Halaman

Senin, 22 Oktober 2012

Dia Hadir Kembali


Lewat tengah malam engkau datang diam-diam. Awalnya pelan, kemudian beranjak lantang. Seperti anak muda yang tiba-tiba menjadi dewasa, tanpa takut engkau terus datang bertandang. Memang belum sesering seperti satu tahun kebelakang, tapi setidaknya engkau kini mulai mengabarkan kalau engkau siap lagi menghadang.

Banyak yang bersuka cita meskipun tidak sedikit juga yang tidak rela. Tapi seperti engkau pernah bilang lewat bisikan yang justru meninabobokan, itulah hidup. Tidak selamanya kita bisa menyenangkan semua orang. Selalu ada pro dan kontra, selalu ada pertentangan. Dan engkau menjelma ksatria. Tidak gentar pada semua cacian yang membayang.

Engkau hanya merasa bahawa sekarang saatnya. Waktu yang paling tepat untuk melanjutkan cerita yang pernah tertunda. Entah apa yang sesungguhnya engkau lakukan ketika engkau mulai jarang datang sampai akhirnya benar-benar menghilang. Tidak ada kabar pasti, hanya sebuah janji yang tergores di ranting-ranting cemara yang daunnya ranggas karena proses absisi. Engkau bilang engkau pasti akan kembali. Menggagas lagi cerita pengisi hari.

Dan engkau membuktikan janjimu. Engkau tidak ingin disebut pengecut karena sudah mengingkari ikrar yang  engkau buat sendiri. Mungkin terlambat, tidak sesuai dengan waktu yang berlaku. Tapi engkau kini mulai datang menyambangi sehingga orang-orang tidak perlu lagi menggugat sepanjang pagi. Berharap engkau datang kala senja meluruhkan surya, atau ketika hitam menyelimuti malam.

Aku masih saja penasaran. Lebih ke ingin belajar sebetulnya. Aku ingin tahu apa yang engkau lakukan ketika engkau menghilang? Apa yang engkau lakukan ketika engkau tersisihkan? Tidak bisa datang karena tergantikan oleh sesuatu yang sudah menjadi sabda alam. Aku ingin belajar, bagaimana engkau bisa menghilangkan dendam karena untuk sementara waktu engkau justru termarjinalkan? Aku sungguh-sungguh ingin belajar tentang itu.

Menjadi ksatria memang tidak mudah. Begitu yang sayup-sayup aku dengar ketika engkau menyambangiku untuk pertama kalinya lewat tengah malam beberapa hari ke belakang. Sayup-sayup yang aku rekam dalam diam. Sayup-sayup yang hanya menjadi sebuah pertanda kalau engkau kini akan rajin mendatangi. Sayup yang perlahan tapi pasti berubah menjadi bunyi. Seperti tetaluan yang dibunyikan ketika menyambut sebuah kemenangan. Memekakkan.

Sesungguhnya aku merindukanmu. Rindu pada belaian yang mengantarkanku pada mimpi pengisi sunyi. Rindu pada bisikanmu yang mendongengkan cerita-cerita tentang ksatria pemberani yang tidak pernah gentar melewati cobaan sebangsa duri. Ksatria yang mungkin hanya bualanmu saja. Ksatria yang sengaja kamu reka untuk memuaskan telingaku tentang cerita epik yang selalu membuatku dahaga. Dan seperti biasa ceritamu layaknya air yang menyesatkanku dalam cinta tak bermuara.

Lewat tengah malam kamu datang diam-diam. Awalnya pelan, kemudian beranjak lantang. Seperti seorang ksatria yang selama ini engkau ceritakan, engkau menjelma dalam langit gelap berbatas pandang. Dan rinduku terobati. Terkikis oleh suaramu yang merdu mengalun lagu. Menghilang oleh rintik yang turun perlahan. Mengenyahkan debu yang menebal ditabung waktu. Meniupkan harapan pada semesta bahwa hidup siap diputar kembali.

Hantarkan aku pada purna mimpi seperti dulu. Saat kita menjalin hubungan dalam ceruk berisi sisa air yang engkau curahkan semalaman. Hilangkan dahagaku, enyahkan kegalauanku. Bersamamu aku yakin kalau hidup akan terus berpihak kepadaku. Seperti engkau yang sebetulnya tidak pernah benar-benar meninggalkanku.

Mari kita tuntaskan rindu lewat permainan cinta semalam suntuk. Kita tuntaskan apa yang selama ini belum kita selesaikan. Lewat percikmu aku menguntai harapan. Lewat kedatanganmu aku menggelembungkan banyak pengharapan. Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Hujan.

Senin, 15 Oktober 2012

Namanya Sahabat


“Sebagaimanapun kita tidak suka dengan bagaimana caranya mendapatkan pasangan, tetapi ketika akhirnya mereka berdua memutuskan untuk menikah itu artinya mereka berdua berjodoh”

“Sebuah jalan Tuhan”

Itu yang saya tuliskan di wall Path saya hari minggu pagi kemarin. Entah kenapa saya tergerak untuk menuliskan kalimat itu bahkan ketika kesadaran saya belum seutuhnya penuh. Saya masih berbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi hampir seluruh permukaan badan. Dan saya seperti dituntun untuk menuliskan kalimat tersebut. Tanpa tendensi. Tanpa kemarahan.

Ya, saya tidak lagi marah. Tidak lagi kesal dengan apa yang selama ini saya simpan. Sebuah ketidaksukaan terhadap seseorang karena caranya mendapatkan pasangan. Ketidaksukaan karena dia tega mengambil satu-satunya pengharapan yang selama ini saya pelihara. Mungkin benar saya hanya memeliharanya dalam angan, dalam bentuk impian, tapi saya menjaganya sambil berdoa. Berharap jikalau semuanya akan berubah menjadi nyata. Menemukan jalannya untuk direalisasi sehingga terbangun dari sebentuk mimpi.

Sebut saya berlebihan. Mengklaim sesuatu yang sebetulnya tidak jelas ujung kesimpulannya. Memagari sesuatu yang sebetulnya memang belum termiliki, belum menjadi bagian dari hati seperti yang selama ini saya rekam dalam imagi. Seperti saya bilang, saya hanya memelihara mimpi. Memupuk keinginan dalam angan. Berharap pada sesuatu yang saya tahu dari awal kalau apa yang saya inginkan tidak akan pernah berlaku.

Tapi saya cukup bahagia dengan memilikinya sebagai mimpi.

Dan sahabat saya tahu itu. Dengannya saya berbagi, mengurai semua apa yang saya rasakan pada seseorang yang belum bisa saya miliki. Dengannya saya mentertawakan kebodohan saya sendiri karena saya seperti dibutakan keadaan. Bertahan pada pijakan yang menurut saya benar. Melangkah pada titian yang kalau saya terus perjuangkan akan membawa saya pada sebuah tujuan.

Sahabat saya mengamini. Ikut mendoakan agar semua harap yang saya panjatkan bisa bertemu dengan kenyataan. Atau paling tidak sebuah kesadaran kalau sesungguhnya dia bukan orang yang tepat untuk terus dikejar. Bukan orang yang pantas untuk terus diperjuangkan ketika dia lebih banyak mempertontonkan penolakan meskipun dalam diam. Bersama sahabat saya itu, semuanya saya lalui. Dan dia membuat saya kuat untuk terus berdiri dan berlari. Mengejar dan meyakini apa yang menurut saya benar. Mungkin itulah gunanya seorang sahabat.

Sampai suatu hari. Sahabat saya mengajak bertemu di tempat biasa kami berbagi mimpi. Tidak ada firasat buruk, tidak ada prasangka karena hal itu sudah biasa ketika saya berada di Bandung. Bertemu sekedar untuk merecharge hati dengan cerita-cerita konyol yang kejadian selama kami berjauhan. Mentertawakan hidup yang seringnya mentertawakan kami lebih duluan. Bagaimana tidak, di usia kami yang tidak lagi muda kami belum lantas memiliki seorang pasangan. Kasihan.

Kami bercerita seperti biasa. Membuka aib masing-masing dan saling membully. Seperti itulah kami saling menyanyangi. Saling menunjukkan kalau kami saling peduli, meski lewat hujatan. Dan kami tidak pernah sakit hati karena kami sudah sama-sama mengerti. Lewat kalimat-kalimat yang menikam kami berbagi kasih sayang. Mencintai dengan cara yang orang nilai anomali.

“Dia menyatakan cinta pada saya, dan saya menerimanya” Begitu kalimat yang dia ucapkan diantara banyak percakapan sampah yang keluar dari mulut kami sore itu. Saya sontak diam. Butuh beberapa saat untuk merespon apa yang baru saja dia lontarkan. Saya menanggapinya sambil menata perasaan yang tiba-tiba berantakan. Saya hanya bereaksi wajar, seolah-olah saya antusias dengan apa yang dia sampaikan padahal kalau disimak benar hati saya sobek perlahan.

Tidak ada alasan saya untuk keberatan toh seseorang yang saya simpan dalam koridor mimpi itu memang belum termiliki. Saya hanya marah, atau kecewa karena yang justru mengambilnya adalah sahabat saya sendiri. Orang yang paling tahu bagaimana perasaan saya terhadap dia. Orang terdekat yang tidak pernah lupa mendoakan untuk saya mendapat jalan sehingga bisa berdampingan dengan impian yang selama ini saya simpan.

Setelah kejadian itu saya lebih banyak menghindar. Terdengar picik dan kekanak-kanakan, tapi saya butuh waktu untuk proses penyembuhan. Saya butuh banyak perenungan untuk menjadi mengerti kalau semua ini layak terjadi. Saya juga butuh sendiri untuk menjawab banyak pertanyaan mengenai sejak kapan dan bagaimana awalan semuanya bisa kejadian. Saya benar-benar butuh sendiri. Bertemu dia dengan tergesa hanya akan membuat saya lebih jatuh dan terpuruk.

Semua berjalan seperti apa yang saya ingini. Sahabat saya juga tidak memburu-buru agar saya cepat mengerti. Kami menggembok diri dengan sunyi. Memagari semua kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Tidak saling memaksakan diri bertemu untuk sekedar berbasa-basi. Masing-masing dari kami saling menghindar.

Sebetulnya saya tidak layak untuk keberatan. Tidak layak untuk marah pada keadaan yang menjadikan mereka kemudian sebagai pasangan. Tidak ada hak saya untuk melarang, apalagi menghalang-halangi mereka yang entah bagaimana bisa terlibat sebuah percintaan. Saya sebagai manusia biasa hanya merasa dikhianati. Disabotase oleh orang yang kadang mengenal saya jauh dari saya sendiri. Tapi saya bisa apa, saya hanya manusia biasa. Punya rasa sakit ketika ditikam dari belakang.

Saya pelan-pelan memaafkan. Dalam diam karena saya masih saja ingin menghindar. Sampai akhirnya sahabat saya mengabari duluan. Membewarakan kalau seseorang yang pernah saya simpan dalam impian melamarnya dan dia menerima. Bulan Januari mereka berencana untuk melangsungkan pernikahan. Membaca bbm-nya membuat saya menangis, meratapi nasib saya. Tapi itu hanya sebentar karena beberapa saat kemudian entah dengan kekuatan yang datangnya dari mana, saya memiliki kekuatan untuk memaafkan dan melupakan.

Saya ikut bahagia karena saya percaya ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Tidak mungkin akan kejadian kalau Tuhan tidak mengizinkan. Dengan bekal itu saya menulis kalimat yang saya share di wall Path saya, tanpa ada lagi dendam.