Halaman

Senin, 27 Januari 2014

Dilangkahi

“Tuhan, Saya tidak pernah meminta untuk lahir duluan. Saya tidak pernah meminta jodoh saya untuk datang terlambat. Tapi apabila jodoh adik saya datang terlebih dahulu, maka atas nama-Mu aku ikhlas dan ridho”

Air mata saya menetes padahal sekuat tenaga saya sudah menahan diri untuk tidak terlalu terlarut dalam suasana yang memang syahdu sore itu. Lantunan kecapi suling dengan tembang entah apa semakin memperparah sesenggukan saya. Terbata-bata saya mengucapkan kalimat di atas. Kalimat yang saya buat sendiri untuk kepentingan acara tersebut. Kalimat yang menggantikan kalimat-kalimat yang sudah dipersiapkan oleh pihak WO. Kalimat yang menurut saya sederhana tetapi syarat makna.

Adik saya akan menikah, dan kebiasaan dalam tradisi sunda diadakan upacara langkahan sebelum upacara siraman apabila sang pengantin ternyata lebih dulu menikah dibanding kakaknya. Sore itu saya dan adik saya menggunakan pakaian tradisional sunda lengkap dengan bendo-nya (di jawa: blankon). Duduk saling berhadapan dengan posisi saya duduk di atas dan dia duduk di bawah. Adik saya meminta izin untuk menikah, melangkahi saya.

Sebetulnya apa yang dia ungkapkan adalah hal yang biasa. Lumrah untuk didengar. Apalagi keputusan untuk dia menikah bukan keputusan yang tiba-tiba. Dari awal saya setuju, jadi seharusnya tidak perlu upacara pelangkah ini dilakukan. Orang tua saya yang bersikukuh, katanya ini semacam tradisi. Semacam kebiasaan yang lazim dilakukan apabila adik akan melangkahi kakaknya. Saya menyerah. Upacara pelangkah ini akhirnya saya lakoni.

Saya tidak ingin jadi bahan tontonan. Cukuplah saya dicibir oleh orang-orang yang tidak pernah tahu bagaimana perasaan saya sebenarnya. Melakukan upacara tradisi yang disaksikan banyak orang hanya akan membuat saya duduk di kursi pesakitan. Semakin mendapat tatapan belas kasihan. Padahal saya tidak butuh itu. Saya bahagia, sangat bahagia karena adik saya berani merealisasikan kebahagiaanya. Jadi tidak ada alasan untuk saya bersedih. Kalaupun air mata saya sore itu tidak berhenti menetes itu semata-mata karena saya sangat terbawa suasana. Suasana dikondisikan sedemikian rupa membuat saya berulang kali seperti mengunyah hati.

Apa saya malu karena dilangkahi? Tidak. Untuk apa malu? Saya punya pekerjaan, saya mandiri secara finansial, saya tidak hidup bergantung seperti benalu pada orang lain, jadi untuk apa saya malu. Dilangkahi menikah bukan sebuah aib meski banyak orang berpendapat demikian. Buat saya dilangkahi hanya sebuah permainan waktu. Adik saya lebih dahulu menjejak finish kalau menikah itu diibaratkan sebagai garis finis, sementara saya masih melangkah di belakang. Beda usia 6 tahun ternyata tidak membuat saya berlari lebih cepat. Tapi apakah itu masalah?

Buat saya tidak. Mungkin buat orang lain iya. Saya paham orang lain selalu berdiri dengan penilaian mereka sendiri, dan itu tidak salah seperti halnya saya yang tidak salah ketika nasib mengantarkan pada moment dimana akhirnya saya harus dilangkahi menikah. Jodoh adik saya lebih dahulu tiba, jadi kenapa saya harus menghalangi mereka hanya karena jodoh saya belum lantas kelihatan. Saya berhak untuk bahagia, dan dalam memperjuangkan kebahagian saya tidak sepantasnya mempertaruhkan kebahagian orang lain. Dalam hal ini adik saya.

Saya baik-baik saja. Tidak seperti yang orang bayangkan. Tidak perlulah saya dikasihani, karena saya tidak menderita. Dilangkahi menikah bukanlah bencana yang harus ditangisi. Ikutlah berbahagia seperti halnya saya yang sangat bahagia melihat adik saya akhirnya memantapkan hati pada wanita yang dia puja. Turutlah senang seperti saya yang tidak sungkan merogoh tabungan untuk sekedar menyumbang. Dilangkahi bukan menjadi alasan untuk saya sebagai kakak kehilangan peran dalam pesta yang akan dilangsungkan.

Saya berusaha tidak egois karena saya tidak merasa dikalahkan. Mungkin satu-satunya egois yang saya lakukan adalah egois terhadap orang tua saya. Saya bisa sedemikian rupa menulikan pendengaran, membebalkan muka kepada orang-orang yang selalu ingin ikut campur, tapi orang tua saya mungkin tidak. Mau tidak mau pasti hal itu menjadi bahan pikiran. Dan saya sedih karenanya, membayangkan orang tua saya diintimidasi secara verbal dengan pertanyaan-pertanyaan kenapa anak sulungnya belum juga menikah.

Banyak cara untuk membahagiakan orang tua, menikah mungkin salah satu jalannya. Tapi tolong untuk saat ini biarkan saya mengambil jalan memutar. Biarkan saya membahagiakan orang tua dengan cara saya sendiri. Cara yang mungkin buat orang-orang di luar lingkaran itu sukar dipahami.

Senin, 13 Januari 2014

Cermin Usang

Aku terperanjat. Sontak melangkah beberapa acuan mundur ke belakang. Langkah tanpa koordinasi yang membuatku sedikit terjengkang. Untung masih ada pinggiran bufet yang bisa kujadikan sanggaan badan yang bereaksi tanpa prediksi.

Sejenak aku terdiam, berusaha menenangkan diri. Mengatur nafas yang tadinya berpacu seperti dikejar-kejar waktu. Lama. Ketenangan tidak kunjung datang, aku masih saja ketakutan. Nafas masih saja menderu. Detak jantung kurasakan lebih cepat beberapa kali dari biasanya. Keringat mulai membanjiri dahi kemudian menjalar ke tengkuk dan punggung. Kuyup.

Aku melirik ke tempat dimana tadi aku menemukan sedikit janggal. Sebuah pojokan temaram dimana di dindingnya menepel sebuah cermin usang yang tidak pernah terjamah rupa. Mungkin sudah sedemikian lama dia tidak bertemu bayangan yang tergambar. Sepertinya dia hanya mencumbui debu. Bersahabat dengan sinar matahari yang terbias dari celah-celah atap rumbia yang tidak kalah usang.

Penasaran, aku beringsut mendekat. Melangkah jingjit guna meminimalisir suara yang yang pasti tercipta. Pelan-pelan sampai aku merasa siap untuk melihat lagi ke arah cermin yang tadi menampilkan sosok yang tidak aku kenal. Entah keberanian dari mana yang tersulut saat itu, yang pasti aku hanya ingin membuktikan kepenasaranku. Membuktikan apa yang tadi kulihat bukan sekedar bayangan semu seperti yang selalu terbentuk di dalam kepala. Aku hanya mencari tahu.

Jarak sudah sedemikian dekat, ada perasaan ingin mundur dan membiarkan apa yang baru saja kejadian menjadi misteri tanpa pembuktian. Tapi keinginan untuk terus mendekat justru lebih besar hingga kini aku tepat berdiri di depan cermin misterius itu. Aku menatap lurus ke arahnya, berharap ada yang berubah seperti saat aku terjengkang ke belakang. Tidak ada perubahan. Yang teramati hanya debu tebal yang menempel seperti karat. Tidak ada bayangan padahal aku jelas berada tepat di depannya. Aneh.

Aku terpaku. Tidak lantas beranjak meskipun hasil yang kuharapkan tidak aku temukan. Aku diam. Menunggu. Aku yakin pasti ada sesuatu. Gemetar aku mengangkat sebelah tanganku, mencoba menyibak sedikit debu supaya lebih banyak cahaya yang terkumpul. Belum genap tanganku sampai pada permukaan cermin, tiba-tiba muncul bayangan seperti yang aku temui tadi di awal. Kali ini aku tidak melangkah mundur ataupun terjengkang. Kali ini aku tetap berdiri di hadapannya seperti menantang.

“Kamu siapa?” Seperti orang gila aku bertanya pada bayangan dalam kaca. Tidak ada jawaban. Hanya hening yang terpapar.

Aku kemudian mengulang, “Kamu siapa?” Lama tidak ada sahutan hingga aku hampir kehilangan kesabaran. Kuangkat tanganku, kukepalkan kemudian berniat untuk menghantam. Tapi aku lantas diam dengan kepalan mengambang di udara. Sosok di dalam cermin kusam itu tersenyum memamerkan sederetan giginya yang rapi. Perlahan dia kudengar tertawa atau lebih tepatnya mentertawakan. Sementara aku hanya bisa diam. Memperhatikan.

Dia masih saja tertawa. Menggema di hampir seluruh ruangan. Suara tawanya seperti penuh ejekan meskipun aku tidak tahu apa yang dia tertawakan atau apa yang dia cibirkan. Perlahan tawanya hilang. Perlahan aku bisa menginderai sosoknya dengan benar. Dengan jelas. Tapi aku tidak punya ingatan sedikitpun tentang sosok itu, mungkin ada sedikit tapi semuanya baur. Bias oleh cahaya yang semakin lama semakin terkumpul seperti pusaran. Aku berusaha mengingat, siapakah dia. Kenapa dia bisa muncul di dalam cermin yang aku gunakan untuk berkaca.

“Kamu tidak tahu siapa aku?” Dia bertanya balik dengan intonasi yang mengintimidasi. Aku menggeleng tanda aku tidak berhasil membongkar kotak memori untuk mengingat siapa sosok itu. Dia kemudian tertawa. Dengan isyarat tangannya dia memintaku untuk semakin mendekat.

Aku melangkah, awalnya ragu kemudian pasrah seperti dituntun tanpa bisa melakukan perlawanan. Di depan cermin usang itu aku mendekatkan telingaku. Perlahan kudengar dia berbisik “Aku adalah kamu!” Kaget, kujauhkan telingaku. Kutatap dia seakan meminta penjelasan. Tanpa perlu ditanya sepertinya dia sudah siap menjawab.


“Kamu berubah! Semenjak memiliki pasangan, kamu berubah. Sedemikian berubahnya sampai kamu tidak lagi mengenali siapa dirimu sendiri” Setelah mengatakan itu sosok dalam cermin usang menghilang dan yang aku rasakan hanyalah hitam.