Halaman

Rabu, 28 Juli 2010

Blog No Comment

Email dari seorang teman :

Apis, nampaknya masa-masa kejayaan taman aksara sudah mulai sirna yah? Memang sih lo masih produktif seperti dulu tapi coba lo lihat jumlah yang komen ditiap postingan yang lo buat. Makin hari makin berkurang, bahkan tidak menutup kemungkinan kalo suatu hari nanti nggak bakalan ada yang komen. Hehehe, knock on wood. Mudah-mudahan sih nggak. Becanda gue...

Pada kemana temen-temen lo yang dulu rajin drop komen itu? Kalo gue kan konsisten yah, dari pertama nemu blog elo emang nggak pernah komen. Tapi temen-temen lo yang dulu ngeramein jagad perblog-an kok jadi jarang kelihatan. Jangan bilang mereka udah nggak aktif di blog karena gue masih bisa lihat jejak MEREKA di blog-blog lain. Mereka drop komen disana, tapi nggak di blog lo. Ada apa yah? Lo sekarang musuhan sama mereka?


Hehehe, maafkan. Gue Cuma kepo. Tapi tenang, gue bakalan setia jadi pembaca blog elo kok mesti tetep bakal konsisten nggak pernah komen. Keep on writting yah lebah maduku....

Love,
Beruang Sirkus


Saya setengah ngakak selesai baca email dari teman yang memang terkenal kepo itu. Geli. Dia mengaku pembaca setia blog saya tapi sepertinya dia melewatkan beberapa bagian yang justru penting tentang blog ini. Bagian dimana saya hidup didalamnya, bagian dimana saya sudah berkomitmen dengan apa yang saya lakukan. Menulis.

Buat saya menulis bukan lagi menjadi suatu sarana untuk mencurahkan perasaan, bukan lagi cara untuk mengumbar sesuatu dengan deretan kata berirama. Buat saya menulis itu adalah kebutuhan. Menulis membuat saya lengkap sebagai manusia. Menulis membuat saya menghargai lebih diri saya sendiri, tanpa orang lain sebagai tolak ukurnya.

Menulis membuat saya belajar menjadi diri sendiri.

Soal taman aksara blog saya, saya tidak pernah merasa bahwa itu pernah mengalami kejayaan kemudian sekarang mengalami kemunduran. Blog saya memang mengalami metamorfosa karena saya juga tumbuh dewasa. Cara pandang saya terhadap sesuatu berubah seiring pertambahan usia. Memang masih sering saya kuak mengenai cinta, masa lalu, kesedihan dan perasaan terabaikan, tapi saya memandangnya dengan perspektif yang tidak lagi sama. Saya banyak belajar dari masa lalu, jadi ketika saya menulis tentang itu semua, saya seperti sedang memberikan testimoni dalam perjalanan hidup saya. Memberi nilai lebih atas apa yang pernah saya alami.

Saya bertanya pada benak saya, adakah keinginan untuk dikomentari ketika saya mempublish sebuah tulisan? Tidak. Hati saya menjawab tegas. Saya menulis untuk diri saya sendiri, bukan untuk orang lain. Ketika saya berbagi dengan orang-orang yang kebetulan membaca, saya hanya berharap mereka ikut belajar sesuatu bersama saya. Mungkin tidak bernilai, tapi tamasya hati tanpa disadari akan menimbulkan semacam turbulensi. Memporak-porandakan dengan ujung sebuah kelegaan.

Komentar saya anggap sebagai apresiasi lebih dari apa yang hati saya ingin utarakan. Komentar saya jadikan pemacu semangat untuk terus menulis. Tapi mohon diingat, saya tidak akan pernah berhenti menulis meskipun tulisan-tulisan saya tidak ada yang membaca ataupun mengapresiasi perantara komentar. Itu janji saya pada diri saya sendiri.

Mengenai teman-teman blog yang dulu, mereka masih ada di dekat saya. Mengerubungi dengan cara yang tidak biasa. Menjauh untuk kemudian melekat di hati selamanya. Memberi noktah-noktah warna pada transformasi saya sebagai anak manusia. Dan meskipun mereka teman-teman saya, tidak ada hak saya untuk menyuruhnya memberikan komentar dari apapun yang saya tulis. Mereka hidup dengan dunia mereka sendiri, ketertarikan sendiri terhadap ragam tulisan yang banyak dihidangkan tidak hanya oleh saya. Semua berdasarkan selera. Semua memiliki pangsa.

Karenanya saya tidak cemburu melihat mereka aktif di blog orang lain sementara tidak di blog saya. Cukuplah saya hidup dengan komitmen untuk terus berkarya. Menyulam kata dan menjadikannya sebuah prosa. Untuk saya. Selamanya.

Beruang Sirkus, terima kasih telah mengingatkan saya mengenai komitmen dan konsekuensi bukan sekedar mengenai tulisan dan komentar. Saya benar-benar berterima kasih.

Senin, 26 Juli 2010

Berubahlah!

Siapa bilang mencintaimu itu mudah?

Awalnya aku juga berpikir kalau mencintaimu itu mudah. Semudah menghela udara atau semudah mengucapkan kata tanpa muatan beban. Ternyata aku salah. Mencintaimu itu menyulitkan, membuatku harus memilih opsi-opsi yang seharusnya kuhindari.

Harusnya mungkin mudah, tapi entah kenapa sepertinya kamu selalu berlindung dibalik baju besimu. Harusnya mudah kalau saja kamu mengizinkanku untuk masuk lebih dalam, menelisik apa yang berkecamuk di hatimu. Membiarkanku tidak hanya sekedar menunggu di depan pintu yang memang sesekali kamu buka. Sesekali itu tidak cukup, karena belum banyak yang bisa aku gali dari sana.

Setiap orang punya rahasia. Setiap orang punya masa lalu yang tidak ingin dibagi bahkan ketika mereka sudah berpasangan. Dan aku menghargai itu, tak ada niatanku untuk mengetahui rahasia yang kamu simpan atau dengan sengaja menguak masa lalu yang mungkin ingin kamu lupa. Aku hanya ingin berperan seperti layaknya seorang kekasih. Tempat berbagi.

Bagaimana mungkin kamu tidak mempercayaiku seperti ini? Bukankah sudah kita bicarakan sejak awal bahwa tidak akan ada proses menghakimi tentang masa lalu kita masing-masing. Waktu tidak pernah berhenti di masa lalu, waktu terus berlalu dan dalam perjalanannya itu kamu bertemu aku. Tidak ada hak aku untuk mengetahui bagaimana kamu di masa lalu kecuali kamu yang menceritakannya sendiri. Aku hidup dengan kamu yang sekarang, itu yang penting.

Entah bagaimana lagi harus aku yakinkan bahwa aku benar-benar percaya padamu. Tidak cukupkah semua obrolan panjang sore itu ketika kita belum memilih untuk menjalani semuanya bersama. Bagaimana lagi aku harus membuktikan bahwa aku benar-benar jatuh cinta kepadamu, bukan sekedar jatuh kasihan seperti yang selalu kamu pikirkan. Buang pikiran jelek itu karena tak ada sedikitpun perasaan tersebut di hatiku. Aku tulus mencintaimu, belajar mencintaimu tepatnya.

Jalan kita tidak akan pernah mudah, kita tahu itu. Jangan kamu buat tambah sulit dengan selalu berlindung dalam sesuatu yang tidak aku mengerti. Berlari menghindar dari suatu keadaan tidak akan menyelesaikan masalah. Bertopeng kepalsuan tidak akan pernah menjadikanmu siapa-siapa. Berdamailah dengan keadaan meski aku tidak tahu keadaan apa yang kamu hindari.

Setiap kamu menghindar, setiap kamu berprasangka, kamu telah menempatkanku pada posisi yang justru mempertanyakan. Apakah masih layak sebenarnya cinta ini kita semai? Masih pantaskah kita berjalan beriringan ketika salah satu dari kita tidak saling mempercayai? Lama-lama keyakinanku goyah. Jangan berharap berlebihan kepadaku tentang sesuatu karena aku juga punya hati yang selalu bisa kuajak berdiskusi.

Berubahlah, tapi jangan demi aku. Berubahlah demi dirimu sendiri. Untuk kebaikanmu.

Kamis, 22 Juli 2010

Lirik dan Melodi

Aku baru ingat kalau aku masih punya hutang padamu. Janji untuk mengerjakan proyek bersama yang dulu kita sempat gagas berdua. Kamu sudah mengerjakan bagianmu sementara aku sama sekali belum menyentuhnya sampai akhirnya lupa berkepanjangan. Waktu itu aku bilang sedang banyak kerjaan sehingga tidak bisa langsung mengerjakannya.

Project itu rencananya akan menjadi master piece kita berdua, mungkin bisa jadi semacam kado bagi hubungan kita yang sebenarnya sulit dimengerti. Diskusi-diskusi panjang baik melalui lisan maupun media tulisan seringkali kita tempuh demi mengerjakan project tersebut. Kamu yang dengan sabar menunggu aku yang seringnya moody, sementara aku seringnya tiba-tiba kehilangan ide bahkan ketika euforia mempersatukan kita untuk berjalan pada akhir batas pencarian.

Kamu biasanya kemudian memelukku ketika aku berlaku seperti itu, kemudian kamu akan bilang “tidak apa-apa” atau “jangan dipaksakan” sambil mengecup ringan kening atau kepalaku.

Mungkin hubungan yang turun naik juga ikut mempengaruhi project kita itu hingga akhirnya terbengkalai. Aku yang kemudian lupa dan kamu yang mungkin akhirnya menyerah dan menganggap bahwa aku tidak bisa diharapkan, berhenti meretas mimpi yang pada awalnya kita yakini pasti bisa direalisasikan menjadi karya. Kita sama-sama dipaksa melepas harap seiring dengan hubungan itu sendiri yang menguap tinggal kenangan.

Awalnya kita bilang kalau kita pasti bisa profesional. Dapat mengesampingkan perasaan dalam menggarap karya itu. Tidak peduli kalau akhirnya cinta kita tidak tertamatkan, tapi karya itu harus lahir sebagai komitmen terhadap sesuatu yang pernah kita perjuangkan. Kamu bilang setidaknya hubungan kita bisa menghasilkan buah tangan. Oleh-oleh yang akan bisa dikenang ketika tua.

Ternyata harapan itu memang hanya harapan meski aku sadar bahwa semuanya bisa dimulai lagi, terlebih hanya tinggal separuh jalan untuk merealisasikannya. Separuh jalan yang menjadi bagianku untuk digarap. Separuh jalan sudah kamu tuntaskan maka sekarang tugasku untuk mempurnakannya. Tapi kadang masih ada keraguan yang menggelitik di hatiku, masihkah perlu semua ini dientaskan? Masih perlukah kita menjalaninya lagi sementara luka itu masih menganga? Mengurai benang kusut yang tak pernah menemukan pangkal.

Kini ketika kamu sudah benar-benar pergi, aku berfikir bahwa tidak ada salahnya untuk menyelasaikannya. Menamatkan sesuatu yang sudah kita mulai. Memberi akhir pada lambungan imaji yang dulu pernah kita perbincangkan di kamar kosanmu sambil sesekali berpegangan tangan.

Aku masih menyimpannya. Dua buah lagu tanpa lirik yang berulang kali kamu mainkan dengan pianomu malam itu. Kamu bilang, kamu yang membuat melodinya dan aku bertugas menautkan liriknya.Lirik yang sampai sekarang belum juga bertandang dan menetap pada melodinya. Lirik yang belum sempat terurai dan menjadikan melodi itu sebuah lagu sempurna.

Aku akan menepati janjiku padamu meski sekarang kamu telah pergi. Akan aku selesaikan semuanya, menyempurnakan lagu yang setidaknya bukan hanya bisa disenandungkan tapi juga kemudian dinyanyikan. Menamatkan apa yang pernah kita gantungkan pada sebuah asa bermotif kenangan. Aku berjanji padamu, kamu akan mendengarkan sebuah lagu.

Rasanya ingin sekali melihat dan mendengarmu memainkan piano seperti dulu...

Selasa, 20 Juli 2010

Sebelah Otak

Otak saya seperti manusia pada umumnya terdiri beberapa lobus. Frontalis, Parietalis , Oksipitalis dan Temporalis. Semua lobus memiliki peranan masing-masing yang membuat saya merasa sempurna. Saya hidup dengan kesempurnaan itu, meskipun kesempurnaan relatif menurut saya.

Saya pikir saya akan selalu hidup dengan kesempurnaan itu, ternyata saya salah. Beberapa hari yang lalu ada kejadian yang membuat saya merasa seperti kehilangan sebagian otak saya, entah lobus yang mana. Sebagian otak saya direnggut paksa. Dicuri tanpa saya sanggup memberikan perlawanan.

Saya sedih. Bukan karena merasa menjadi tidak sempurna, karena saya ternyata masih baik-baik saja. Saya menangis. Tapi bukan karena saya merasa bahwa saya akan cacat selamanya. Saya hanya berlaku seperti manusia, terpuruk ketika dilanda sebuah musibah. Musibah yang mungkin menurut sebagian orang pasti tidak seberapa. Musibah yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebanyakan orang di luaran. Tapi saya hanya manusia biasa. Bolehlah saya sekedar bersedih atau menangis.

Sekarang saya hidup dengan sebelah otak….

Laptop saya hilang digondol maling….

Data-data penelitian selama hampir 2 tahun hilang tanpa berbekas….

Proposal-proposal riset yang sedang saya garap ikut raib tak berjejak….

Draft novel yang sudah saya rintis hampir 3 tahun yang lalu dan sudah memasuki bab-bab akhir kini hilang tinggal kenangan….

Memori saya banyak tersimpan disana, dan ketika itu direnggut paksa maka saya merasa tanpadaksa. Cacat. Hidup dengan otak yang tidak sempurna.

Saya belajar mengikhlaskan, karena yang sudah terjadi tidak mungkin diulang kembali. Saya belajar ridho karena dengan ridho saya berharap akan mendapat pengganti yang lebih istimewa. Sesuatu yang telah disiapkan Tuhan yang akan membuat otak saya bukan hanya kembali utuh tapi otak dengan kapasitas yang jauh lebih besar.

Awalnya saya marah. Tapi kemudian saya ingat nasihat seorang karib. Dia bilang, beruntunglah saya karena masih mendapatkan cobaan dari Allah karena artinya Allah masih memperhatikan dan sayang sama saya. Cobaan ini hanya sebuah ujian bagi saya untuk naik ke level keimanan yang lebih tinggi. Ketika saya mampu melewatinya dengan sempurna maka saya akan termasuk orang yang dipercaya.

Tak ada lagi yang saya bisa lakukan selain mengangguk dan mengucapkan amin berulang kali.

Apisindica: memulai lagi hidup dari titik nol.

Rabu, 14 Juli 2010

Cin dan Can

Saya memanggilnya Cin. Entah untuk cina atau untuk cinta. Atau mungkin untuk keduanya, cina yang saya cintai.

Cin hadir dengan cara yang tidak biasa, cara yang sama sekali di luar dugaan bisa membuat saya jatuh hati kemudian mencintainya setengah mati. Bertemu pertama kali di depan gerai kebab di kampus kami kemudian dilanjutkan dengan makan siang di salah satu café. Semuanya biasa saja, kesan awal tidak ada yang patut untuk diumbar berlebihan, hanya saja saya suka sekali melihat matanya. Sipit.

Dia memanggil saya Can. Pencarian panjang sebelum akhirnya berakhir pada panggilan itu. Saya pernah bertanya kenapa harus Can, dan dia menjawab Can untuk Candu. Katanya saya ibarat candu buat dia. Membuatnya ketagihan.

Semenjak itu Cin dan Can berjalan dalam koridor cinta yang tidak biasa. Berjalan dengan ego dan kepentingan masing-masing tetapi pada akhirnya tetap bertemu di tengah-tengah ketika semuanya sudah lelah. Saling mengelap keringat yang meleleh di dahi untuk sebuah alasan yang seringnya tidak dimengerti. Kami saling menikmati ketidakpastian, mereguk kasih yang membingungkan.

Sekarang Cin mau pergi. Tidak akan ada lagi ketidakpastian. Tidak akan ada lagi saling memperhatikan dalam ruang yang membingungkan. Semua jalan cerita dan peran sudah saatnya untuk ditamatkan, menunggu episode-episode baru dengan pemain yang pastinya digantikan. Tidak akan ada lagi Cin, tak akan muncul lagi Can. Cin dan Can sudah terbundel dalam satu scenario yang akan disimpan dalam laci kenangan. Mungkin nanti akan bisa ditayangkan lagi, tapi pastinya hanya sebagai film documenter. Atau bisa jadi hanya sebuah dongeng sebelum tidur.

Malam ini Can memakai baju pemberian Cin dan membawanya tidur. Berharap Can akan jatuh ke dalam mimpi bersama Cin untuk yang terakhir kalinya. Apapun itu nanti ceritanya.

Selamat jalan Cin…

Bila aku tak berujung denganmu…
izinkan rasa ini kukenang slamanya…
Tuhan tolong hapus rasa cintaku…
Bila tak Kau izinkan aku bersamanya…


Apalah Arti Cinta dari She, mengalun lembut mengantarkan Can melepas Cin

Senin, 12 Juli 2010

Dia (benar-benar) Pergi

Aku tidak tahu harus bicara apa ketika kamu akhirnya bilang kalau kamu akan pergi. Rasanya tadi malam aku mendengar hatiku robek. Perih. Terbayang di pelupuk mata kalau aku akan kehilangan semua momen yang hampir setahun lebih ini membuncah memenuhi rongga dada, menggoda untuk direalisasikan lagi dalam nyata.

Aku sadar aku bukan siapa-siapamu, jadi aku tidak memiliki cukup alasan untuk menahanmu agar tidak pergi. Kalaupun aku punya, aku tidak akan menggunakannya untuk sekedar menggugat. Aku tidak ingin menjadi egois apalagi ini berhubungan dengan masa depanmu. Akhirnya kamu memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanmu yang sekarang dan menerima pekerjaan baru di Negara tetangga itu. Meninggalkan aku yang memang bukan siapa-siapa.

Selama ini aku bohong. Kalau aku pernah bilang sudah berhenti mencintaimu, itu semua bohong. Aku memang berusaha untuk berhenti, tapi aku tidak sanggup. Pesonamu tidak bisa enyah bahkan untuk sekejap dalam imaji yang terkungkung memori. Memang aku tidak menunjukkannya seperti dulu ketika kamu juga melayani, menyambut semua kedekatan kita dengan apa yang disebut perhatian. Tapi ketika kamu mempertontonkan penolakan, egoku terlalu besar untuk mencobanya lagi bahkan ketika kamu datang kembali.

Kamu tahu, kamu adalah satu-satunya teman yang pernah membuatku jatuh cinta. Tabu memang untuk jatuh cinta pada seorang teman, seorang sahabat. Tapi hati tidak bisa dibohongi. Ketika kamu datang dengan semua keluh dan sifatmu yang tidak biasa, itu justru membuatku jatuh cinta. Membuat aku berusaha menunjukkan kalau aku bisa diandalkan. Mungkin aku buta, memilih buta tepatnya tapi aku memiliki keyakinan kalau kamu pantas untuk diperjuangkan. Jangan tanyakan alasannya, karena sampai detik ini aku juga tidak pernah tahu.

Sekarang kamu akan pergi. Artinya mungkin akan sedikit terlambat kalau aku mengagas lagi sesuatu yang dulu pernah kita bicarakan. Mungkin juga jawabanmu akan tetap sama seperti saat itu, tapi setidaknya aku ingin jujur lagi kepadamu. Aku tidak pernah bisa mematikan perasaanku ini. Bolehlah banyak orang yang hilir mudik memasuki pelataran hatiku, tapi kamu masih kusisakan ruang teristimewa di sana. Karena kamu tidak akan pernah mati dan aku tidak akan pernah berhenti berharap. Aku yakin suatu hari kamu akan mengerti.

Jarak memang harusnya bukan menjadi suatu penghalang karena itu bisa diakali. Luasan yang terbentang harusnya bukan rintangan karena itu juga bisa dimanipulasi. Tapi hati dan perasaan tidak bisa diakali ataupun dimanipulasi. Aku bisa saja berpura-pura berhenti mencintaimu, tapi batinku berontak. Aku juga tidak bisa serta merta mematikannya begitu saja, apalagi aku merasa masih punya harapan. Tapi ketika sekarang kamu memutuskan untuk pergi, akankah ini juga merupakan pertanda kalau aku harus berusaha lebih kuat untuk melupakan dan melepaskanmu? Aku tidak tahu.

Tadi malam aku seperti dipaksa untuk menelan sesuatu yang sebenarnya aku tidak suka. Dijejalkan begitu saja tanpa aku memiliki kesempatan untuk menolak. Tapi kamu jangan khawatir, aku pasti akan baik-baik saja seperti episode yang pertama. Butuh waktu memang, tapi aku akan bisa melewatinya seperti dulu. Hilangkan perasaan bersalahmu hanya karena melihat aku mengeluarkan air mata. Aku hanya sedih.

Buat kamu, cinta sebelah tanganku. Aku mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga dengan memulai hidup yang baru kamu akan belajar menjadi lebih dewasa dengan tidak banyak mengeluh. Semua memiliki konsekuensi, seperti halnya aku yang mencintaimu meski dalam diam atau meski dalam perih. Jadi hiduplah dengan keputusan yang sudah kamu buat lengkap dengan konsekuensinya.

Perlu kamu ingat. Aku tidak akan pernah berubah. Masih kusediakan sebuah tempat teristimewa dalam kuadran hatiku bila suatu saat kamu ingin kembali karena mungkin cinta ini tidak akan pernah hilang. Biarkanlah dia aku dormankan dan kutimbun dalam tumpukan cerita yang akan aku jelang kemudian.

Aku mencintaimu (dalam diam). Selalu!!!

Jumat, 09 Juli 2010

Jangan Menyerah!

Hampir setahun yang lalu kita pernah membuat semacam perjanjian, dan aku yakin kamu pasti juga masih ingat. Ya mungkin bukan perjanjian mutlak karena lebih tepatnya aku yang memintamu untuk bekerja sama demi satu tujuan. Tujuan yang sebenarnya tidak hanya menguntungkan aku tetapi kamu juga akan lebih terekspose. Aku yakin waktu itu kamu setuju.

Kita bekerja bahu membahu di setiap kesempatan yang tercipta, menganggap bahwa apa yang kita berdua cita-citakan bukan impian semu yang tidak bisa diwujudkan. Kita berjuang melewati semua rintangan yang seringkali hinggap tanpa diundang, mengikis sedikit demi sedikit semangat yang mulanya berkobar penuh keyakinan.

Mungkin aku seringkali memaksamu untuk bekerja di luar kemampuanmu, menganggap bahwa kamu akan segera terbiasa dengan apa yang aku rencanakan. Andai saja aku bisa menghindari kebiasaan memaksa dan menekanmu seperti itu, mungkin kamu akan jauh lebih kooperatif. Tapi bukankah kamu dari awal sudah setuju untuk bersinergi denganku, berjalan bersama demi masa depan yang diharapkan akan jauh lebih baik. Ingat, kita berdua ingin akhir yang indah. Akhir yang akan membuatmu selalu berdampingan dengaku. Tidak akan bisa dipisahkan.

Aku tahu pasti kamu seringkali bertanya kenapa aku sedemikian memaksamu seperti itu. Kamu ingin tahu alasanku? Biarkan sekarang aku jujur. Aku memaksamu atau menekanmu karena aku percaya padamu. Percaya bahwa kamu pasti mampu melewati semua ini, mampu berjuang bersama denganku melewati rintangan. Aku percaya dengan daya recoverymu yang cepat, karena begitu kamu lelah dan aku menizinkamu berisitirahat, tidak lama kamu akan bisa aku ajak bekerja sama lagi.

Kalau kamu bosan, aku bisa mengerti. Tapi tolong jangan seperti ini. Jangan berontak dengan memboykot semua kerja keras kita. Tujuan akhir itu memang masih dirasakan jauh, tapi kalau kita menitinya bersama pasti akan sampai meski memakan waktu yang lama. Aku akan bersabar, asal kamu tidak lantas berhenti bersinergi denganku. Lihatlah ke belakang, sudah berapa banyak yang kita berdua korbankan untuk sampai ke titik sekarang? Jadi jangan menyerah. Jangan buat apa yang sudah kita perjuangkan dari awal berakhir sia-sia.

Apa lagi yang harus aku berikan kepadamu? Suplementasi semangat sudah aku pompakan. Suplementasi energy, aku memberimu banyak tambahan. Mungkin memang kurang, tapi hanya segitu yang aku mampu berikan. Tidak masalah seharusnya karena selama kita yakin, kita akan keluar sebagai pemenang. