Halaman

Kamis, 31 Januari 2013

Kesendirian


Berbekal keberanian, seorang anak laki-laki memutuskan untuk menjalani hidup dalam kesendirian. Mengasingkan perasaan dari kehidupan yang sesungguhnya diputar secara cepat di luaran. Tubuhnya mungkin seringkali berada di tengah keramaian yang memekakakkan, tapi perasaannya bertolak belakang. Dia memupuk sunyi seperti laguna kering di tengah lautan luas berisi air yang nampak tidak akan habis sampai ribuan tahun ke depan.

Tidak banyak persiapan yang sebelumnya dilakukan. Tidak ada barang-barang yang bisa memberinya rasa nyaman apabila ada ancaman yang menghadang yang dia bawa ketika memutuskan untuk menjalani hidup dalam kesendirian. Dia hanya membawa sebilah keberanian yang sebetulnya diapun tidak yakin apakah itu cukup untuk mengantarkannya sebagai pemenang. Tidak ada juga memori pelajaran yang  dia bisa panggil ulang dengan mengandalkan ingatan. Semua benar-benar dimulai dari awal.

Seorang anak laki-laki memutuskan untuk menjalani hidup dalam kesendirian. Kenyataan yang dia temukan membuatnya mau tidak mau membuat keputusan demikian. Lewat banyak perenungan dia mengasingkan perasaan, memasungnya dalam cengkaram rasa tidak nyaman yang sebetulnya tidak ingin dia rasakan. Anak itu tidak punya pilihan. Membuka diri dengan berkawan justru membuatnya hidup dalam pengasingan yang semakin dalam. Berbaur dengan keramaian ternyata mengantarkannya pada banyak kesakitan.

Dia belajar menghindar. Mengurangi konflik melalui pergesakan perasaan dengan orang-orang yang membuatnya seperti tidak diinginkan. Lewat kesunyian dia menebalkan bebal. Dalam kesendirian dia memupuk harga diri yang selama ini banyak orang pertanyakan.

Menangis adalah salah satu hal yang paling dihindarinya. Simbol kelemahan yang justru membuat dia seperti mengemisi rasa kasihani. Tidak, menurutnya dia tidak lemah walaupun sebagian banyak temannya menterjemahkan kesendirian yang dia jalani sebagai bentuk ketidakmampuan. Dia justru menjelma kuat lewat waktu yang menggerus seluruh kepercayaannya tentang rasa bahagia. Melalui cara yang tidak biasa anak itu tumbuh menjadi sosok yang bisa dibilang cemerlang.

Bagaimana dengan kesendirian yang dulu dia jalankan? Apakah dia sudah meninggalkannya di belakang? Tidak. Kesendirian adalah rumahnya. Tempat yang paling membuatnya nyaman sampai sekarang. Bangunan tempatnya berlari membawa banyak kegundahan. Bangunan yang selalu memberinya rasa aman dari semua ancaman yang masih saja menghadang tak pernah bosan. Di rumah itu dia juga menyemai mimpi tentang kebahagiaan yang dia pernah gambar di secarik kertas usang ketika dia memutuskan untuk berjalanan dalam kesendirian. Mimpi yang sampai sekarang masih berbentuk sebuah sketsa.

Seorang anak kecil dulu memutuskan hidup dalam kesendirian. Dengan jemarinya yang mungil dia memunguti harapan di jalanan senyap penuh cobaan. Dia kumpulkan satu per satu harapannya itu dalam sebuah bejana waktu. Semacam mesin waktu yang dia pikir akan membawanya pada sebuah dimensi dimana dia akan menemukan keteduhan. Tempat dimana tidak ada lagi kebencian yang membuat dia merasa dikerdilkan. Tempat sejenis surga.

Sampai sekarang tempat itu belum juga dia temukan. Sering kali malah dia salah dalam mencumbui terang. Dia pikir itu petunjuk yang akan mengantarkannya pulang, sayang ternyata yang dia temui hanyalah sebuah lampu jalan. Fatamorgana yang kadang-kadang membuatnya seperti ingin menanggalkan mimpi. Bosan dengan banyak kekeliruan yang dijalani karena ternyata hidup tidak sedang diundi. Sudah ada ketentuan yang berlaku. Suka tidak suka semua harus dijalani dengan dititi ataupun dibawa berlari.

Anak kecil itu bukan lagi anak-anak. Puluhan metamorfosis sudah dilalui dan menjadikannya bentuk yang paling adaptif. Tidak ada lagi halangan yang dianggapnya sebagai rintangan. Tidak akan ada lagi proses yang dimaknai sebagai bentuk pengkerdilan diri. Anak itu tetumbuh laksana rumput liar yang tidak mudah tercerabut dari akar meski hidup sendirian di padangan yang subur dan ditumbuhi banyak pohon berduri.

Rabu, 23 Januari 2013

Teman dan Kemarahan


Sudah hampir beberapa hari saya mendiamkan seorang teman. Meskipun kami memang jarang bertemu secara langsung, tapi komunikasi melalui gadget selalu dilakukan hampir setiap saat.  Sejak beberapa hari ini tidak ada lagi komunikasi. Baik saya maupun dia tidak ada yang menggagas untuk memulai percakapan duluan. Terdengar kekanak-kanakan? Mungkin. Tapi saya benar-benar terluka.

Saya kecewa dengan sikapnya. Saya tersinggung dengan ucapannya. Mulut kami berdua memang tajam, seringkali melemparkan ungkapan-ungkapan yang sedikit sarkastik sebagai bahan becandaan. Semua tidak pernah jadi masalah, karena kami berdua faham benar di koridor mana kami berjalan. Kami menganggap bahwa semua becandaan itu adalah sebuah refleksi rasa sayang, suatu bentuk ekspresi yang justru merekatkan. Sampai beberapa hari yang lalu, ketika saya terlukai sampai batas nurani. Mungkin selama ini saya dianggap tidak memiliki nurani, jadi menurutnya tidak masalah melemparkan ungkapan yang kemudian membuat saya tersakiti.

 Semua hal sering kami jadikan bahan becandaan. Dari mulai kesendirian saya yang menurut dia janggal dan membuat saya seperti besi yang karatan sampai keberadaan pacarnya yang sering dia sembunyikan. Saya memanggil pacarnya sebagai pacar artifisial, sebuah rekaan. Bagaimana tidak, dia selalu berprilaku seperti layaknya seorang yang tanpa pasangan. Saya tidak peduli kalaupun dia berbohong toh saya tidak merasa dirugikan. Semua itu hanya jadi bahan banyolan, seperti halnya lelucon mengenai saya yang seringnya dibutakan keadaan. Menurutnya.

Kami saling mentertawakan kebodohan. Membuat masing-masing sadar dengan cara yang mungkin aneh terdengar. Kami menikmatinya karena mentertawakan hidup adalah salah satu cara untuk merawat kewarasan. Tapi kami tidak pernah bercanda ke area yang sensitif seperti keluarga, agama kami yang berbeda dan juga bagaimana kami memaknai takdir yang sudah tertuliskan. Kami sama-sama sadar area tersebut bukan hal yang patut untuk dijadikan bahan bully-an. Tabu untuk kami menistakan diri dengan membuat lelucon tak pandai yang akan melukai perasaan. Sampai kemarin. Akhirnya kejadian.

Saya memang seorang pegawai negeri sipil, dan semua orang tahu kalau jam kerja PNS memang yang paling menyenangkan. Masuk jam setengah delapan dan pulang tepat jam 4 petang. Seringnya tidak ada yang melembur dengan alasan mengejar jemputan atau memang tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan dalam deadline. Saya sudah kenyang dengan becandaan kalau PNS hanya makan gaji buta, makan pajak rakyat dengan kinerja yang tidak setimpal. Semua saya telan, karena menurut saya itu hanya sebuah penggeneralisasian. Saya mengamini karena mungkin memang banyak orang yang berlaku seperti itu di luaran. Selama saya tidak melakukan hal serupa, saya hanya tersenyum tanpa mengajukan gugatan pembenaran.

Tulisan ini dibuat bukan sebagai sebuah pembelaan. Penyangkalan dari semua stigma orang yang sudah terbentuk sedemikian kuat di masyarakat. Kalau tidak percaya, sekali-kali berkunjunglah ke laboratorium dimana saya bekerja, maka akan terlihat ratusan sampel yang harus dianalisis sebagai bahan penelitian. Akan didapati tumpukan data yang harus kami analisis sebagai alat untuk membuat rekomendasi di lapangan. Ah tapi mungkin kebanyakan akan menganggap itu hanya bualan. Tidak mengapa karena saya tidak hidup dalam jalan pikiran orang. Kalau saya melakukan pembelaan, saya akan masuk dalam jeratan pembenaran.

Dalam perbincangan dengan teman saya tersebut entah dari mana arahnya dan entah apa topiknya karena saya lupa, tiba-tia dia seperti menyerang apa yang selama ini saya kerjakan. Dia menyebut saya hanya memakan gaji buta karena jam 5 sore sudah ada di kosan dan bersiap mengunjungi area kebugaran. Saya tertawa seperti biasa, candaan klasik yang mungkin tidak akan bisa diperbaiki. Stigma sudah terbentuk, sulit untuk dihancurkan apalagi ada oknum-oknum yang masih berlaku seperti demikian. Saya membela diri dengan menyebutkan bahwa jam kerja saya memang sudah usai dan saya tidak punya tanggungan pekerjaan yang harus dikerjakan melebihi batas jam kantoran. Tapi dia menyerang, dia bilang sudah rugi membayar pajak negara hanya untuk membayar PNS yang bermental seperti saya.

Saya tertawa lagi. Sudah sangat terbiasa dengan ejekan seperti yang baru saja dia tujukan. Saya membalas dengan menyerang pacar artifisialnya yang tidak pernah dia perkenalkan tetapi selalu membelanjainya dengan barang-barang mahal. Candaan yang selalu kami ungkapkan sejak dulu berteman. Tidak pernah ada masalah. Tapi dia berekasi berlebihan, dia bilang saya tidak butuh seorang pacar yang bisa membelanjai barang-barang mahal karena saya bisa mengakses keuangan laboratorium saya dengan gampang. Dia bilang saya seorang koruptor, memakan uang yang sebetulnya bukan hak untuk didapatkan.

Ludah yang tertelan mulai pahit saya rasakan. Saya diam. Dan dia menganggap sikap diam saya adalah bentuk persetujuan. Dia mempertanyakan kenapa saya diam, dia bilang saya mengakui kalau saya pemakan uang haram. Padahal boleh dicek ke laboratorium saya bagaimana kondisi keuangannya. Badan pemerintah dimana saya bernaung bukan badan yang basah oleh uang, bahkan tidak ada anggaran untuk membayar seorang outsourcing sehingga peneliti seperti saya harus meluangkan waktu untuk mencuci Cawan Petri dan tabung reaksi yang berjumlah ratusan sendirian. Tapi saya hanya diam. Saya takut bereaksi ketika amarah mulai membakar kesadaran.

Melihat saya diam, dia terus mengejar. Mempertanyakan sikap saya yang lain dari kebiasaan melawan. Dia memborbardir saya dengan banyak pernyataan. Dia bilang pantas saja saya bisa belanja pakaian dengan brand terkenal ternyata saya mendapatkannya dengan memanipulasi cash flow keuangan bidang. Dia juga mempertanyakan dari mana uang yang biasa saya gunakan untuk pelesiran dan jalan-jalan. Gaji PNS yang kecil katanya tidak mungkin bisa menghidupi gaya hidup saya yang sangat berlebihan. Ketika saya bilang saya punya bisnis sampingan, dia menanggapinya dengan bilang bahwa bisnis sampingannya adalah melicinkan penyalur barang-barang kebutuhan kantor yang mau menyogok saya dengan setumpukan uang. Nauzubillah su’ma Nauzubillah.

Dia mungkin lupa kalau saya punya tabungan. Uang yang saya peroleh dari menyisihkan sedikit demi sedikit recehan. Dia mungkin lupa kalau sebelum menjadi abdi negara saya pernah bekerja di perusahaan multi-nasional dengan jabatan yang bisa dibilang menyilaukan. Kenyamanan yang kemudian saya tinggalkan demi ambisi untuk bisa sekolah lagi. Kenyamanan yang menyisakan pundi rupiah lumayan cukup di dalam rekening tabungan. Mungkin dia lupa kalau saya juga punya pekerjaan sampingan, menjadi master of ceremony dari satu acara ke acara lain sampai sekarang. Tapi dia dibutakan oleh status saya sebagai seorang abdi negara yang memiliki jam kerja dari jam setengah delapan sampai jam empat petang. Seseorang yang tidak pantas memiliki uang lebih meskipun saya membanting tulang mengerjakan proyek untuk kemajuan teknologi di negeri ini.

Sebelum saya meledak sore itu, saya menghapus pin BB-nya dari handphone saya. Terdengar drama. Terlihat seperti kemarahan anak umur belasan. Saya tidak peduli. Saya kemudian merefleksi betapa sebetulnya banyak pertanyaan yang ada dalam diri teman saya itu mengenai kehidupan yang saya jalankan. Selama kami berteman, rupanya dia menyimpan beribu pertanyaan besar hingga kemarin akhirnya dia menemukan jalan. Seperti tanggul yang hancur dia membanjiri saya dengan banyak kepenasaran. Kemudian saya hanya bisa bertanya, seperti itukah seharusnya seorang yang disebut teman?

Senin, 21 Januari 2013

Selingkuhan


Kamu bilang aku pecundang. Terlalu cepat menyerah pada keadaan padahal perjuangan belum sepenuhnya dilakukan. Kamu bilang aku pengecut. Memilih untuk berlari meninggalkan pertandingan padahal wasit belum sempat meniup peluit tanda babak yang sedang digelar sudah usai. Kamu bilang aku penakut. Gentar menghadapi halang rintangan yang menghadang padahal semua itu kadang hanya berupa bayang-bayang.

Mungkin aku memang pecundang, terlalu cepat menyerah pada keadaan. Tapi lihat! Aku melangkah pergi tidak dengan langkah gontai. Aku pergi dengan wajah tegak menatap masa depan yang aku tidak tahu seperti apa akan kejadian. Aku hanya yakin kalau setelah ini semua akan jauh lebih baik. Tidak ada lagi kesakitan yang membuat keropos perasaan. Tidak ada lagi tangisan yang terjadi diam-diam tanpa sadar. Semua gelap akan berubah menjadi terang, paling tidak samar. Menemukan takdir serupa sinar.

Boleh saja kamu panggil aku pengecut. Berlari seperti menghindar dari kenyataan yang sudah pernah aku putuskan untuk dengan sadar dijalankan. Tapi lihat! Lagi-lagi aku berlari tidak tunggang langgang seperti seorang maling yang ketahuan. Aku berlari dengan awahan. Penuh ancang-ancang dengan kaki satu sesaat terpaut di belakang. Awahan yang memang sengaja diambil untuk menunjukan bahwa apa yang aku lakukan adalah sebuah kesadaran. Beranjak setelah membenahi apa-apa yang harus diselesaikan. Aku telah memutuskan. Telah membewarakan. Sehingga aku tidak punya lagi hutang. Termasuk penjelasan.

Tidak pernah menyenangkan menjadi seorang selingkuhan. Tumbuh liar di pekarangan orang. Mengandalkan sisa-sisa kasih sayang yang diberikan tidak secara terang-terangan. Lebih banyak kesakitan dibanding kesenangan ketika aku memutuskan menjadi seorang selingkuhan. Memunguti remah-remah cinta yang tercecer di halaman milik orang. Harus lebih banyak bersabar ketika sekedar ingin memamerkan hubungan yang sedang dijelang. Sembunyi-sembunyi karena di luaran banyak orang yang dirasa akan membahayakan.

Sedemikian lama semua itu aku telan. Perlahan sampai aku pikir semua sudah menjadi pembiasaan dan tidak akan lagi menyakitkan. Telah banyak hati ini aku belanjakan untuk sesuatu yang sebetulnya tidak perlu. Membeli dan merinci apa yang seharusnya sudah menjadi hak aku sebagai seorang pasangan. Sayang, semua itu tidak terbayar. Aku tetap saja tersisihkan. Menjadi nomor sekian yang ditutup-tutupi dengan banyak kebohongan. Aku tetap saja menjadi selingkuhan. Tumbuh kerontang di sudut pekarangan subur yang terawat nyaman.

Betulkah aku penakut? Kamu salah besar. Aku justru pemberani. Lebih berani dari apa yang selama ini aku bayangkan. Aku berani mengambil resiko menjadi orang yang hidup menempel pada hubungan kalian yang katanya sudah sedemikian gersang. Aku berani menunggu pada sebuah ketidakpastian hanya karena kamu bilang bahwa dia sudah sedemikian kosong sehingga tidak bisa kamu pertahankan. Aku berani. Berani menjadi bodoh. Mencernah secara tidak sempurna semua janji yang umbar ke udara. Aku berani menjadi bodoh dengan cara mengakhirkan logika ketimbang perasaan.

Aku memang selingkuhan. Seperti rumput liar yang tidak tahu aturan tumbuh di sepetak tanah yang katanya sudah kehabisan sumber makanan. Katanya. Karenanya aku membuktikan melalui sekumpulan kebodohan yang datang tanpa pertimbangan. Aku menunggu waktu yang katanya akan menjadi sepenuhnya milikku. Tapi aku keliru. Aku justru seperti radioisotop yang menunggu waktu paruh untuk luruh. Sedikit demi sedikit terurai untuk kemudian lebur tak mengenal bentuk dan dilupakan.

Beruntung aku tersadar. Sebelum racun yang ikut terisap dari hasil mendompleng hubungan kalian genap membunuhku perlahan. Aku menyusun rencana, menimbang kemudian memutuskan. Setelah itu aku berlari, tidak ingin berjalan karena aku takut kamu mengejar.  Aku memang menyerah, tapi aku merasa menang. Kamu bilang aku kalah. Tapi apa yang akan aku dapatkan kalaupun aku menang?  Nihil.

Aku memang selingkuhan. Pernah ada di sana. Tapi sekarang aku terbebaskan. Dengan sayap tak kasat mata aku coba untuk terbang. Mencari lagi sarang yang sudah ditinggalkan sang tuan, atau justru membangun sarang dari awal. Sendirian. Tidak peduli akan seberat apa karena semua telah mengajarkan banyak hal. Termiliki tidak menjadi jaminan dari sebuah kebahagiaan.

Jumat, 18 Januari 2013

Orang Ketiga


Mengapa harus ada dia diantara kita?

Tidak cukupkah hanya ada aku, kamu dan cinta?

Dia senantiasa membayangi. Mengikatku pada sebuah pilar ketakutan akan perasaan kehilangan. Kehilangan seseorang yang baru saja bisa kuandalkan. Seseorang yang menginisiasi janji untuk membawa hati ini berlari. Membebaskan dari kesendirian yang mengkarat saking lamanya terbengkalai tak termiliki.

Mengapa harus ada dia diantara kita?

Lagi-lagi mungkin aku terbutakan. Terbuai oleh khayalan yang mengembara liar tak tentu arah dan tujuan. Awalnya aku menikmati, mempercayai bahwa jalan yang kita awali akan menemukan sebuah tepi. Pemberhentian yang bisa membuatku merasa sedikit lega. Membuatku bernapas seperti sediakala. Tidak perlu terengah-engah karena dipaksa berlari kemudian sembunyi. Tidak perlu didera perasaan takut teramati.

Aku mencintaimu. Sejak dulu. Karenanya aku bersedia mendampingi semua proses pendewasaan yang kita berdua rintis dari semula. Aku menyayangimu. Mungkin tak tertandingi. Karenanya aku bersedia menawarkan hati untuk dijadikan pijakan bagimu berlari. Menuju apa yang kamu sebut mimpi. Aku memujamu. Tanpa perlu imbalan. Oleh sebab itu aku rela didera berbagai perasaan yang berkecamuk seperti daratan tak bertuan. Kerontang.

Sedari awal aku sudah mengunyah banyak konsekuensi menyakitkan. Dari permulaan aku sudah dihadapkan pada kenyataan yang seringkali membuatku menangis sendirian. Tapi aku bertahan. Aku percaya bahwa kamu bisa menyelesaikan semua masalah seperti yang aku harapkan. Aku tetap berdiri karena aku memiliki keyakinan kamu akan bisa memutuskan. Tidak lagi gamang untuk memilih jalan yang akan diambil kemudian. Tidak lagi ragu untuk berseru dan berlari ke arahku.

Aku salah. Lagi-lagi aku keliru. Kamu tidak berlaku seperti apa yang sering kamu utarakan. Kamu terlanjur diayunambingkan kenyamanan dari kondisi yang justru bagiku tidak pernah menguntungkan. Kamu terninabobokan keadaan memiliki 2 cinta yang mungkin kadarnya sama besar. Kamu berkelit dengan banyak alasan yang butuh banyak pemakluman.

Tidak cukupkah hanya ada aku, kamu dan cinta sehingga masih butuh dia? Sebegitu berharganyakah dia sehingga masih harus tetap dipertahankan? Atau sebegitu bodohkanhnya aku sehingga tetap saja diliciki dengan janji-janji semanis aromanis. Aku sudah banyak menelan kepahitan. Bukan kebahagiaan seperti yang sering kamu dengungkan. Aku sudah dipaksa berjalan di padang berduri, padahal dulu kamu bilang aku tinggal duduk nyaman di atas permadani. Aku mulai bosan. Aku mulai mempertanyakan.

Mengapa harus ada dia diantara kita? Sedemikian perlukahnya dihadirkan pemeran tambahan yang akan meramaikan? Atau justru aku yang sebetulnya menjadi sosok cameo? Sosok yang tampil hilir mudik dengan bayaran tak sepadan. Sosok yang tidak perlu diperhitungkan hanya karena alasan mengambil peran kecil yang tidak penting.

Kini aku berdiri di batas keyakinan. Kalau kamu tidak lantas memutuskan maka biarkan aku yang memberikan kemudahan dengan memberimu jalan untuk pulang. Sedari awal yang kita jalani mungkin tidak benar. Karenanya biarkan aku yang menyerah. Kembali meletakan mimpi yang sempat tergelembungkan.

Lepaskan aku dan berlarilah kepadanya. Dia pasti sosok yang mencintaimu tanpa cela. Sosok yang mungkin tidak pernah mengetahui kalau selama ini ada aku. Orang ketiga yang hadir diantara kamu, dia dan cinta.

Jumat, 11 Januari 2013

Why?


Saya mengenal orang ini perantaraan angin. Melalui aksara yang diterbangkan bersamaan dengan debu. Aksara yang kemudian mengendap dalam imaji dan membangun sosok tanpa wujud asli. Saya hanya berharap bahwa angin ikut menghembuskan nyawa sehingga membuatnya menjadi nyata, tak hanya berupa kata.

Kepada angin saya kemudian selalu menitipkan pesan, mencoba mengenali jati dirinya. Mengorek detail relief hatinya yang seakan beku. Tetapi yang saya dapatkan hanyalah dingin, karena dia tidak mudah disibak. Dia berlindung dalam ketegaran laksana karang di tepian pantai. Kokoh berdiri diterjang gelombang.

Saya berjuang dalam keyakinan pada angin. Yakin bahwa angin akan menyampaikan semua pesan yang tak perlu saya ucapkan. Saya hanya yakin bahwa dibalik baju besi yang dia pakai, saya akan menemukan sesuatu. Sesuatu yang mungkin saya cari selama ini dalam pengembaraan hati, pengembaraan yang tak jelas ujungnya karena seringkali hanya menempatkan saya di gurun tandus tanpa suara.

Saya memanjatkan doa perantaraan angin, berharap Sang Sutradara Hidup mendengar semua pinta. Saya hanya meminta diberi kesempatan untuk mengenal dia lebih jauh, menuntaskan apa yang sudah saya mulai. Menyelesaikan kepenasaran akan cinta. Melalui angin saya tak lagi berbisik, saya berteriak lantang : Tolong beri saya kepastian!!!

Ternyata tak perlu ribuan anak panah yang terlepas dari busurnya seiring waktu, angin kemudian memberi saya jawaban. Keterbukaan yang saya cari selama ini akhirnya terpapar dengan sempurna. Saya melihat dia justru dalam perspektif yang tidak lagi sama, dan ternyata saya tidak siap. Dia, seseorang yang saya ingin ketahui aslinya ternyata sedangkan memanggangkan tubuhnya dalam bara. Menomorsekiankan logika hanya karena cinta.

Ternyata angin tidak hanya memberikan jawaban, tapi angin juga membelot. Dia berubah menjadi badai, memporakporandakan hati dan perasaan saya. Memaksa saya untuk terhempas mundur dari dalam himpunan. Mencabuti rasa yang sedang saya semai, melucuti semua keyakinan saya akan damai.

Saya yang dihempas kenyataan kemudian bergumam : “Angin, entah ini cobaan atau becandaan, tetapi kenapa engkau mengirim lagi sebongkah hati dengan status kekasih orang?”