Semalam kamu singgah lagi di halaman. Entah apa yang ingin
kamu bewarakan padahal seharusnya ini bukan lagi saatnya musim penghujan. Tapi
kamu kerap kali masih datang, seperti kehausan. Seperti ada beban yang belum
tuntas terlunaskan.
Lewat rintik yang membasuh karat debu di ujung dedauan, kamu
menebar muram. Mengigilkan kesunyian yang tercipta karena sebagian besar orang
justru berdiam dalam selimut kenyamanan. Menyuarakan kidung perih seperti anak
yang menangis menunggu ibunya pulang dari ladang.
Kamu mendobrak belenggu. Menganomalikan sabda alam ketika
seharusnya kamu tenang beristirahat sambil menyulam rinai untuk diturunkan
ketika kering sudah menghasilkan bosan. Kamu tidak peduli, datang dan datang
lagi seolah ingin selalu dihadirkan. Tidak ingin tergantikan oleh kerontang
yang sepertinya sudah mengintai.
Semalam kamu memapah pagi yang menjanjikan embun kesejukan.
Menghadirkan becek di kubangan-kubangan
aspal yang regas dilindas roda-roda kendaraan. Lewat genangan kamu ingin
dikenang, bahwa semuanya belum usai. Kamu belum ingin dienyahkan. Belum ingin
ditamatkan sesaat.
Hujan, berteduhlah barang sebentar. Ada cinta yang masih
harus aku jelang. Cinta yang baru saja aku semai. Cinta yang baru berkecambah
sehingga kuncupnya mencumbui udara. Jangan biarkan dia luruh kembali hanya
karena terlalu banyak menyesap uap yang membuatnya kedinginan. Jangan biarkan
dia tenggelam dalam deras air yang tercurah perantaraan awan. Aku ingin yang
sekarang lebih lama bertahan karena aku bosan memulai dari awal. Aku letih di
ujung banyak penantian. Karenanya bersahabatlah sedikit padaku, padanya. Pada
kami.
Aku bukan tidak ingin kamu datang di penghujung petang,
karena bagaimanapun kamu akan menjadi semacam ujian bagi kami. Menjadi kuat
atau malah tercerai berai. Tapi tolong jangan dulu sekarang, jangan terlalu
cepat datang. Kami masih saling menyamakan banyak pertentangan. Berdamai dengan
seribu macam perbedaan, mematut diri pada cermin yang tergantung di dinding
untuk menyesuaikan proporsi.
Hinggaplah sejenak di ranting cemara, amati kami dan beri
nilai dari proses yang sedang dijalani. Ketika kamu sudah merasa kami cukup
kuat maka datanglah bertandang. Beri kami sedikit tantangan. Tak perlu yang
menguras tenaga sampai berkeringat hingga basah. Cukuplah sebuah permainan yang
rasanya seperti menaiki bianglala. Berputar, menaik dan kadang berhenti.
Aku dan dia bagaimanapun berasal dari dua kutub yang
bertolak belakang. Karenanya mungkin akan ada saatnya kami lelah dan berjalan
menuju titik yang sama untuk menunggu datangnya hujan dan mengiba kesegaran.
Nanti. Tidak sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar