Halaman

Jumat, 29 Oktober 2010

Mesin Waktu

Saya sedang menunggangi mesin waktu. Berbeda dengan orang kebanyakan yang menggunakannya untuk menjelajahi masa depan, saya justru menggunakannya untuk menyusuri alur masa lalu. Mencoba meniti kembali perasaan yang dulu pernah membuncah di dada. Perasaan yang membuat saya seperti berada di nirwana. Jatuh cinta.

Bukan membuka laci kenangan dengan orang dari masa lalu. Tidak. Saya tidak hidup untuk masa lalu, apalagi dengan orang yang memang sudah ditamatkan ceritanya dalam untaian takdir. Bukan pula mencoba menyebrangi jembatan kemungkinan untuk merunut kembali cerita yang dulu sebenarnya belum tuntas dimainkan. Jembatan itu hanya menghubungkan saya pada keputusasaan. Jembatan tanpa ujung yang seringkali membuat saya tersesat dipermaikan perasaan.

Saya mengenang masa lalu untuk kemudian bersyukur bahwa ternyata saya belum mati rasa. Saya masih bisa merasakan apa yang orang bilang dimabuk asmara. Perasaan dilambung harapan yang membuat saya serasa bermain di atas gumpalan awan. Bahagia. Bersama mesin waktu saya mengumpulkan lagi serakan-serakan puzzle yang dulu berantakan untuk kemudian saya susun menjadi gambar hati penuh berwarna merah.

Saya menemukan lagi seseorang.

Bersamanya saya menemukan rasa yang sempat hilang dalam lorong perjalanan. Bersamanya saya menggambar lagi seulas senyum kebahagiaan yang tidak hanya nampak di bibir tetapi juga di hati. Bersamanya saya seperti menaiki roller coaster, menimbulkan ketegangan-ketegangan perasaan yang justru menciptakan kelegaan di setiap akhir putaran. Kelegaan yang seringkali justru membuat ketagihan. Ingin terus mencobanya lagi dan lagi.

Kadang saya tidak mengerti bagaimana mulanya perasaan itu bisa muncul kemudian bertumbuh. Saya hanya seperti sedang memakan gulali. Manis. Sensasi yang layaknya dialami anak kecil ketika berhenti menangis karena gulali tersebut memenuhi rongga mulutnya. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi selain menghisap sarinya kemudian tersenyum bahagia. Saya ingin seperti anak kecil itu. Tersenyum bahagia.

Dari balik jendela sambil menaiki mesin waktu saya mengamati hujan yang tidak kunjung reda, tapi ada perasaan lain disana. Perasaan tidak lagi takut akan guntur bahkan kilat. Rasa yang justru menggoda saya untuk bermain di luar menikmati tiap cipratan air ketika mereka menyentuh tanah. Saya ingin menikmati sensasi basah tanpa takut mengigil dingin setelahnya. Saya tidak lagi takut karena saya merasa bahwa saya sekarang sudah memiliki seseorang. Seseorang yang pastinya menghangatkan saya dengan peluknya setelah saya bermain hujan di tegalan.

Saya memanggilnya seseorang. Seseorang yang membuat hati saya hangat ketika namanya muncul di layar telpon. Seseorang yang sudah saya reka untuk berjalan bersamanya sambil tak lepas berpegangan tangan menuju satu hal. Bahagia.

Saya sedang menaiki mesin waktu. Bergerak mundur mengumpulkan serakan mimpi dan perasaan yang sempat tertinggal di belakang. Tapi saya tidak ingin tertambat di sana karena sekarang saya sudah memiliki mimpi yang harus mulai diretas. Saya sedang mengumpulkan amunisi dari masa lalu untuk kemudian melesat. Bersamanya saya hanya ingin beriringan sesuai titah alam tanpa perlu lagi menunggangi mesin waktu.

Senin, 25 Oktober 2010

Pelabuhan

Saya mencari pelabuhan,

Suatu daratan dimana saya tidak ragu untuk melempar sauh dan bersandar. Daratannya boleh sebuah pulau secara keseluruhan atau hanya sebidang pantai berpasir putih yang menjanjikan kenyamanan. Saya hanya ingin menepi, berharap untuk jangka waktu yang panjang karena ternyata saya bosan menarik jangkar kemudian mencari lagi tepian.

Sebetulnya saya sudah bersahabat dengan gelombang sejak lama, terombang-ambing dalam lautan pencarian. Kadang saya bergerak ke tepian ketika saya melihat ada daratan, tapi tak jarang saya terhempas kembali ke tengah padahal saya belum sepenuhnya mendekat. Daratannya menipu, mirip fatamorgana. Semakin saya mendekat, semakin saya yakin bahwa disana tidak ada pelabuhan yang saya reka dalam imaji. Saya kembali berkelana mencari.

Beberapa kali saya berlabuh, menemukan apa yang selama ini saya dambakan. Pelabuhan yang menjanjikan langkah terpadu menuju asa yang mungkin bisa direalisasikan. Kepadanya saya melempar jangkar keterikatan, mencoba menyelaraskan dua kepribadian agar bisa berjalan beriringan. Kepadanya saya menggantungkan harapan bahwa dia adalah ujung dari sebuah pencarian. Sebuah pelabuhan.

Tapi sebuah cerita selalu memiliki ujung, akhir yang masih bisa diurai meskipun dalam keadaan kusut sekalipun. Saya terombang-ambing lagi badai, angin memaksa saya untuk menarik jangkar dan terhempas lagi ke lautan. Meninggalkan daratan yang dulunya penuh pengharapan. Meninggalkan asa yang mungkin pernah tergambar di bibir pantai. Asa yang lambat laun terhapus ketika ombak menciumi butiran pasir. Menghapus jejak. Selamanya.

Sekarang, saya sedang menginderai adanya daratan terpampang menantang. Daratan yang saya yakini ada pelabuhan disana. Memang masih samar dan masih terhalang kawanan awan yang membentuk jelaga. Tapi entah kenapa kapal saya seperti tidak bisa dikendalikan, saya terus melaju mencoba menyibak kelabu. Saya terus berjalan padahal daratannya seperti timbul tenggelam. Dia mungkin ragu seperti halnya saya dulu. Belum yakin atas apa yang sebetulnya tengah dia rasakan tentang saya yang ambigu.

Saya memang melihat tepian untuk saya berlabuh, tapi saya juga belum yakin untuk melempar sauh dan kemudian bersandar. Ketergesa-gesaan hanya akan menimbulkan gelombang, membangunkan laut dari tidur tenangnya yang panjang. Izinkan saya untuk duduk di buritan kemudian mengamati dari jarak yang sedemikian dekat. Biarkan saya menyulam benang-benang kepercayaan dan keyakinan bahwa dia memang sebuah pemberhentian dimana saya bisa meletakan hati saya disana. Tanpa ada keraguan.

Kamu juga saya izinkan duduk mengamati di tepian. Memilah dan menilai kelayakan apakah saya pantas untuk bersandar. Gunakan lampu di mercu suar sebagai pertanda ketika kamu sudah membuat sebuah keputusan. Wartakan pada angin bagaimana kata hatimu sehingga angin akan menggerakan gelombang dan membawa saya terdampar atau justru membuat saya karam. Apapun itu, keputusan tetap harus dibuat. Dan dalam prosesnya, saya akan menikmati pelangi yang menghubungkan saya dan kamu, tak peduli bagaimana hasilnya nanti.

Saya melihat pelabuhan, dan mudah-mudahan pelabuhan itu ada disana. Di hatimu.

Kamis, 14 Oktober 2010

Hanya Ingin Tahu

Hanya ingin tahu, apakah mungkin seorang teman itu statusnya berubah menjadi sesuatu yang lebih intim. Sebutlah menjadi seorang pacar?

Hanya ingin tahu juga, apakah ketika aku menerima tawaran hati dari seseorang yang awalnya sekedar teman itu salah?

Apakah itu terlalu beresiko? Aku bingung. Setiap langkah yang kita ambil dalam menjalani hidup ini bukankah juga mengandung resiko, jadi mungkin saja resiko dalam perubahan status itu adalah sesuatu yang wajar bukan? Aku hanya takut walau aku tidak tahu karena apa. Aku hanya tahu bahwa mengambil sebuah resiko adalah sebuah pelajaran juga yang tentunya mendewasakan.

Jangan suruh aku bertanya pada hati karena aku sudah melakukannya berulang-ulang, tapi jawabannya masih saru. Mungkin hati membelot dengan tidak mau menjawab, atau dia justru melindungi diriku yang sudah seringkali hancur dan merangkak lagi dari titian awal. Hati tidak mau memutuskan, dia menyerahkan tugas yang dia emban kepada logika yang aku tampung di kepala. Tapi pantaskah sesuatu yang berhubungan dengan hati ditanyakan pada logika? Bukankah yang tahu tentang hati hanyalah hati sendiri? Mereka saling melempar tanggung jawab dan membiarkan aku bagai pelanduk yang gamang di tengah-tengah.

Resiko yang paling besar sebetulnya adalah mempertaruhkan persahabatan. Hanya ingin tahu, apakah ketika ternyata hubungan yang dibangun tidak berjalan lancar, persahabatan yang dulu terbentuk masih bisa dipertahankan? Mungkinkah erat komunikasi sebelum ada embel-embel hati masih bisa dijaga seperti dulu? Itu juga yang membuat aku bingung. Kalaupun nanti dalam perjalanan waktu kita tidak bisa mempertahankan semuanya, bisakah kita kembali pada persahabatan seakrab sekarang? Aku hanya tidak ingin kehilangan seorang teman.

Hey kamu, aku tahu kamu akan membaca tulisan ini jadi sebelum kamu jauh berjalan, tolong tanyakan juga apa yang aku tanyakan pada hatimu. Apakah tidak terlalu beresiko? Apalagi kamu sudah tahu siapa aku, bagaimana aku. Tapi kalaupun kamu tetap pada pendirianmu dan mengambil resiko tersebut, mari kita tanggung bersama resiko itu. Masing-masing memikul beban yang sama berat. Aku tidak mau memberatkanmu, jadi tanyalah hatimu lagi. Pantaskah aku yang sudah kamu kenal betul bagaimana sepak terjangnya menjadi seseorang yang akan kamu titipkan hatimu?

Aku punya masa lalu, dan kamu tahu itu. Bagaimanapun aku tidak akan pernah bisa merubah masa lalu itu. Sebutlah aku sering mengenang, tapi seringkali itu hanya kulakukan sebagai wisata hati. Melakukan napak tilas pada pematang yang sudah aku lalui. Sekedar meremajakan ingatan, memberi asupan pada hati yang kerontang. Menikmati sensasi yang dulu pernah dikecap. Aku tahu pasti kalau kamu juga tahu itu.

Hey kamu, aku hanya ingin tahu benarkah langkah yang kita tempuh belakangan ini? Tidak akan menyesalkah kamu dengan apa yang akan kamu lakukan? Selagi belum pasti, tanya dulu hatimu kemudian beri tahu aku apa yang dibilang hatimu.

Selasa, 12 Oktober 2010

Drama ( lagi-lagi )

Seorang teman pernah bilang ketika hidup tanpa drama maka kemampuan menulis akan berkurang.

Saya setuju.

Ketika memainkan drama, saya bisa mengeksplorasi maksimal kemampuan menulis. Banyak rentetan kata yang kemudian tercurah bagai hujan yang turun belakangan ini. Meluap dari got-got yang kehabisan daya tampungnya, menggenang di jalanan yang berlubang. Saya bisa menulis tanpa banyak berpikir dengan hasil yang memuaskan. Menurut saya.

Tapi saya seringkali berlaku bagai sutradara atau penulis skenario atas hidup saya sendiri. Mencipta sebuah drama yang hanya direka dalam kepala. Mengurai berbagai kejadian dalam segmen-segmen yang berkelanjutan, mengumpulkan serakannya kemudian menayangkan dalam layar imagi. Menjadi sebuah cerita utuh yang kadang diselingi commercial break.

Tidak bermaksud menyaingi Tuhan, karena sampai sekarang saya masih percaya kalau Dia adalah penulis skenario yang paling hebat, setidaknya untuk hidup saya. Skenario yang seringnya tidak bisa ditebak bagaimana alur atau plotnya. Skenario yang scriptnya justru baru saya pegang setelah cerita dimainkan lebih dari setengah jalan. Skenario yang membuat saya harus siap dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi di tengah saya memainkan lakon yang awalnya jelas tetapi kemudian buram.

Kalau sedang diberi jalan cerita yang sedikit tidak menguntungkan maka saya berharap lebih banyak iklan yang tayang, karena saat jeda itu saya memiliki kesempatan untuk memutar kepala. Mencari celah bagaimana menyelesaikan masalah yang menghadang, merunut benang kusut dan berharap bisa memintalnya dalam alur yang tidak lagi memusingkan. Tapi banyaknya saya kalah langkah, saya hanya bisa mengikuti jalan cerita yang sebetulnya tidak saya suka sambil berdoa agar episodenya cepat selesai. Berdamai dengan apa yang sudah dituliskan seringkali adalah sebuah penyelesaian.

Sekarang saya sedang berdamai. Berusaha memaknai dengan penuh kesadaran atas apa yang terjadi belakangan ini dalam hidup saya. Tidak mencoba keluar dari jalan cerita yang ada karena saya terantuk langkah pada kenyataan bahwa ternyata dia bukan lagi milik saya. Seorang pemain yang awalnya dikirim untuk meramaikan cerita dimana saya bisa meniti warna pelangi, sekarang diberhentikan paksa. Tanpa prolog, dia diberi script untuk keluar dari jalan cerita yang justru menurut saya episodenya baru saja dimulai.

