Sudah jauh aku berjalan sendirian. Menapaki setiap pematang
yang membentang ingin ditaklukan. Membuka setiap kesempatan yang menggoda untuk
sekedar dijajal. Banyak yang sudah aku dapatkan entah itu kebahagiaan atau
sebuah kesakitan. Pelajaran-pelajaran hidup yang justru menguatkan, menempa
batin yang awalnya rapuh tak tahan cobaan. Banyak pula yang sudah aku
belanjakan. Penantian, mempertaruhkan, menyodorkan perasaan, disakiti,
disia-siakan. Dan aku bertahan. Berharap semakin kuat setiap harinya.
Sendirian bukan berarti lemah atau menjadi bisa dilemahkan.
Sendirian buatku menjadi sebuah jalan untuk melakukan banyak penilaian.
Objektif, tidak lagi subjektif. Pematutan dari serangkaian kegiatan ketika aku
mulai berjalan. Penilaian dari serangkaian penerimaan diri ketika pertama kali
menyadari kalau ada yang berbeda dari sebagian besar orang. Penilaian yang
mulanya lebih banyak berisi angka merah karena dipenuhi dengan banyak
kemarahan. Pengugutan kepada Tuhan. Ketidakterimaan.
Seperti keledai dungu aku dulu hanya berputar-putar di area
itu melulu. Mengesampingkan kebahagiaan yang sebetulnya dapat diraih ketika aku
berjalan meskipun sempoyongan. Dibutakan oleh ritual mempertanyakan hal yang
sebetulnya tidak perlu jawaban.
Apakah aku sekarang sudah memperoleh jawaban? Entahlah. Yang
pasti aku sudah mengantongi sebuah pemakluman hasil berjibaku dengan banyak
pertanyaan yang dulu sering aku gadang. Hasil yang mungkin tidak sesuai dengan
harapan banyak orang. Hasil yang mungkin membuat orang justru mentertawakan.
Aku tidak peduli. Hidup bukan hanya pada koridor menyenangkan hati orang lain
yang justru tidak mengenal siapa aku sebenarnya. Hidup adalah bagaimana meraih
kebahagiaan dengan cara aku. Meskipun sendirian.
Sendirian bukan halangan. Sendirian justru membuat aku kuat
dengan caranya sendiri. Terdengar klise? Pastinya. Mudah dijalani? Tentu saja
tidak. Butuh waktu tidak sebentar untuk aku sampai pada fase seperti sekarang.
Butuh banyak pemakluman seperti yang sudah aku bilang. Butuh banyak menebalkan
telinga karena selalu sendirian menimbulkan banyak pertanyaan dari lingkungan,
seakan kalau sendirian aku menjadi seorang pesakitan. Kesepian. Butuh dikasihani.
Kasihan.
Kebiasaan sendirian bukan berarti aku tidak mencari
pasangan. Lagi-lagi pengalaman mengajarkan banyak hal. Bukan berarti karena
ingin lepas dari stigma kesendirian aku menjadi tidak lagi memilah. Angka
di kepala tidak lagi muda. Bertualang dari satu pemberhentian sesaat ke
pemberhentian sesaat yang lainnya bukan lagi saatnya untuk dilakukan. Sayang
memboroskan waktu untuk sesuatu yang dari awal sudah kita tahu bagaimana
ujungnya, apalagi dengan kesadaran penuh bahwa ternyata dengan sendirian aku
baik-baik saja.
Sudah jauh aku berjalan sendirian. Mencoba menikmati apa
yang sudah Tuhan beri sebagai jalan yang memang harus dijalankan. Tanpa
pertanyaan walaupun terjal. Sudah jauh aku berjalan sendirian. Menyemai banyak
doa di setiap kesempatan, berharap suatu saat ada sebagian doa yang dikabulkan.
Tidak perlu semua, karena aku tahu tidak akan semua doa bertemu dengan jawaban.
Sudah jauh aku berjalan sendirian. Mengetuk pintu-pintu virtual sampai bertemu
dengan apa yang (mungkin) selama ini aku idam-idamkan.
Apa aku bosan? Tidak jarang. Tapi aku punya keyakinan kalau
bosan hanya akan membunuh harapan. Kesendirian membuat aku kreatif agar
terbebaskan dari belenggu bosan. Kesendirian memaksaku memutar akal agar aku tidak lantas mati perlahan. Aku tetap harus hidup untuk berbagai alasan. Aku harus tetap berkarya agar ketika aku nanti mati aku bisa diingat untuk sebuah
alasan meskipun mungkin tidak penting. Dan aku tetap merapal banyak doa sambil
mengetuki pintu-pintu potensial dimana aku yakin ada seseorang yang akan
membebaskan.
Sebulan yang lalu ketika berjalan sendirian, seperti biasa
aku mengetuk pintu yang sudah aku amati sejak lama. Awalnya ragu tapi kemudian
aku menantang diri untuk terus berani. Lama tak ada jawaban. Aku menunggu. Satu, dua, tiga sampai sembilan. Tetap
tak ada jawaban hingga akhirnya aku memutuskan bahwa aku harus memutar badan
dan kembali berjalan. Tepat di langkah pertama yang kubuat, seseorang membuka
pintu itu dan tersenyum lebar.
Akankah aku tidak lagi berjalan sendirian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar