Halaman

Jumat, 29 Juli 2011

Mohon Maaf

Kata orang mulut saya ibarat ketoprak berkaret 2. Pedes.

Orang bilang, tanpa mengucapkan sepatah katapun mimik muka saya selalu menghakimi. Menyakitkan. Dan mereka lebih memilih saya menghakimi perantara kata dan suara ketimbang mimik muka yang kadang tak jelas maksud tujuannya.

Seringkali saya menjelma menjadi manusia Tuhan. Menghakimi dan menghukum orang-orang di sekeliling menggunakan takaran norma yang saya ciptakan sendiri. Ketika banyak yang tidak sesuai dengan norma tersebut maka mulai dari lintasan hati sampai hujanan kalimat kotor dari mulut akan mengalir bagai air bah yang tidak tertampung. Dan saya tahu, itu semua menyakitkan banyak orang.

Saya seperti dibutakan keadaan, memilih tidak peduli, memilih mati rasa. Menganggap bahwa saya yang paling benar, dan orang harus berjalan di acuan kebenaran yang saya ciptakan. Apabila mereka melanggar, maka saya seperti halnya Tuhan memberi hukuman dari mulai mengucilkan sampai mengirimkan kesengsaraan. Saya seringkali puas dengan apa yang telah saya lakukan tanpa ada lagi rasa malu.

Saya bukan Tuhan. Saya Tahu. Tapi saya justru mengambil porsi yang sebetulnya jauh lebih besar dari Tuhan itu sendiri. Tuhan saja kalaupun akan menghukum hambanya, seringkali tidak langsung ketika hambanya tersebut melakukan kesalahan. Sementara saya? Saya ingin langsung melampiaskan kemarahan saya dengan hukuman yang paling berat. Setidaknya dengan ucapan. Lihat, bukankah saya sudah jauh melampaui batasan yang sudah diberikan Tuhan?

Semua menjadikan saya pendosa di hadapan Tuhan dan juga pendosa di tengah manusia.

Jelang Ramadhan tahun ini, saya ingin dimaafkan. Saya ingin menjadikan momentum Ramadhan ini sebagai waktu yang tepat untuk saya berubah menjadi lebih baik. Tanpa maaf, puasa yang akan saya jalani nanti pasti akan terbebani. Tanpa maaf, pastinya saya tidak akan kembali menjadi bersih di hari nan Fitri nanti. Karenanya saya memohon maaf lahir batin kepada semuanya atas segala lupa, alpa dan dosa baik yang disadari maupun yang tidak. Dari lintasan hati sampai perbuatan yang tidak terpuji.

Semoga Ramadhan yang akan kita jelang beberapa hari lagi menjadi ajang bagi kita semua untuk membenahi diri. Menjadi bulan untuk kita merefleksi dan mematut diri atas apa yang pernah terjadi sehingga kita bisa terlahir kembali dengan kebersihan hati yang hakiki. Banyak harap dan pinta yang pasti terlontar saat bulan ramadhan, dan semoga Tuhan mendengar seta mengijabahnya dan merealisasikannya di kehidupan nyata. Amin.

Sekali lagi, menjelang bulan yang agung Ramadhan ijinkan saya untuk meminta dimaafkan dari segala bentuk kesalahan. Dan saya mengucapkan selamat menyambut datangnya bulan penuh berkah yang insya Allah akan mengantarkan kita semua pada kemenangan.

Senin, 25 Juli 2011

Metamorfosis

Taman aksara yang saya reka sudah berusia tiga tahun lebih, dan saya bersyukur karena saya tetap setia. Saya tetap mengumpulkan serakan aksara untuk dirangkai menjadi sekedar prosa, tidak untuk orang lain cukup untuk saya. Taman yang selalu membuat saya nyaman bersembunyi dari hiruk pikuk kehidupan yang sering kali melelahkan. Taman yang bisa menyembuhkan saya dari perasaan kehilangan atau sendirian. Taman yang membuat saya bertransformasi menjadi dewasa dalam hal tulisan.

Dulu saya hanya ingin menulis, membuat seperti peta dari perjalanan saya sendiri melalui sederetan testimoni. Tidak peduli tulisan itu kemudian ada yang mengapresiasi ataupun tidak. Tujuan saya hanya menulis, dan kalau dalam perjalanannya ternyata banyak yang mengapresiasi maka saya anggap itu sebagai bonus. Hadiah dari konsistensi saya meronce aksara menjadi sebuah cerita. Cerita yang menurut sebagian banyak orang muram dan kelam.

Dan saya tidak peduli. Saya konsisten dengan kemuraman meskipun saya tidak pernah bermaksud membagi kemuraman itu dengan siapapun, apalagi menularkannya. Saya hanya ingin berbagi karena saya yakin banyak orang di luaran sana yang memiliki masalah yang relatif sama, atau bahkan lebih. Hanya saja saya mengemasnya dalam kacamata yang mungkin buram. Menyisakan kesesakkan ketika selesai menelisik sebuah cerita yang saya gurat perantaraan aksara.

Taman saya memang muram, saya akui itu, dan dalam kemuramannya dia juga bertransformasi. Dari berisi tulisan tanpa konsep menjadi penuh konsep bertaburkan diksi. Dari tanpa pembaca menjadi banyak pembaca dan kemudian tanpa pembaca (lagi). Itu saya anggap dinamika, sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tapi satu yang ternyata statis, tampilan taman aksara saya selalu itu melulu. Mungkin bagi orang lain membosankan dan saya mencoba mengabaikan dengan hidup dalam penyangkalan.

Kalau ada yang berpikiran saya tidak bosan, maka itu salah besar. Saya bosan karena seperti halnya bagian lain dari taman aksara, saya ingin semuanya dinamis. Tidak hanya bertransformasi tapi juga bermetamorfosis seperti apisindica itu sendiri. Sayang kemampuan saya untuk berbenah taman yang sudah saya pelihara hitungan tahun sangat terbatas, jadi saya membiarkannya sepeti itu. Seperti lukisan tua yang menggantung di dinding muram sebuah musium yang banyak ditinggalkan.

Tapi lihat, sekarang taman saya berubah. Dengan bantuan seorang karib bernama Enno, taman saya beserta lebah madunya mengikuti titah alam. Bermetamorfosis. Lewat tangan terampilnya Enno menyuntikan hormon baru yang sudah lama lenyap sehingga taman saya dan lebahnya bisa keluar dari kepompong yang mati suri. Saya seperti hidup kembali, karenanya ijinkan saya mengucapkan ribuan serak terima kasih kepada karib saya itu untuk nyawa baru yang berhasil ditiupkannya.

Taman saya sekarang lebih kekinian. Mengikuti gerusan jaman menjadi lebih dinamis. Dan semoga saja dengan perubahan baru ini tidak mengubah konsistensi saya dalam mengoreskan sebuah cerita yang lagi-lagi mungkin hanya untuk saya. Kalaupun ada yang merasa terdapat kemiripan dengan gubahan yang saya tuliskan, saya mengajak berkaca bersama-sama dan berkata sambil menggandeng tangan bahwa kalian tidak sendirian. Setidaknya ada saya yang akan menemani bermain di taman aksara.

Sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih kepada Enno dan juga pembaca-pembaca lain yang sudah setia baik yang selalu menyisipkan komentar ataupun yang selalu membaca dalam diam. Tanpa kalian taman aksara bukan apa-apa, tanpa kalian lebah madu tidak akan bisa mengumpulkan nektar. Ijinkan saya dalam segala bentuk kesederhaan bersyukur karena memiliki kalian semua yang sudah saya angap keluarga.

Saya juga berdoa semoga dengan berubahnya tampilan taman aksara ini, saya segera bertemu jodoh saya. Karena sebetulnya dia curang, hobinya bermain petak umpet. Saya disuruh terus menjaga sementara dia asik bersembunyi. Entah dimana. Mungkin saja di taman aksara ini, tapi apapun itu saya mengucapkan dengan tulus kepada siapapun, mari kita bermain di taman aksara! Dan akan kalian temukan siapa saya sebenarnya. Seseorang yang tidak lagi bertopeng kata.

Kamis, 21 Juli 2011

Kontemplasi

Ketika saya sudah berhenti bertanya, itu bukan berarti saya tidak percaya lagi pada Tuhan. Saat saya tidak lagi banyak mendebat, tidak lantas saya menyepelekan Zat yang sudah menciptakan saya.

Saya lelah.

Bertanya dan berdebat tidak menjadikan saya siapa-siapa. Tidak membuat saya kemudian mengerti mengenai rencana yang mungkin sudah saya tanda tangani dengan Tuhan ketika saya justru belum lahir. Sebuah perjanjian yang tidak pernah saya ingat bagaimana bunyinya, karenanya saya meraba-raba. Mencari jalanan yang harus dilalui agar saya keluar sebagai pemenang dan bukan pecundang. Meniti setiap kemungkinan yang menjanjikan kebahagiaan.

Saya sering salah langkah, terperosok pada lubang yang sebenarnya hanya itu melulu. Dulu saya tidak henti mempertanyakan, merapal kemarahan mengenai maksud sebuah penciptaan. Saya tidak bosan mengulang mendengungkan hal yang sama, mendebat segala sesuatu yang orang utarakan. Saya berfikir mereka tidak mengerti, jadi mereka sebetulnya tidak berhak untuk menghakimi. Saya yang menjalani, saya yang mengalami dan terus terang semua tidak sesederhana apa yang mereka bayangkan. Akhirnya saya tidak peduli dengan apa yang ada di kepala mereka.

Saya menggugat Tuhan.

Lagi-lagi Tuhan bungkam, tidak melayani segala yang saya kemukakan. Tuhan tidak menggubris semua pertanyaan saya dengan jawaban, padahal yang saya butuhkan hanya sebuah jawaban. Tidaklah perlu jawaban panjang yang mendetailkan, saya hanya membutuhkan jawaban singkat yang memperjelas keadaan. Tapi seperti sia-sia, saya dipaksa mencari jawaban sendiri atas apa yang saya inginkan. Jatuh bangun dalam perasaan yang juga timbul tenggelam.

Saya beranjak dewasa, saya berdamai dengan keadaan.

Saya dan Tuhan kemudian selalu berbincang dengan intim. Seperti pentas monolog sebetulnya karena saya sendiri yang berbicara sementara balasannya hanya diam. Sunyi yang ternyata membuat hati dan kepala saya penuh. Tidak ada lagi proses menyalahkan, tidak ada segala bentuk penyesalan. Kepala saya diisi oleh pengertian bahwa semua yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi, dan saya tidak perlu tahu apa maksud Tuhan dengan menciptakan keadaan yang harus saya jalani. Tuhan selalu memiliki rencana indah, termasuk untuk saya. Dan itu yang saya yakini yang membuat saya kemudian berhenti bertanya.

Seperti apapun saya, saya pasti bermanfaat. Tidak peduli banyak orang yang menyangsikan tapi saya akan membuktikan kalau saya akan menjadi seorang pemenang dengan cara saya. Kaca mata kita mungkin berbeda, tapi saya yakin kaca mata Tuhan adalah sama. Jadi kenapa kalian tidak meniru Tuhan dengan tidak menilai saya secara keliru? Satu bagian hidup saya memang tidak sempurna tetapi itu tidak berarti keseluruhan hidup saya menjadi sia-sia. Saya punya potensi dan saya hidup dalam kebanggaan.

Saya hanya ingin hidup lebih baik, bukan lagi dalam kebenaran menurut saya tapi dalam kebenaran menurut Tuhan. Jadi mohon didoakan!

Senin, 18 Juli 2011

Berpisah

If love wasa a bird, then we wouldn’t have wings. If love was a sky we’d be blue. If love was a choir, You and I could never sing. Cause love isn’t for me and you.

Ketika cinta memang bukan untuk kita berdua, bukan untukku dan bukan untukmu, maka kita bisa apa. Sekuat apapun kita pertahankan maka yang ada hanya rasa saling menyakiti. Berusaha tak akan membawa kita kemana-mana, karena aku yakin jauh di dalam hati kita, kita sudah saling menghindari. Saling memadamkan pendar yang pernah ada.

If love was an oscar, You and I could never win, cause we can never act out our parts. If love is a bible, then we are lost in sin. Because its not in our hearts.

Ketika semua yang kita lakukan tidak bersumber dari hati, maka semuanya akan bermuara pada kesedihan, kebencian. Hati adalah awal dari semua kebaikan, semua rasa sehingga ketika hati kita berkata bahwa kita tidak bisa bersama lagi, kita harus mengikuti intuisi itu. Banyak hal yang tak bisa dilontarkan dalam bentuk kata, tapi bisa dimaknai dengan hati. Tak perlu bersusah payah mencari penyangkalan melalui suara. Cukup kita lihat dan raba hati kita maka kita akan tersadar bahwa cinta antara kita memang sudah mati. Kenangan mungkin masih teraba tapi rasanya pasti hampa.

So why don’t you go your way and I’ll go mine. Live your life, and I’ll live mine. Baby you’ll do well and I’ll be fine. Cause we’re better off, separated.

Berpisah mungkin jalan terbaik yang memang harus kita tempuh. Akan kita rasakan sakit memang, karena rasa yang pernah ada pastinya tak bisa dihilangkan dalam sekejap mata. Tapi ketika muncul keyakinan bahwa kita akan lebih bahagia apabila kita tidak berjalan bersama, apa yang lebih purna? Berjalan di setapak kecil kita masing-masing justru akan membebaskan kita, melepaskan kita dari belenggu untuk saling menyakiti. Biarkan aku hidup dengan caraku dan kamu hidup dengan caramu. Berjalan menuju kebahagiaan yang sama tapi melalui cara yang berbeda.

If love was a sport, we’re not on the same team. You and I are destined to lose. If love was an ocean then we are just a stream, Cause love isnt for me and You.

Cinta memang bukan jawaban buat kita. Bukan alasan untuk tetap berjalan beriringan menyusuri pematang kehidupan menuju kebahagiaan. Mungkin bukan dengan cinta kita bisa bersama, mungkin dengan uluran persahabatan hubungan kita akan jauh lebih bermakna. Aku membebaskanmu menentukan arah, tak ada yang lebih sempurna selain melihatmu bahagia.

I know we had some good times, its sad but now we gotta say goodbye. You know I love you, I cant deny. I cant say we didn’t try to make it work for you and I. I know it hurts so much but it’s best for us. Somewhere along this windy road we lost the trust. So I’ll walk away so you don’t have to see me cry. It’s killing me so, why don’t you go.

Kita berpisah bukan karena kita tidak berusaha. Karena kita berusaha itulah makanya kita memutuskan untuk berpisah. Aku sangat mencintaimu, kekasihku atau bukan itu tidak akan merubah rasa itu. Masa-masa indah yang pernah kita lewati akan mengkristal dalam bola lampu di hatiku, bisa kukenang dengan mengamati dari beningnya kaca yang tercipta. Aku juga tahu bahwa ini menyakitkan, tapi akan lebih menyakitkan kalau kita tetap bersama. Bukan itu tujuan hubungan kita. Kita kehilangan kepercayaan, kehilangan pegangan yang justru dibutuhkan dalam suatu hubungan.

Izinkan aku pergi membawa semua rasa, kenangan dan semua kepahitan ini. Kamu tidak perlu menangis karena menangis justru akan memberatkan langkahku, padahal kepergianku justru akan membebaskanmu. Ini juga menyakitkan buatku tapi rasanya rasa sakit sudah bersahabat lama denganku semenjak mengenalmu. Kamu tak hanya memberiku bahagia tapi juga sakit tak terperi. Sehingga kini aku menginginkanmu untuk pergi, bebas. Jangan menoleh ke belakang, jangan berjalan mundur karena semuanya sudah usai. Ketika kau pergi, aku akan menutup semuanya, menutup pintu hatiku untukmu.

Jumat, 15 Juli 2011

Somebody Else's Lover

Mencintai kekasih orang itu sering kali menyulitkan, terlebih ketika dia justru juga melayani.

Mencintai kekasih orang itu sering kali tidak lebih dari memboroskan energi. Mengorbankan apa yang seharusnya tidak layak dikorbankan, membelanjakan hati pada sesuatu yang tampak nyata padahal palsu. Semua hanya sia-sia.

Tapi katanya tidak pernah ada yang sia-sia dalam cinta. Tidak ada percuma ketika kita berjalan di haluan yang kita yakini benar, walau itu akan menyakiti. Bukan hanya menyakiti pasangan resmi dari orang yang kita cintai, tapi lebih parah. Menyakiti diri kita sendiri. Menyodorkan dengan rela sebongkah perasaan untuk dibuat menjadi serpihan. Kita sering tahu benar resikonya, tapi kita tetap menjalaninya. Entah untuk alasan apa.

Mencintai kekasih orang itu sering kali menyulitkan, terlebih ketika jerat cinta itu berbekas tak mau hilang dari labirin bernama memori.

Mencintai kekasih orang itu sering kali menyulitkan, terlebih ketika kita ternyata benar-benar jatuh cinta kepadanya. Memilih buta dengan menjalani apa yang tidak bisa ditolelir logika. Memilih didera ribuan kecewa karena ternyata kita seringkali menelan pahit yang dijejalkan paksa ke dalam selaksa. Membatin ketika dia, kekasih orang yang kita cintai itu dengan ringan bercerita tentang pasangannya. Rasanya hanya ingin berdua tanpa membicarakan sesuatu yang justru membuat luka semakin menganga.

Apa yang kita dapat dari itu semua? Tidak ada, kecuali kesakitan dan perasaan terabaikan.

Aku pernah mengalaminya. Mencintai dengan segenap hati seseorang yang masih dalam suatu hubungan. Berusaha menyelusup dalam runyam masalah yang sedang mereka hadapi. Menjelma menjadi zat yang justru memperkeruh. Layaknya rautan yang justru memperuncing, bagai apusan yang ingin menghilangkan apa yang telah dituliskan. Aku menjalaninya dengan sadar, sadar bahwa di akhir cerita aku pasti tidak akan mendapat apa-apa.

Aku menikmati semuanya. Menikmati remah-remah sisa yang aku pungut di halaman orang. Memanfaatkan semua kesempatan kecil untuk menunjukkan bahwa aku punya hati warna perak yang siap dibagi. Bodoh memang, karena meskipun aku mendapat sesuatu, itu pasti hanya bagian kecil dari apa yang seharusnya tidak aku banggakan.Potongan-potongan kecil itu tidak akan membawaku kemana-mana.

Ketika aku sadar, semua telah terlanjur jauh. Sudah banyak yang aku belanjakan. Sudah banyak fragmen-fragmen yang justru mengendap di labirin perasaan. Berkarat tak mau hilang, menancap menyebabkan luka ketika sedikit bergerak.

Aku memang menjauh. Dia juga menjauh. Tapi itu tidak lantas membuat semuanya usai. Sampai saat ini aku masih memendam perasaan. Entah untuk apa?

Rabu, 13 Juli 2011

Melalui Angin

Saya mengenal orang ini perantaraan angin. Melalui aksara yang diterbangkan bersamaan dengan debu. Aksara yang kemudian mengendap dalam imaji dan membangun sosok tanpa wujud asli. Saya hanya berharap bahwa angin ikut menghembuskan nyawa sehingga membuatnya menjadi nyata, tak hanya berupa kata.

Kepada angin saya kemudian selalu menitipkan pesan, mencoba mengenali jati dirinya. Mengorek detail relief hatinya yang seakan beku. Tetapi yang saya dapatkan hanyalah dingin, karena dia tidak mudah disibak. Dia berlindung dalam ketegaran laksana karang di tepian pantai. Kokoh berdiri diterjang gelombang.

Saya berjuang dalam keyakinan pada angin. Yakin bahwa angin akan menyampaikan semua pesan yang tak perlu saya ucapkan. Saya hanya yakin bahwa dibalik baju besi yang dia pakai, saya akan menemukan sesuatu. Sesuatu yang mungkin saya cari selama ini dalam pengembaraan hati, pengembaraan yang tak jelas ujungnya karena seringkali hanya menempatkan saya di gurun tandus tanpa suara.

Saya memanjatkan doa perantaraan angin, berharap Sang Sutradara Hidup mendengar semua pinta. Saya hanya meminta diberi kesempatan untuk mengenal dia lebih jauh, menuntaskan apa yang sudah saya mulai. Menyelesaikan kepenasaran akan cinta. Melalui angin saya tak lagi berbisik, saya berteriak lantang : Tolong beri saya kepastian!!!

Ternyata tak perlu ribuan anak panah yang terlepas dari busurnya seiring waktu, angin kemudian memberi saya jawaban. Keterbukaan yang saya cari selama ini akhirnya terpapar dengan sempurna. Saya melihat dia justru dalam perspektif yang tidak lagi sama, dan ternyata saya tidak siap. Dia, seseorang yang saya ingin ketahui aslinya ternyata sedangkan memanggangkan tubuhnya dalam bara. Menomorsekiankan logika hanya karena cinta.

Angin tidak hanya memberikan jawaban, tapi angin juga membelot. Dia berubah menjadi badai, memporakporandakan hati dan perasaan saya. Memaksa saya untuk terhempas mundur dari dalam himpunan. Mencabuti rasa yang sedang saya semai, melucuti semua keyakinan saya akan damai.

Saya yang dihempas kenyataan kemudian bergumam : “Angin, entah ini cobaan atau becandaan, tetapi kenapa engkau mengirim lagi sebongkah hati dengan status kekasih orang?”

Kamis, 07 Juli 2011

Hujan

Lihat, di luar masih saja hujan padahal beberapa hari kemarin aku sudah membaui kemarau. Sudah jarang aku lihat gelungan awan yang membentuk ekor hujan, bahkan bau tanah kering sudah memenuhi lorong-lorong jalanan seperti dupa yang dibakar di malam keramat.

Aku menyukai kemarau, aku kecanduan kerontang. Dan aku benci hujan.

Hujan membuatku teringat padamu, melingkarkan lembar-lembar ingatan dengan ikatan kencang yang sebenarnya aku ingin terjang. Tapi bagaimana aku bisa beranjak kalau hujan sering memapah halaman, membasahi pepohonan yang belum sepenuhnya kering. Aku tidak suka hujan, karena menurutku hujan justru menyakitkan. Membawaku pada bongkah kesedihan yang seperti dikoyak berulang-ulang ketika debu digantikan becek jalanan.

Aku membenci hujan seperti halnya aku membencimu. Sudah ribuan kata maaf aku ucapkan, karena katanya memaafkan akan membebaskan jiwaku dari pasung berkepanjangan. Memaafkan akan menyuburkan hati untuk siap lagi ditanami. Memaafkan...dan aku sudah melakukan itu, berulang-ulang kali. Tapi kenapa ketika hujan datang perasaan membencimu justru tumbuh lagi. Seperti akar belukar yang kehilangan dormansi perantaraan lindian air, kembali berdaun setelah sebelumnya mati suri. Hidup menggagas jalar merajalela.

Di luar hujan, dan aku masih saja memupuk dendam.

Ingatkah apa yang sudah kamu lakukan waktu itu? Saat itu di luar hujan, dan aku menggigil. Bukan gigil karena dibekukan dingin, bukan juga gigil karena diterpa angin yang hilir mudik menyelusup melalui kaca nako yang dibiarkan terbuka. Aku menggigil karena aku tidak terima dengan apa yang sudah secara sepihak kamu putuskan. Aku memang menggunakan hakku untuk berbicara, membela diri karena aku merasa perlu. Mempertahankan apa yang sebetulnya masih bisa aku pertahankan. Tapi kamu memilih tuli, mengabaikan semua sarana.

Apa sih hebatnya dia sampai kamu memilih untuk beranjak dari hunian hati kita dan berpaling ke arahnya? Aku tidak bodoh, aku tidak akan mempermalukanmu di hadapan teman-temanmu. Aku tidak nista, dan meskipun aku nista aku akan berdiri setia kepadamu sampai kapanpun. Aku tidak miskin, aku punya pekerjaan yang menjanjikan yang artinya aku tidak akan menyusahkanmu secara finansial. Apa yang dia punya dan aku tidak? Apa yang dia tawarkan dan aku mungkin sungkan? Apa? Tidakkah kamu ingin menengok sejenak ke belakang untuk melihat apa yang sudah aku lakukan? Aku bukan perhitungan, aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku layak dipertahankan.

Aku membencimu karena hujan. Saat kamu berlari ke arahnya dan meninggalkanku, hujan sedang deras membanjiri ladang. Mengaliri parit-parit dan membuatnya tergenang, menghanyutkan segala perasaan yang hanya bisa dikenang. Akhirnya kukemasi segala sesuatu yang pernah kupelihara di lubuk perasaan. Kupunguti tetesan rindu yang pernah kutampung dalam berlembar-lembar surat cinta. Kusimpan semuanya di halaman, berharap datang bandang yang akan menghanyutkannya menabrak karang. Mengoyaknya hingga menjadi serpihan, hingga tidak ada lagi yang bisa di kenang kecuali ketika hujan.

Aku benci hujan. Bagaimana aku bisa melupakanmu kalau setiap ada kesempatan kamu datang menunggang hujan. Menitis dalam rintik yang hinggap di pucuk cemara.

