Kesalahanku hanya satu. Terlalu khusuk menyalin wajahmu
sepanjang perjalanan hari itu. Wajah yang rautnya aku salin sempurna dalam
lembar-lembar ingatan terbaik yang pernah aku punya. Tidak hanya raut yang aku
gambar, tapi aku selipkan juga rona-rona yang terhias bagai pelangi yang muncul
setelah hujan sore hari.
Kesalahanku hanya itu. Kesempurnaan replika yang aku salin
dalam lembar terbaik ingatan ternyata sulit untuk dienyahkan. Bahkan ketika
kesakitan dia hidangkan di altar sebagai bukti ketidaksetiaan yang akhirnya
terbongkar. Wajah itu tetap berada di sana, menempati tempat yang paling
istimewa padahal rasa terhadapnya sudah tidak pernah lagi ada. Mungkin secara
tidak sadar aku justru memeliharanya, membiarkan dia tetap subur dalam ranah
ingatan dengan substrat sejumput kenangan usang.
Sebetulnya tidak ada yang layak dikenang. Potongan-potongan
cerita yang dulu terasa indah hanyalah sebuah kiasan. Bumbu yang justru
menyamarkan dari rasa yang sesungguhnya terhidang. Sayang lidah suka akan
tipuan sehingga seringkali tidak bisa membedakan mana kenyataan dan yang mana
kebohongan.
Aku terlalu khusuk menyalin wajahmu sampai otak menolak
lupa. Tidak hanya dulu, tapi hingga saat ini. Dan aku menyesal. Dengan keterbatasan
kemampuanku membuat pola bagaimana bisa wajahmu justru tergambar dengan
sempurna. Dengan keterbataan tanganku menghubungkan satu titik kordinat ke
titik koordinat berikutnya, bagaimana rautmu justru tercipta tanpa cela. Aku
ingat semua, bahkan setiap detail yang kadang orang lain tidak menyadarinya.
Aku ingat semua, bahkan pada bekas luka yang kamu tutupi dengan sejumlah
perona.
Ternyata aku salah. Yang aku salin dengan khusuk justru
adalah sebuah topeng. Penghalang yang kamu kenakan untuk menyamarkan siapa yang
sesungguhnya ada di belakang. Berbulan-bulan aku gambar wajahmu dalam berlembar-lembar
kertas buram dengan penampakan yang nyaris sempurna. Ratusan malam aku habiskan
tinta hanya untuk membubuhkan semua tanda yang aku rekam ketika mata terjaga.
Dan itu sebuah kesalahan. Sketsa itu masuk ke dalam ranah ingatan jangka
panjang hingga sekarang. Tidak mau enyah, bercokol tidak beritikad pergi.
Aku sudah jauh berjalan selayaknya kamu yang mungkin sudah
ditelan penggalan-penggalan kisah yang terjelang. Aku sudah banyak menyicip
jalinan-jalinan baru yang ditawarkan ketika aku berjalan meniti tujuan, tapi
otak tetap nenolak lupa. Wajahmu yang dengan khusuk aku salin waktu dulu
senantiasa menyambangiku. Mendatangi bahakan di saat sesungguhnya aku sedang
ingin sendirian. Datang tanpa diundang justru menyulitkan karena seringkali aku
tidak punya ancang-ancang. Tiba-tiba terpelanting karena tidak siap menerima
kehadiran sosok yang wajahnya aku salin dengan khusuk meski hanya serupa bayangan.
Kesalahanku hanya satu. Terlalu khusuk menyalin wajahmu
sehingga menepel pada ranah ingatan yang sulit dienyahkan. Dengan sekali
kejapan aku bisa meningat semuanya, mengesampingkan kesakitan yang sering kamu
pertontonkan. Dengan satu helaan nafas, kamu sempurna terhadirkan mengalahkan
luka yang sebetulnya tidak bisa disebut kering benar.
Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi kali ini aku
bersungguh-sungguh ingin lupa. Selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar