Mungkin kamu kaget
kenapa sekarang telpon darimu aku angkat setelah ratusan telpon sama yang
sebelumnya tak kuacuhkan. Mungkin kamu juga mengira bahwa aku sudah menyerah
dengan kegigihanmu karena berusaha menghubungiku kembali. Kamu merasa menang
bahwasanya aku menyerah seperti biasanya. Menyerah setelah kamu dengan
ketekunanmu membuatku berpikir bahwa kamu memang layak. Seperti dulu. Saat
pertama aku mengenalmu.
Bukan. Sekarang tidak
seperti itu. Sekarang keadaanya lain, keadaan yang memaksaku untuk berubah.
Kenapa akhirnya aku mau menerima telpon darimu? Jawabannya hanya satu.
Perasaanku sudah teramat biasa. Tidak ada lagi sakit, tidak ada lagi amarah.
Yang ada hanya satu, memaafkan. Aku memaafkanmu yang sudah sedemikian teganya
membuatku kembali jatuh ke jurang yang itu-itu saja, jurang patah hati. Aku
mengampuni semua kesalahanmu kemarin. Tanpa syarat. Hidup dengan perasaan tak
memaafkan dan tak mengampuni hanya membuatku tersiksa, membuat keropos jiwa
yang sebenarnya telah rapuh. Karenanya aku tak mau, aku memaafkanmu.
Di awal pembicaraan
kamu memulainya dengan permintaan maaf dan penjelasan. Maaf, aku tidak butuh
lagi penjelasan dan pembelaan. Semua sudah terjadi, dan penjelasan serta
pembelaanmu tidak akan membawa hubungan kita kemana-mana. Penjelasan hanya akan
membuatku menggugatmu, padahal aku sudah tidak mau. Menggugatmu hanya akan
mengungkit luka itu, membuatnya kembali berdarah di bagian yang sama. Cukup,
bukan itu alasanku mau kembali berbicara denganmu. Aku hanya ingin memberitahumu
bahwa perasaanku sudah sedemikian membaiknya. Hatiku sudah tidak kelabu, dan
aku bisa kembali tertawa denganmu.
Tapi semakin kutahan,
semakin kuat kamu berusaha menjelaskan semuanya. Semakin kualihkan, semakin
menggebu kau memberiku argumen tak berkesudahan. Aku hanya memilih untuk
mendengarkan karena aku memang tidak punya pilihan. Kamu bilang kamu khilaf,
kamu lepas kendali. Terlena oleh sesuatu yang nyatanya tak seindah yang kamu
pikirkan. Itu menurutmu, kembali aku hanya mendengarkan. Tidak berusaha
menuntut, meghakimi apalagi menyalahkan. Aku sudah memilih untuk tidak berada
dalam posisi itu. Aku sudah berdiri dikoordinat baru, tanpa rasa sakit itu.
Kamu juga kemudian
bertanya, apakah aku masih mengingat konsep hubungan kita dulu. Dulu kamu bilang
bahwa kita bagaikan sepasang kunang-kunang yang mencumbui bulan. Ketika salah
satu kehilangan terang, maka cukup melihat bulan karena bulan akan menuntun
salah satu dari kita menuju jalan pulang. Kelip fluorescens di badan kita
menjadi pertanda bahwa kita saling menguatkan, saling mengarahkan kemana harus
pulang. Ke hati kita berdua. Tapi itu dulu bukan? Ketika kamu belum menemukan
terang yang lain, terang yang ternyata membuatmu juga merasa nyaman untuk
kemudian menuntunmu pulang. Maaf aku jadi bertanya, padahal aku hanya ingin
mendengarkan.
Kamu juga bilang, bahwa
yang kemarin itu bukan bulan. Kamu salah menginderai terang. Katamu, kamu pikir
dia mengarakanmu pulang menuju bulan, tapi ternyata hanya menuju lampu taman.
Lampu yang terangnya temaram dan mati kala siang. Kamu kemudian tersesat dan
tersadar bahwa penunjuk jalan ada dalam diriku. Aku tersenyum meski kamu tak
melihatnya. Aku hanya berfikir, bagaimana aku bisa menuntunmu pulang sementara
aku sudah memilih untuk berada dalam fase pupa. Tak ada lagi binar fluorescens
di tubuhku yang akan menggiringmu mencumbui bulan. Bagaimana aku bisa membawa
kamu berjalan ke arah yang dulu kita sepakati kalau aku sudah memilih untuk
berhenti. Masuk kembali kedalam kepompong emas tempatku sekarang berlindung, menunggu
saat yang tepat untuk menjadi kunang-kunang lagi bersama yang lain. Yang pasti
bukan kamu.
Kunang-kunang yang
pernah jadi pasanganku, pulanglah sendiri. Carilah jalan yang akan
mengantarkanmu pada bulan. Jangan kamu memintaku lagi untuk menemanimu, aku
sudah memilih. Aku sudah terlanjur menjadi pupa. Dan dalam penantianku untuk
lahir kembali dengan cahaya baru, aku akan terus mengamatimu, karena apabila
kamu tersesat, aku akan menuntunmu pulang. Sebagai sahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar