Halaman

Jumat, 30 Oktober 2009

Yang Saya Rindukan

Seorang teman bertanya, “apa yang kamu paling rindukan dari saat-saat berpacaran?”

Mungkin saya tidak seperti orang kebanyakan yang merindukan hal-hal romantis dari saat-saat berpacaran itu. Makan berdua, nonton bioskop bareng sambil curi-curi kesempatan pegangan tangan, atau jalan ke mall berdua, mengumbar kemesraan yang tak kasat mata.

Saya bukan tidak menginginkan itu. Tentu saja saya juga ingin mengalaminya lagi. Berjalan beriringan dengan orang yang saya cintai, menikmati setiap detik dalam moment yang tercipta. Berusaha menjaga diri padahal tidak tahan untuk menggandeng tangannya, tersenyum manis saat dia bertanya apa saya lelah karena kelamaan berputar-putar mengelilingi mall. Saya ingin mengalaminya lagi.

Tapi kalau ditanya apa yang paling saya rindukan, maka saya akan menjawab kalau saya sangat merindukan ngobrol berdua dengan orang yang saya cintai itu di kamar. Berdua. Tidak melakukan apa-apa, hanya mengobrol. Dari A sampai Z, dari sesuatu yang penting sampai gossip, dari kejadian yang menyenangkan sampai ke yang menyedihkan. Saya rindu melakukan hal tersebut.

Buat saya ngobrol berdua dengan kekasih adalah sesuatu yang intim,romantis. Sesuatu yang bisa menambah kadar sayang saya terhadap dia. Melihat wawasannya dalam memandang sesuatu, mengamati pola pikirnya, menikmati setiap kata yang terucap dari bibirnya, perubahan raut mukanya ketika tidak setuju dengan bantahan saya. Semuanya membuat batin saya penuh.

Hal lain yang mungkin menurut kebanyakan orang aneh, adalah saya rindu melihat pasangan saya asyik dengan laptopnya sementara saya biasanya menonton TV. Di kamar, berduaan, hening, hanya ada suara dari TV yang entah menyiarkan apa karena kebanyakan saya tidak menyimaknya. Dia asyik entah dengan pekerjaannya atau dengan games di laptopnya, saya asyik mengamatinya.

Saya kemudian tidak merasa diterlantarkan atau ditinggalkan karena biasanya sesekali dia akan menengok ke arah saya dan menanyakan apakah saya bosan. Saya pasti akan menggeleng, karena mengamatinya asyik dengan dunianya cukup membuat saya bahagia. Dia hanya perlu menyadari keberadaan saya tanpa harus terus memperhatikan. Itu juga yang saya terapkan di kehidupan nyata, tidak harus selalu ada saya dalam kehidupannya karena kadang dia harus hidup di dunianya sendiri. Dunia yang membuatnya merasa purna sebagai seseorang. Saat itu saya akan berdiri di luar irisan, meski masih dalam satu himpunan.

Tuhan, sekarang saya tidak sedang Engkau percaya untuk memiliki seseorang. Tapi kalau boleh saya meminta, ketika nanti Kau kirim seseorang itu yang saya harap dalam waktu dekat, saya ingin dia adalah seseorang yang senang ngobrol dan hobi beraktivitas dengan laptopnya. Saya ingin meleburkan kerinduan saya akan dua hal itu. Amiin!

Rabu, 28 Oktober 2009

Anak Bimbing

Kemaren akhirnya anak bimbing gue di lab lulus juga. Iya, gue punya dua anak bimbing. Mahasiswa magister dari universitas negeri di Jawa Timur. Jangan kaget gitu dong!! Gue memang dapet tugas membimbing mahasiswa S2 dari kantor, jadi dengan perasaan sedikit terpaksa karena ketidakpercayaan diri, gue menerima tugas itu.

Awalnya waktu pengumuman pembimbing itu, gue sempet ngeliat dua anak itu mengeluarkan raut muka kecewa ketika tahu kalau pembimbing mereka gue. Minta ditampar deh mereka!! Tapi iyahlah pasti ada keraguan secara teman-teman mereka dibimbing oleh doktor ini, doktor anu, dan mereka HANYA dibimbing oleh gue. Belom doktor, masih muda belia (plak!!!) yang bedanya sama mereka cuman setahun doank. Gimana mereka nggak keder, padahal lulus dan jadi Magister udah jadi cita-cita mereka.

Heh, kalian berdua!!! Jangan salahin gue donk kalo gue yang disuruh ngebimbing kalian. Suruh siapa doktor di kantor gue cuman sedikit, suruh siapa doktor-doktor itu anak bimbingnya udah kebanyakan, dan suruh siapa tema penelitian kalian itu cocok banget sama background pendidikan dan ilmu gue. Bukan salah gue kan??

Tapi gue yakin seiring dengan berjalannya penelitian mereka, mereka nggak bakal nyesel kalau gue udah jadi pembimbingnya. Ya iyah lah, mana ada pembimbing yang masih mau bantuin isolasi DNA secara langsung, nemenin mereka nyuci cawan Petri yang jumlahnya ratusan, bantuin nulis pembahasan tesis mereka, nyariin jurnal, dan yang kalau penelitian mereka mentok dan gagal, gue hibur dengan cara gue ajakin nongkrong di starbucks sampe pagi. Sayang mereka nggak seneng dugem.

Kemaren, mereka berdua akhirnya lulus. Gue ikut seneng tentu saja dan pas mereka sidang, gue sering komentar dalam hati. Anak bimbing gue tuh (kalau jawaban mereka benar dan bagus) atau Yah masa gitu aja nggak bisa, nggak belajar yah kalian. Malu-maluin pembimbing!! (kalo mereka nggak bisa jawab pertanyaan). Tapi sumpah, gue seneng bisa mengantarkan mereka sampai ke gerbang itu.

Pas perpisahan, mereka berdua ngasih gue kado. Buat kenang-kenangan katanya. Tapi, minta ditampar lagi deh mereka. Masa kadonya cuman satu!! Dua orang satu kado, please deh!!! Dimana-mana yah satu orang satu kado donk. Katanya buat kenang-kenangan kok urunan. Hehehehe, becanda. Bukan masalah kok, gue nggak dikasih apa-apa juga udah seneng. Bikin gue punya pengalaman baru.

Kadonya gue buka di rumah. Isinya Parfum (asli nggak yah??) Hihihihihi, Plak!!!!! Yang bikin gue ngakak adalah tulisan di kartunya. Mereka nulis :

“Mas, mungkin ini nggak seberapa dibanding bantuan Mas selama ini. Kami hanya ingin mengucapkan banyak terima kasih. Mas nggak akan kami lupakan sampai kapanpun, kalau meminjam istilah Mas sendiri, Kami senang dibimbing oleh “peneliti sinting” kayak Mas Apis.

Kami hanya bisa ngasih parfum sebagai kenang-kenangan. Maaf cuma itu yang bisa kami kasih, itupun nyarinya susah. Kami nyari parfum yang wanginya dari jarak 10 meter udah kecium kayak yang biasa Mas pake. Itu maksimal yang kami dapet. Maaf kalau nggak sesuai.

Tadinya kami mau beliin Zara (yang awalnya kami nggak tahu apa itu) tapi kata temen-temen baju di Zara itu mahal, jadi kami mengurungkan niat. Lagian kami juga nggak ngerti nyari Zara dimana, maklum Mas Wong Deso. Hehehehe

Sekali lagi Terima kasih yah Mas buat bimbingan dan buat keceriaan yang ditularkannya, kami tidak menyesal dibimbing oleh mas Apis. Kapan Kapan maen Malang ya! Tapi as info, disana belum
ada starbucks. ;)

Salam
W + B

Sumpah selesai baca gue ngakak sengakak-ngakaknya. Rasanya lucu dan bercampur sedih. Lucu karena ternyata mereka sudah mengenal baik karakter gue, sedihnya karena gue bakal kehilangan mereka. Anak bimbing gue sekaligus temen gue.


Selamat berjuang teman!! Semoga gelar barunya menjadi berkah demi kemaslahatan umat. Amien!

Senin, 26 Oktober 2009

on the wedding day

Undangan itu masih saya pegang. Kertasnya sudah lusuh saking seringnya saya membuka dan menghempasnya ke lantai. Saya baca, saya hempas kemudian saya pungut lagi untuk dibaca. Mungkin saya sudah melakukannya puluhan bahkan ratusan kali sejak undangan itu sampai ke tangan saya.

“Saya ingin kamu datang. Saya ingin kamu menyaksikan hari sakral itu, hari dimana sebetulnya saya mengenyahkan satu mimpi, selamanya. Mimpi yang belum sempat saya perjuangkan, belum sempat juga saya inisiasi. Sayang, saya terlebih dahulu dibangunkan oleh keadaan. Waktu membangunkan paksa saya dari mimpi, sehingga saya harus kembali berjalan di lorong kenyataan” dia berkata sambil menyodorkan undangan berwarna ungu muda kehadapan saya.

Suasana kafe siang itu sangat ramai, tapi hati saya sepi. Air mata rasanya berebut minta dikeluarkan, tapi saya sekuat tenaga menahannya. Rasanya sudah cukup saya menangis, karena menangis ternyata tidak menerbangkan saya ke dimensi yang saya inginkan. Saya tetap menjadi saya, seseorang yang terpaksa mendengar hatinya robek. Sendirian. Saya kemudian menerima undangan itu dengan perasaan hampa, setengah sesak nafas.

“ Untuk apa saya datang? Kepentingannya apa saya harus menghadiri acara itu? Tak bisakah kamu meraba hati saya sejenak, memikirkan perasaan saya. Sudahlah, saya sudah berusaha ikhlas melepasmu. Jangan membebani saya lagi!” setengah berteriak saya mengucapkan kata-kata itu, untung saya masih sadar bahwa saya berada di tempat umum. Saya bangkit dan berlalu dari hadapannya.

“please…demi saya!” jelas saya masih bisa mendengar dia mengucapkan permohonannya.

Hari itu akhirnya tiba, hari pernikahan dia. Hari pernikahan seorang laki-laki yang pernah menjadi laki-laki saya. Seseorang yang memperkenalkan getar asmara pertama saya pada dunia abu-abu. Seseorang yang datang sebagai jawaban atas kegelisahan hidup saya yang anomali. Bersamanya kemudian saya mengecap bahagia, bersamanya saya menikmati sesuatu yang orang sebut dengan nista.

Saya memang datang hari itu, tapi saya tidak keluar dari dalam mobil. Saya hanya membuka jendela, mengamati dari jauh. Dia, lelaki yang pernah saya puja, dengan lancar mengucapkan ijab Kabul, menikahi dengan sah wanita yang telah dipilihkan orang tuanya. Dia, lelaki yang pernah membuat gambar hati di dada saya penuh mengembangkan senyum manisnya saat ratusan tamu undangan memberinya ucapan selamat dan seuntai doa. Saya melihatnya bahagia, saya bisa merasakannya.

Duhai kamu pengantin laki-laki, saya datang ke pernikahanmu. Menepati janji dan menamatkan kebahagian saya. Mungkin kamu tidak menyadari kalau saya datang, karena saya memang tidak berniat untuk menyambangimu secara langsung. Saya hanya mendoakan, semoga kamu berbahagia selamanya dengan wanita itu. Istrimu yang sah. Saya harap kamu tidak akan menoleh lagi ke belakang, biarlah kisah kamu dengan saya yang juga laki-laki berakhir sampai disini.

Saya menutup jendela mobil, kemudian menutup hati saya.

Note: sumpah, ini juga fiktif!!! Saya hanya sedang mengumpulkan serakan ide (baca: gila) dalam otak saya.

Jumat, 23 Oktober 2009

Antara Aku dan Tuhan

Malem udah beranjak pagi tapi gue masih nggak bisa tidur. Semua buku udah gue baca, makan biar kenyang (meski nggak mungkin...bikin gendut!!), dengerin musik mellow, chatting sama orang di belahan dunia sana, tapi tetep kantuk nggak juga menerkam mata gue. Iseng-iseng gue nyoba menelaah diri gue, ya sekedar merefleksikan apa yang udah terjadi sama hidup gue selama ini.

Mungkin dulu sebelum gue lahir ke dunia yang hingar bingar ini, Tuhan udah bikin semacam perjanjian. Perjanjian yang udah disepakati antara Tuhan sama ruh gue dan bakal terealisasi selama gue hidup di dunia. Sebenernya perjanjian itu rekaan gue aja, hasil ngayal di tengah malam buta saat ngantuk nggak juga tiba. Sebelumnya gue minta ampun sama Tuhan, nggak maksud mendahului atau mereka-reka takdirMu.


PERJANJIAN ANTARA AKU DAN TUHAN (tanda tangan di atas materai nggak yah?)

  1. Tuhan beri gue otak lumayan, selalu sekolah di sekolah negeri, selalu jadi juara kelas, kuliah sampai S2, lulus dengan predikat yang nggak jelek-jelek amat, tapi Tuhan nggak beri gue mudah dalam mendapatkan pekerjaan yang gue inginkan.
  2. Tuhan beri gue keluarga yang mapan, bokap dan nyokap dengan penghasilan lumayan, semua fasilitas hidup tersedia, tapi Tuhan gak beri gue mudah dalam mendapatkan penghasilan sendiri yang lebih dari cukup. Hanya cukup.
  3. Tuhan ngasih gue banyak temen-temen yang pengertian, yang berada di sekitar mereka selalu bikin gue merasa nyaman, tapi Tuhan gak ngasih gue mudah dalam mendapatkan cinta dan pasangan.
  4. Tuhan ngasih gue kelebihan di mulut. Dari mulut gue bisa keluar apa aja, dari mulai sesuatu yang berkualitas, doa, sampai kata-kata sampah. Buat hal itu Tuhan minta bayaran dengan ngasih gue ketidakpercayaan diri dan selalu ragu-ragu.
  5. Tuhan beri gue banyak kesempatan buat merasakan keindahan dunia lewat tangan sahabat-sahabat yang tercipta, sebagai konsekuensinya Tuhan beri gue perasaan selalu kesepian, bahkan dalam keramaian.
  6. Tuhan ngasih gue perasaan mudah jatuh cinta, tapi Tuhan bikin gue banyak disakiti
  7. Tuhan bakal mempermudah gue dalam mencapai apa yang gak gue dapet di poin satu sampai enam asal gue senantiasa berdoa dan selalu berada di jalannya.

Gue jadi kepikiran dan tambah nggak bisa tidur. Daripada nggak bisa tidur gini, mending gue nyari lembar penjanjian itu kali yah?! Kalo ketemu, besok gue mau ke notaris ah buat sedikit mengubah isi perjanjiannya. Sapa tau biayanya nggak mahal.

Kok tiba-tiba gelap yah……Ternyata gue keburu tidur sebelom berhasil menemukan lembar perjanjiannya. Yaaaaaaaaa……..tinggal terima nasib berarti.

Rabu, 21 Oktober 2009

Bukan Cinavora

Temen gue yang namanya Jo itu bener-bener minta ditampar deh….

Dia ngenalin gue sama temennya, yang ternyata juga alumni gajah duduk dengan angkatan yang beda setaun doang sama gue. Hah? Waktu di kampus gue kemana yah?! Mungkin gue terlalu anak rumahan jadi nggak beredar (PLakkk!!!) Dan si Jo ini dengan nggak sopannya dia bilang sama temennya itu kalo gue penyuka cina. WHAT??????!!!

Masalahnya, temen yang dikenaliannya itu kan bukan cina. Jadi gue takutnya dia antipati sama gue, belom apa-apa gue udah membatasi segalanya karena harus berbau cina. Beneran minta ditampar deh si Jo ini.

Helloooo, gue itu bukan pecinta cina sejati. Kalo dalam istilah ilmu gue, gue itu bukan cina obligat tapi cina fakultatif. Lagian kalo gue membatasi hanya sama cina kan berabe, gue open house buat semua ras kaya begini aja masih nggak laku apalagi kalo hanya buat ras cina. Makin sempit dan sedikit kesempatan gue buat punya pasangan. Terus kalau gue cina minded kan kasian sama pribumi-pribumi yang ngarep sama gue (Hahaha, kali ini gue yang minta ditampar!!!)

Nggak sopannya lagi si Jo ini, dia mengumbar hidup gue sama temennya itu. Dia certain semuanya, udah berasa artis aja hidup gue pake diumbar segala. Nggak perlu dia umbar juga nanti bakalan gue umbar sendiri. Ya memang yang nggak detail-detail amat sih, tapi kan tetep aja gue malu.

Ya, gue seneng Apisindica yang dulu sudah kembali. Apisindica yang masih punya malu, yang ketika ngobrol sama temen si Jo ini meski di chattingan tetep ada rasa malu, masih mikir-mikir kalau mau nulis sesuatu karena takutnya dia tersinggung. Beda sama Apisindica episode kemaren waktu memperjuangkan cinta sebelah tangannnya. Bener-bener nggak punya malu.

Gue sekarang memang sering ngobrol sih lewat chatting sama temennya si Jo ini. Orangnya asik, nyambung aja. Masalahnya dia masih nggak percaya kalau gue bukan penyuka cina. Iya sih, gue suka sama cina tapi kan bukan berarti gue nggak suka sama ras-ras yang lainnya. Gue lebih sering pacaran sama pribumi kok timbang sama cina. Eh sama cina baru sekali dink, dan itupun tetep akhirnya nyakitin. Deuh…..curcol gue!

Tiap ada kesempatan obrolan di chattingan, pasti deh dia menyudutkan gue dengan masalah cina-cina itu. Sampe sebel gue jelasinnya. Gue ini bukan pecinta cina sejati tauuuu. Gue bukan cinavora, gw omnivora. Semuanya gue makan. Bingung juga gue buktiin ke dia kalau gue bukan yang mutlak cinavora, masa harus gue pacarin dia dulu buat ngebuktiinya. Ntar gue kejar-kejar, dia malah kleyengan sendiri.

Apa iya yah, gue pacarin aja tuh dia. Lumayan, bibit unggul. Hahahahaha, Apisindica sableeeng!!!!!!!!!

PS : Mom, Mom pernah bilang kalau nggak mau punya menantu orang jawa kan? Tapi kalau orang Madura boleh yah?! Hihihihi.

Senin, 19 Oktober 2009

Aku, Dia dan Anaknya

“ayo salam sama Oom!” Dia menyuruh anaknya menyalami saya. Saya kemudian jongkok, menyambut uluran tangan anak kecil itu.

“Aldo” anak kecil berumur sekitar 5 tahun itu menyebutkan namanya sembari tersenyum lebar memamerkan barisan giginya yang menghitam. Gigi khas anak-anak yang rusak digerogoti gula dan permen.

“Anak pintar” Saya kemudian mengelus kepalanya sambil berdiri dan tersenyum pada seseorang yang menggandeng tangannya.

“Apa kabar?” sapanya. Saya hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Sejurus kemudian saya mulai mengutuki kenapa saya ingin jalan ke mall sore itu. Bertemu dengannya adalah sesuatu yang saya hindari sejak saya berpisah darinya beberapa tahun silam. Bertemu dengannya melemparkan saya pada malam itu. Malam terakhir kami.

Kami tidur saling memunggungi. Saya sibuk dengan pikiran saya sendiri, begitupun dia. Hening. Saking heningnya saya bisa mendengar detak jantung saya sendiri. Detak jantung yang berbunyi tanpa ritme, detak yang berusaha berdamai dengan keadaan yang sudah terpampang di depan mata.

Pelan saya mendengar dia menangis, dan saya bisa merasakan keperihan didalam isakannya. Ketika saya membalikan badan, saya melihat tubuhnya yang bergoncang karena tangis. Saya juga tiba-tiba menangis, sama perihnya dengan yang dia rasakan. Tangan saya memeluknya kemudian, merengkuhnya semakin dalam. Berdua kami menangis dalam tubuh yang merapat, seakan saling ingin menguatkan.

“Andai saya punya pilihan, saya akan memilih untuk tetap berada disamping kamu” Dia dengan terbata mengucapkan kalimat yang justru membuat saya makin pedih. “Kalau saja perjodohan ini bisa saya tolak, saya akan menolaknya dari awal. Atau jika saya punya keberanian lebih, pasti saya akan memilih untuk berontak dan tidak seperti ini” Banyak andai yang dia ucapkan saat itu, andai-andai yang justru membuat saya merasa kerdil, membuat saya justru merasa membebani langkahnya.

Saya hanya bilang mungkin ini yang terbaik untuk dia, untuk kami. Satu-satunya yang saya bisa lakukan saat itu adalah melepaskannya pergi. Membiarkannya menuju gerbang perkawinan yang telah dipersiapkan orang tuanya. Dengan saya, dia tidak punya harapan. Dengan saya dia hanya akan menderita karena harus selalu menentang orang tuanya. Saya sadar siapa saya, apa posisi saya, makanya saya rela melepaskannya pergi.

“ Saya mendoakan semoga kamu mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik dari saya. Orang yang bisa membahagiakanmu, atau setidaknya memeperjuangkan kamu lebih dari yang saya lakukan. Saya menyerah karena saya merasa ini satu-satunya cara membahagiakan mereka. Orang tua saya” Dia mengenggam tangan saya dan meletakannya di dadanya. “Jauh disini, di hati saya, kamu tidak akan pernah mati”.

Saya selalu mengingat malam itu, malam perpisahan kami. Malam ketika kami harus mengakhiri semuanya. Menyelesaikan cerita 4 tahun yang pernah kami lalui berdua. Mengenyam mimpi di taman tanpa realisasi.

“Pah, ayo. Jangan ngeliatin oom ini terus. Itu mama udah ngedadahin di depan” Seketika anak itu membuyarkan lamunan saya tentang masa lalu. Membuat saya kembali menapak bumi.

Saya kemudian tersenyum dan segera meninggalkan mereka. Meninggalkan kenangan tentang seseorang yang dulu pernah saya cinta, yang sekarang berjalan berpegangan tangan dengan anaknya.

Notes: Sumpah!!! Ini hanya fiksi, hasil rekayasa imaji ketika kantuk tak juga berlabuh di pelupuk.

Jumat, 16 Oktober 2009

Lagi Lagi Kenangan

Kaget. Itu yang pertama aku rasakan ketika untuk pertama kalinya setelah kehilangan kontak hampir tiga tahun lebih mendengar suaramu kembali. Tawamu, nafasmu, pelafalan huruf R yang terdengar lucu, semuanya membuka lembar demi lembar memori yang sesungguhnya sudah kusimpan rapih dalam salah satu kotak kenangan di dalam hatiku.

Mendengar suaramu kembali meskipun di telpon memaksaku untuk kemudian membongkar semua ingatan masa laluku denganmu. Masa dimana dulu pernah kita jalani titian penuh pelangi. Mejikuhibiniu. Indah. Aku masih ingat semuanya, kenangan tentangmu memang kusimpan rapih disana, di kuadran khusus dalam siklus perjalanan hidupku. Ibarat pasir pantai, koyak oleh ombak tapi setelah itu rapi kembali.

Masih bisa kurasakan hangatnya jabat tanganmu ketika kita berkenalan untuk pertama kalinya. Di Jepang. Ya, di negeri matahari terbit itu aku mengenalmu. Saat itu kita masih sama-sama bego, sama-sama bingung. Berjalan di selasar salah satu kampus, mencari kantor administrasi yang mengurus beasiswa kita. Kita sama-sama dapat beasiswa untuk short course di universitas tersebut. Perbedaan foundation yang memberi beasiswa yang membuat kita tidak pernah bertemu sebelumnya di Indo.

Lucu memang kalo mengingat masa itu. Masa-masa penuh perjuangan, penyesuaian dan yang paling indah tentunya masa ketika bunga sakura bermekaran seiring dengan mekarnya rasa saling menyayangi itu. Aku nggak tahu kenapa rasa itu bisa muncul.

Kita seringkali sibuk dengan urusan kita masing-masing, maklum kita memang beda jurusan. Studiku lebih banyak mengharuskan aku untuk berada di laboratorium, sementara waktumu lebih luang. Tapi itu tak menjadikan jalan keluar. Waktu studi yang terbatas membuat kita menjadi lebih egois, menjadi tidak memperhatikan perasaan masing-masing. Rasanya menjadi hambar. Kita tersadar ketika setahun berlalu dan kita sama-sama harus balik. Aku masih ingat jelas janji kita untuk melanjutkan studi di kota yang sama suatu hari nanti, barengan. Janji yang indah.

Semenjak pulang ke Indo, kita jarang berhubungan. SMS dan telpon hanya berbunyi datar, tak mampu memendarkan bara yang tersisa. Kemudian lama tak kudengar kabar darimu, dan tiba-tiba aku mengetahui bahwa kamu sedang mengambil studi doktormu di Jerman. Kamu memang lebih beruntung, beasiswaku tak kunjung datang. Makanya aku memutuskan untuk menjadi peneliti sebelum kesempatan itu datang.

Hari ini, disaat aku sudah lupa tentang kamu, kamu kemudian menghubungiku. Sekedar melepas rindu katamu. Mumpung lagi ada seminar di Indo sebelum kamu balik ke Jerman akhir bulan ini. Kehadiran yang sesungguhnya tak aku harapkan karena aku tahu pada akhirnya hanya akan meninggalkan perih. Meninggalkan kenangan yang terbongkar paksa dari tempatnya. Untung saja rasa itu sudah tidak ada, menguap entah kemana.

Komunikasi kita kali ini memang hanya sebatas suara, raga bernyawa tidak ikut terlibat. My God, akhirnya aku bisa mendengarmu lagi. Kamu masih seperti yang dulu. Tak berubah, hanya banyak getar kedewasaan yang kudengar bertambah disetiap tutur katamu. Aku tahu kamu bukan kamu yang dulu dan aku yakin rasa itu juga sudah tidak ada di dalam hatimu. Rasa yang pernah ada lima tahun yang lalu saat bunga sakura bermekaran.

Rabu, 14 Oktober 2009

Mengobati Hati

Kalau aku diberikan satu kesempatan untuk bertanya, maka aku akan bertanya kenapa kamu mundur teratur?

Kamu mundur setelah sebelumnya mengembangkan sebuah harapan, membingungkanku kemudian karena kamu berubah total, seperti matahari yang tiba-tiba terbit dari arah barat. Aku kehilangan orientasi, limbung dengan apa yang terjadi. Aku belum siap menerima perubahan yang mendadak, aku gamang karena sontak aku harus menggapai-gapai di kegelapan yang tercipta.

Kehadiranmu bagai gerimis. Sesaat, tapi tetap meninggalkan jejak. Meninggalkan bau tanah yang mengendap di saraf olfaktorius. Tak mau hilang. Jika aku boleh memilih, aku lebih senang terporak porandakan badai ketimbang terkoyak gerimis. Gerimis hanya mengiris tipis semua perasaan yang membuncah, meninggalkan pekerjaan yang nampaknya belum purna. Tanah belum lagi basah ketika gerimis sudah reda. Gerimis hanya menimbulkan luka.

Tak ingatkah kamu ketika malam-malam itu kamu memaksa untuk bertemu? Tak ingatkah kamu ketika kita berbincang tentang segala hal di bawah terang bulan? Semua itu menimbulkan keyakinan di hatiku kalau kita sedang berjalan ke arah yang sama. Menyongsong fajar sambil bergenggaman tangan dan memautkan hati. Semuanya indah. Sayang kamu tiba-tiba memutuskan untuk mundur teratur. Entah karena alasan apa.

Sekarang ketika semuanya sudah berubah, ketika aku sudah bisa menegakkan kembali kepala, kenapa kamu masih mengikutiku selayaknya hantu. Tak sadarkah bahwa semua tingkahmu itu hanya memberi nanar dalam langkah hidup yang hendak aku tempuh.

Aku bukan malaikat, yang tidak akan mendendam. Aku juga bukan Tuhan yang akan memaafkan secara gampang. Semua butuh proses karena aku hanya manusia biasa. Perasaanku butuh untuk dimengerti, luka hati butuh untuk diobati. Ketika kamu memutuskan mundur, artinya jangan pernah berharap kalau aku akan menjadi orang yang sama. Orang yang bersedia berdiri disampingmu ketika terik membakar habis amarahmu atau ketika hujan memadamkan api semangat hidupmu. Aku tidak bisa lagi seperti itu, setidaknya untuk saat ini.

Dalam perjalananku seiring mengobati luka hati, aku menyadari sesuatu yang membuatku tak habis mengucap rasa syukur. Tuhan, akhirnya aku mengerti kenapa Engkau menjauhkan dia dari aku.

Senin, 12 Oktober 2009

Menulis Cerpen

Di postingan saya kemarin yang judulnya Harusnya Kubunuh Saja Dia. Salah seorang teman saya menulis komen yang bunyinya begini : “kayak cerpennya siapa gitu bukan nuduh meniru tapi idenya dan cara bertuturnya itu kayak sudah lama nulis cerpen”

Baca komen tersebut saya tidak merasa dituduh meniru sama sekali, atau saya merasa tersinggung karena keorisinilan tulisan saya kemudian disangsikan. Sumpah tidak ada perasaan itu secuilpun dalam benak saya. Saya justru merasa bangga, karena teman saya itu bilang “kayak sudah lama nulis cerpen”

Meniru langsung cara bertutur mungkin tidak saya lakukan, mencuri ide juga nampaknya tidak. Ide itu sudah mengendap lama di otak saya, hanya baru tercurahkan dalam kata kemarin. Maklum kadang otak seringkali tidak mau diajak bekerja sama untuk menulis. Saya akui kalau terinfluenced mungkin iya, bagaimana saya bertutur kemungkinan besar dipengaruhi oleh penulis-penulis tenar maupun yang belum tenar. Walau saya bingung terpengaruhi yang mana, saking banyaknya buku atau tulisan penulis-penulis itu yang saya baca.

Perlu diingat, postingan ini bukan pembelaan diri atas “dugaan” peniruan. Saya merasa tidak perlu membela diri karena saya memang tidak meniru. Saya hanya kemudian merefleksikan hidup saya mengenai cerpen.

Saya menyukai membaca dan menulis sejak saya mengenal aksara. Semenjak itu tidak ada yang saya inginkan kecuali membaca, kemudian menulis. Apis kecil seringkali tenggelam diantara tumpukan buku dan jurnal kedokteran di perpustakaan pribadi yang terletak di sebelah kamar tidurnya. Dalam perkembangannya Apis kecil juga terbiasa membaca majalah Kartini milik mommy dan majalah Matra milik papie, dari sana Apis menjadi akrab dengan Oom Naek L Tobing. Makanya jangan heran kalau saya sekarang menjadi seperti ini. Hehehehe.

Soal cerpen, saya mulai berkenalan perantaraan kakak sepupu saya. Dia berlangganan majalah Anita Cemerlang (masih ada gak sih ini majalah sekarang?), dan majalah ini isinya sebagian besar cerpen. Dari sana saya jatuh cinta kepada cerpen, dan mulailah cerpen demi cerpen tercipta melalui pemikiran Apis yang masih sangat sederhana dan polos. Saya ingat, cerpen pertama saya mengenai pecinta alam. Waktu itu saya bikin lengkap dengan soundtracknya, yang dengan bangga saya nyanyikan di depan kelas waktu saya kelas 4 SD. Lagu dengan melodi antah berantah yang entah saya dapat dari mana. Rasanya lucu dan geli sendiri kalau ingat masa itu.

Masuk SMP dan SMA, kebiasaan menulis cerpen saya semakin menjadi. Apalagi era itu saya sudah kenal cinta. Cinta monyet yang bisa dengan mudahnya menginspirasi saya untuk membuat sebuah cerpen atau puisi. Kegemaran saya menulis, membuat saya kepikiran untuk masuk jurusan sastra atau jurnalistik. Hanya papie bilang, untuk menjadi seorang penulis tidak perlu di dua jurusan tersebut. Menjadi seorang dokter, insinyur atau peneliti sekalipun, tetap bisa jadi penulis. Dan terbukti, sekarang saya masih bisa menulis. Menulis jurnal ilmiah yang tidak semua orang mengerti. Hehehehe.

Masuk kuliah di bidang sains ternyata memberangus habis kemampuan saya menulis cerpen. Kesibukan praktikum dan tetek bengeknya menghambat kreativitas saya dalam mengolah ide menjadi cerita. Beruntung saya masih bisa membaca buku karya penulis-penulis kenamaan. Dari membaca itu saya mengambil ilmu selagi hibernasi dari menulis. Ilmu bagaimana mengubah ide menjadi sesuatu yang luar biasa, walaupun sampai sekarang saya belum bisa menghasilkan tulisan yang luar biasa.

Dua tahun ini saya mulai menulis kembali, meski bukan cerpen. Saya belajar menulis kembali tepatnya, dan blog menjadi tempat sampah saya. Mengasah sedikit kemampuan yang pernah menghiasi hari-hari saya dulu. Sekedar memuaskan batin.

So, ketika teman saya itu bilang bahwa cara bertutur saya seperti sudah lama nulis cerpen, saya akan bilang dengan lantang bahwa saya memang sudah lama nulis cerpen. Cerpen ecek-ecek yang mungkin kalau dibaca juga hanya seputaran cinta anak manusia yang gak jelas juntrungannya. Tapi setidaknya saya bangga dengan hal itu.

Buat M, sahabat saya dan teman-teman yang lainnya. Terima kasih masukannya yah. Jangan berhenti mengomentari postingan saya di blog. Apapun itu, bertuturlah dengan jujur. Saya orangnya aseek kok, jadi nggak akan tersinggung. Hahahaha, sekalian jual diri (promosi, red).

PS: kumpulan cerpen saya sudah saya bukukan (koleksi pribadi). Ada sekitar 70 cerita. Nanti kalau saya sudah punya cukup keberanian, akan saya publikasikan sedikit-sedikit di blog ini. Kapan-kapan.

Kamis, 08 Oktober 2009

Harusnya Kubunuh Saja Dia

Harusnya kubunuh saja dia. Kubunuh sejak aku sadar bahwa dia mengikuti hidupku selayaknya bayangan yang tak mau enyah. Menguntitku kemanapun aku pergi, bahkan dia bersekolah di tempat aku sekolah. Berteman akrab dengan teman-temanku. Sampai sekarang. Ya, memang harusnya aku membunuhnya saja dari dulu.

Dulu, aku merasa sangat nyaman hidup dengannya. Bermain dengannya membuatku selalu nampak ceria walaupun hatiku sedang berdarah-darah. Bersahabat dengannya membuatku banyak disukai oleh orang lain. Dampak dari kedekatanku dengannya tentu saja. Dia juga yang mengajarkan bagaimana selalu bersikap manis di depan orang-orang. Tapi kemudian dia juga yang melatihku bagaimana tidak punya malu. Argh, complicated juga bersahabat dan hidup bersamanya.

Tapi sekarang aku baru tahu, ternyata dampak jangka panjang dari berteman dengannya adalah menyulitkan. Menyulitkan aku untuk lepas dari bayang-bayangnya. Dia kadang mendominasi perilakuku sehingga jati diriku yang ingin aku munculkan tercover dengan sempurna. Kalau sudah seperti ini aku kadang hanya bisa berdamai dengannya. Mengikuti jalan alur pikirannya.

Aku bosan dengan tingkahnya. Aku kadang ingin menjadi diriku sendiri. Makanya sudah sepantasnya aku membunuhnya.

Salah satu temanku pernah bilang, jangan dibunuh karena suatu waktu pasti aku akan membutuhkan lagi kehadirannya. Menopengiku dengan keluguan yang bisa dimengerti, bisa dianulir.


