya. Tiba-tiba jatuh cinta aja, dan keukeuh pengen kuliah di bidang itu. Gue nggak peduli waktu temen-temen gue sangsi kalau gue bakal tahan dengan ilmu itu. Mereka malah bikin taruhan berapa lama gue bakal tahan kalau misalnya gue jadi ngambil kuliah di jurusan biologi. Sialan.

Gue bersyukur hidup gue penuh dengan keberuntungan. Jadi ketika akhirnya gue bisa kuliah dan masuk tanpa tes di Perguruan Tinggi ternama di kota gue, gue anggap itu keberuntungan. Atau bisa jadi hasil kasihhani panitia penerimaannya yang jatuh hati sama muka gue yang memelas. Apapun itu, gue bersyukur. Dan seperti bisa ditebak, gue kuliah di jurusan BIOLOGI.

Keberuntungan gue nggak berhenti disitu. Gue beruntung bisa menyelesaikan studi gue tepat waktu, tanpa harus mengulang salah satu dari mata kuliah yang gue ambil. Memang sih di tahun pertama kuliah gue sempat keteteran meskipun nggak sampai harus mengulang. I do really hate physic and calculus, jadi bertemu dengan mereka di 2 semester awal cukup bikin kehidupan remaja gue yang cerah ceriah seperti di neraka. Lebay.

Habis lulus, beruntung bokap gue masih mampu dan menawarkan diri untuk memberikan beasiswa lanjutan ke jenjang berikutnya. Iya sih nggak sampe mampu nyekolahin ke luar negeri, tapi gue anggap itu anugerah. Dan lagi-lagi gue mengambil bidang bioteknologi mikroba. Bidang yang lebih khusus dari biologi. Nggak tahu kenapa nggak kepikiran aja buat ngambil manajemen seperti yang disarankan banyak temen gue. Kadung cinta gue sama biologi. Jadi walhasil bergelutlah gue dengan per-DNA-an yang menurut nyokap gue ilmu abstrak yang bikin lieur alias pusing.

Beruntung lagi gue bisa lulus, kali ini tidak tepat waktu tapi malah prematur. Kurang beruntung apa coba gue? Dan mulailah tragedi dimulai. Indonesia belum siap mengindustrialisasi bioteknologi seperti halnya negara maju. Nyari kerja setengah mati gue, nggak dalam negeri nggak luar negeri. Semuanya susah. Terpikir buat lanjutin sekolah lagi aja kayak yang disaranin pembimbing gue. Dia lagi banyak proyek dan gue disuruh ngerjain sambil dijadikan tema disertasi, gue berpikir dan mentok di kondisi buat apa? Buat apa gue jadi doktor kalau belum jelas mau jadi apa? Memang setelah jadi doktor gue bakal gampang nyari kerja? Memang setelah jadi doktor kampus gue bakal merekrut gue jadi dosen tetap? Dan diujung kegamangan, gue menemui tidak.

Akhirnya gue memutar haluan. Gue kerja yang masih ada bau-baunya biologi tapi tidak bersentuhan langsung. Dan terus terang, itu semua bikin ilmu gue sedikit-sedikit terkikis habis. Sampai akhirnya gue tersadar kalau semua ini tidak boleh dilanjutkan, gue masih punya idealisme yang harus diperjuangkan. Menjadi doktor. Ketika salah satu kementrian itu membuka kesempatan penerimaan pegawai untuk background ilmu gue, gue nggak lagi berpikir. Gue harus coba, sekarang atau nggak sama sekali.

Gue beruntung lagi, dengan bekal pengetahuan bioteknologi gue yang sudah di level entah kemana, gue berhasil meyakinkan para pewawancara bahwa gue mampu dan bisa. Mungkin gue yang beruntung, atau lagi-lagi mereka yang kasihan akhirnya gue diterima. Sekarang gue bekerja di bidang bioteknologi sesuai dengan background pendidikan gue.

Gue mau sekolah, gue mau sekolah. Semangat itu yang dulu membuncah di dada gue. Semangat yang seiring waktu melempem kayak kue apem kelamaan direndem saus kinca. Dengan load kerjaan lab dan lapangan yang serba padat, yang bikin gue harus hilir mudik banyak kota dalam waktu yang ketat bikin gue keasikan selain bikin gue kena tipes yang berulang. Keinginan buat sekolah seperti terabaikan, seperti masuk ke prioritas kelas dua.

Tapi gara-gara baca kening, gue seperti disadarkan. Selama ini gue hanya berwacana tanpa banyak bergerak. Nggak ada usaha memperbagus lagi kemampuan bahasa gue yang juga sudah menguap, nggak ada keinginan untuk memperbaharui proposal riset disertasi gue yang mungkin sudah kadaluarsa dan tidak kekinian. Mungkin sekarang saatnya gue buat bangkit, buat terbangun dari kenyamanan ini. Tolong gue diberi semangat dan didoakan.

Ayo sekolaaaaaaaaaaaaaaaaaah!!!!

*) Maaf curhatnya kepanjangan

Senin, 08 Agustus 2011

Melupakan

Aku bertanya pada kelopak kamboja bagaimana caranya menghapus cinta? Tapi belum sempat menjawab, kamboja yang awalnya menawan luruh dihempas angin dan membentur tanah.

Aku beralih pada angin yang menghempas kamboja. Pikirku dia lebih hebat ketimbang helai petal kamboja yang rupawan. Aku bertanya, bagaimana caranya menghapus cinta? Dan lagi-lagi ketika angin belum sempat menjawab, dia sudah berubah menjadi badai yang memporak-porandakan. Menyapu apa yang dilewatinya dan menimbulkan kesengsaraan.

Aku menantang badai. Berdiri di tepian curam tebing yang terjal. Bukan untuk mengajaknya berkelahi atau bertukar pemikiran, aku hanya ingin bertanya bagaimana caranya menghapus cinta? Tapi ternyata badai tidak datang berketerusan, badai hanya sesaat menyapu debu di jalanan. Bersama hujan yang rintiknya berubah perlahan dia ikut menghilang. Dan biasanya sebelum menghilang dia mengundang matahari.

Sebelum bertanya pada matahari, aku bertanya pada hati, dapatkah matahari menjawab pertanyaan bagaimana caranya menghapus cinta? Sepertinya tidak. Matahari akan tergelincir kala senja, memberi kesempatan kepada bulan untuk menghiasi langit. Bahkan bulan tidak pernah egois, dia akan mengajak ribuan bintang untuk dihadirkan pada saat yang bersamaan. Berbagi lautan hitam yang tidak bisa dibingkai mata. Jadi sepertinya akan sia-sia kalau aku bertanya kepada mereka bagaimana caranya menghapus cinta.

Aku hanya ingin hari itu segera datang. Hari dimana akan aku buktikan kalau aku berani menjawab tantanganmu. Mungkin terlambat, karena seperti aku bilang aku tidak ingin tergesa-gesa. Tidak mudah mengenyahkan sesuatu yang sudah aku pelihara dalam rentang waktu yang terus mengalir dalam peredaran darahku setiap harinya. Tidak mudah mencampakkan sesuatu yang pernah aku reguk keindahan di dalamnya. Kalaupun pernah ada rasa sedih dan kecewa, aku anggap itu seperti jamu yang justru menguatkan. Menginduksi sel-sel limfosit untuk menjadi pejuang melawan bibit penderitaan.

Tidak mudah memang, kamu tahu itu. Dan kamu memanfaatkannya. Datang dan pergi sesukamu tanpa pernah mau mengerti apa yang sebetulnya aku rasakan. Kamu tidak ingin pasti, tapi kamu ingin dihadirkan ketika kamu merasa perlu. Kamu merombak konsep matematika bahwa f(x) : 2x + 5 = bukan 2. Ketika kamu menganggap dirimu kuat, kamu menjauh seperti tak terengkuh. Tapi ketika hatimu sedang gundah, kamu datang lagi memporak porandakan pondasi yang aku bangun di dasar perasaan. Semua gara-gara rasa yang aku pelihara. Cinta.

Kamu pernah bilang dan sesumbar kalau aku tidak akan pernah bisa melupakanmu. Kamu bahkan menantangku untuk melakukannya, dan seperti sudah bisa kamu tebak aku tidak mampu. Bagaimana aku bisa lupa kalau kamu mengikutiku bagai hantu. Menyelusup ke dalam mimpi-mimpi terlarangku dan ikut mengalir dalam arteriku perantaraan ikatan oksigen dan haemoglobin. Mengisi setiap sel dalam tubuhku, membuatnya keracunan karena kamu menghindari masuk empedu.

Karenanya aku bertanya, pada kelopak kamboja, pada angin, pada badai dan belum sempat pada matahari serta bulan bagaimana caranya menghapus cinta? Mengikis perlahan apa yang sudah ditasbihkan berinteraksi dengan mereka. Kelopak kamboja terkikis angin, angin terkikis badai, dan badai terkikis hujan yang semakin perlahan. Mereka bisa sementara aku sepertinya mengalami kebuntuan. Stuck berada di titik yang sama sejak lama.

Aku ingin hari itu segera datang. Hari yang kurencanakan untuk menjawab semua tantangan. Hari dimana tanpa ragu aku akan berkunjung ke tempatnya tinggal. Tidak perlu berteriak, cukup berbisik. Aku akan bilang, kalau mulai hari ini aku akan melupakanmu. Pelan-pelan.

Jumat, 05 Agustus 2011

Rumah

Rumah itu aku bangun dari puing-puing kepercayaan. Hasil dari aku memecahkan celengan yang rajin aku isi dengan serpihan-serpihan doa tanpa nama. Rumah yang wujudnya mungkin masih terlalu sederhana tetapi setidaknya sudah ada pintu dan jendela yang akan memudahkanmu masuk dan menelisik apa yang sudah aku persiapkan.

Rumah itu aku susun dari bongkah-bongkah pengharapan. Dengan telaten aku rekatkan satu per satu dengan embun hasil gutasi rumput-rumput di halaman. Mungkin tidak kokoh, tapi setidaknya akan melindungi kita dari angin yang berhembus kencang. Bisa jadi ada yang masih bisa lolos masuk ke dalam, tapi percayalah bongkah harapan yang aku susun menjadi rancangan akan menyelamatkanmu dari gigil berkepanjangan. Setidaknya sementara. Kamu hanya perlu percaya.

Rumah itu tidak beratapkan genting atau rumbia. Aku tutup bangunan itu dengan helai-helai cinta yang aku anyam dengan penuh perasaan. Meski begitu, tidak usah khawatir, tidak akan kamu rasakan sengatan matahari atau guyuran hujan yang akan membawa penderitaan. Cinta yang aku punya membebaskan. Melindungi apa yang kelak aku punya termasuk kamu di dalam irisannya.

Masuklah tidak perlu ragu. Tidak usah menilai terburu-buru apalagi ketika kamu belum sepenuhnya melangkah maju. Silahkan amati apa yang sekiranya kamu ingin tahu, dan jangan sungkan untuk mengajukan pertanyaan apabila ada sesuatu yang tidak sesuai dengan bentuk dan ruang. Aku memberimu kebebasan untuk itu semua. Datang, melangkah masuk, menilai kemudian memutuskan. Jangan jadikan beban karena semua itu memang proses yang harus dilalui.

Kalaupun kamu memilih untuk keluar lagi dan hanya berdiri di halaman, aku tidak akan menyesalkan. Rumah yang kubangun dari puing-puing kepercayaan, bongkahan pengharapan dan beratapkan anyaman rasa cinta sudah aku gunting susunan sarafnya yang menghubungkan isi kepala dengan sekepal daging bernama hati. Aku akan membiarkan mereka berjalan masing-masing tanpa saling terkoneksi. Tidak akan ada sakit hati ataupun amarah sekalipun.

Jangan terlalu lama berdiri di halaman. Karena aku harus mencari kesempatan baru. Silahkan beranjak dan keluar batas pagar, kalau perlu naiklah kereta yang akan lewat pada jam berikutnya dan tidak perlu menengok kembali. Jangan pikirkan aku karena aku akan baik-baik saja. Aku hanya menjaring setiap peluang yang datang, mengajaknya mampir untuk berbincang tentang banyak hal. Kalaupun ternyata yang ditemui adalah kebuntuan maka aku akan mengangapnya itu seperti halnya kapur barus. Nyata kemudian menyublim menjadi gas yang tidak kasat mata. Kalaupun masih meninggalkan aroma, maka aku tinggal membuka pintu dan jendela lebar-lebar. Waktu akan menerbangkannya, entah kemana.

Rumah itu aku bangun atas nama masa depan. Sedikit demi sedikit aku benahi agar kelak nyaman untuk dihuni. Mengganti dan merombak perabot pada waktu-waktu tertentu ketika ternyata keberadaannya menyulitkan peluang untuk datang bertandang. Kalau suatu hari kamu melihat aku sedang membersihkan lantainya dengan sapu, anggaplah aku sedang mengenyahkan remah kenangan dan siap menanti cerita yang baru.

Rumah yang aku bangun itu mungkin sederhana. Berdindingkan tempelan puing kepercayaan dan bongkahan harapan yang saling direkatkan oleh doa dan embun hasil gutasi rumput di halaman. Tapi semua itu aku akan persembahkan untukmu kelak, jodohku.

Selasa, 02 Agustus 2011

Laki-Laki yang Mencintaiku

Laki-laki itu mencintaiku dengan cara yang tidak dimengerti. Tidak biasa untuk ukuran cinta yang sebetulnya dia punya. Tanpa kata dia menunjukkan bongkahan perasaannya, tanpa suara dia mencurahkan sayang yang tidak terduga. Tanpa perlu aba-aba dia tetap mencintaiku. Dengan caranya.

Anehnya, aku tahu kalau dia mencintaiku. Tanpa syarat. Karenanya aku tidak banyak menuntut ini dan itu.

Aku nyaman berada dekat dengan laki-laki yang mencintaiku dengan cara yang tidak dimengerti itu. Merasa dilindungi, merasa mempunyai pahlawan yang akan rela memanggangkan tubuhnya dalam bara ketika aku dalam bahaya. Tanpa harus aku minta. Dengannya aku merajut tawa, memintal kesedihan, dua hal yang dalam hidup ini tidak bisa dihindari.

Kadang aku berkonflik dengan dia, dan dia lebih banyak mengalah. Menurunkan sedikit egonya hanya untuk melihat aku tersenyum kembali. Laki-laki yang mencintaiku dengan cara yang tidak dimengerti itu sepertinya tidak sudi berlama-lama melakukan konfrontasi langsung denganku. Terlalu besar cinta yang dia punya hanya untuk sekedar tidak saling bertegur sapa atau saling berlari menghindar. Dia selalu mendekat duluan ketika perang dingin antara aku dan dia tengah kejadian. Berusaha berdamai dengan cara yang lagi-lagi sukar dimengerti.

Aku membalas cintanya. Dengan lebih sederhana. Dengan kadar yang sepertinya tidak sebesar yang dia punya. Dan aku mencintainya dengan cara yang pasti dia mengerti, apalagi sering kuumbar kata cinta ke udara. Dan kalaupun menguap sampai jauh, hujan akan mengembalikannya untuk jatuh di pelataran hatinya.

Aku bangga pernah dan masih mencintai laki-laki itu. Tidak peduli dia mencintaiku dengan caranya sendiri yang tidak aku mengerti.

Hari ini, laki-laki itu bertambah usia. Putaran-putaran waktu sudah mengantarkannya pada berbagai macam persinggahan, tapi dia tetap kembali kepadaku. Mencintai dengan cara yang tidak dimengerti.

Di ulang tahunnya hari ini, aku berdoa semoga dia diberi keselamatan dunia akhirat. Diberi umur panjang yang berkah dan dilimpahi kesehatan agar tetap bisa mencintaiku dengan caranya yang tidak bisa dimengerti. Aku juga berharap bahwa di undakan umurnya yang sekarang dia terus bertambah bijaksana, sehingga bisa membawa aku ke jalan kebaikan untuk seterusnya.

Tidak ada kado istimewa yang bisa dipersembahkan selain berusaha untuk terus menjadi yang terbaik baginya. Tidak terus menjadi beban dalam pikirannya meskipun aku tahu dia tidak pernah keberatan. Dan aku berharap aku akan terus dan terus mencintainya meskipun tidak bisa menyaingi cintanya yang tidak bisa aku mengerti. Setidaknya aku berusaha.

Aku mencintai laki-laki yang mencintaiku dengan cara yang tidak bisa dimengerti. Selamat ulang tahun Papih.