Tidak ada lagi mata segaris. Untuk kesekiankalinya dia pamit dan berjalan dalam tracknya sendiri, memainkan skenario yang mungkin baru saja diterimanya. Tanpa saya sebagai peran pembantu utama, bahkan tidak sebagai cameo. Saya tidak lagi terlibat. Saya ditamatkan perannya dalam segmen kali ini. Entah dalam kisaran waktu yang pendek atau panjang, atau mungkin saya tamat selamanya. Entahlah.

Jumat, 08 Oktober 2010

Analogi

Biasanya kalau ada temen yang nanya sekarang gue lagi deket sama siapa, terus gue jawabnya nggak punya karena gue nggak laku pasti deh mereka teriak: BOHONG!!!

Sebelkan? Udah nggak laku masih aja disebut pembohong. Empati sedikit kenapa sih!!

Ini bukan curhat, tapi beneran deh kayaknya ada sesuatu yang salah sama hidup gue. Masa jadi jomblo kok menahun, untung gue bukan tipe orang yang merasa HARUS punya pacar. Selama gue bisa menjalani semua sesuai dengan apa yang memang harus dijalani, semua itu tidak jadi masalah. Palingan ada sesuatu yang dirasa kurang aja, tapi toh itu tidak mempengaruhi kebahagiaan yang akhirnya bisa gue peroleh. Kebahagiaan itu diciptakan, jadi semuanya tergantung mindset. Ketika mindset kita mengarahkan untuk mencipta kebahagiaan maka kebahagiaan itu pasti akan terbentuk meski kita tidak berpasangan.

Yang mau teriak gue sedang dalam fase denial atau menghibur diri atas apa yang terjadi, silahkan berteriak dengan kencang. Bebas!

Beberapa waktu lalu sempet chat sama temen. Bisa dibilang temen deket meski belom pernah ketemu. Anehnya dia itu tau gue banget, entah cara dia menganalisis gimana pokoknya dia tuh ngertiin banget sifat dan kelakuan gue. Jangan-jangan dia sebenernya suka lagi sama gue makanya banyak nyari tahu siapa gue. Hahaha, ngasal.

Ngobrolnya sih seperti biasa, ngalor ngidul nggak jelas juntrungannya. Ada aja yang diomongin sampai akhirnya dia nanya soal siapa yang lagi deket sama gue. Dan seperti biasa gue selalu jawab dengan “nggak laku”. Ya emang nggak laku jadi mau jawab gimana lagi.

Dia bilang sebenernya gue itu bukan nggak laku tapi gue mahal. Kata dia lagi orang akan melihat gue dari tingkat pendidikan, pekerjaan dan siapa gue sekarang ini. Bukan gue kalo nggak ngeyel, jadi gue bantah dong semua analisis dia. Tingkat pendidikan, hari gini S2 udah bejibun udah bukan hal yang mewah jadi tidak bisa dibanggakan. Pekerjaan? Dia pasti becanda. Gue seorang abdi negara yang semua orang juga tahu gajinya berapa. Kalo siapa gue sekarang, gue juga nggak tahu. Emang sekarang gue siapa? Perasaan bukan siapa-siapa.

Dia juga nggak mau kalah. Dia memberikan analogi yang ternyata paling masuk akal di otak gue. Analogi yang bikin gue berpikir berulang-ulang dan menemukan banyak hal yang logis. Dia bilang kalau gue diibaratkan toko ZARA (dia tahu banget gue penggila zara) maka akan banyak orang yang mikir seribu kali untuk hanya sekedar melangkah masuk ke dalam tokonya. Akan banyak pertimbangan, bahkan untuk orang-orang yang memiliki banyak uang sekalipun. Mereka bukan tidak bisa beli, tapi mereka merasa bahwa tempat mereka bukan disana.

Seketika gue tertohok. Bukan karena apa-apa, tapi karena saking logisnya analogi yang dia berikan. Katakanlah gue memang tidak semahal Zara, tapi mungkin image yang gue bentuk membuat orang berpikir kalau gue mahal. Hadeeeh, boleh dilihat kok kalau gue ini harganya kayak di pasar baru. Terjangkau.

Sekarang gue setidaknya tahu kenapa gue nggak laku-laku. Masalahnya ada di image, pencitraan diri. Nggak mahal tapi berlagak sok ingin terlihat mahal. Sok berkualitas padahal juga KW yang entah KW berapa.

Percakapan malam itu bikin gue harus mulai lagi mengatur strategi bagaimana bersikap, bagaimana bertingkah laku. Tidak ada yang tidak bisa diperbaiki selama gue masih mau berusaha. Tujuannya baik dan pasti bukan hanya masalah mendapatkan pasangan karena perbaikan diri itu akan mengubah semua aspek kehidupan menjadi lebih baik. Dan kalaupun ketika gue sudah memperbaiki diri ternyata tetap tidak juga mendapatkan pasangan, itu sih masalah takdir. Mau apa lagi, diterima saja.