Setelah bersahabat karib dengannya selama hampir 28 tahun, memang sangat menyulitkan ketika ingin beranjak meninggalkannya. Dia seperti sudah terikat erat dengan jiwaku. Menyatu dengan ikatan yang lebih dari sebuah persaudaraan. Dia sudah sedemikian menjelma dalam setiap tindak tandukku, menyerobot ketika aku berusah ingin mengenyahkannya sekejap.

Aku ingin lepas dari belenggunya sebentar saja, hanya untuk mengetahui reaksi teman, sahabat dan orang-orang terdekat dengan kepribadianku yang tidak dipengaruhinya. Makanya aku ingin membunuhnya.

Ya, harusnya aku bunuh saja dia. Dari dulu. Anak kecil yang ikut tumbuh dalam diriku.

Selasa, 06 Oktober 2009

Je (part 2)

“Kamu tahu apa yang membuat saya ingin balik ke Indonesia dan ketemu kamu?” Je bertanya suatu saat ketika kami makan malam di sebuah café di daerah Dago atas. Angin dingin malam itu memaksa saya membuka kenangan tentang Je, berusaha menyatukan puzzle yang sudah acak saking lamanya tak pernah saya susun kembali. Dia masih sama seperti dulu, hati saya bergumam. 10 tahun di Canada membuatnya tidak menjadi orang asing di mata saya. Semuanya masih tampak sama. Je yang saya kenal dulu.

Saya menggelengkan kepala tanda saya tidak tahu alasannya pulang ke Indonesia dan ketemu dengan saya.

Je tersenyum kemudian dia bilang : “blog kamu”

“Ha? Blog saya? Memangnya kenapa dengan blog saya? Dan sepertinya sekian lama tidak berhubungan, kenapa Je tahu alamat blog saya?”

“Pasti kamu heran, kenapa saya bisa tahu alamat blog kamu. Saya masih ingat kalau dulu kamu sangat tergila-gila dengan yang namanya lebah madu. Kamu bilang mereka unik. Berbekal itu saya searching sesuatu yang berhubungan dengan lebah madu. Dan kemudian saya teringat dengan kata Apisindica. Dari sana saya bisa menemukan kamu kembai. Saya pembaca setia sekaligus rahasia blog kamu. Mengamati setiap kejadian yang kamu lewati. Berusaha mengerti, berusaha memaknai, sekedar menghimpun semua kenangan tentang kamu yang tidak bisa saya lupa sampai hari ini”

Saya kemudian tidak bisa berkata apa-apa. Seluruh saraf tubuh saya merasa ditotok, tak bisa bergerak. Aneh rasanya ada orang dari masa lalu yang berusaha kembali mengenal saya setelah sekian lama. Entah untuk alasan apa.

Je mengatakan bahwa saya tidak berubah. Saya masih seperti yang dulu. Rapuh. Kata dia di balik penampakan saya yang kokoh, dalamnya rapuh. Tapi kemudian dia juga bilang ada yang berubah dari diri saya. Sebagian kecil. Katanya, saya lebih legowo sekarang, lebih nerima. Tidak sering ngotot seperti dulu. Je sangat suka dengan penggalan pengalaman saya tentang cinta bertepuk sebelah tangan yang memang saya ceritakan di beberapa postingan yang lalu. Dari sana dia menyadari kalau sekarang saya sudah jauh lebih dewasa.

10 tahun bisa merubah semuanya Je. 10 tahun bukan waktu yang sekejap, dalam rentang waktu selama itu saya telah bertransformasi meski saya bingung sekarang saya bertransformasi menjadi apa. Tapi bersikap dewasa adalah jalan yang harus ditempuh. Mengingat umur saya yang juga tidak lagi muda. Tidak sepantasnya saya masih bertindak kekanak-kanakan, meski saya masih merasa seperti itu. 10 tahun telah mengajari saya bagaimana jatuh cinta, kehilangan, berjuang, mengatasi sakit hati, memaafkan dan berdamai. Hidup mengajari saya semua itu.

“Siapa orang yang beruntung itu? Dan kenapa akhirnya kamu melepaskan dia? Biasanya kamu keukeuh untuk sesuatu yang kamu yakini”

“Je, seperti saya bilang hidup mengajarkan saya semuanya. Mungkin awalnya saya keukeuh karena saya merasa harus berjuang. Tapi kemudian saya harus membuka mata, lebih tahu diri. Ketika saya kemudian tidak diinginkan, maka langkah paling bijaksana yang bisa saya lakukan adalah mengikhlaskan diri untuk membiarkannya pergi. Saya tidak akan jadi apa-apa kalau saya hanya berkutat dengan keinginan saya yang itu-itu saja. Jiwa saya bisa camping, hati saya bakal keropos. Makanya saya memutuskan untuk beranjak”

“Saya suka apisindica yang sekarang. Meski masih tetap rapuh, tapi kamu bisa mengambil sesuatu dari apa yang telah terjadi. Apisindica yang sekarang telah keluar dari kepompongnya yang dulu. Kepompong yang saya tinggalkan 10 lalu tanpa kata perpisahan yang jelas. Saya minta maaf karena dulu saya tidak berusaha dewasa, meninggalkanmu tanpa jejak yang jelas”

“Bagaimana dengan kamu Je? Dengan kehidupan cintamu?”

“ Saya masih seperti dulu, mengamini jalan yang sepertinya sudah Tuhan gariskan buat saya. Saya tidak perlu berontak dan mencari jawaban atas semua ini. Semuanya sudah saya terima dengan lapang tanpa menyalahkan siapapun. Soal kehidupan cinta? Sekarang saya sudah memiliki seseorang yang membuat lengkap hidup saya. Semoga dia bisa melengkapi saya selamanya. Tahun depan kami berencana membawa hubungan kami ke arah yang lebih jelas”

Langit malam tanpa bintang memayungi hati saya saat itu. Dingin menyergap kemudian bergelayut manja di pelupuk asa. Saya memang tidak berharap lebih dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Rasa cinta sudah tidak ada di hati saya, saya hanya seperti menemukan karib lama yang dulu hilang. Dulu sekali, ketika saya masih terbata-bata membaca cinta.

Je, saya ikut berbahagia tentang semuanya….

Minggu, 04 Oktober 2009

Je (Part 1)

Sebut saja dia Je. Orang-orang memanggilnya begitu. Saya mengenalnya ketika masih menggunakan pakaian putih abu. Kami tidak satu sekolahan, tapi ada satu event yang membuat kami menjadi begitu dekat. Selayaknya sahabat karib yang sudah berteman sedari kecil, padahal kami baru bertemu beberapa hari sebelum kami pergi ke Negara itu untuk pertukaran pelajar. Iya, dia memilih Negara yang sama dengan saya.

Je orangnya spontan, beda dengan saya yang berbelit-belit dan terlalu banyak mikir. Dengan kespontanannya itu dia menjadi sangat supel. Saya yang seringnya mengalami sedikit kesulitan ketika masuk ke dalam lingkungan baru, merasa diuntungkan dengan kesupelannya itu. Memudahkan semua akses.

Di Negara itu saya dan Je menjadi sangat akrab, mungkin karena sama-sama orang asing. Merasa didekatkan oleh situasi. Saya juga menjadi semakin mengenal kepribadiannya sekaligus semua sisi gelapnya. Iya, dia tidak sungkan menceritakan semua detail kehidupannya kepada saya, bahkan dia membuat suatu pengakuan yang katanya baru dia sharing hanya dengan saya. Saya hanya berusaha menjadi pendengar yang baik , tidak berusaha menghakimi karena saya tidak dalam kapasitas itu.

Balik ke Indo, tidak membuat persahabatan kami luntur. Kerap kali kami jalan-jalan berdua sekedar menghabiskan malam. Sampai suatu ketika dia bilang sayang sama saya. Sayang yang bukan sekedar sahabat. Saya bingung saat itu, bukan karena saya tidak menyayanginya, tapi saat itu saya belum memilih. Memilih pelataran mana yang mau saya lewati. Saya bilang saya belum bisa. Sebetulnya saya belum berani.

Pernah suatu kali, kami nonton konser Kla Project. Di tengah konser, Katon memberi kesempatan buat penonton yang berani naik ke panggung dan merequest langsung lagu yang ingin dinyanyikan Kla. Je tanpa banyak bicara, langsung naik ke panggung. Saya masih ingat semua kata-katanya sampai sekarang. Je bilang : “ saya minta Kla menyanyikan lagu Semoga. Saya persembahkan lagu itu untuk seseorang yang saya sayangi dan datang bersama saya malam ini. Saya akan berjuang untuk mendapatkan cinta kamu. Semoga saya tidak pernah lelah untuk memperjuangkan rasa itu. Ya, semoga”

Tepuk tangan penonton membahana, sementara saya mengigil. Tapi hati saya hangat. Entah kenapa.

Selepas SMA, Je dibawa pindah oleh keluarganya ke Canada. Ayahnya ditugaskan disana. Menjelang kepergiannya, Je jadi sulit ditemui. Je sering menghindar dari saya. Kesibukan saya mempersiapkan kuliahpun sedikit banyak menyita waktu, jadi pikiran tentang Je teralihkan begitu saja. Bahkan di hari kepergiannya, saya tidak lantas bisa bertemu dan menghubungi Je. Dia masih menghindar. Saya hanya mendapatkan secarik kertas yang dititipkan Je pada pembatu saya. Je menulis “ Maaf, bukannya saya menghindar tapi saya hanya merasa tidak sanggup. Suatu saat saya akan kembali, walau saya tidak tahu untuk apa”.

Semenjak itu saya tidak pernah mendengar kabar lagi tentang Je. Saya hanya yakin bahwa disana dia akan baik-baik saja. Kepribadiannya akan membuat dia mudah diterima dimanapun dia berada. Saya kemudian beranjak, menjalani hidup saya sendiri. Mengakhiri kisah tentang Je.

10 tahun berlalu, saya sempat lupa kalau pernah memiliki sahabat seperti Je. Tak ada kabar darinya, membuat saya memetikan kenangan tentang dia. Sampai lebaran kemarin.

Di hari lebaran kedua, saya mendapatkan tamu yang awalnya tidak saya kenal. Tapi ketika saya melihat matanya, saya kenal betul siapa dia. Saya masih melihat telaga itu di matanya, telaga yang pernah membuat saya tenggelam dalam keindahan riaknya. Dia Je, cinta pertama saya. Orang pertama yang mengenalkan saya pada getar bernama asmara.

Kamis, 01 Oktober 2009

Lupakan

Berkah mana lagi yang harus aku sangsikan? belakangan ini Tuhan sepertinya telah menunjukkan kuasa-Nya dengan memberiku banyak pilihan. Jawaban dari semua doa-doaku nampaknya, buah dari semua tasbih yang aku ucapkan perantaraan harap dan pinta.Untuk itu tak henti kuhela rasa syukur. Terima kasih Tuhan.

Tapi, kenapa hati ini masih bebal? ketika pilihan itu hadir, aku malah mangkir. Jalan di depan tak hanya lurus, tapi ada juga belok ke kiri dan ke kanan. Aku tinggal memilih. Tapi kenapa aku selalu berusaha memilih mundur. Meyakini sesuatu yang tidak jelas jalan ceritanya. Hal yang selalu membelengguku dalam cerita penuh semu. Entahlah.

Aku bingung dengan apa yang aku mau. Semua tawaran yang ada rasanya hanya ingin kuenyahkan, ku buang jauh-jauh. Memang aku sedikit banyak menikmati semua itu, merasa tersanjung. Tetapi ketika aku mencoba mengamini, semuanya buntu, kandas membentur tembok yang aku bangun sendiri. Tembok yang sebenarnya aku juga tidak tahu untuk apa. Mungkinkah untuk membentengi hati dari cinta selain dia? Hal paling absurd yang pernah dilakukan.

Dooh, bodoh sekali kamu Apis. Lupakan..Lupakan...Lupakan...Lupakan...Lupakan....tak bisakah kamu memberi sedikit saja kesempatan untuk seuntai cinta lain yang minta direalisasikan dalam nyata? Bersikap adillah. Setidaknya pada dirimu sendiri.

*Ditulis dalam keadaan paling sadar dalam kehidupan seorang apisindica*