Senin, 04 Juli 2011

Perpisahan

Saya tidak suka perpisahan. Perpisahan hanya akan membuat jambangan kesedihan saya bertambah lagi isinya. Perpisahan hanya akan meninggalkan bekas luka, jejak air mata. Karenanya saya sebisa mungkin menghindari perpisahan.

Tapi bagaimana saya bisa menghindari perpisahan padahal sudah menjadi tasbih alam ketika ada pertemuan pasti akan ada perpisahan. Ketika ada awal pasti akan ada sebuah akhir. Meskipun begitu saya tetap saja tidak menyukai perpisahan. Perpisahan itu muram, menghambat sejenak langkah yang harusnya berpacu seiring waktu.

Semalam saya dipaksa mengucapkan perpisahan. Dipaksa karena sebenanrnya saya tidak ingin melakukannya. Keadaan membuat saya tidak punya pilihan, keadaan membuat saya egois untuk meningalkannya.

Saya tidak ingin berpisah dengannya. Bersamanya saya meraih apa yang saya mau, bersamanya saya pernah melalui hari-hari berat penuh rintangan dan keluar sebagai pemenang. Saya dan dia seperti tidak terpisahkan, terpautkan oleh sesuatu yang saya sebut dengan tujuan. Memang seringkali saya berbuat curang, mengkhianatinya dengan berbagai alasan tapi akhirnya saya tetap kembali kepadanya. Merapal lagi janji untuk setia sampai nanti.

Dia memberi saya kepuasan. Menghadiahi saya dengan bentuk yang selama ini saya idam-idamkan. Sebagian orang memanggil saya gila, memandang hubungan saya dengannya tidak lagi sehat. Mereka bilang, dia membuat saya menyiksa diri. Mereka bilang dia membuat saya sering menarik diri dari undangan perjamuan makan. Saya tidak peduli, saya suka dan nyaman hidup bersamanya. Orang lain boleh bilang saya menyiksa diri, tapi saya bilang saya mendapatkan kepuasan. Hidup dengannya seringkali membuat saya memperoleh multiple orgasm. Kepuasaan lahir batin.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya untuk mengucapkan perpisahan terhadapnya. Sekian tahun kami sudah hidup bersama, rasanya begitu berat ketika harus memutuskan mengakhiri apa yang dulu pernah kami sepakati. Jujur, saya tidak ingin berpisah darinya. Dijauhkan dari dia mungkin akan membuat saya gila, kehilangan pegangan yang selama ini menuntun saya untuk berjalan bahkan ketika saya berada di titik kulminasi paling rendah dalam hidup. Dia ada disana, di samping saya menyaksikan bagaimana saya tumbuh. Bertransformasi dari bentuk layaknya abstrak sampai bentuk mendekati yang saya mau. Dia testimoni hidup saya.

Sayang, keadaan tidak seterusnya berpihak kepada kami. Keadaan yang tidak menguntungkan seperti sekarang membuat saya harus menggagas ulang hubungan kami. Dan saya sampai pada keputusan bahwa hubungan ini harus disudahi. Mungkin nanti bisa digagas kembali, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Keadaan tidak memungkinkan bagi kami untuk segera kembali. Saya yakin dia akan mengerti, meyakini bahwa ini adalah hal yang terbaik untuk saya saat ini. Dia akan baik-baik seperti biasanya, meski saya tidak yakin apakah saya akan baik-baik saja setelah perpisahan ini. Saya akan mencoba tegar, menjalani semua konsekuensi.

Tidak ada pesta perpisahan yang meriah. Tidak juga ada peluk mesra ketika kami akan berjalan berlawanan. Semua sudah takdir yang memang harus diikuti, demi kebaikan semuanya. Saya mungkin menangis, tapi saya yakin bahwa apa yang sudah saya putuskan adalah jalan yang paling baik untuk saat ini. Tidak boleh ada penyesalan di akhir cerita, tidak boleh ada pengingkaran di batas pengharapan. Saya dan dia resmi melakukan perpisahan.

Semalam saya hanya mengucapkan sepenggal kalimat perpisahan lirih tanpa rima. “Dengan aktivitas saya belakangan ini yang super padat dan sakit saya yang berulang dalam rentang jarak waktu hanya 6 bulan, sepertinya saya tidak bisa lagi melibatkan kamu dalam hidup saya. Biarkan saat ini saya sendiri dulu tanpa ada kamu, DIET!”