Suatu daratan dimana saya tidak ragu untuk melempar sauh dan
bersandar. Daratannya boleh sebuah pulau secara keseluruhan atau hanya sebidang
pantai berpasir putih yang menjanjikan kenyamanan. Saya hanya ingin menepi, berharap untuk
jangka waktu yang panjang karena ternyata saya bosan menarik jangkar kemudian
mencari lagi tepian.
Sebetulnya saya sudah bersahabat dengan gelombang sejak lama,
terombang-ambing dalam lautan pencarian. Kadang saya bergerak ke tepian ketika
saya melihat ada daratan, tapi tak jarang saya terhempas kembali ke tengah
padahal saya belum sepenuhnya mendekat. Daratannya menipu, mirip fatamorgana.
Semakin saya mendekat, semakin saya yakin bahwa disana tidak ada pelabuhan yang
saya reka dalam imaji. Saya kembali berkelana mencari.
Beberapa kali saya berlabuh, menemukan apa yang selama ini
saya dambakan. Pelabuhan yang menjanjikan langkah terpadu menuju asa yang
mungkin bisa direalisasikan. Kepadanya saya melempar jangkar keterikatan,
mencoba menyelaraskan dua kepribadian agar bisa berjalan beriringan. Kepadanya
saya menggantungkan harapan bahwa dia adalah ujung dari sebuah pencarian.
Sebuah pelabuhan.
Tapi sebuah cerita selalu memiliki ujung, akhir yang masih
bisa diurai meskipun dalam keadaan kusut sekalipun. Saya terombang-ambing lagi
badai, angin memaksa saya untuk menarik jangkar dan terhempas lagi ke lautan.
Meninggalkan daratan yang dulunya penuh pengharapan. Meninggalkan asa yang
mungkin pernah tergambar di bibir pantai. Asa yang lambat laun terhapus ketika
ombak menciumi butiran pasir. Menghapus jejak. Selamanya.
Sekarang, saya sedang menginderai adanya daratan terpampang
menantang. Daratan yang saya yakini ada pelabuhan disana. Memang masih samar
dan masih terhalang kawanan awan yang membentuk jelaga. Tapi entah kenapa kapal
saya seperti tidak bisa dikendalikan, saya terus melaju mencoba menyibak
kelabu. Saya terus berjalan padahal daratannya seperti timbul tenggelam. Dia
mungkin ragu seperti halnya saya dulu. Belum yakin atas apa yang sebetulnya
tengah dia rasakan tentang saya yang ambigu.
Saya memang melihat tepian untuk saya berlabuh, tapi saya
juga belum sepenuhnya yakin untuk melempar sauh dan kemudian bersandar.
Ketergesa-gesaan hanya akan menimbulkan gelombang, membangunkan laut dari tidur
tenangnya yang panjang. Izinkan saya sesaat untuk duduk di buritan kemudian
mengamati dari jarak yang sedemikian dekat. Biarkan saya menyulam benang-benang
kepercayaan dan keyakinan bahwa dia memang sebuah pemberhentian dimana saya
bisa meletakan hati saya disana. Tanpa ada keraguan.
Kamu juga saya izinkan duduk mengamati di tepian. Memilah
dan menilai kelayakan apakah saya pantas untuk bersandar. Gunakan lampu di
mercu suar sebagai pertanda ketika kamu sudah membuat sebuah keputusan.
Wartakan pada angin bagaimana kata hatimu sehingga angin akan menggerakan
gelombang dan membawa saya terdampar atau justru membuat saya karam. Apapun
itu, keputusan tetap harus dibuat. Dan dalam prosesnya, saya akan menikmati
pelangi yang menghubungkan saya dan kamu, tak peduli bagaimana hasilnya nanti.
Saya melihat pelabuhan, dan mudah-mudahan pelabuhan itu
adanya di hatimu. Selamanya, sampai mati,
karena sepertinya saya mulai menyadari kalau namamu memang jodohku
1 komentar:
Selamat Apis...
sudah menemukan pelabuhan tempat bersandar...
Semoga pelabuhan ini tidak mengusangkan kapalmu, hingga tergerak untuk kembali berlayar
Posting Komentar