Halaman

Senin, 31 Mei 2010

tapping into my social network

Di postingan gue yang judulnya loveless, gue ngomongin tentang sahabat-sahabat gue yang minta tolong dicariin pacar atau pasangan. Waktu nulis itu nggak ada maksud apa-apa, hanya pengen nyeritain kalau belakangan ini banyak sahabat gue yang memang minta gue buat nyariin mereka pacar. Just it. Nggak pernah terlintas dalam pikiran gue tentang sesuatu yang bisa digali dari tulisan itu. Lagian tulisannya juga cuma seru-seruan, dan inti awalnya adalah tentang mencari dan menciptakan kebahagiaan.

Semua berjalan begitu sampai salah seorang pembaca blog gue yang mengomentari dan menganalisis di luar dari perspektif gue. Dan mau tidak mau gue juga mengiyakan apa hasil analisisnya yang mengejutkan itu. Kok gue nggak pernah berpikiran sampe ke arah sana yah? Mungkin gue terlalu naïf, atau mungkin lebih ke arah egois.

Tentang tapping into social network

Si komentator bilang bahwa dari ocehan sahabat-sahabat gue... they seems like wanted to tap into your social network, padahal kan bisa lewat facebook aje HIHI...

dan if they are really 'sahabat' it should be fine kalo mereka tapping into your social network kan? kecuali sebenarnya lu benci sama mereka, pura2 berteman aje karena mau tap into their network too HAHAHA...

karena sama2 berasa dirinya sahabat, so... bukan nya kita seharus nya senang melihat sahabat2 berbahagia mendapatkan idaman nya, walaupun mungkin deep inside lu berasa mereka hanya mempergunakan network elo doang, but hey... kapan2 kan lu bisa pake balik network mereka (kecuali mereka sebenarnya gak suka sama elo tapi cuman mau tap into your network aje...)

inti nya sih, kalo percaya teori aneh 'manusia adalah makhluk sosial' yah.. biasa dong saling tap into each other network? kaum socialite juga begitu kok... tenang sajah....

kalo berasa being used, yah.. namanya juga sahabat, sudah semestinya kan membantu? (kecuali emang elo gak suka membantu dia karena dia org nya menyebalkan hehehe)


Beneran, abis baca komentar dia gue ngakak. Tapi setelah ngakak gue mikir. Lama.

Apa bener kalau selama ini gue seperti melarang sahabat-sahabat gue buat tap into my social network? But wait, sebelumnya mari kita lihat dulu apa gue punya social network yang oke. Pertama, gue kerja sebagai abdi Negara which means orang-orangnya ya you know lah. Kedua, kalaupun abdi Negara bisa saja punya social network yang bagus perlu diketahui gue nggak di departemen atau kementrian yang berhubungan langsung dengan banyak orang. Temen gue banyaknya bakteri, jamur, virus dan untai DNA. Jadi kalau dari segi pekerjaan, nggak bisa dikatagorikan oke social network gue.

Kalau di luar pekerjaan gimana? Mari kita telaah. Pertama, gym friend. Okelah tempat fitness gue lumayan berkelas, tapi di gym gue nggak punya temen banyak. Minder liat orang-orang badannya bagus, terus suka susah aja memulai percakapan dengan orang baru. Secara gue merasa underdog. Kedua, temen gaul. Percaya atau tidak, gue nggak punya banyak temen gaul. Temen gaul gue banyakan kenal dari blog juga, merasa cocok terus sering gaul bareng. Sering dugem bareng (dulu), dan waktu di club dari ratusan orang yang datang, mana ada sih yang gue kenal. Artinya social network gue terbatas.

So, kalau gue dibilang tidak mengijinkan sahabat-sahabat gue tapping into my social network itu salah besar. Boleh ditanya, kadang gue bawa sahabat gue ke kumpulan temen gue yang lain meski sebelumnya gue Tanya sama temen-temen gue boleh atau nggak bawa temen lain. Karena kadangkala juga mereka tidak mau gue bawa orang lain. Kalau udah gini kan repot, ya udah gue nggak bawa sahabat gue jadinya. Tapi sering juga gue bawa kok kalau diijinkan. Tanya deh sama sahabat-sahabat gue.

Soal tapping back into my friends social network, nggak pernah sengaja pengen dikenal-kenalin sama temen sahabat-sahabat gue. Kalau mau dikenalin boleh, nggak dikenalin nggak apa-apa. Yang penting gue tetep sahabatan sama sahabat-sahabat gue itu. Bersahabat dengan mereka sudah lebih dari cukup, kalau misalnya bisa mengenal temen-temennya itu hanya semacam bonus aja. Nilai lebih.

Inti dari tulisan ngawur ini pokoknya gue nggak pernah membatasi sahabat-sahabat gue buat tapping into my social network. Hayu aja asal waktu dan kesempatannya ada. Bener juga kata si kometator itu, kalau misalnya tetep mau tapping, masuk ke facebook gue aja terus add deh temen-temen gue yang kalian suka di friends listnya.

PS: soal dicariin pacar, gue udah berusaha ngenal-ngenalin yah. Silahkan bergerak sendiri-sendiri. Tugas gue cuma ngenalin kalian aja. Selanjutnya terserah anda…..

Kamis, 27 Mei 2010

gene, religion, gay scientist

Gay Scientist isolate Christian gene….

Dunia ribut, kontroversi bermunculan. Seketika hasil penemuan GAY scientist itu jadi trending topic dimana-mana, entah itu yang mengerti ataupun yang buta sama sekali mengenai gen dan blue print DNA.

Saya yang memang berkecimpung di dunia biologi molekuler mungkin jauh lebih akrab dibanding temen-temen yang lain mengenai gen dan tetek bengeknya, tapi orang awampun akan bisa mengomentari hasil penelitian GAY scientist tersebut. Dan komentarnya pasti akan sama dengan orang yang ahli molekuler sekalipun.

Hasil penelitian itu mengklaim bahwa ada gen yang menyandi protein yang akan menyebabkan seseorang menjadi beragama Kristen. Dan gen itu akan diturunkan secara sempurna kepada keturunan-keturunan berikutnya. Cara kerja gen memang seperti itu, tapi untuk sesuatu yang bisa disebut sebagai keyakinan atau agama, pendapat seperti itu bisa jadi suatu kesalahan. Apalagi mereka mencobakan penelitiannya terhadap tikus yang dicegah menjadi seorang Kristen.

Saya tidak sedang berbicara mengenai agama. Buat saya agama itu hak azazi, mutlak hak seseorang untuk kemudian menentukan akan meyakini yang mana. Jadi ketika saya menuliskan pendapat saya mengenai hal ini tidak ada maksud sedikitpun untuk mendeskriditkan salah satu agama. Saya hanya bicara dalam lingkup sedikit ilmiah.

Karakteristik seseorang akan dibentuk dari perpaduan antara gen dan lingkungan. Gen sebagai factor internal dan lingkungan sebagai factor eksternal. Jadi ketika gen dalam tubuh seseorang menyandi sesuatu yang sangat dominan sekalipun tetapi lingkungan tidak mengarahkan maka sifat dari gen tersebut tidak akan terkespresi. Masalahnya agama itu bukan sifat, agama itu keyakinan. Jadi agama bukan sesuatu yang terekspresi hanya karena ada gen “agama” dalam untai DNA seseorang. Pertanyaan yang menggelitik saya, bagaimana dengan orang islam, hindu, budha? Apakah gen tersebut tidak ada pada mereka? Yang atheis bagaimana??

Agama itu memang diturunkan, tetapi diturunkan oleh orang tua melalui pembiasaan dari kecil bukan karena gen. Pembiasaan itu yang akan membentuk seseorang menjadi beragama apa, meskipun banyak kasus yang ternyata berpindah agama. Ini yang akan mengugurkan penemuan di atas karena apabila suatu gen telah terkekspresi maka gen itu akan selamanya terekspresi, tidak akan berubah menjadi tersenbunyi atau silence gene.

Simplenya, agama itu bisa dicontohkan sama dengan kegemaran makan nasi. Kita, orang Indonesia dari kecil dibiasakan makan nasi dan jadi terbiasa, tetapi orang Indonesia yang lahir dan besar di Eropa lebih terbiasa makan roti. Tidak ada gen yang menyandi kegemaran makan roti atau makan nasi karena semuanya hanya pembiasaan, hanya diarahkan oleh lingkungan. Begitupun agama, jadi sangat jauh apabila menyimpulkan bahwa agama atau kepercayaan itu diturunkan melalui gen tertentu.

Hal lain yang membuat saya heran adalah kenapa dari awal diekspose, selalu didengung-dengungkan bahwa ini adalah hasil penelitian kelompok peneliti Gay? Kalau ditelaah, nggak ada hubungan antara peneliti gay dengan gen “Kristen” yang mereka klaim telah ditemukan. Kenapa preferensi seksual dari penemunya seakan menjadi muatan lebih? Toh yang mereka temukan itu bukan gen yang menyebabkan mereka menjadi seorang gay. Absurd sekali pemberitaannya.

Ternyata bukan hanya di Indonesia, di Negara manapun banyak sekali informasi yang tidak perlu yang kemudian digandengkan dengan suatu berita untuk menambah nilai lebih dari berita tersebut. Peneliti gay menemukan suatu gen, apa bedanya dengan peneliti botak menemukan suatu gen? sama-sama peneliti, sama-sama menemukan gen. Bedanya hanya di preferensi seksual, dan itu tidak akan mengubah atau menurunkan kualitas dari apa yang telah mereka temukan.

Saya hanya bingung, tapi yang baca ocehan ini jangan ikut bingung. Saya hanya seorang peneliti (baca: sinting) yang sedang melakukan analisa yang mungkin akan menambah kadar kesintingan saya.

PS: analisa saya mungkin salah, karenanya saya meminta ampun kepada Allah atas kekeliruan yang mungkin saya buat. Hanya Allah sumber dari segala kebenaran.

Senin, 24 Mei 2010

Bonus

God, You must be kidding me!

Saya tahu benar konsekuensi dari semua doa-doa saya, dan saya siap menerima kalaupun doa itu ternyata tidak dikabulkan. Tapi kan Tuhan tidak pernah zhalim, jadi saya selalu yakin bahwa setidaknya akan ada salah satu doa yang diijabah dari sekian ribu pinta yang saya tasbihkan. Makanya saya selalu berdoa. Tidak akan pernah bosan.

Untuk urusan pasangan atau pacar, saya tidak pernah menyebutkan nama kecuali memang sudah ada yang saya yakini atau sedang dekat untuk saat itu. Jadi saya berprinsip sediberinya Tuhan meski tentu saja saya berusaha mencarinya. Jodoh kan tidak seperti hujan yang tercurah begitu saja dari langit, kalau tidak dicari seringnya malah sembunyi.

Belakangan ini, saya hanya berdoa tanpa menyebut nama. Bukan tidak ingin spesifik tapi lebih ke tahu diri. Belum ada seseorang yang sedang mendekat atau saya dekati, jadi percuma kan kalau saya menyebut nama. Dan saya yakin sebenarnya Tuhan juga tahu apa yang berkelebat di dalam hati saya, tidak perlu namapun, Dia tahu siapa yang saya maksud.

Saya selalu meminta satu. Selalu. Tapi kenapa sekarang Dia mengirim tiga? Ya, tiga dan tiga-tiganya adalah orang dari masa lalu saya. Dua orang mantan dan satu orang yang pernah sangat dekat tapi tidak pernah ada ikatan karena banyak faktor. Tiga orang yang dalam waktu relatif bersamaan mendekat setelah sekian lama hilang kontak. Datang menggugat masa lalu dengan caranya masing-masing. Menimbulkan kebingungan.

Sebenarnya saya bukan tipe orang yang suka membongkar lagi barang lama meskipun dijanjikan rasa baru. Menurut saya yang sudah berakhir ya sudah berakhir, tapi memberi kesempatan kedua atau ketiga sekalipun bukan hal yang buruk bukan? Dan tidak ada salahnya untuk dicoba. Seperti yang salah satu mantan saya pernah bilang, kesempatan kedua justru akan membuat hubungan makin kuat karena akan selalu belajar dan bercermin dari yang pertama kali. Dan saya setuju, sangat setuju.

Tapi kalau datangnya tiga sekaligus kan repot. Saya tidak suka memilih karena nanti saya terjebak pada ranah subjektif. Itu akan tidak adil bagi beberapa pihak, termasuk bagi saya sendiri. Karenanya saya merasa bahwa Tuhan sedang bercanda dengan hidup saya. Saya minta satu tapi diberi bonus tiga. Saya minta diberi yang terbaik, malah dikirim kebingungan baru.

Memang benar yah, kalau lagi kering ya kering banget. Nggak ada satupun yang mendekati atau berhasil didekati. Tapi sekalinya hujan, malah bikin banjir. Dan kalau sudah banjir saya malah kebingungan mau mengungsi kemana. Kadang saya merasa kalau saya tidak bersyukur.

Saya tidak menyalahkan Tuhan. Saya menyalahkan diri saya sendiri. Mungkin kemarin-kemarin doanya salah. Boleh diralat nggak yah????

Jumat, 21 Mei 2010

Sang Mantan

Dunia mendadak hening.

Kata demi kata saya cerna menjadi satu kesatuan utuh, tidak lagi dibumbui banyak prasangka seperti ketika pertama kali saya melihat alamat email yang muncul di halaman muka email saya. Begitu banyak pertimbangan hanya sekedar memutuskan untuk membacanya atau tidak. Begitu banyak pergulatan mengenai dampak yang akan timbul jikalau saya memutuskan membacanya.

Saya membuka, membaca kemudian saya merasakan sesuatu. Hati saya hangat.

Dia, si mata segaris, mantan saya yang sekarang sedang kuliah di tempat yang jaraknya ratusan ribu mil dari sini kembali mengirim sebuah email setelah sekian lama. Dia, yang dulu pernah membuat saya seperti hidup di negeri dongeng kembali melemparkan sebuah sapa. Sesuatu yang justru membuat saya seakan tertarik kembali pada pusaran indah yang saya sebut cinta.

Saya tidak munafik, saya masih mengaguminya. Entah masih cinta atau tidak, saya tidak bisa memilah. Yang pasti pesonanya kerap kali menggetarkan dawai hati saya. Membuatnya menyenandungkan lagu seperti saat kami masih berjalan beriringan.

Dalam emailnya dia menceritakan bagaimana kuliah sangat menyibukan hari-harinya belakangan ini, bagaimana profesornya menekannya dalam mengerjakan tugas akhir, kemudian bagaimana dia merindukan saya. Sampai bagian ini, saya merasa ada turbulen yang memporak-porandakan sesuatu di laci kenangan saya. Rindu, dia merindukan saya. Ungkapan yang sama ketika kami berpisah di bandara, ungkapan ketika kami lekat berpelukan seakan tak ingin dipisahkan. Rindu yang mungkin terumbar sekian ratus ribu kali di awal-awal cinta jarak jauh kami.

Komitmen yang kami jalani memang tidak semulus yang dibayangkan, banyak rintangan yang akhirnya membuat kami mengambil keputusan untuk berpisah. Mungkin keputusan yang dilandasi keegoisan masing-masing. Keputusan karena emosi sesaat akibat kesakitan atau mungkin amarah. Tapi saya tidak menyesal pernah mengambil keputusan itu, seperti saya tidak pernah menyesal jatuh cinta kepadanya. Semua jalan hidup dan untungnya jalan hidup itu indah.

Di akhir email, dia menggagas kemungkinan untuk kami bersatu kembali. Memulai lagi segalanya dari awal tanpa mempermasalahkan cerita yang pernah tertoreh di belakang. Kemudian meyakinkan bahwa ke depan jalan akan lebih mudah dijalani karena kami telah sama-sama belajar, kami telah sama-sama merasakan pahit buah perpisahan. Dia meyakinkan kalau dunianya hanya kan mengorbit pada satu poros, saya.

Dunia hening seketika. Saya tidak tahu bagaimana saya harus bereaksi. Hati kecil perak saya meredup dan berbinar bergantian seakan kebingungan dengan rasa yang tidak bisa terejawantahkan.

Saya sudah bilang saya tidak munafik, hati saya masih hangat ketika saya mengingatnya. Tapi jarak bukan sesuatu yang mudah ditaklukan, rentangan ribuan detik perjalanan seringkali melunturkan sesuatu yang diyakini dengan sangat sekalipun. Bukan saya tidak percaya, bukan saya tidak mau berusaha tapi realita harus dipertimbangkan dengan logika.

Selesaikanlah dulu studimu, nanti kita bicarakan lagi. Saya tidak menjanjikan, tapi saya usahakan akan menunggu.

Senin, 17 Mei 2010

Insanity

Kalau sinting saya lagi kumat, saya sering meracau sendiri mempertanyakan banyak hal sama Tuhan. Saya sadar, Tuhan tidak akan menjawab dengan cara yang seperti saya harapkan tapi tetap saja saya bertanya. Mungkin dengan bertanya saya justru bisa mempertahankan kewarasan saya.

Seperti malam ini, saat saya seharusnya diayunambingkan mimpi, dilenakan lelap, saya justru tidak bisa terpejam. Saya tidak bisa tidur, dan kalau saya tidak bisa tidur maka biasanya batin saya meracau. Memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak usah dipikirkan. Mencari jawaban atas pertanyaan yang sebetulnya tidak membutuhkan jawaban.

Saya membuka jendela kamar dan duduk di kusennya. Saya membiarkan angin malam yang katanya tidak bagus memasuki kamar saya dengan leluasa. Biasanya saya memanjat genting atap tetangga, tapi di luar rintik hujan mengurungkan niat saya. Cukuplah kesintingan saya tidak dibebani dengan kebodohan lainnya.

Saya termenung. Lama.

Saya yang sudah didominasi kesintingan, mulai bertanya. Mungkin tidak pada Tuhan, tapi pada diri sendiri. Saya memulai pengembaraan imaji dengan bertanya. Saya menggelindingkan kumparan-kumparan dalam medan magnet yang tarik menarik. Saya bermain-main dalam ranah yang tidak biasa, dalam spektrum yang mungkin melampaui kecepatan cahaya.

Saya bertanya, kemudian saya menganalisis sehingga akhirnya saya dapat menyimpulkan sebuah jawaban. Tapi kemudian saya meralatnya dengan dalih saya menemukan argumen baru. Teori yang hinggap begitu saja di otak sesaat setelah jawaban awal saya utarakan. Saya bersikeras untuk mengubah jawabannya, saya keukeuh dengan teori antah berantah yang mungkin belum bisa dibuktikan secara nalar ilmiah.

Begitu saya bermain semalaman. Ketika saya selesai dengan satu pertanyaan maka saya akan meneruskan dengan pertanyaan baru. Terus menerus seperti itu sampai saya kelelahan, sampai saya berdiri diambang keputusasaan karena tidak bisa lagi menelaah dan mencari jawaban. Biasanya apabila sudah seperti itu maka semua pertanyaan yang terlontar akan saya jawab dengan jawaban TAKDIR.

Siapa yang bisa bermain-main dengan takdir? Tidak ada. Takdir adalah jawaban final dari segala bentuk pertanyaan yang menemukan jalan buntu. Ketika takdir disodorkan sebagai sebuah jawaban maka tidak ada gugatan yang bisa menggoyahkannya, tidak ada lagi dalih yang bisa digunakan meskipun sekedar untuk menghindar.

Manusia seharusnya seperti itu. Memaknai segala sesuatu yang terjadi pada kehidupannya sebagai takdir yang sudah ditetapkan Tuhan.

Apakah kita bisa merubah takdir? Saya tidak tahu. Tapi di kitab suci ada ayat yang artinya: “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang ada pada diri mereka” Ini yang saya istilahkan dengan mendandani takdir. Ketentuan Tuhan mungkin tidak bisa diubah, tapi kita bisa mendandaninya menjadi lebih baik. Memaknainya dengan ketaqwaan yang berlandasan.

Saya menatap langit yang masih gulita. Hujan masih turun meski tidak besar, saya berdoa kepada Tuhan semoga analisa saya malam ini tidak salah. Amin.

PS: maaf kalau saya meracau tidak karuan, seperti saya bilang kadang saya ditunggangi kesintingan. Tapi bermain dalam kesintingan ketika tidak bisa terlelap jauh lebih menyenangkan ketimbang mencoba menghitung domba di padang rumput tetangga.

Jumat, 14 Mei 2010

loveless

Sahabat 1:
Pis, tolongin gue donk! Gue lagi bener-bener bosan nih sendirian. Cariin gue pacar kenapa! Gue sih pengennya pacar yang bla..bla..bla (menyebutkan sejumlah kriteria yang bikin nyesek nafas dan bikin bingung. Nyari dimana yah?)

Sahabat 2 :
Pis, kayaknya gue pengen mengakhiri hubungan gue yang sekarang. Dia tuh nggak pernah bisa ngertiin gue. Dia tuh manja banget, bahkan lebih manja dari *tiiiiiiit (menyebutkan nama orang yang juga gue kenal) Kayaknya gue mau konsentrasi ke karier aja dulu, banyak yang harus diwujudkan. Tapi kalau besok gue udah putus, lo bantuin gue nyari pacar baru yah Pis. Gue mau kok lo kenalin sama si *tiiiiit (menyebutkan nama salah satu temen gue). Beneran, gue mau kok sama dia. Atau mantan lo yang terakhir juga boleh deh buat gue. (Menghela nafas panjang lagi. Katanya mau konsen di karier, tapi pengen dikenal-kenalin. Gimana sih?)

Sahabat 3:
Gue sedang jatuh cinta sama orang yang salah Pis. Gue butuh distraction. Gue pengen banget punya pacar yang bener, tolong cariin gue pacar yah, lo bongkar stok temen-temen lo, kenalin ke gue. Lo tahu selera gue kan? Gue nggak neko-neko kok yang penting anaknya bener, serius dan nggak matre. Segera yah Pis, atau si PDKT-an lo yang udah dicoret itu juga gue bersedia nampung kok. Beneran nih Pis, Segera! (Tambah menghela nafas gue, udah nggak tau musti ngomong apa)

Sahabat 4:
Pis, nanti kalo gue maen ke Jakarta, gue diajak hang out bareng temen-temen lo ya! Siapa tahu ada temen lo yang tertarik sama gue. Udah lama banget nih gue nggak punya pacar. Trus di kota gue kerja, pada nggak oke orang-orangnya. (gue: HAH?????)

Heran, kenapa sih pada minta dicariin pacar sama gue. mereka nggak tahu gitu kalo gue juga single, kalau gue juga nggak punya pacar. Iya sih temen-temen gue banyak, segambreng. Tapi kan bukan berarti kalo gue bisa masang-masangin mereka. Emangnya gue biro jodoh apa?

Gue jadi balik berpikir, kenapa banyak orang yang merasa kalau dunia mereka hampa tanpa seorang pacar. Punya pacar kan bukan jaminan juga kalau hidup kita akan bahagia. Iya sih bakal ada orang disamping kita yang bisa kita andalkan dalam banyak hal, tapi itu bukan jaminan kebahagiaan.

Pernah gue bilang di postingan kapan tahu kalau kebahagiaan itu diciptakan bukan pemberian. Jadi kita harus menciptakan kebahagaian kita sendiri meskipun di dalamnya tidak terlibat orang yang kita panggil pacar. Gue yakin, tanpa embel-embel cintapun kita masih bisa bahagia. Mungkin memang kurang lengkap, tapi dengan mencari terus jawaban kenapa kita nggak dapet-dapet pacar justru akan membut kita tambah tidak bahagia.

So buat sahabat-sahabat gue , mari kita menciptakan kebahagian kita sendiri. Niscaya hidup akan jauh lebih bermakna.

Soal pacar, nanti gue cariin deh tapi kalau gue udah dapet duluan yah!

Rabu, 12 Mei 2010

Bruce Albert

Saya pertama kali mengenalnya ketika masih kuliah S1. Kalau nggak salah saat itu semester 6, semester padat bukan hanya materi tapi juga praktikum. Perkenalan biasa, selintas, dan tidak memberikan kesan apa-apa di hati. Mengenalnya hanya sebatas tahu tanpa ada perasaan ingin mengenalnya lebih dalam.

Saya tidak pernah menyangka kalau ternyata saya harus mengenalnya semakin jauh. Membayangkan saja tidak pernah kalau dia akan menawan hati saya sedemikian rupa. Jepang menjadi Negara dimana saya kembali bercengkrama dengannya. Hampir setiap malam dia yang menemani saya larut dalam tugas-tugas tak berkesudahan. Dia sangat setia dan selalu membantu saya keluar dari kesulitan project melalui banyak solusi.

Pulang ke Indonesia dan kemudian melanjutkan studi, saya pikir saya akan terbebas dari belenggunya. Ternyata tidak, saat awal kuliah master saya dia menyambangi setidaknya 3 kali dalam seminggu. Rutin. Mau tidak mau saya melayaninya, menelaah kembali semua pemikirannya. Pemikiran yang seringnya sulit dimengerti. Pemikiran yang tidak jarang membuat saya menangis tengah malam karena merasa sudah tidak bisa lagi mengikuti arah pikirannya. Saya sering tersesat meski akhirnya saya menemukan jalan pulang.

Cukuplah dia menghantui sampai saya menyelesaikan studi master. Saya hanya merasa bahwa otak saya tidak lagi bisa mencerna kemumetan yang ditawarkannya. Saya sering terjebak dalam jerat manis kalimat yang dia suguhkan. Indah tapi membuat saya kelimpungan menterjemahkannya menjadi sesuatu yang sederhana, sesuatu yang mudah dicerna.

Saya berencana selingkuh darinya. Ketika saya mendapatkan (lagi) kesempatan untuk short course, saya meninggalkannya. Di Belanda saya tidak banyak berurusan dengannya, saya memutar haluan agar dia tidak menghantui saya lagi. Tapi karena pesonanya yang luar biasa itu, takdir mempertemukan kami kembali. Saya kembali tenggelam dalam lautan pemikirannya yang fundamental, saya kembali jatuh cinta kepadanya.

4 bulan yang lalu ketika sebuah lembaga riset mengundangnya untuk datang ke Indonesia pada bulan Mei dan memberikan kesempatan bagi para peneliti muda untuk bertemu dengannya, saya sangat antusias. Saya membuat statement of purpose dengan niat luar biasa dan berharap tulisan tersebut lolos seleksi sehingga saya bisa bertemu dengannya. Tuhan mendengar doa saya, tulisan saya diterima dan saya diberi kesempatan untuk mengikuti kuliah umum yang dia berikan.

Skenario Tuhan memang indah, dan sepertinya saya berjodoh dengan dia. Di akhir kuliah umum, dia membagikan 3 buah buku hasil tulisannya yang diakui seluruh dunia sebagai buku life science terbaik yang pernah ada. Buku dibagikan dengan cara mengadakan lucky draw nomer peserta. Tak dinyana, nomor saya keluar. Saya berhasil memperoleh buku aslinya lengkap dengan tanda tangan dia. Bukan itu saja, saya juga berkesempatan untuk berjabatan tangan langsung dan berfoto dengan dia.

Dia Bruce Albert. Penulis buku Molecular Biology of The Cell. Buku suci yang isinya harus dipahami setiap peneliti atau dosen yang berkecimpung dalam dunia biologi molekuler. Buku yang di atas saya ceritakan pernah menemani saya ketika kuliah biologi molekuler jaman S1, biologi molekuler lanjut, biologi sel lanjut dan rekayasa genetika ketika jaman S2. Buku yang juga menemani project saya mengenai rekayasa protein di Jepang dan project mengenai rekayasa fisiologi mikroba di Belanda. Buku yang dari sekian banyak manfaatnya tapi saya hanya punya kopiannya, sekarang saya punya buku aslinya yang berwarna.

Mungkin ini juga pertanda dari Tuhan kalau saya harus mengambil bidang biologi molekuler untuk PhD saya besok. Atau justru ini pertanda kalau saya harus meminta Prof. Bruce untuk jadi promotor riset saya nantinya. Mauuuuuuuuuuuu.

Senin, 10 Mei 2010

Kelak

Aku menunggu di ujung bernama kelak

Kelak ketika sudah waktunya datang, maka aku akan menyambutnya. Tidak hanya dengan euphoria embun pagi yang menyejukan tapi dengan riuh tabuh kegembiraan.

Aku menunggu di ujung bernama kelak

Kelak yang kuyakini akan datang menyambangi. Kelak yang bukan mustahil untuk diamini. Kelak yang selalu kutunggu di ujung lorong gelap sebuah penantian.

Aku menunggu di ujung bernama kelak

Menunggu sambil menasbihkan ribuan doa, menggelar ratusan puja. Untuknya aku mengucap tak hanya harap, tapi juga pinta. Untuknya kemudian aku bersedia didera, dipancung kerinduan yang tak jelas tepiannya.

Kelak,

Kelak aku yakin akan datang seseorang yang sudah dipersiapkan Tuhan. Membawa kebahagiaan, membebaskan dari tangis-tangis panjang kesedihan. Kelak seseorang itu akan membawaku ke nirwana untuk menyicip sebuah rasa berjudul cinta.

Kelak aku yakin dia akan hadir. Memberi keceriaan yang mampu menyibak jelaga sepi tak berkesudahan. Mengakhiri ngangaan luka kesendirian. Bersamanya aku akan meretas mimpi dan mewujudkannya menjadi nyata. Tidak lagi semu, tidak lagi buram. Semuanya jelas, sejelas aku merindukan kehadirannya yang akan datang kelak.

Aku menunggu di ujung bernama kelak

Bersama sabar aku menanti sang kelak turun dari langit laksana hujan. Menitis dalam bentuk yang bisa diraba dengan raga, menjelma menjadi sesuatu yang bisa aku ucap dengan kata.

Aku menunggu di ujung bernama kelak. Ya, kelak. Kelak yang aku belum tahu kapan dia datang. Aku hanya meyakini, aku hanya mengamini. Dia akan datang. Pasti, meski kelak.

Jumat, 07 Mei 2010

Memotret Memori

Kemarin aku datang lagi ke kampus untuk mengurus beberapa hal tentang rencana masa depanku yang pernah aku ceritakan kepadamu. Dan kamu tahu tidak? Sejak aku turun di parkiran, pikiran ini sepertinya membelot untuk tidak bisa berpaling dari bayanganmu. Kamu tidak hanya meraja disana, tapi menjajah kepingan-kepingan kenangan yang sengaja masih kusimpan di salah satu kompartemen hatiku. Rapih.

Banyak yang berubah dari kampus kita itu. Aku berjalan sembari menelisik setiap sudut yang pernah kita lewati dulu. Dua tahun bukan waktu yang sekejap untuk bisa melunturkan memori yang sepertinya terpatri di setiap kebisuan ruang. Dua tahun menjalin cinta denganmu membuat semua jalanan dan gedung di kampus itu menyeruakan aromamu. Indah.

Parkiran mobil sebelah gedung perpus ungu sekarang sudah beralih fungsi, berubah jadi parkiran motor. Parkiran itu sebenarnya tonggak pertemuan kita. Parkiran tempat kita saling bertukar surat lewat wiper mobil. Parkiran tempat kita malu-malu kenalan saat bertemu pertama kali setelah sekian lembar serial surat wiper itu terentaskan. Parkiran penuh cerita.

Karena parkiran itu sekarang tidak ada, kemarin aku parkir di parkiran depan. Dan seperti biasa untuk menuju ke departemenku, aku harus melewati gedung fisika yang tegelnya kotak-kotak kecil. Masih bikin pusing. Dulu kalau kita berdua lewat kesana, kita selalu komplain mengenai tegelnya yang bikin pusing. Tapi ada sisi baiknya, kita suka curi-curi pegangan tangan dengan beralasan biar pusingnya tidak berasa. Aku merasakan kehadiranmu disana meski dalam imaji.

Berjalan ke arah belakang, aku tidak menemukan lagi kantin tambang. Kantin itu sudah tutup. Kantin di departemenmu yang seringnya sepi karena letaknya yang lumayan agak jauh sekarang tinggal kenangan. Mungkin seperti aku dan kamu yang sekarang juga tinggal kenangan. Tapi dengan melihat gedung bekas kantinnya saja aku masih bisa mereka dengan jelas apa yang pernah kita habiskan disana. Melewati sore-sore senyap, duduk berdua tanpa banyak bicara. Semua ingatan hadir, berlarian berebut minta ditayangkan.

Aku sedang tidak hidup dalam kenangan. Aku hanya sedang terlingkarkan dengan memori masa lalu yang mau tidak mau terbongkar lagi dari lacinya ketika aku melewati waktu dan ruang yang pernah tercipta. Aku tahu sekarang kamu sudah bahagia, karenanya aku tidak ingin memberatkan langkahmu dengan bertindak seolah-olah memaksamu untuk kembali dan menoleh ke masa dulu. Tidak. Aku hanya sedang mengenang sesuatu yang indah, sesuatu yang memang pantas untuk dikenang. Kamu.

Aku hanya berharap senyummu masih seperti dulu. Senyum yang sama ketika mengantarkanku menuju ke podium dan membacakan pidato kelulusanku. Senyum tulus di bandara ketika akhirnya kamu memutuskan untuk pulang ke daerahmu dan bercita-cita membangunnya. Senyum yang ronanya tidak akan pernah redup dalam pandanganku sampai kapanpun.

Aku mengenangmu anak tambang ITB 97. Kemarin, kini dan mungkin nanti.

Rabu, 05 Mei 2010

about having baby

Sumpah, belakangan ini saya lagi pengen banget punya anak. Bener-bener bayi hidup, yang suka nangis oek-oek itu. Nggak tahu kenapa, yang pasti kalo di kantor atau di kosan lagi ada waktu luang buat ngelamun, lamunannya nggak jauh dari about having baby. Real baby.

Pernah coba sharing sama temen soal ini, dan responnya dia cuma bertanya balik: “habis liat anak bayi lucu dimana lo?” Saya jawab nggak tahu karena saya nggak yakin kalau itu adalah pencetusnya. Lihat anak bayi lucu sudah jadi makanan saya sehari-hari dari jaman kecil. Rumah bersalin Mami saya selalu dipenuhi bayi, entah bayi yang beneran lucu atau bayi yang biasa aja lucunya. Dan itu tidak membuat saya lantas ingin memiliki bayi.

Apa karena faktor umur? Bisa jadi sih, meskipun usia saya masih dibawah 30 tapi untuk ukuran “setua” ini memang sudah pantas menimang anak. Temen-temen saya aja anaknya udah pada gede, udah bisa diajak lari-lari di taman. Dooh…pengeeeeen! Tapi masa sih karena faktor umur? Toh saya masih merasa belum “matang” atau lebih tepatnya nggak tahu diri karena selalu merasa belum “matang”. Age just a numbers kan? Kematangan tidak bisa dikorelasikan dengan angka.

Saking pengennya punya anak, pernah kepikiran buat ngambil anak yang biasanya diterlantarkan begitu saja di rumah bersalin Mami terus dibawa ke kosan dan dirawat. GILA. Pikiran gila memang, tinggal aja masih ngekos tapi sok-sokan pengen melihara anak. Dan anak beneran lagi, anak yang butuh disusuin kalau lagi laper, diganti popoknya kalau ngompol, dijemur pagi-pagi biar nggak kuning. Pokoknya anak yang butuh curahan kasih sayang sepenuhnya.

Masalahnya, saya belum mau menikah atau tepatnya belum ada yang mau saya ajak nikah. Jadi gimana mau punya anak??

Kalau dipikir-pikir mungkin ada baiknya kalau saya punya anak. Kenapa? Karena menurut saya anak akan mengajarkan saya untuk tidak egois. Bagaimana saya harus melepaskan berbagai ego pribadi saya untuk kebahagiaan anak. Bagaimana saya harus berpikir untuk tidak menjadi centre of the world, karena pastinya saya harus lebih memperhatikan si anak. Atau bagaimana saya harus memanage waktu agar tidak menterlantarkan anak saya kelak. Semua harus dipikirkan meskipun sebenernya bisa belajar sambil dilakukan. Tapi anaknya manaaaaaa? Kalau nggak ada dia saya tetap nggak akan bisa belajar.

Hal yang akan menjadi masalah juga adalah bagaimana saya harus keluar dari comfort zone saya untuk saya “tukar” dengan kebahagiaan memiliki anak. Apakah saya siap menyetop hobi belanja baju karena budgetnya rebutan dengan belanja pampers dan susu? Apakah saya mampu mengurangi atau bahkan menghentikan kebiasaan kongkow-kongkow di coffee shop karena saya harus menemani dan membacakannya cerita sebelum dia tidur? Apa saya bisa berhenti dari kebiasaan saya dugem karena budgetnya terpakai karena anak saya tiba-tiba sakit? Banyak pertanyaan yang hilir mudik di kepala saya.

Itu sebabnya kenapa saya bilang memiliki anak akan mengajarkan saya untuk tidak egois, karena saya akan menjawab semua pertanyaan diatas dengan jawaban kalau saya mau melakukan semua itu. Beneran deh.

Saya siap jadi orang tua. Jadi kalau ada orang di luaran sana yang sevisi dengan saya kemudian mau juga menjadi partner dalam membesarkan anak, baik itu anak kita sendiri maupun anak yang lahir dari hati kita, yuk kita wujudkan mimpi itu. Alangkah lebih ringannya membesarkan anak berdua ketimbang sendirian, makanya saya mengajak untuk berbagi beban. Segera!

Senin, 03 Mei 2010

Sendiri, Melajang dan Bahagia

“Dicintai itu seperti vas kosong, yang ditaruh kembang ke dalamnya sehingga ia kemudian pantas disebut vas bunga. Nah, kalau pada suatu hari si vas tak pernah bertemu si kembang dan tak pantas disebut vas bunga, keduanya toh tetap cantik dan berguna. Sendiri itu baik. Berdua lebih baik. Sendiri itu lebih baik, berdua itu baik. Sekarang tergantung lensa mata, otak, serta nurani bagaimana melihatnya”
Samuel Mulia, Kompas Minggu 25 April 2010

Saya tergelitik membaca parodi minggu kemarin mengenai lajang atau melajang. Saya rasa semua orang pernah mengalami pergolakan batin mengenai kesendirian, termasuk saya. Dan saya mengamini kalimat-kalimat yang ditulis Samuel Mulia di atas. Tidak bisa lagi tidak setuju. Mata, otak serta nurani saya ikut mengangguk begitu beres membaca artikelnya.

Sendiri atau kesendirian, satu hal yang banyak ditakuti oleh banyak orang. Menjalani hidup dengan kesendirian apalagi di masa tua sangat tidak diharapkan, dan kemudian itu menjadi semacam momok yang menakutkan. Menjadi semacam beban berat yang tak juga menemukan jalan keluarnya apalagi untuk orang-orang seperti saya yang mungkin sedikit sudah berdamai dengan hidupnya sendiri.

Kalau saya ditanya apakah saya takut sendirian? Maka saya akan mengangguk sebagai tanda mengiyakan. Tapi kemudian saya berfikir apakah dengan selalu merasa takut maka saya akan terbebas dari belenggu kesendirian itu, saya menemukan jawabannya. Tidak. Ketakutan semacam itu justru akan membuat pikiran kita menjadi kerdil, lebih parahnya kita akan melakukan banyak hal yang sebetulnya tidak sesuai dengan nurani kita hanya untuk sekedar tidak sendirian. Apa itu layak dilakukan? Saya menggeleng.

Baca lagi bagian akhir dari tulisan Samuel Mulia. “Sendiri itu baik. Berdua lebih baik. Sendiri itu lebih baik, berdua itu baik. Sekarang tergantung lensa mata, otak, serta nurani bagaimana melihatnya”. Yang terbaik bagi kita hanya kita yang tahu, oleh karena itu jangan pernah menggunakan kacamata orang untuk menilai hidup kita. Gunakan kacamata kita sendiri, niscaya kita akan selalu bersyukur tentang apapun yang pernah, sedang atau akan kita jalani. Sendiri ataupun berdua kemudian menjadi pilihan, dan pilihan itu harus dijalani dengan bahagia walaupun pilihannya ternyata adalah sendiri.

Menjalani hidup sendiri bukan berarti kita tidak bisa bahagia. Bahagia itu diciptakan, bukan pemberian, karenanya tidak jaminan kalau kita memutuskan untuk sendiri maka kita tidak akan bahagia. Semuanya tergantung dari bagaimana kita memaknai kesendirian itu, mengisinya dengan hal-hal yang menyenangkan dan membahagiakan. Sendiri bukan akhir dari dunia, sendiri bukan kiamat kecil bagi kehidupan manusia. Menurut saya, sendiri itu adalah tantangan yang harus ditaklukan.

Jangan mengeluh karena kita sendirian. Jangan menggugat karena Tuhan menciptakan kita tanpa atau belum berpasangan. Hidup akan jauh lebih bermakna ketika kita menjalani semua yang sudah Tuhan beri dengan keikhlasan luar biasa, meskipun yang Tuhan beri ternyata adalah kesendirian. Ada maksud di balik semua penciptaan takdir dalam hidup kita, tapi seringkali kita tidak sabar untuk menterjemahkannya.

Saya Apisindica, saya sendirian, saya lajang, dan saya bahagia. Saya juga berharap bisa membagi kebahagiaan itu terhadap orang-orang disekeliling saya.