Falsafah orang sunda yang sampai saat ini masih saya pegang.
Falsafah yang tidak akan pernah berubah artinya sekalipun dunia sudah mengalami
banyak kemajuan seperti sekarang ini. Teu bisa ngarawu ku siku arti secara
harfiahnya adalah “tidak bisa meraup menggunakan sikut” sedangkan menurut enin
(nenek) yang pernah mengajarkan falsafah ini artinya adalah kita tidak akan
pernah bisa mendapatkan semua yang kita inginkan. Sikut memiliki keterbasan
meskipun dia bisa digunakan untuk mengambil sesuatu.
Dan saya percaya. Mungkin lebih tepatnya diajarkan untuk
percaya karena berbagai pengalaman hidup mengajarkan saya untuk lebih meyakini
falsafah tersebut. Dan benar. Banyak hal yang tidak bisa diraih sekaligus.
Banyak hal yang untuk dicapai, terlebih dahulu dihadapkan pada sebuah pilihan.
Bisa dua, tiga atau mungkin sekaligus banyak yang seringkali membuat saya
bingung dan linglung.
Kenapa harus bingung? Saya sebetulnya tinggal memilih,
bahkan bisa dilakukan sambil memejamkan mata atau nungging sekalipun. Tapi andai
semua bisa sesederhana itu, semudah kata atau nasihat yang keluar dari mulut
saya untuk orang lain. Nasihat seringkali mudah diberikan kepada orang lain,
tapi ketika diterapkan pada diri sendiri ternyata tidak semudah apa yang harus
dilakukan. Banyak pertimbangan, banyak pertentangan, banyak konflik. Akhirnya
saya sering terduduk dan bingung. Alasannya karena saya ingin semua opsi dari
pilihan yang dihadapkan.
Serakah? Sepertinya. Salah? Tidak. Sangat manusiawi menurut
saya ketika seorang manusia sebutlah saya menginginkan lebih dari 1 perwujudan
keinginan. Urusan terwujud atau tidaknya sering saya abaikan karena saya lebih
berfokus untuk tetap memperjuangkannya. Apakah saya mendapatkan kesemua
pilihannya? Kadang iya dan seringkali tidak. Kalaupun saya mendapatkan
semuanya, maka tidak ada salah satu yang maksimal, semuanya nanggung seperti
hukum alam.
Ibu saya pernah bilang, ketika kita mendapatkan sesuatu maka
kita harus melepaskan yang lainnya. Dan saya juga tidak kalah mengamini.
Serakah saja tidak cukup. Kemaruk saja tidak lantas membuat saya bahagia dan
mengantarkan saya jadi pemenang. Berpikir matang yang kemudian harus dilakukan
ketika saya dihadapkan pada sebuah pilihan. Sekali keputusan sudah dibuat maka
akan sukar untuk saya berjalan mundur ke belakang. Dan saya tidak ingin hidup
dalam penyesalan. Menyalahkan suratan padahal jelas-jelas saya yang memutuskan.
Beberapa hari ke belakang saya dihadapkan pada sebuah
pilihan sulit. Sulit menurut saya karena bisa jadi menurut orang lain itu hanya
hal remeh yang seharusnya tidak dipikirkan secara berlebihan. Sulit menurut
saya karena pertentangan yang hadir justru mempertemukan dua kutub yang saling
berlawanan. Masalah duniawi dan akhirat. Sulit menurut saya karena sekarang
saya masih hidup di dunia, bagaimanapun saya harus menabung bekal untuk
kehidupan saya di dunia ke depannya. Kebutuhan harus dibeli, tidak turun dari
langit. Sulit menurut saya karena saya sangat yakin dengan kehidupan akhirat.
Kehidupan setelah mati. Jadi sayapun harus menabung untuk bekal saya di akhirat
kelak. Dilematisnya adalah ketika jadwal untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan
akhirat ternyata berbentrokan. Salah satu tidak bisa ditawar. Tidak bisa
dijawal ulang seperti yang pernah saya bayangkan.
Berhari-hari saya bingung. Dirundung banyak pertentangan
yang menghantarkan saya pada sakit kepala hebat dan produksi asam lambung yang
berlebihan. Cemen. Berhari-hari saya seperti orang linglung yang tidak tahu
jalan pulang padahal jalanan di depan jelas tanpa tutupan awan. Saya menangis.
Ingin protes pada Sang Pemilik Hidup, tapi urung saya lakukan. Terlalu sering
saya protes. Terlalu sering saya menjadi hamba yang pembangkang. Kali ini saya
ingin lebih ‘nrimo. ‘Narimakeun’ atas apa yang sudah Tuhan rencanakan.
Katanya saya harus belajar ikhlas. Belajar menerima suratan
sebagai takdir yang memang harus disandang. Dan ternyata iklhas itu tidak
gampang. Mudah diucapkan tapi hati seringkali tidak mudah ditaklukan.
Berulangkali dia menggugat apa yang sudah saya putuskan. Melemparkan saya pada
putaran yang semakin membuat saya sempoyongan. Berulang-ulang. Sampai saya
tidak bisa lagi menahan isi perut untuk keluar. Mual.
Waktu terus diputar. Tengat waktu semakin sempit untuk saya
memutuskan. Ditengah tangisan yang sudah mulai mereda. Di ujung kepeningan sisa
dari saya berkontemplasi tentang pilihan yang muncul akhirnya saya memutuskan.
Mengambil satu pilihan, dan melepaskan yang yang lainnya. Apakah saya ikhlas? Masih
sedang diusahakan. Masih terus belajar. Saya hanya yakin bahwa Tuhan tahu yang
terbaik untuk saya. Tuhan akan membukakan pintu rezeki lainnya ketika saya
justru menutupnya dengan sadar. Tuhan pasti menyayangi saya, hambanya yang
pembangkang.
Bismillah. Keputusan sudah bulat dibuat. Semoga ini memang
jalan yang terbaik, tidak hanya menurut saya tapi juga menurut Tuhan. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar