Halaman

Kamis, 27 Desember 2012

This Day

30. Saya pernah berharap bahwa pada angka itu saya akan mengalami titik balik. Titik dimana saya mengakhiri petualangan di dunia semu, menamatkan perjalanan saya pada titian warna kelabu. Ternyata saya masih sebegitu betahnya dalam kesemuan itu, masih sebegitu nyamannya diayun ambingkan belenggu kelabu. Sampai hari ini, angka itu lebih 1.

Saat ribuan detik bergerak menuju pergantian waktu. Saat ribuan panah terlontar tanpa sarana. Saya duduk dalam kesederhanaan. Menikmati kesenyapan malam untuk sekedar menapaki hening. Berusaha mentafakuri segala yang pernah menimpa selama bertahun-tahun kebelakang. Hari ini saya diberi kenikmatan lebih oleh Tuhan. Menjejak usia 31.

Saya tidak muda lagi, saya tahu. Saya sudah harus bersikap dewasa, dari beberapa tahun yang lalu seharusnya. Saya harus lebih memikirkan jalan kedepannya akan seperti apa. Kadang jalan sudah terbentang menantang, maka saya tahu yang saya harus lakukan hanyalah berusaha menjalaninya dengan baik. Tanpa pemberontakan yang justru akan membuat jalannya jadi bergelombang.

Malam tadi, tak lagi ada pesta. Tak ada lagi perayaan dengan menghentak lantai dansa. Tak ada lagi berhura-hura. Saya hanya duduk sendiri, menatap redup lilin yang saya letakan di atas kue tart yang lagi-lagi saya beli sendiri. Saya merenung tentang semuanya, saya berdoa akan banyak harap. Semuanya saya lakukan dalam perasaan indah. Penuh kepasrahan.

Saya Apis, hari ini melontarkan ribuan ucap syukur atas umur yang Tuhan telah beri. Menguntai ribuan doa demi keinginan yang ingin terkabulkan. Tak lupa dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada semua keluarga, teman, sahabat, kolega atas berbagai pengalaman, doa, kesenangan dan kesedihan yang telah diberikan selama ini. Saya sadar tanpa kalian semua, Apis tidak akan sekuat ini. Ijinkan saya lebur dalam syukur karena dianugerahi kalian semua. Sesuatu yang tidak akan saya sesali sampai mati.

Hari ini saat saya berada di titik 31. Saya hanya bisa berharap dapat mengalami transformasi lanjut menjadi sosok yang jauh lebih baik dari sekarang. Berubah menjadi seseorang yang hidup dalam kebenaran menurut Tuhan, bukan lagi kebenaran menurut saya.

Tuhan, saya hanya ingin bahagia. Kalaupun bahagia menurut saya sangat sulit untuk dikabulkan, maka ijinkan saya meminta diberi kebesaran hati untuk berdamai dengan jalan yang telah Engkau gariskan. Ijinkan saya meminta perasaan sederhana yang terus bertambah subur dalam memaknai takdir yang telah Engkau tuliskan. Biarkan saya terus belajar mengerti bahagia yang telah Engkau tentukan.

Senin, 24 Desember 2012

Pada Satu Ketika


Seperti dua orang asing kami duduk bersisian di sebuah lobi hotel yang lenggang. Hujan yang sedikit lebat sepertinya membuat penghuni hotel enggan meninggalkan kenyamannya bergelung dengan selimut tebal di ranjangnya. Seperti yang seharusnya aku lakukan. Seandainya. Ya seandainya aku tidak bertemu dengannya sore tadi ketika lift terbuka dan mempertemukan kami dari 2 dimensi yang sepertinya berbeda. Dia hendak keluar dan aku beranjak masuk.

Jeda tercipta diantara kami berdua. Waktu seperti berhenti berputar dan udara mendadak hampa. Tidak ada reaksi. Tidak ada senyuman atau sekedar kata yang terumbar sembarangan. Kami hanya dibalut diam sampai kami tersadar kalau kami menghalangi jalan. Masih dengan balutan sunyi kami saling menghindar, terpisahkan oleh pintu yang otomatis tertutup. Rapat. Seperti hati kami beberapa tahun ke belakang.

Malam itu kami berbaring saling memunggungi. Masing-masing sibuk dengan jalan cerita yang direka di dalam kepala. Bisa jadi satu jalinan cerita atau malah sama sekali berbeda. Tidak ada bebunyian yang memperiuh, menjadikan adegan demi adegan yang ditayangkan seolah film bisu. Hanya aku dan dia dalam sebuah scene yang berantakan. Tak jelas plotnya, tak jelas siapa yang menjalankan peran antagonis atau sebaliknya.

Aku sudah bisa menerka kemana cerita akan bermuara. Sudah sekian banyak jalinan cerita serupa aku rasa. Hati sudah bebal mungkin meninggalkan jejak kapalan saking seringnya ditimpa kesakitan. Tidak pernah ada penyesalan karena semuanya memberikan pembelajaran. Pembelajaran yang tetap membuatku terperosok pada lubang yang sama berulang-ulang. Dan sepertinya aku tidak lantas kapok, tidak berhenti mencoba melempar peruntungan karena siapa tahu kali ini aku tidak mendapatkan ujung yang bergelung. Kusut.

Dan sepertinya aku benar. Di tengah jalan cerita yang berjalan tanpa aturan, dia kemudian membalikan badan. Memelukku dari belakang. Seketika aku berharap tidak pernah mengenal suara. Bermimpi kalau gendang telinga dan cairan kokhlea bisa menyaring suara mana yang ingin aku dengar dan mana yang ingin aku enyahkan. Seketika aku berharap tuli, mengambil langkah tidak peduli. Tapi aku salah, kenyataan lagi-lagi dijejalkan paksa dalam selaksa perasaan. Membuatku sesak. Limbung seperti orang linglung.

Bedanya kali ini tak ada air mata. Hulu kelenjarnya sudah mengering diganjar kemarau tak berkesudahan. Kesakitan demi kesakitan yang dikecap menebalkan jaringannya, menyisakan luka parut yang menghalangi jalannya cucuran. Tidak pernah ada lagi tangisan, tidak peduli seberapa berat jalan perpisahan yang harus ditelan. Tidak pernah ada lagi isakan, karena aku menjelma kuat. Selalu siap dengan kemungkinan terburuk ketika memulai sebuah hubungan. Hubungan yang seringkali justru tidak menemukan jalan untuk mengantarkanku pulang.

Malam itu dia menggagas perpisahan. Katanya dia sekarang sudah menemukan jalan yang benderang. Jalan yang dari awal tidak pernah dia temukan dari hubungan kami yang hanya dibangun atas dasar kekeliruan. Hubungan yang diretas hanya karena kebimbangan membawa hati berlari. Hubungan yang kemudian dimaknai sebagai sebuah kesalahan dalam memahami jalan yang sudah digariskan.

Dia bilang dia akan menikah. Meninggalkan jalanan becek yang hanya membuat telapaknya kotor oleh lumpur. Menanggalkan semua yang pernah dia kecap sebagai manis tipuan yang hanya membuatnya ketagihan. Dia tersadar, dengan aku dia hanya memperoleh temaram. Hanya menempatkannya di pojokan tanpa sinar. Karenanya dia beringsut pulang, menjajal jalanan yang katanya sudah terbentang. Haluan yang bisa mengantarkannya pada kebahagian.

Aku turut senang sekaligus mendoakan. Tidak ada yang lebih menyenangkan ketika bisa melihat orang yang disayang menemukan apa yang selama ini dia harapkan. Aku sadar, dengan aku dia tidak akan mendapat apa-apa. Cukuplah aku hanya menjadi sepenggal kenangan yang menyaksikan bagaimana dia tumbuh dan beranjak dewasa hingga akhirnya berlari ketika dia kemudian menyadari. Tidak perlu mempedulikan apa yang aku rasakan, karena rasa seperti itu sudah biasa aku telan. Tidak lagi menyisakan kesakitan mendalam.

Lobi hotel itu semakin ramai. Sepertinya para penghuni mulai bosan dengan petakan ruang yang sebetulnya dibuat nyaman. Mereka memilih untuk sekedar mengopi di kedai yang terletak di dalam lobi sambil mengamati hujan dari jendela-jendela besar di sekeliling ruangan. Aku mendapati ketidaknyamanan di matanya. Dia yang semula lebih banyak diam kemudian mempertontonkan kegelisahan. Menggoyang-goyangkan kakinya seperti anak kuliahan yang sedang menunggu giliran sidang.

Aku hanya diam. Menunggu dia bergerak duluan. Bukan karena aku seperti jual mahal tapi aku tidak ingin memperpanjang perkara yang sebetulnya sudah selesai di belakang. Tidak ada yang perlu lagi dipersoalkan, tidak ada rincian utang yang harus dipertanggungjawabkan. Semua sudah lunas ketika dia beranjak pergi membawa perpisahan. Tidak ada lagi yang perlu dibayar. Tidak ada lagi yang harus diselesaikan.

Setengah berbisik dia berkata sesuatu. “Ikut ke kamarku yu! Aku rindu”

Solo, 13 Desember 2012 

Sabtu, 22 Desember 2012

Rahasia


Tidak akan pernah mudah hidup dengan menenteng rahasia. Apalagi rahasia yang sebetulnya adalah sebuah jalan Tuhan yang tidak bisa dintentang. Rahasia yang akhirnya menjadi semacam pemakluman diri sendiri atas apa yang sudah digariskan. Rahasia yang dimaknai sebagai takdir yang tidak bisa dihindari.

Hidup dengan rahasia seringkali menyulitkan. Membuat semua jalinan yang harusnya mudah dilalui menjadi diperumit karena seribu satu alasan. Proses sembunyi dan pencitraan menjadi hal yang harus biasa dijalani. Berkedok orang lain demi menyimpan rahasia yang masih belum bisa dibongkar sembarangan. Belenggu normatif membuat rahasia yang sudah sekian lama disimpan tetap berada di tempatnya yang aman.

Aku hidup dalam rahasia itu. Bertumbuh dari satu persembunyian ke persembunyian lainnya. Tidak pernah bosan menjadi sosok yang kadang tidak jelas aku kenal. Aku hanya meminjam raganya demi sebuah rahasia yang masih tersimpan rapi di kotaknya.

Aku hidup dalam rahasia itu. Sekuat tenaga menyimpan dalam kubangan agar tidak mudah terbongkar. Alasan klise tidak ingin menyakiti perasaan orang-orang tersayang menjadi hal yang selalu aku gadang. Biarkan aku yang menanggung sendirian, tidak peduli kalau yang justru aku terima hanya sekian banyak kesakitan. Aku mampu. Aku bisa. Bertahan dari deraan agar orang-orang yang aku sayang terselamatkan. Lagipula ini jalan Tuhan, biarkan saja aku dan Dia yang mengetahuinya dalam diam.

Aku hidup dengan sebuah rahasia yang sesekali terinderai. Mungkin tidak sengaja terkuak atau justru malah terbaca secara gampang. Tidak selalu mudah untuk terus bersembunyi. Terkadang sulit untuk terus berlindung di balik sosok asing yang justru malah menyulitkan jalan. Ketika hal ini kejadian aku hanya bisa berdamai. Bernegosiasi agar rahasia yang sudah terinderai tidak menjadi suatu daftar acuan untuk menghakimi. Aku masih aku yang sama. Hanya saja hidup dengan menenteng sebuah rahasia.

Seorang perempuan tampaknya diam-diam bisa membaui. Mengetahui rahasia yang aku simpan sedemikian lama tanpa perlu bantuan perkataan. Dia tahu, tapi seperti halnya aku dia kemudian memilih hidup dalam penyangkalan. Memilih memberikan selimut hangat untuk aku tetap bertahan. Memilih mengesampingkan semua perkiraan dengan tetap mencurahkan perlindungan tanpa takut ancaman yang akan mengintai. Perempuan itu menjelma perisai, benteng kokoh yang melindungi aku dan rahasiaku. Perempuan itu aku panggil Ibu.

Ibu, aku tahu engkau mengetahui apa-apa yang tidak pernah aku jelaskan. Aku tahu sebetulnya engkau bisa membaca dan meraba apa yang tidak aku perinci dengan teliti. Dan aku tahu engkau tidak pernah peduli dengan semua itu karena engkau hanya ingin tetap menjadi ibuku. Ibu yang berjiwa ksatria yang tidak pernah rela anaknya terpanggang di dalam bara. Lewat kasihmu ibu aku belajar banyak hal, tidak peduli kalau rahasia yang aku tenteng semakin berat dari hari ke hari.

Lewatmu aku belajar berjuang. Melaluimu aku belajar proses mengesampingkan. Mendahulukan kebahagiaan orang di atas kepentingan diri sendiri yang sebetulnya juga tidak pernah gampang. Terima kasih untuk senantiasa selalu berada di sampingku ibu. Menjadi Ibu, teman, sahabat dan partner bertengkar yang mengasyikan. Terima kasih juga untuk mau terus hidup dengan rahasia yang aku simpan tanpa ada gugatan. Aku tahu kalau ibu juga pasti tahu.

Selamat hari Ibu, Ibu. Aku mencintaimu.

Senin, 17 Desember 2012

Aku Harus Membunuhnya


Matanya berkilat ketika aku mengembalikan dia pada posisi semula. Ada kemarahan yang menggebu-gebu di matanya, ada ketidaksudian yang berkobar bahkan ketika dia tidak meronta seperti beberapa menit sebelumnya ketika aku yang sudah kesekian kali mengembalikannya pada posisi semula. Mendudukannya di kursi kayu reyot tak jauh dari tempat aku berdiri.

Sudah tidak ada rontaan. Tidak ada lagi cacian dan serapah yang begitu lancar keluar dari bibirnya yang kecil. Kata-kata kotor yang tidak diperkenankan. Kata-kata berbau sampah yang aku sendiri tidak habis pikir dari mana dia menemukan dan mempelajarinya. Kali ini dia hanya diam. Tenang. Tidak melawan. Tapi matanya seakan mau menerkam, menelanjangi aku yang sudah kelelahan.

Aku juga diam. Badanku kuyup oleh keringat. Perlahan aku mengatur irama nafasku yang sempat tersenggal-senggal seperti habis ikut lari halang rintang. Letih baru terasa justru ketika aku sudah diam, padahal tadi dengan kekuatan entah dari mana aku seperti melayani permainannya. Berlari mengejar. Menghindari tendangan. Menangkis pukulan. Mengelak dari jambakan. Dan anehnya aku hanya selalu menghindar tanpa melawan. Mungkin karena aku sangat menyayanginya, dan aku tahu kalau dia juga tidak pernah bermaksud ingin menyakitiku. Dia hanya kadang tidak bisa mengontrol emosi.

Kami berkenalan sudah lama, ketika kami sama-sama masih berumur belasan.  Bersahabat tanpa banyak syarat yang mengikat. Awalnya aku tidak pernah sadar kalau dia itu ada, menganggapnya hanya sebuah ilusi yang konon memang bukan mimpi. Meski begitu dia tidak pernah jera mengajakku bermain. Tidak kapok dengan banyak penolakan yang aku pertontonkan. Dia tidak mengenal kata menyerah dan lama-lama aku yang justru menyerah. Pasrah. Mengikuti semua permainan yang dia tawarkan. Turut serta dalam berbagai rencana rahasia yang dia utarakan.

Awalnya menyenangkan. Bertahun-tahun aku merasa nyaman. Seperti punya sahabat yang bisa dipercaya tanpa takut ditinggalkan atau digunting dalam lipatan. Dia setia. Menemani tidak hanya dalam keadaan bahagia tetapi seringkali justru ketika sedih menghampiri.

Lama-lama aku merasa bosan, apalagi ketika dia berpikir kalau dia juga harus berteman dengan teman yang aku temukan kemudian. Padahal diantara mereka tidak pernah ada kepentingan. Dia mengikutiku ke sekolah, ke tempat les bahkan ke tempat pelarian ketika aku sebenarnya ingin sendirian. Dia seperti hidup dalam ketakutan. Takut aku tinggalkan, takut aku buang ke jalanan ketika aku merasa dia sudah tidak dibutuhkan.

Bersahabat dengannya ternyata menyulitkan. Membuatku kadang tidak bisa merefleksikan siapa aku sebenarnya. Dia selalu ingin ditampilkan. Dinomorsatukan. Muncul disaat-saat yang tidak tepat yang membuat aku kemudian menjadi bahan cemoohan. Dia seperti sengaja melakukan itu semua, agar aku tidak memiliki banyak kawan. Dia ingin aku merasa sendirian karena dia tahu ketika itu kejadian maka aku akan kembali kepadanya. Bermain seperti anak kecil yang tidak tahu jam. Berlarian tidak peduli bahaya di jalanan yang penuh kendaraan. Dia manipulatif. Menciptakan banyak keadaan yang tidak bisa aku hindarkan.

Matanya masih berkilat dan aku masih berdiri kelelahan. Tidak ada lagi rontaan ataupun kalimat-kalimat serapah yang bermunculan. Dia menelanjangiku dengan tatapan yang artinya tidak bisa diejawantahkan. Penuh amarah dia memandangiku yang nafasnya masih sedikit menderu. Sejenak dia tersenyum. Senyum picik yang menandakan kalau dia merasa memenangkan pertandingan. Senyum yang justru aku benci ketika aku merasa kalah.

Tapi itu dulu. Saat dimana aku sebetulnya mengalah karena lelah. Saat dimana aku berlaku mengenakan logika dibandingkan nafsu. Kali ini aku tidak boleh lagi kalah. Bosan rasanya menjadi marjinal di lingkungan yang seharusnya aku memegang peranan. Kali ini aku tidak boleh lagi mengalah, karena kesempatan yang banyak aku berikan justru menjadikannya tidak tahu aturan. Banyak kelonggaran justru menjadikannya kurang ajar.

Dia tersenyum sekali lagi. Dan demi Tuhan aku membenci caranya tersenyum. Matanya masih berkilat-kilat tapi kali ini bukan berisi amarah melainkan olokan. Sepertinya dia masih ingin bermain, menguji kesabaranku yang sudah setipis kelambu.

Mendadak dia bangkit sampai kursi kayu reyot yang didudukinya terjengkang ke belakang. Dia berlari melintasi ruangan menuju ke pintu yang sedikit terbuka. Sesaat dia membalikan badannya dan menjulurkan lidahnya tanda ejekan. Aku tidak kaget karena aku sudah menyimpan awahan. Ancang-ancang yang sudah dipersiapkan ketika dia tiba-tiba berulah seperti barusan.

Dengan kekuatan penuh aku mengejarnya dan ketika dia sudah ada dalam rengkuhan, aku cengkram bahunya. Dia terpelanting ke lantai, membalikan badannya dan tersenyum dengan cara yang sungguh aku benci. Dia salah kalau dia pikir aku akan mengangkat dan mendudukannya lagi di kursi. Tidak, kali ini dia salah. Aku tidak ingin bermain lagi. Aku lelah. Kurekatkan tanganku di lehernya dengan posisi kedua ibu jari ada di bagian depan. Aku mengalirkan tenagaku kesana. Aku mencekiknya.

Aku harus membunuh dia. Mungkin seharusnya sejak lama. Aku harus membunuh dia. Mungkin seharusnya sejak dulu. Aku seharusnya membunuh dia, anak kecil yang ikut tumbuh dalam tubuh dan pikiranku. 

Senin, 10 Desember 2012

Harita

Nemu tulisan ini di komputer lama :


Eta surat ondangan masih keneh dicekelan ku sim kuring. Kertasna geus lecek kusabab sering dibuka, diremes terus dibuka deui. Sigana kuring geus ngalakukeun puluhan nepi ka ratusan kali eta lalampahan ti mimiti eta ondangan nepi ka leungeun kuring .

“Kuring hayang anjeun datang. Kuring hayang anjeun nyakasian eta poe sakral, poe dimana sabenerna kuring miceun hiji impian, salilana. Impian anu can kungsi kuring perjuangkeun, can sempet oge kuring mimitian. Hanjakal, kuring leuwih tiheula digeuingkeun ku kaayaan. Waktu ngageuingkeun paksa kuring tina impian, maksa kuring ngaguar lampah dina lorong kanyataan” manehna ngomong bari nyodorkeun ondangan nu warnana gandaria ka hareupeun kuring.

Kaayaan rumah makan beurang eta rame pisan, tapi hate kuring sepi. Cipanon rasana parebut menta dikaluarkeun, tapi sakuat tanaga kuring nahan. Rasana geus cukup kuring ceurik balilihan, kusabab ceurik henteu nganteurkeun kuring ka dimensi anu dipikaharep. Kuring tetep jadi kuring, jelema anu dipaksa ngadange hatena soek. Sorangan. Kuring narima eta ondangan dina parasaan hampa, satengah eungap.

“Jang naon kuring datang? Kapentingana naon kuring kudu ngahadiran eta acara? Teu bisa kitu anjeun ngaraba hate kuring sakeudeung, mikirkeun parasaan kuring. Geuslah, kuring geus berusaha ikhlas ngaleupas anjeun. Entong ngabebani deui kuring!” Satengah ngagorowok kuring ngucapkeun eta kalimat, untung kuring masih sadar mun eta kajadian lumangsung di tempat umum. Kuring cengkat terus indit ti hareupeunana.

“Tulunglah....demi kuring!” Masih keneh jelas kuring ngadenge manehna ngucapkeun eta permohonan.

Poe eta datang oge, poe kawinan manehna. Kawinan lalaki anu pernah jadi lalaki kuring. Jelema anu ngenalkeun getar asmara kuring anu mungggaran ka dunia abu-abu. Jelema nu datang sabagai jawaban tina kagelisahan kuring nu beda tinu lian. Bareng manehna kuring ngecap bahagia, bareng manehna kuring nyobaan nu kubatur disebut nista.

Kuring memang datang poe eta, tapi kuring teu kaluar tina mobil. Kuring ukur muka kaca jandela, nempokeun ti jauh. Manehna, lalaki nu pernah kuring puja, lancar tur wibawa ngucapkeun ijab kabul, ngawinan awewe nu geus dipilihkeun kolotna. Manehna, lalaki nu pernah nyieun gambar hate dina dada kuring pinuh, gumujeung pas ratusan tamu ondangan mere ucapan salamet tur untaian doa. Kuring ninggali manehna bahagia, kuring bisa ngarasakeunana.

Duh anjeun panganten lalaki, kuring datang ka kawinan anjeun. Minuhan jangji jeung namatkeun kabahagiaan kuring. Anjeun meureun teu sadar mun kuring datang, kuring memang teu niat ngadatangan anjeun sacara langsung. Kuring ngan ngilu ngadoakeun sangkan anjeun hirup bahagia salalawasna jeung awewe eta. Istri anjeun anu sah. Kuring harep anjeun teu ninggali deui ka tukang, tamatkeun bae jalinan kisah anjeun jeung kuring anu sarua lalaki nepi ka dieu.

Kuring nutup kaca jandela, terus lalaunan nutup panto hate sabari cirambai.

Tulisan ini d buat sebagai tugas pada acara Pasanggiri Mojang Jajaka Jawa Barat 2003. Lewat tulisan ini juga si penulis terpilih sebagai Jajaka Calakan Jawa Barat 2003.

Senin, 03 Desember 2012

I'm What I'm


“Kalau kita terlambat bertemu dengan jodoh, bukan berarti kita harus menghambat orang lain untuk bertemu jodohnya”

Itu quote yang saya buat sendiri sekitaran akhir tahun lalu. Quote yang tiba-tiba muncul di dalam kepala ketika adik saya bertunangan dengan kekasihnya yang sudah dia pacari hampir 3 tahun lamanya. Pertunangan yang dilakukan sebagai langkah awal untuk menuju perkawinan yang direncanakan terjadi tahun ini. Tahun 2012.

Apakah saya sedih? Apakah saya kecewa? Apakah saya merasa ditinggalkan? Apakah saya merasa Tuhan tidak berlaku adil terhadap saya? Jawabannya hanya satu. Tidak. Tidak ada sedikitpun saya merasa sedih, kecewa, ditinggalkan apalagi merasa dizhalimi Tuhan. Boleh percaya atau tidak, tapi itu sesungguhnya yang saya rasakan. Mungkin kebanyakan orang termasuk keluarga dekat saya yang bukan keluarga inti tidak mempercayainya. Tapi saya tidak peduli. Saya tidak hidup dalam opini mereka.

Kalaupun misalnya saya bersedih, kecewa kemudian merasa ditinggalkan apa yang bisa orang-orang itu lakukan? Memberikan penghiburan? Memberikan semangat? Saya tidak butuh semua itu karena sekali lagi saya tegaskan kalau tidak ada perasaan-perasaan semacam itu ketika adik saya yang memang terpaut umur 6 tahun akan melangkah ke gerbang perkawinan. Saya justru ikut bahagia karena dia lebih cepat bertemu dengan jodohnya. Lebih cepat menyempurnakan agamanya.

Rencana hanya tinggal rencana. Adik saya dan kekasihnya karena satu dan lain hal harus mengubur keinginannnya. Selamanya. Mereka membatalkan pertunangannya. Memberi akhiran pada jalinan kasih yang sudah mereka bina selama tiga tahun untuk alasan yang tidak perlu saya tuliskan. Adik saya bersedih, orang tua saya bersedih, sayapun ikut bersedih. Adik saya sedih karena sebetulnya dia masih sangat mencintai kekasihnya. Orang tua saya sedih karena melihat anak bungsunya bersedih. Saya bersedih karena saya juga kasihan dengan adik saya. Dan kadar sedih sayapun bertambah ketika banyak orang di luaran sana yang mengatakan bahwa putusnya hubungan mereka adalah karena doa yang saya panjatkan.

Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran picik semacam itu. Sebetulnya saya tidak lantas peduli. Saya menganggapnya angin lalu meskipun ketika saya konfrontir mereka mengklarifikasinya sebagai sebuah candaan. Candaan yang menurut saya sangat tidak lucu. Candaan dangkal yang tidak perlu saya perpanjang. Tuhan yang paling tahu apa yang saya rasakan. Sampai berbuih seperti apapun saya menjelaskan, kalau orang lain memilih tidak percaya maka ujungnya hanya akan sebuh ketidakpercayaan. Karenanya saya mengembalikan kepada Tuhan, Dzat yang tidak bisa disangkal.

Waktu terus bergerak. Adik saya disembuhkan. Adik saya kemudian bertemu lagi dengan seseorang. Dan romansa kembali dituliskan. Adik saya memiliki kemampuan untuk move on jauh lebih cepat dari pada saya yang seringkali masih tertambat pada perasaan di belakang. Saya harus belajar banyak dari adik saya. Bagaimana melenyapkan atau menyimpan masa lampau. Apakah lagi-lagi saya merasa ditinggalkan? Tidak. Saya kenal siapa adik saya, tipe orang yang tidak pernah bisa sendirian. Semakin cepat dia berpasangan, semakin cepat bahagia akan dia jelang. Dan saya turut bahagia.

Tidak memiliki seseorang selama bertahun-tahun mengajarkan saya untuk tidak pernah bergantung pada orang lain. Saya mampu datang ke undangan pernikahan siapapun sendirian. Saya mampu berbelanja sendirian. Tidak gentar untuk makan di restoran sendirian. Tidak peduli saat sekian banyak mata mempertanyakan ketika saya datang ke bioskop sendirian. Tidak pernah ada masalah. Saya hanya belajar untuk kuat walau tidak dipungkiri kadang saya iri. Sebatas iri yang datang kadang-kadang tanpa diundang.

Sekarang bulan sudah Desember. Satu tahun silam adik saya bertunangan meski kemudian digagalkan. Dan tahun ini rencana seperti dulu kembali diperdengarkan. Adik saya berencana menikahi kekasih barunya tahun depan. Tanpa pertunangan karena mungkin ada sedikit rasa trauma yang menggelayuti selaksa perasaan. Dan saya tetap saya seperti satu tahun silam. Tidak sedih, tidak kecewa atau merasa dizhalimi Tuhan. Mungkin sudah takdir kalau harus adik saya yang terlebih dahulu menemukan tulang rusuknya yang hilang. Saya tidak keberatan.

Katanya lahir, jodoh dan mati sudah diatur oleh Tuhan. Kenapa sebagai hamba saya harus merasa sangsi? Saya yakin Tuhan sudah mempersiapkan seseorang untuk melengkapi hidup saya. Kalau tidak sekarang, mungkin nanti tahun-tahun ke depan. Doakan saja semoga stok sabar saya tidak lantas berkurang.

Kamis, 29 November 2012

Reinkarnasi


Saya tidak percaya tentang reinkarnasi. Pertama karena di agama saya memang tidak mengajarkan apa itu reinkarnasi, kedua saya tidak percaya tentang kehidupan sebelum kehidupan yang ini. Kalau ada yang percaya silahkan, toh saya juga tidak punya hak untuk melarang orang untuk mempercayai proses reinkarnasi seperti halnya saya tidak mempunyai hak untuk melarang orang tidak pergi dari sisi saya. Tetep curhat.

Berbeda dengan teman saya yang asli orang Bali. Dia sangat percaya tentang apa itu reinkarnasi. Dia percaya kalau sebelum kehidupan yang sekarang ini dimana dia adalah seorang dosen, dia pernah hidup entah sebagai apa. Dia tidak ingat atau lebih tepatnya dia tidak tahu.

Suatu hari dia pernah bilang kalau sebetulnya kita bisa tahu seperti apa kita di kehidupan sebelumnya. Tidak sekedar seperti apa tetapi juga menjadi sosok apa kita sebelumnya. Dia bercerita kalau di Bali di dekat rumahnya ada seorang pendeta yang bisa ditanya karena kemampuannya melihat masa lalu. Sang pendeta bisa dengan detail menceritakan proses kehidupan kita sebelum kehidupan saat ini. Dengan kadar kepo maksimal, saya tentu saja bertanya pada  si teman apakah dia pernah bertanya pada pendeta itu tentang kehidupan dia sebelum ini, dan dia menjawab tidak. Saya mengejar minta penjelasan kenapa, dan teman saya bilang dia takut. Dia takut menerima kenyataan kalau misalnya di kehidupan masa lampau dia adalah seekor babi yang dipelihara tetangga. Sarap.

Semalam saya tidak bisa tidur. Meghitung jumlah kambing di pandang rumput luas tidak lantas membuat saya berjumpa kantuk. Aktivitas memanjat genteng rumah tetangga untuk merenung juga tidak bisa saya lakukan karena alasan hujan. Tidak lucu rasanya kalau tengah malam buta saya kedapatan terjatuh dari genting rumah orang. Karenanya saya hanya bisa berkhayal, membayangkan banyak hal yang seringkali muncul di pikiran liar ketika justru pikiran itu dibebaskan. Semalam saya berkhayal tentang reinkarnasi. Entah kenapa padahal seperti saya bilang kalau saya tidak percaya tentang reinkarnasi.

Katanya pada proses reinkarnasi, kehidupan yang sekarang ini bisa jadi hukuman atau hadiah dari perilaku kita di kehidupan sebelumnya. Hukuman yang harus dijalani agar kita menjadi sosok yang lebih baik atau hadiah yang patut kita peroleh atas kelakuan kita yang baik ketika menjalani hidup sebelum ini. Semalam saya berkhayal, mereka-reka kehidupan saya sekarang ini adalah hukuman atau justru hadiah. Ini hanyalah analisis pikiran liar saya, sebuah lelucon yang pikiran saya kemukakan ketika kantuk tidak juga hinggap di kepala.

Analisis asal yang pertama adalah pasti saya di kehidupan sebelumnya bisa jadi seorang player. Casanova. Playboy. Buaya. Whatever you named it. Kenapa saya bisa berpikiran seperti itu karena saya menganalisis dari kehidupan percintaan saya yang menyedihkan. Bisa jadi karena di kehidupan sebelumnya saya terlalu sering menyakiti perasaan banyak orang. Terlalu sering membuat hati banyak orang hancur berkeping-kepang. Makanya di kehidupan sekarang ini saya hidup menjalani hukuman. Dipersulit untuk mendapatkan seorang pasangan. Diberi sukar ketika saya ingin mempertahankan hubungan yang sedang dalam genggaman. Saya hidup dalam hukuman yang entah berapa lama akan berlangsung. Saya hanya disuruh menjalani tanpa tahu kapan semua ini akan berhenti.

Analisis asal yang kedua, mungkin saja di kehidupan sebelum ini saya adalah seorang biksu atau seorang pastor yang harus meredam perasaan cinta yang saya punya. Karena prestasi saya yang gemilang, di kehidupan setelahnya saya diberi kesempatan untuk mengekspresikan rasa cinta. Tapi karena di kehidupan sebelumnya saya belum pernah menjalani bagaimana meretas perasaan cinta, di kehidupan ini saya masih disuruh untuk belajar. Terseok-seok dari satu perasaan ke perasaan berikutnya. Terluka dari satu kesakitan ke sakitan berikutnya. Dan terlunta-lunta tanpa sarana yang tepat untuk menyalurkan rasa yang berkecamuk di dalam dada.  Saya disuruh untuk terus bertahan, juga entah sampai kapan. Apakah ketika saya berhasil, manis buah dari pembelajaran yang saya lakukan akan saya rasakan langsung sekarang di kehidupan sekarang. Entahlah.

Analisis yang ketiga tidak sempat saya lakukan karena saya keburu ngantuk. Besok deh saya lanjutkan, kalau masih niat!

Senin, 26 November 2012

Bertahan


The drama happens in life. Love. Heart that breaks into pieces. Losing friends. Moving on. Letting go. But i’m still alive.

Ya, lihat saja saya masih bertahan. Tidak peduli sudah sekian banyak penggalan drama saya selesaikan atau hanya saya gantungkan. Saya bertahan karena hidup sebetulnya hanya tentang itu. Bertahan.

Love. Jatuh cinta. Semua orang pernah jatuh cinta, tidak terkecuali saya. Cinta mengajarkan bagaimana saya harus mengatur perasaan. Cinta memberi saya arahan bagaimana berbagi dalam takaran yang tidak pernah saya duga kalau saya mampu lakukan. Cinta membuat  saya bertumbuh dari kerdil kemudian menjadi rindang, dari terkungkung kemudian terbebaskan. Cinta juga mengajarkan bagaimana terbang dengan sayap tak kasat mata ke berbagai pemberhentian hanya dengan sebuah kepercayaan.

Tapi cinta juga mengajarkan apa itu kesedihan. Memberi air mata yang menetes membentuk bilur kenangan yang tidak mudah dienyahkan. Cinta tidak jarang membuat hati saya hancur berkeping-keping, sehingga saya memiliki sebuah jambangan kesedihan imajiner tempat menyimpan serpihannya. Jambangan yang saya tidak tahu seberapa besar ukurannya karena sudah sedemikan banyak serpihan yang saya taruh tetapi jambangannya tidak lantas penuh.

Orang mungkin bertanya untuk apa saya menyimpan serpihan kesedihan. Saya juga tidak tahu. Karena yang saya tahu kenangan-kenangan yang dulu pernah terserak bisa saya kumpulkan untuk saya jadikan acuan melangkah pada masa mendatang. Tapi saya salah. Menyimpan kenangan justru menyulitkan langkah yang seharusnya ringan digerakan. Dan saya bebal. Meskipun saya tahu demikian, saya tetap menyimpannya dalam jambangan kesedihan. Jambangan imajiner yang saya tidak tahu seberapa besar kapasitas simpannya.

Ternyata hidup memberikan kesedihan tidak hanya dari cinta yang berasal dari pasangan, tapi seringkali juga dari orang-orang yang saya sebut sebagai kawan. Mungkin sebetulnya mereka tidak bermaksud untuk menyakiti meski yang saya rasakan justru sebuah kesakitan. Sebuah perasaan terabaikan. Terkhianati. Ditinggalkan. Dan akhirnya kehilangan. Kehilangan yang lagi-lagi akan saya simpan dalam sebuah jambangan kesedihan.

Mungkin saya lambat bergerak dari sebuah keterpurukan. Lamban dalam memunguti semua serpihan dan memasukannya dalam jambangan padahal waktu terus diputar. Sering saya kehilangan banyak kesempatan hanya karena saya menangisi kebodohan berulang-ulang. Kehilangan banyak peluang untuk berkembang karena saya justru hidup di belakang. Di sebuah bayangan buram yang dipantulkan oleh cermin yang tidak pernah dibersihkan. Saya ketinggalan.

Kemudian saya tersadar. Tidak mungkin saya hidup selalu di masa lampau yang tidak menyenangkan. Keadaan seperti ini membuat saya dipaksa untuk berjalan. Meninggalkan apa yang sudah sepatutnya saya tinggalkan dalam jambangan sebagai kenangan. Berusaha tidak mengungkitnya atau menyusunnya kembali menjadi sebuah cerita utuh di masa depan. Sesekali memang masih saya lakukan untuk berbagai alasan pembenaran. Tapi saya lakukan sambil terus berjalan. Sebuah kemajuan.

Selain bergerak saya juga belajar melepaskan. Memilah dan membuang apa yang saya sudah simpan dalam jambangan kesedihan agar tidak bisa terus dikenang. Memang tidak saya lakukan pada semua jenis kenangan karena satu dan lain hal, karenanya untuk pelajaran melepaskan ini saya sering sekali mendapatkan nilai merah sebagai peringatan. Tapi saya terus belajar. Satu-satu saya buang. Yang paling berat biasanya saya lakukan belakangan, dan sampai sekarang saya masih berusaha untuk bisa dimusnahkan.

Hidup saya drama. Saya mengamini. Babak demi babak saya lewati. Peran demi peran saya jalankan. Dan saya berharap bisa segera sampai pada sebuah tujuan. Tujuan yang sebetulnya saya juga tidak  tahu apa itu gerangan . Mungkin kebahagiaan. Atau mungkin bisa saja hanya sebuah perasaan bertahan. Bertahan dari segala macam bentuk ancaman yang timbul dari sebuah drama banyak babak yang diundi mana duluan yang harus dimainkan. 

Kamis, 22 November 2012

Buta


Dia memilih buta seperti halnya saya yang juga memilih buta.

Dalam kegelapan entah itu gelap sungguhan maupun artificial, kita hanya bisa merasakan. Meraba kemudian menterjemahkannya dalam bentuk perasaan. Kemungkinan benar atau salah mengenai yang kita rasakan memang tidak lantas menjadi gamblang. Semua berada di area abu-abu, seringkali berada di kisaran keliru.

Dia memilih buta seperti halnya saya yang juga memilih buta.

Sialnya kami sama-sama tahu. Hidup dalam penyangkalan. Berusaha berkelit dari kenyataan yang terlihat jelas di hadapan. Menganggap bahwa masing-masing dari kami hidup pada jalur yang berlainan yang tidak akan pernah berpotongan. Seperti asimtot, kami hanya saling mendekat sampai jarak yang tak hingga tanpa bisa bersentuhan. Sebuah bentuk yang sengaja dijadikan pilihan ketika perasaan tidak sejalan dengan banyak keinginan.

Saya mencintainya. Dulu. Sampai sekarang  sesungguhnya meskipun saya tidak mengumbarnya seperti waktu itu. Dia tidak pernah berusaha mencintai saya. Saya tahu itu. Dia hanya malas beranjak dari kenyamanan hubungan entah apa namanya yang membuatnya memiliki tempat untuk sekedar bersandar. Dia tidak mau menerima cinta saya, tapi itu tidak lantas membuatnya ingin beranjak meninggalkan semuanya. Dia manipulatif dengan ingin menjelma sebagai seorang sahabat dengan kadar yang membuat posisi saya lebih dari seharusnya.

Sahabat tidak saling mencintai. Katanya. Tapi menurut saya sahabat juga tidak saling menuntut. Tidak selalu ingin didengarkan ketika salah satu memang tidak ingin mendengar. Sahabat tidak akan saling menyakiti. Katanya lagi. Tapi dengan selalu mengikuti, itu justru bentuk menyakiti yang membuat memar di hati.

Dia memilih buta seperti halnya saya yang juga memilih buta.

Dia memilih untuk menyangkal bahwa apa yang saya lakukan selama ini adalah sepenggal sayang. Saya memilih buta karena menganggap penolakan demi penolakan yang dia pertontonkan hanyalah sebuah bentuk ketidakpercayaan. Tidak percaya saya mampu memberinya kebahagiaan karena kami tidak seiman. Hanya karena saya tidak memiliki mata segaris seperti yang Tuhan lukis di wajahnya, dia ragu untuk bilang “yes, i do”. Tapi itu haknya, seperti hak dia untuk tetap berada di dekat saya dengan alasan sebuah persahabatan.

Kami mungkin sama-sama menyangkal untuk sebuah alasan. Alasan yang akan membuat sebagian besar orang terbelalak dan hanya berpikir itu hanya sebuah bualan. Alasan untuk merasa saling tidak kehilangan. Kehilangan rasa nyaman, kehilangan sandaran, atau kehilangan pegangan. Anehnya kami berdua menikmati penyangkalan itu sehingga kami berdua memilih buta. Memilih mengabaikan apa yang kami rasakan untuk sekedar saling berdekatan. Tanpa ikatan.

Saya dan dia mungkin hanya sedang dininabobokan nyaman. Karena kami berdua tahu kalau suatu saat akan tiba pada sebuah titik yang disebut perpisahan. Akan ada cahaya terang yang menyilaukan yang memaksa kami untuk membuka mata dan melepaskan genggaman. Akan ada suatu waktu dimana akhir adalah akhir yang tidak bisa ditawar lagi. Akan ada waktunya. Waktunya untuk saya melepaskan perasaan sayang yang sudah tumbuh beberapa tahun ke belakang. Dan waktu dia untuk beranjak pergi tanpa lagi memberati langkah yang saya titi.

Saya dan dia sama-sama memilih buta. Tapi saya jauh lebih buta karena meskipun dia sekarang sudah berpasangan, saya tidak lantas menjadikannya alasan untuk berjalan sendirian. Salahkan dia, karena meskipun sekarang statusnya sudah kekasih orang tapi dia tetap saja membuat saya seperti seseorang yang teristimewa. Setidaknya menurut saya. 

Senin, 19 November 2012

Sebuah Pertemuan


Siapa sangka ternyata saya masih bisa bertemu lagi dengannya. Seorang sahabat yang demi alasan mengejar kebahagiaan yang nyata berpindah ke belahan benua yang berbeda dengan saya.

Siapa sangka kalau ternyata saya justru bertemu dengannya di tempat yang tidak kami berdua duga sebelumnya. Sebuah tempat dimana banyak pelancong datang karena dijanjikan suguhan pantai dan laut biru sejauh kita melepaskan pandang.

Tuhan selalu bekerja dengan cara yang misterius. Cara yang kadang tidak bisa dicapai oleh nalar. Dan pertemuan saya dengan seorang sahabat yang saya sayang pasti karena ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Kalau tidak ada campur tangan Tuhan, mana mungkin saya dapat bertemu dengan sahabat saya di tempat yang jauhnya beratus kilo dari tempat yang kami rancang sebelumnya.

Awalnya kami berjanji untuk saling bertemu di Jakarta, kota yang punya sejuta cerita tentang persahabatan kami berdua. Kota yang melingkarkan banyak kenangan entah itu tentang rasa senang maupun tentang rasa muram. Kota yang langsung kami sepakati ketika dia, sahabat saya mengirim pesan kalau dia akan pulang ke Indonesia untuk berlibur.

Tanggal sudah disepakati. Ibarat anak kecil yang dijanjikan pergi tamasya oleh ayahnya, saya melingkari tanggalan denga spidol berwarna mencolok meskipun halaman tanggalan tersebut masih ditutupi oleh lembaran bulan-bulan yang akan datang lebih awal. Saya sangat antusias. Bagaimana tidak, hampir 2 tahun saya tidak pernah bertemu dengannya. Bahkan ketika dia pergi meninggalkan Indonesia, saya tidak bisa mengantarkannya ke bandara. Panggilan dinas membuat saya tidak berada di Jakarta saat itu.

Sahabat macam apa saya ini.

Waktu sudah semakin dekat. Lembar tanggalan yang menutupi tanggal berlingkarkan spidol sudah tidak sebanyak waktu awal. Tiba-tiba masalah mulai mengintai. Paper ilmiah yang saya kirimkan beberapa bulan ke belakang ke sebuah perhelatan konfrensi internasional ternyata diterima. Konsekuensinya saya harus mempresentasikan paper itu dalam acara tersebut. Dan tanggal pelaksanaannya ada dalam kisaran tanggal dimana seharusnya saya bertemu dengan sahabat saya yang akan pulang kandang.

Saya gamang. Ini adalah kesempatan saya untuk bertemu sahabat yang entah kapan lagi akan pulang. Tapi saya juga tidak mungkin mengingkari kehadiran saya ke acara konfrensi.  2 hal yang pastinya akan menerbangkan saya pada dimensi yang berlainan, meskipun ujungnya berupa pemenuhan kebutuhan hati.

Saya mengontak sahabat saya dan bilang kalau sepertinya kali ini saya tidak bisa menemuinya. Saya jelaskan semuanya, tanpa maksud ingin bisa dimengerti. Dan kemudian sahabat saya bertanya dimana saya akan menghadiri konfrensi tersebut. Tanpa diduga dia bilang “Oke kita bertemu tanggal segitu di Senggigi”.

Saya terkejut, cenderung melongo. Saya bilang kalau dia tidak perlu memaksakan diri sampai mengunjungi saya di Senggigi. Tapi belakangan saya tahu kalau ternyata dia memang akan berlibur ke Lombok untuk menyelam dengan pasangannya. Saya senang bukan kepalang, dalam satu kali kayuhan saya bisa memeperoleh 2 hal yang saya inginkan. Bertemu sahabat yang saya sayang, dan berbicara di sebuah konfrensi bertaraf internasional mengenai kekayaan hayati yang dimiliki negeri ini. Berkah Tuhan mana lagi yang harus saya dustakan?

Waktu yang ditentukan akhirnya datang. Selepas konfrensi hari pertama, malam harinya saya bertemu dengan dia. Sahabat yang sudah hampir 2 tahun tidak bisa saya pegang. Sahabat yang saya ikut bahagia karena dia untuk saat ini sudah menemukan kebahagiannya. Kami berpelukan. Lama. 2 tahun terasa baru terjadi kemarin saja, tidak ada yang berubah dengannya kecuali pendar kebahagiaan yang saya temui di matanya. Malam itu untuk pertama kalinya saya juga bertemu dengan pasangannya. Dan seperti yang pernah dia bilang, pasangannya memang sosok yang juga menyenangkan.

Duduk di sebuah restauran di tepi pantai. Menikmati suguhan makan malam sembari sesekali menghitung bintang, kami bertiga dilarutkan oleh keadaan. Ada saat mengenang, ada saat membayangkan masa depan. Hal-hal yang membuat saya semakin yakin kalau dia tidak salah menjatuhkan pilihan. Sahabat saya tidak salah mengejar mimpi yang dia yakini. Tidak salah memilih pasangan yang dia nikahi.

Waktu kalau bisa akan saya perintahkan untuk tidak berganti posisi. Kalaupun tidak, saya ingin dia berdetak selambat mungkin sehingga semua momen bisa saya potret dalam hati. Keintiman yang membuat iri, kebahagiaan yang mengajari. Dan saya terlempar dalam sebuah momen rasa puas hanya dengan mengamati. Menemukan kebahagiaan saya sendiri dalam kebahagiaan yang sudah seorang sahabat dapati.

Sahabat, seperti yang sudah saya bilang malam itu. Malam ketika kita bertiga mentertawakan banyak hal, malam ketika angin laut ikut menyuarakan kidung keceriaan. Saya ikut bahagia untuk setiap tahapan yang sedang kamu lewati. Mungkin tidak semudah apa yang saya bayangkan, tapi lihat kamu sudah berhasil selama 2 tahun ini. Tidak ada lagi keniscayaan ketika kamu mau berjuang. Tidak ada kemustahilan ketika kalian berdua saling mengandalkan. Dan saya sebagai pengamat di luar lingkaran cukup puas dengan apa yang selama 2 tahun ini sudah kalian capai. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia.

Kebahagiaan saya bertemu kalian tidak bisa ditakar. Hati saya penuh bahkan mungkin menggelembung memenuhi rongga yang disekat diafragma. Saya tidak lantas berhenti mendoakan, karena saya tahu kalau jalan untuk kalian masih terpampang panjang di depan. Semoga apa yang kalian sebut cinta terus beranak pinak sampai nanti saat senja. Saat uban kalian sudah tidak bisa ditahan tumbuh di kepala.

 Terima kasih untuk hadiah parfum dan body lotionnya. Ternyata kamu tidak pernah lupa mengenai apa yang saya suka.

Jumat, 16 November 2012

Quick Updates


Hai, kangen sama aku?

Sama aku juga kangen sama kalian. Bukan berarti karena aku sekarang jarang menyambangi terus kalian merasa tersisihkan lho yah.

Keadaan sekarang sedang tidak memungkinkan untuk aku bermain-main dengan kalian. Padahal semua tentang kalian menari-nari di dalam kepala minta ditunaskan atau setidaknya dibebaskan. Untuk itu aku minta maaf.

Rentetan perjalanan dinas yang membuat aku hidup seperti di dalam bandara turut andil dalam terjadinya keadaan ini. Tagihan jurnal-jurnal ilmiah yang mengetuk di setiap kesempatan membuat aku lebih banyak bermain dengan kawan kalian dari kelompok yang berlainan. Aku harap kalian tidak lantas cemburu, kemudian memboikot datang ketika keadaan sudah beranjak nyaman nanti. Kalian masih menempati ruang teristimewa di salah satu bagian di dalam kepala. Sekarang hanya sedang tidak memungkinkan untuk kita bercengkrama seperti biasa.

Doakan saja aku. Semoga semua tuntutan pekerjaan dan semua tagihan yang pernah aku janjikan di awal kegiatan dulu segera terselesaikan. Aku tahu kalian akan setia menunggu, tidak peduli aku yang terus melaju tanpa memberikan banyak sapa. Aku tahu kalian mengerti karena apa yang sekarang aku jalani adalah setangkup perjalanan untuk meraih asa dan cita-cita.

Seperti pernah aku bilang ketika kita pertama kali berkenalan. Kalianlah air yang menyesatkanku dalam cinta tak bermuara. Tanpa kalian aku bukan apa-apa.

Semoga kita bisa segera berlarian di taman seperti sedia kala.

*Ngomong sama kata-kata penuh diksi yang terbengkalai di dalam tulang kepala.

Senin, 22 Oktober 2012

Dia Hadir Kembali


Lewat tengah malam engkau datang diam-diam. Awalnya pelan, kemudian beranjak lantang. Seperti anak muda yang tiba-tiba menjadi dewasa, tanpa takut engkau terus datang bertandang. Memang belum sesering seperti satu tahun kebelakang, tapi setidaknya engkau kini mulai mengabarkan kalau engkau siap lagi menghadang.

Banyak yang bersuka cita meskipun tidak sedikit juga yang tidak rela. Tapi seperti engkau pernah bilang lewat bisikan yang justru meninabobokan, itulah hidup. Tidak selamanya kita bisa menyenangkan semua orang. Selalu ada pro dan kontra, selalu ada pertentangan. Dan engkau menjelma ksatria. Tidak gentar pada semua cacian yang membayang.

Engkau hanya merasa bahawa sekarang saatnya. Waktu yang paling tepat untuk melanjutkan cerita yang pernah tertunda. Entah apa yang sesungguhnya engkau lakukan ketika engkau mulai jarang datang sampai akhirnya benar-benar menghilang. Tidak ada kabar pasti, hanya sebuah janji yang tergores di ranting-ranting cemara yang daunnya ranggas karena proses absisi. Engkau bilang engkau pasti akan kembali. Menggagas lagi cerita pengisi hari.

Dan engkau membuktikan janjimu. Engkau tidak ingin disebut pengecut karena sudah mengingkari ikrar yang  engkau buat sendiri. Mungkin terlambat, tidak sesuai dengan waktu yang berlaku. Tapi engkau kini mulai datang menyambangi sehingga orang-orang tidak perlu lagi menggugat sepanjang pagi. Berharap engkau datang kala senja meluruhkan surya, atau ketika hitam menyelimuti malam.

Aku masih saja penasaran. Lebih ke ingin belajar sebetulnya. Aku ingin tahu apa yang engkau lakukan ketika engkau menghilang? Apa yang engkau lakukan ketika engkau tersisihkan? Tidak bisa datang karena tergantikan oleh sesuatu yang sudah menjadi sabda alam. Aku ingin belajar, bagaimana engkau bisa menghilangkan dendam karena untuk sementara waktu engkau justru termarjinalkan? Aku sungguh-sungguh ingin belajar tentang itu.

Menjadi ksatria memang tidak mudah. Begitu yang sayup-sayup aku dengar ketika engkau menyambangiku untuk pertama kalinya lewat tengah malam beberapa hari ke belakang. Sayup-sayup yang aku rekam dalam diam. Sayup-sayup yang hanya menjadi sebuah pertanda kalau engkau kini akan rajin mendatangi. Sayup yang perlahan tapi pasti berubah menjadi bunyi. Seperti tetaluan yang dibunyikan ketika menyambut sebuah kemenangan. Memekakkan.

Sesungguhnya aku merindukanmu. Rindu pada belaian yang mengantarkanku pada mimpi pengisi sunyi. Rindu pada bisikanmu yang mendongengkan cerita-cerita tentang ksatria pemberani yang tidak pernah gentar melewati cobaan sebangsa duri. Ksatria yang mungkin hanya bualanmu saja. Ksatria yang sengaja kamu reka untuk memuaskan telingaku tentang cerita epik yang selalu membuatku dahaga. Dan seperti biasa ceritamu layaknya air yang menyesatkanku dalam cinta tak bermuara.

Lewat tengah malam kamu datang diam-diam. Awalnya pelan, kemudian beranjak lantang. Seperti seorang ksatria yang selama ini engkau ceritakan, engkau menjelma dalam langit gelap berbatas pandang. Dan rinduku terobati. Terkikis oleh suaramu yang merdu mengalun lagu. Menghilang oleh rintik yang turun perlahan. Mengenyahkan debu yang menebal ditabung waktu. Meniupkan harapan pada semesta bahwa hidup siap diputar kembali.

Hantarkan aku pada purna mimpi seperti dulu. Saat kita menjalin hubungan dalam ceruk berisi sisa air yang engkau curahkan semalaman. Hilangkan dahagaku, enyahkan kegalauanku. Bersamamu aku yakin kalau hidup akan terus berpihak kepadaku. Seperti engkau yang sebetulnya tidak pernah benar-benar meninggalkanku.

Mari kita tuntaskan rindu lewat permainan cinta semalam suntuk. Kita tuntaskan apa yang selama ini belum kita selesaikan. Lewat percikmu aku menguntai harapan. Lewat kedatanganmu aku menggelembungkan banyak pengharapan. Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Hujan.

Senin, 15 Oktober 2012

Namanya Sahabat


“Sebagaimanapun kita tidak suka dengan bagaimana caranya mendapatkan pasangan, tetapi ketika akhirnya mereka berdua memutuskan untuk menikah itu artinya mereka berdua berjodoh”

“Sebuah jalan Tuhan”

Itu yang saya tuliskan di wall Path saya hari minggu pagi kemarin. Entah kenapa saya tergerak untuk menuliskan kalimat itu bahkan ketika kesadaran saya belum seutuhnya penuh. Saya masih berbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi hampir seluruh permukaan badan. Dan saya seperti dituntun untuk menuliskan kalimat tersebut. Tanpa tendensi. Tanpa kemarahan.

Ya, saya tidak lagi marah. Tidak lagi kesal dengan apa yang selama ini saya simpan. Sebuah ketidaksukaan terhadap seseorang karena caranya mendapatkan pasangan. Ketidaksukaan karena dia tega mengambil satu-satunya pengharapan yang selama ini saya pelihara. Mungkin benar saya hanya memeliharanya dalam angan, dalam bentuk impian, tapi saya menjaganya sambil berdoa. Berharap jikalau semuanya akan berubah menjadi nyata. Menemukan jalannya untuk direalisasi sehingga terbangun dari sebentuk mimpi.

Sebut saya berlebihan. Mengklaim sesuatu yang sebetulnya tidak jelas ujung kesimpulannya. Memagari sesuatu yang sebetulnya memang belum termiliki, belum menjadi bagian dari hati seperti yang selama ini saya rekam dalam imagi. Seperti saya bilang, saya hanya memelihara mimpi. Memupuk keinginan dalam angan. Berharap pada sesuatu yang saya tahu dari awal kalau apa yang saya inginkan tidak akan pernah berlaku.

Tapi saya cukup bahagia dengan memilikinya sebagai mimpi.

Dan sahabat saya tahu itu. Dengannya saya berbagi, mengurai semua apa yang saya rasakan pada seseorang yang belum bisa saya miliki. Dengannya saya mentertawakan kebodohan saya sendiri karena saya seperti dibutakan keadaan. Bertahan pada pijakan yang menurut saya benar. Melangkah pada titian yang kalau saya terus perjuangkan akan membawa saya pada sebuah tujuan.

Sahabat saya mengamini. Ikut mendoakan agar semua harap yang saya panjatkan bisa bertemu dengan kenyataan. Atau paling tidak sebuah kesadaran kalau sesungguhnya dia bukan orang yang tepat untuk terus dikejar. Bukan orang yang pantas untuk terus diperjuangkan ketika dia lebih banyak mempertontonkan penolakan meskipun dalam diam. Bersama sahabat saya itu, semuanya saya lalui. Dan dia membuat saya kuat untuk terus berdiri dan berlari. Mengejar dan meyakini apa yang menurut saya benar. Mungkin itulah gunanya seorang sahabat.

Sampai suatu hari. Sahabat saya mengajak bertemu di tempat biasa kami berbagi mimpi. Tidak ada firasat buruk, tidak ada prasangka karena hal itu sudah biasa ketika saya berada di Bandung. Bertemu sekedar untuk merecharge hati dengan cerita-cerita konyol yang kejadian selama kami berjauhan. Mentertawakan hidup yang seringnya mentertawakan kami lebih duluan. Bagaimana tidak, di usia kami yang tidak lagi muda kami belum lantas memiliki seorang pasangan. Kasihan.

Kami bercerita seperti biasa. Membuka aib masing-masing dan saling membully. Seperti itulah kami saling menyanyangi. Saling menunjukkan kalau kami saling peduli, meski lewat hujatan. Dan kami tidak pernah sakit hati karena kami sudah sama-sama mengerti. Lewat kalimat-kalimat yang menikam kami berbagi kasih sayang. Mencintai dengan cara yang orang nilai anomali.

“Dia menyatakan cinta pada saya, dan saya menerimanya” Begitu kalimat yang dia ucapkan diantara banyak percakapan sampah yang keluar dari mulut kami sore itu. Saya sontak diam. Butuh beberapa saat untuk merespon apa yang baru saja dia lontarkan. Saya menanggapinya sambil menata perasaan yang tiba-tiba berantakan. Saya hanya bereaksi wajar, seolah-olah saya antusias dengan apa yang dia sampaikan padahal kalau disimak benar hati saya sobek perlahan.

Tidak ada alasan saya untuk keberatan toh seseorang yang saya simpan dalam koridor mimpi itu memang belum termiliki. Saya hanya marah, atau kecewa karena yang justru mengambilnya adalah sahabat saya sendiri. Orang yang paling tahu bagaimana perasaan saya terhadap dia. Orang terdekat yang tidak pernah lupa mendoakan untuk saya mendapat jalan sehingga bisa berdampingan dengan impian yang selama ini saya simpan.

Setelah kejadian itu saya lebih banyak menghindar. Terdengar picik dan kekanak-kanakan, tapi saya butuh waktu untuk proses penyembuhan. Saya butuh banyak perenungan untuk menjadi mengerti kalau semua ini layak terjadi. Saya juga butuh sendiri untuk menjawab banyak pertanyaan mengenai sejak kapan dan bagaimana awalan semuanya bisa kejadian. Saya benar-benar butuh sendiri. Bertemu dia dengan tergesa hanya akan membuat saya lebih jatuh dan terpuruk.

Semua berjalan seperti apa yang saya ingini. Sahabat saya juga tidak memburu-buru agar saya cepat mengerti. Kami menggembok diri dengan sunyi. Memagari semua kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Tidak saling memaksakan diri bertemu untuk sekedar berbasa-basi. Masing-masing dari kami saling menghindar.

Sebetulnya saya tidak layak untuk keberatan. Tidak layak untuk marah pada keadaan yang menjadikan mereka kemudian sebagai pasangan. Tidak ada hak saya untuk melarang, apalagi menghalang-halangi mereka yang entah bagaimana bisa terlibat sebuah percintaan. Saya sebagai manusia biasa hanya merasa dikhianati. Disabotase oleh orang yang kadang mengenal saya jauh dari saya sendiri. Tapi saya bisa apa, saya hanya manusia biasa. Punya rasa sakit ketika ditikam dari belakang.

Saya pelan-pelan memaafkan. Dalam diam karena saya masih saja ingin menghindar. Sampai akhirnya sahabat saya mengabari duluan. Membewarakan kalau seseorang yang pernah saya simpan dalam impian melamarnya dan dia menerima. Bulan Januari mereka berencana untuk melangsungkan pernikahan. Membaca bbm-nya membuat saya menangis, meratapi nasib saya. Tapi itu hanya sebentar karena beberapa saat kemudian entah dengan kekuatan yang datangnya dari mana, saya memiliki kekuatan untuk memaafkan dan melupakan.

Saya ikut bahagia karena saya percaya ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Tidak mungkin akan kejadian kalau Tuhan tidak mengizinkan. Dengan bekal itu saya menulis kalimat yang saya share di wall Path saya, tanpa ada lagi dendam.

Selasa, 25 September 2012

While You Were Sleeping


Aku senang memandangi wajahnya saat dia sedang terlelap. Rasanya damai.  Seperti malam itu di ruang preparasi laboratorium mikrobiologi di kampusku, kampus kami. Dia tidur seperti bayi, tidak terganggu oleh aktivitasku yang hilir mudik mengerjakan penelitian tugas akhir jaman kuliah sarjana dulu.

Awalnya dia tidak mau menemaniku, katanya tidak ada kerjaan menunggui orang yang sedang menghitung jumlah bakteri per dua jam hanya untuk melihat kurva pertumbuhannya. Melihat kapan bakteri-bakteri itu mulai tumbuh pesat, lalu tumbuh stagnan kemudian mengalami fase kematian. Otak tekniknya menganggap pekerjaanku hanya buang-buang waktu. Sesuatu yang tidak perlu dikaji secara teliti.

Hal-hal seperti itu biasanya menjadi sumber pertengkaran. Sampai aku bosan melayani dan dia bosan mempertanyakan. Kami hanya melakukan kewajiban ‘menemani’ seperti apa yang dilakukan pasangan lain. Menguatkan secara emosi meski kadang tidak bisa membantu secara fisik. Seperti beberapa hari sebelum malam itu, aku merajuk untuk ditemani menginap di lab. Dan dia menolak layaknya biasa. Bagi dia kalau bisa berkata tidak untuk apa mempermudah keadaan dengan mengatakan iya. Aku sudah hapal benar tabiatnya. Sialan.

Aku tetap bertahan. Keukeuh minta ditemani dengan alasan tidak ada partner lain yang mengerjakan hal serupa. Biasanya aku memang tandem dengan teman-teman lain yang tema penelitiannya relatif serupa. Sayang, hari itu tidak ada yang merencanakan melakukan pekerjaan yang sama sehingga aku harus mengerjakannya sendirian. Tidak masalah sebetulnya, karena meskipun tandem kami akan bekerja sendiri-sendiri, hanya saja merasa tertemani.

Rumor mengenai keangkeran kampus kami, termasuk “si gaun merah” penghuni selasar di lantai 4 lab mikrobiologi yang menyebabkan aku tidak pernah berani bekerja sendirian malam hari. Apalagi harus menginap. Karenanya aku mengajak dia, yang berstatus sebagai kekasihku untuk menemani. Tidak peduli kalau nanti dia hanya tidur di kasur lipat yang sengaja aku bawa dari rumah, setidaknya aku tidak merasa sendiri. Ada dia, meskipun dukungan terbesar yang bisa dilakukannya hanyalah terlelap dengan nyenyak.

Aku senang memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap. Rasanya damai. Seperti malam itu ketika aku di sela-sela waktu jeda duduk memeluk lutut di sebelahnya. Tanpa banyak suara aku hanya mengamati. Menelisik hampir setiap bagian tubuhnya yang malam itu lagi-lagi dibalut jaket himpunan kebanggaannya. Jaket himpunan yang sering berbau tidak enak saking jarangnya bertemu air dan sabun. Jaket himpunan yang pernah aku ambil diam-diam dari kosannya untuk kemudian aku laundry di binatu dekat kampus.

Aku senang memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap. Rasanya damai. Dan sepertinya aku kecanduan. Terpuaskan hanya dengan memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap. Menyihirku agar tidak kesal dengan kebiasaannya yang bisa tidur di mana saja dan kapan saja. Tidak peduli saat itu kami sedang berdiskusi, atau sedang duduk saling bersisian sambil menonton DVD secara marathon di kosannya yang berantakan. Kalaupun aku mengutarakan kekesalanku, maka dengan cekatan dia akan mengucapkan kalimat andalannya “Kalau dekat kamu itu rasanya nyaman. Membuatku aman” Gombal.

Kebiasaanku memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap harus dihentikan saat kami berdua mencapai titik akhir sebuah tujuan. Kelulusan. Meskipun aku dan dia berbeda angkatan, tapi kami lulus berbarengan. Dia terlambat dengan alasan bahwa lulus kuliah di jurusan teknik tidak semudah lulus dari jurusanku yang hanya dengan menghitung jumlah bakteri bisa naik ke podium dan dinyatakan berhasil menyabet sebuah gelar.

Setelah lulus, dia harus pulang ke kampungnya. Mungkin lebih tepat ingin pulang karena jiwa aktivisnya membuat dia ingin membangun kampung halamannya. Aku tidak memaksa dia untuk tetap tinggal. Percuma. Dia tipikal orang dengan sifat kalau memiliki keinginan maka harus dilaksanakan atau setidaknya diperjuangkan, dan aku sebetulnya bangga. Sayangnya kami tidak percaya dengan LDR, Long Distance Relationship yang sering kami pelesetkan menjadi Lots of Drama Relationship.  Kami harus mengambil satu keputusan. Perpisahan.

Terakhir aku bertemu dengannya di bandara ketika aku mengantarnya. Setelah itu tidak pernah ada kabar berita. Masing-masing dari kami saling menjaga hati untuk tidak saling menyakiti. Saling berkirim kabar hanya akan membuat luka yang menganga menjadi semakin menganga. Menyulitkan hati untuk kembali membuka diri.

Waktu menyembuhkan. Putaran hari membuat perasaan termanipulasi. Seolah-olah kenangan itu terbenam dalam padahal sebetulnya terkubur dangkal. Membuat perasaan hati seolah mati padahal dia hanya mati suri. Mudah sekali dibangunkan oleh sesuatu yang sebetulnya tidak terlalu berkesan. Perasaan itu pernah terbangun ketika aku memperoleh kabar dari seorang rekan kalau dia sekarang bermukim di jakarta. Di kota yang sama dengan tempat aku tinggal. Meski begitu kami tidak pernah saling mencari. Kami merasa apa yang sudah terjadi di belakang memang harus di simpan di belakang.

Sampai kemarin. Senin, 24 September 2012. Aku bertemu lagi dengan dia untuk pertama kalinya sejak perpisahan di bandara 9 tahun silam. Aku bertemu lagi dengannya di bandara yang sama. Dan entah konspirasi macam apa yang telah diatur dunia sehingga aku harus sepesawat dengannya dan duduk sejajar hanya dipisahkan oleh sepetak gang. Aku bertindak wajar seperti halnya dia. Tidak banyak perbincangan karena baik aku atau dia masih dikejutkan oleh kebetulan yang rasanya menyesakkan. Kami hanya dibalut diam.

Kebiasaanya ternyata tidak banyak berubah. Layaknya dulu, sore itu dia memakai jaket company tempat dia bekerja. Tidak lama setelah pesawat lepas landas dia kemudian asyik terlelap dilambung impian. Aku diuntungkan. Memiliki kesempatan untuk mentamasyakan hati untuk bernostalgia dengan apa yang dulu sering aku lakukan. Mengamati wajahnya yang damai ketika dia sedang tidur terlelap.

Puluhan kenangan berlarian minta ditayangkan.Seringnya baur terkadang jelas seperti baru saja kejadian. Tapi tidak banyak yang bisa dilakukan. Apalagi kemudian aku melihat sebuah cincin yang melingkar di salah satu jari manisnya.

Balikpapan, 25 September 2012.

Sabtu, 22 September 2012

Mamak Paraji


Ibuku seorang mamak paraji. Dia mendapatkan uang dari hasil orang mengejan. Dia memperoleh bayaran ketika membantu seorang ibu berjuang mengeluarkan bayi melalui proses yang dikenal dengan nama melahirkan.

Ibuku seorang mamak paraji. Dari kecil aku sudah akrab dengan suara tangisan bayi yang bisa terjadi kapan saja tidak kenal waktu. Bisa siang ketika benderang tapi tak jarang juga malam ketika katanya banyak hantu-hantu gentayangan. Bukan hanya suara tangisan bayi, aku juga sudah terbiasa dengan jeritan ibu-ibu yang geram karena kesakitan. Tak jarang aku mendengar ibuku dicaci dan dimarahi karena bayi yang ada di perut tak kunjung keluar. Anehnya ibuku yang seorang mamak paraji hanya diam.

Sebetulnya aku sedikit tidak senang ibuku berprofesi sebagai mamak paraji. Bukan karena aku tidak tahan melihat darah atau tidak tega melihat ibuku dimarahi orang yang sedang mengejan. Aku tidak begitu senang karena waktu ibu buatku menjadi sangat minim. Memang aku tidak pernah kekurangan kasih sayang, apalagi uang jajan tapi waktu ibuku menjadi sangat tersita. Sedari dulu aku harus belajar berbagi, ibuku bukan hanya milikku satu.

Ibuku seorang mamak paraji. Dia menghidupiku dari uang hasil orang mengejan. Berkolaborasi sempurna dengan bapakku yang seorang mantri kesehatan, menjadikanku makan dan sekolah dari uang para pasien yang bertandang. Lewat tangan para pasien-pasien itu dapur di rumah kami tetap mengepul. Lewat rezeki yang datang dari pasien-pasien itu aku bisa bersekolah di tempat yang bagus, menyemai mimpi agar suatu saat aku bisa menjadi mamak paraji seperti ibu atau mantri kesehatan layaknya bapak.

Pernah suatu hari aku bertanya kepada ibuku yang seorang mamak paraji kenapa dia seperti tidak pernah lelah. Seakan waktu baginya lebih dari 24 jam dalam sehari semalam. Dan aku tidak mendapatkan jawaban. Sebagai gantinya ibuku yang seorang mamak paraji membisikanku sesuatu. Dia bilang dia tidak pernah lelah karena dia punya mantra rahasia yang bisa mengenyahkan lelah dalam sekali hentakan. Aku mengejarnya dengan pertanyaan apa bunyi mantra tersebut. Otak kanak-kanakku tertarik dengan mantra seperti aku tertarik pada kembang gula sehingga dengan sabar aku menunggu ibu memberitahukan rahasia itu. Masih berbisik ibu memberitahukan rahasia itu langsung ke arah telingaku. Kata ibu mantra itu “uang...uang...uang”.

Ibuku seorang mamak paraji. Dia tidak menTuhankan uang, tidak menganggap kalau uang adalah sumber segala kebahagiaan. Ibu pernah bilang kalau kita melayani dengan tulus dan iklhas maka uang akan mengikuti sebagai imbalan. Setimpal dengan kerja keras yang sudah kita lakukan. Itu yang terus diajarkan ibu kepadaku. Uang bukan segala-galanya, tapi melihat kebahagiaan di wajah orang-orang yang sudah terlayani dengan tulus akan membuat semuanya lebih mudah. Membuat semua kesukaran akan menemukan jalan keluar termasuk penghidupan.

Ibuku seorang mamak paraji, dari tangannya mungkin sudah ribuan bayi diperkenalkan pada dunia luar. Tapi meskipun demikian, dia belum pernah menolong seorang bayi yang sampai kini masih diidam-idamkannya. Bayi mungil dimana ada darahnya yang ikut mengalir di dalam arteri dan aorta bayi tersebut. Bayi yang pastinya lucu. Bayi yang merupakan sumber banyak kebahagiaan. Bayi yang akan meneruskan silsilah keturunannya. Anakku. Cucu ibu.

Hari ini ibukku yang seorang mamak paraji merayakan hari jadinya yang ke-54. Dan sampai hari ini pula aku masih menyesal karena belum bisa memberinya seorang keturunan. Memang ibuku yang seorang mamak paraji tidak menuntutku berlebihan, tapi aku tahu kalau dia diam-diam menginginkannya. Tidak banyak bicara tapi aku yakin kalau ada keinginan itu terselip diantara doa-doanya.

Selamat ulang tahun mamak paraji. Semoga umurmu dipanjangkan oleh Allah SWT, dilimpahi banyak kebahagiaan dan diberikan keberkahan lewat tanganmu yang tidak pernah berhenti menolong orang. Tidak banyak yang bisa aku berikan, hanya setangkup doa agar sisa umurmu menjadi berkah yang akan membuatmu menjadi bagian dari orang-orang yang mulia. Amin.

Tiap tahun aku tidak bosan untuk juga meminta dimaafkan atas segala kesalahan dan ketidakmudahan selama aku menjadi anakmu. Atas kesabaranmu mendidik dan membesarkan aku. Kesabaran menunggu aku memberimu cucu. Ah sudahlah, bukankah semua itu pasti ada waktunya, aku hanya sedang menunggu giliran seperti apa yang sering engkau bilang. Yang pasti aku akan terus berusaha membahagiakanmu. Dengan caraku.

Ibuku seorang mamak paraji, dan hari ini dia sedang berulang tahun. Meskipun demikian dia tidak berhenti dari kegiatannya menolong orang yang sedang mengejan sambil merapal mantra andalannya. Uang...uang..uang...


Selasa, 18 September 2012

Tak Perlu Cemburu


Seharusnya aku tidak perlu cemburu.

Ya seharusnya. Karena sudah dari dulu kamu tidak pernah tertarik dengan aku. Kamu hanya menganggap aku sebagai seorang sahabat, tidak lebih. Sahabat yang kemudian lambat laun pernah menyemai cinta yang datangnya tiba-tiba. Cinta yang datang begitu saja. Tanpa permisi, tanpa bisa disuruh pergi.

Awalnya aku mengira itu hanya sementara. Buah dari kedekatan yang intens. Reaksi dari pertemuan dan percakapan yang terlalu sering. Kemudian aku merasa nyaman. Merasa menemukan pelabuhan untuk sekedar menambatkan hati. Menguntai serakan kelopak rasa yang datang tiba-tiba. Tanpa permisi, tanpa bisa disuruh pergi.

Dan aku salah. Rasa itu tidak lantas mau pergi bahkan ketika waktu sudah banyak berlalu. Rasa itu mengendap, tidak mudah dienyahkan bahkan ketika sudah banyak hati lain yang datang bergantian. Rasa itu seperti tidak mau mati, minta dituntaskan padahal sudah tidak ada jalan.

Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Membelanjakan perasaan yang ujungnya hanya berupa jalan tak bertuan. Harusnya aku hanya menjadi pendengar setia ketika kamu dengan antusias menceritakan seseorang yang sekarang sedang dekat bersamamu. Seseorang yang katanya membuatmu utuh karena mengisi banyak kekosongan di hatimu. Seseorang yang mampu memberimu semangat ketika banyak halangan yang harus disingkarkan. Seperti aku terhadapmu. Dulu.

Coba kamu dengar lebih seksama. Kalaupun aku lebih banyak diam dan mendengarkan ketika pagi itu kita duduk berisisian, hati aku gaduh. Ramai oleh banyak sekali keberatan yang terlontar tanpa perkataan. Aku lebih banyak diam seolah menyimak dengan benar tentang dia yang kamu bangga-banggakan, seolah aku antusias dengan apa yang kini kamu rasakan. Padahal semua itu adalah caraku meredam gaduh. Mengalihkan ramai yang hati tengah rasakan.

Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Bahkan ketika nama laki-laki itu muncul di layar telponmu, atau ketika kamu berbicara sambil setengah berbisik kepadanya. Seharusnya aku tidak perlu cemburu pagi itu. Tapi aku mendadak berharap tuli, tidak ingin mendengar apa yang kalian perbincangkan. Berharap kalau suara tidak bisa merambat melalui udara dan hanya sebuah momentum yang hanya menghubungkan mulutmu dengan telinganya dan sebaliknya. Aku tidak perlu terlibat.

Entah bagaimana caranya membunuh cinta. Atau setidaknya rasa yang mengendap kalau itu tidak lagi layak dikatagorikan cinta. Aku bosan diganduli perasaan yang masih terus saja mengganggu padahal aku tahu ujung jalannya serupa buntu. Tidak akan pernah ada jalan keluar, karena selayaknya aku, kamu juga bertahan. Bertahan untuk tidak lantas peduli. Bertahan untuk menganggap apa yang pernah aku lakukan dan utarakan hanyalah setangkup masa lalu.

Memang akhirnya selalu aku yang bersalah. Tidak perlu diberi tahu karena aku sadar benar kalau apa yang aku jalankan adalah sebuah langkah yang keliru. Memupuk perasaan yang seharusnya sudah dienyahkan ketika malam itu, di kostmu kamu berkata bahwa diantara kita tidak mungkin ada apa-apa. Ada yang harus lebih dihormati selain cinta yang tumbuh tanpa permisi, persahabatan itu sendiri.

Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Yang perlu aku lakukan hanyalah membunuh rasa yang sudah sekian lama mengendap. Entah dengan cara apa.

Jumat, 14 September 2012

Pertengkaran Itu...


Gelap. Hanya hitam yang kemudian kudapati sesaat setelah sensasi kilatan cahaya menyelinap menghampiri mata. Aku terpelating, badanku tidak siap menerima gerakan yang tiba-tiba sehingga badanku mencium lantai sepenuhnya.

Kurasakan panas yang menjalar di seputaran mata, merambat perlahan yang kemudian menjelma menjadi sebuah kesakitan. Dalam kondisi masih gelap dan badan yang juga masih luruh di atas lantai, aku mencoba meraba-raba. Mencari sedikit cahaya yang bisa menuntunku berdiri. Tapi sebelum cahaya itu kutemui, rasa panas di seputaran mata itu semakin menjadi, membakar retina sampai keluar air mata.

Dengan kekuatan yang sedikit tersiksa, aku mencoba berdiri dengan menopangkan tangan di sudut meja. Sedikit demi sedikit kesadaran aku pulih meskipun rasa sakit yang mendera kepala berubah menjadi pening yang berputar-putar tidak karuan. Aku tak abaikan, aku terus mencoba berdiri, mengumpulan keberanian untuk melihat dalam keremangan yang mengelabui jarak pandang.

Kucoba mengingat, mengurai rentetan peristiwa yang hanya terjadi dalam hitungan 10 jari. Panas masih menjalar di mata sebelah kananku sementara air mata terus mengalir seperti berusaha meredam panas yang tercipta dan mencegahnya gosong hingga menjadi bara. Rentetan peristiwa itu justru baur ketika aku mecoba menguntainya menjadi sebuah jalan cerita yang utuh. Seperti ada bagian-bagian yang hilang berserakan entah ke arah mana. Aku masih terus mencoba berdiri sementara dadaku penuh, memburu, tersumbat emosi.

Lambat laun aku bisa menginderai sesuatu. Seseorang yang aku kenal benar sedang duduk gemetar juga di atas lantai. Mukanya pucat seperti habis melihat hantu, tangan kirinya menutupi tangan kanannya yang bergetar hebat. Aku masih menangis, efek dari rasa panas dan pusing yang masih berdiam di dalam kepala. Sementara dia hanya diam. Tidak berusaha menolong tidak juga berusaha menghindar. Kami saling berpandangan.

Tiba-tiba aku berteriak di awal kesadaranku yang mulai pulih. Aku menemukan kewarasanku tentang semua peristiwa yang tadi sempat hilang melompat-lompat dalam impuls syaraf seumpama gerak brown. Acak. Tidak karuan. Aku berteriak seperti orang kerasukan. Tubuh bergocang karena emosi yang meledak tiba-tiba seperti granat nanas yang dilemparkan ke medan peperangan. Aku meronta di tengah ketidakbedayaan. Aku terus berontak di tengah panas dan sakit yang mendera bagian kepala secara bersamaan.

Sementara dia masih gemetar. Wajahnya sepucat mayat. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Tidak ada usaha untuk menghindar ketika aku mendekatinya dan mengangkat kerah baju di lehernya. Entah dengan kekuatan yang datangnya dari mana, aku memaksanya berdiri dan menyeretnya ke pintu apartemen yang terkunci. Dengan nafas yang masih saja menderu, aku membuka pintu dan mendorongnya ke arah gang kemudian menutup pintu dan menguncinya seperti tadi.

Aku bersandar di balik pintu, memelorotkan tubuh sampai duduk terkulai di atas lantai. Tidak aku pedulikan suara ketukan dan rengekan permintaan maaf dari balik pintu. Aku hanya diam seperti ditotok seumpama patung. Sadar tetapi tidak punya sedikitpun kekuatan untuk sekedar menggerakan badan. Perlahan aku menangis, pelan sampai kemudian terisak tanpa suara. Aku hilang faham, aku mutlak kehilangan akal atas apa yang barusan dia lakukan.

Bagaimana cinta membuatnya menjadi sedemikian brutal. Bagaimana mungkin takut kehilangan bisa membuatnya beringas dan bertindak tak memakai aturan. Banyak pertanyaan berseliweran di ranah pemikiran, sampai akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan bahwa meninggalkannya merupakan keputusan yang tidak perlu ditinjau ulang. Berpisah adalah langkah paling tepat untuk digagas bahkan sebelum peristiwa barusan kejadian.

Aku mencintainya, dulu. Dia mencintaiku, katanya. Mungkin dengan porsi yang berlainan. Aku mencintainya dengan cukup sementara dia mencintaiku berlebihan. Dan mungkin karena aku tidak bisa menampungnya secara keseluruhan makanya dia membaginya dengan orang. Menyelingkuhiku di belakang. Dan aku tidak pernah punya ampun untuk sebuah perselingkuhan meskipun dia bersumpah telah memutuskan si selingkuhan dan meminta aku untuk balikan.

Tidak. Tidak akan pernah aku merubah pendirian untuk sebuah ketidaksetiaan. Bentuk memaafkan kesalahan yang paling tepat untuk sebuah perselingkuhan  adalah dengan meninggalkan dan tidak ingin diajak memulainya lagi dari awal. Kesempatan sudah disia-siakan maka tidak perlu lagi ada pembelaan atas dasar kekhilafan. Sekali terjadi tidak mustahil kalau hal tersebut akan berulang di depan. Dan aku tidak ingin jatuh kasihan dengan memberinya satu lagi kesempatan. Usai berarti akhir. Selesai adalah titik.

Malam itu, ketika udara di luar begitu mengigilkan dia datang lagi. Mengagas usulan untuk berdamai dan mengulang apa yang pernah hati bicarakan. Sayang aku sudah bebal, tidak mempan oleh berbagai rayuan ataupun maaf yang dimintakan. Aku memaafkan tapi tidak ada alasan untuk memulainya lagi seolah perselingkuhan adalah hal yang bisa mudah terlupakan. Aku bertahan dengan pendirian ingin sendirian. Aku berdiri pada titik menutup kesempatan pada permintaan yang dia ingin aku kabulkan.

Dan dia kalap. Tidak terima dengan sikap bertahan yang aku pertontonkan. Kami beradu argumen. Saling berteriak hingga suaranya menggema di lorong-lorong apartemen yang kosong. Tidak ada yang melerai, tidak ada satupun yang meredakan. Kami sama-sama bertahan pada keinginan yang justru berlainan. Dan ketika aku terpancing untuk terus berteriak sambil menunjuk-nunjuk tepat di bagian matanya yang hanya berupa garis lurus, dia bereaksi keras. Dengan kekuatan penuh dia mendaratkan tinjunya tepat di mataku sebelah kanan. Dua kali. Setelah itu gelap.

Aku masih bersendar di balik pintu yang tidak lagi mengeluarkan suara hasil ketukan. Masih menangis karena menyesali kemalangan sekaligus mensyukuri berkah atas apa yang baru saja Tuhan tunjukan. Orang yang selama ini aku sayang, yang perilakunya lembut dan tidak pernah mengumbar kekerasan tiba-tiba menunjukan tabiat aslinya. Dia melepas topeng yang selama ini dikenakannya, berubah wujud menjadi seseorang yang sama sekali tidak aku kenal.

Di luar hujan masih turun tidak berkesudahan. Hawa dingin menyelusup dengan leluasa lewat kisi-kisi jendela yang terbuka. Sakit di bagian kepala sekarang sudah menjalar ke bagian dada. Tepat di hati dia beranak pinak menjadi bilur-bilur yang mengeluarkan darah. Untung otak masih bisa diajak menganalisis langkah yang harus diambil sesudahnya, melaporkannya pada pihak yang berwenang atas dasar penganiayaan atau melupakannya dan membiarkannya hidup dalam sepenggal penyesalan.

Dan aku memilih bungkam. Tidak perlu memperpanjang persoalan karena akhirnya hanya malu yang akan terhidang. Biarkan saja waktu berjalan karena beberapa bulan ke depan aku akan pulang dan meninggalkannya sendirian. Beberapa bulan ke depan tidak ada lagi aku dan dia yang sekarang sudah dibandrol sebagai kenangan muram.

Tokyo, 19 November 2003
Ditulis ulang dari draft yang ditemukan terbujur di folder masa lalu.

Selasa, 11 September 2012

Berkemas


Berkemas untuk saya tidak pernah terasa mudah.

Ada banyak pertimbangan ketika menentukan mana yang harus disimpan dan mana yang harus dibuang. Ada berbagai macam ketakutan yang siap membayang ketika ‘terpaksa’ harus membuang sesuatu yang seharusnya disimpan, atau justru malah ‘terpaksa’ menyimpan sesuatu yang seharusnya dibuang dari awal.

Berkemas untuk saya bukan sekedar memilah. Berkemas untuk saya adalah sebuah proses yang mungkin panjang sebelum akhirnya saya tiba pada sebuah titik tujuan. Sebuah keputusan. Proses yang biasanya dibanduli rasa gamang berkepanjangan padahal untuk sebagian besar orang hal itu semudah membalikan telapak tangan.

Ketika ritul berkemas sudah akan dimulai, maka saya akan mengumpulkan semua perabotan dalam satu tumpukan di pekarangan. Satu per satu kemudian saya telaah mengenai asal muasal bagaimana dia datang, sampai pertanyaan apa untung dan ruginya ketika mereka saya simpan atau saya buang. Lama. Mungkin sebagain orang akan kesal melihat apa yang saya lakukan, terutama sahabat-sahabat yang sedari awal meneriaki saya ketika justru saya menyimpan sesuatu yang seharusnya saya buang.

Kadang saya tidak peduli. Seringkali perasaan saya mati. Saya tidak lagi dengan waras dapat membedakan mana yang perlu dibingkai dan mana yang perlu ditanam dalam. Saya percaya dengan apa yang saya yakini meskipun hal tersebut seringkali salah dan menyulitkan saya kemudian. Saya tidak pernah jera, padahal sudah banyak air mata yang tertumpah sia-sia hanya karena saya salah mengemasi tumpukan barang-barang yang bertaburan di pekarangan.

Mendadak saya tidak bisa berfikir panjang ketika saya dihadapkan pada sebuah pilihan ketika berkemas. Otak saya memboikot tidak mau berfungsi sebagaimana mestinya, dia mangkir dari tugasnya mendampingi hati. Karenanya hati bekerja sendiri, dan sudah bisa ditebak ketika hati bekerja tanpa diproteksi nalar maka dia cenderung untuk bergerak tidak sesuai porsi. Hati berontak ketika ‘dipaksa’ mengenyahkan barang yang penuh dengan bilur kenangan yang selayaknya dibuang.

Hati pasang badan. Siap menanggung apapun yang mungkin nanti akan kejadian. Dia seolah sok pintar dan berlagak penuh pengalaman. Sayang hati yang saya punya, yang saya kerangkeng dalam rongga dada dan selapis diafragma, tidak pernah mau belajar. Dia egois tanpa saya bisa berbuat lebih. Dia berujar kalau dia kuat menahan semua siksaan dan akan memikulnya sendirian. Tentu saja dia berbohong, karena ketika dia mendapat ganjaran dari kesalahannya mengemasi kenangan maka saya ikut ketiban sial. Ikut merasakan kesakitan.

Buat saya berkemas adalah suatu proses panjang. Pergulatan hati dan nalar yang sering kali menolak untuk bekerja berbarengan. Mungkin otak saya sudah bosan, makanya dia bungkam dan menyuruh hati yang bergerak sendirian. Memilah dan memilih kenangan mana yang ingin disimpan, membuatnya bingung sehingga seringkali dia salah jalan. Keliru mengambil keputusan.

Atau jangan-jangan hati dan nalar saya sebetulnya berkomplot. Bekerja sama memberi saya pelajaran bahwa kesakitan yang terus disimpan akan membuat keropos perasaan berkepanjangan. Jangan-jangan mereka bersekongkol, membuat saya salah mengemasi kenangan agar saya belajar. Dan bagai anak bodoh yang tidak bisa menurunkan sebuah rumus aljabar, berulang-ulang saya dibuat tidak naik kelas karena saya tertambat di belakang. Di masa lalu yang kenangannya seharusnya dibuang atau dijadikan cerminan untuk berjalan lebih lapang.

Untuk saya berkemas itu adalah, entahlah...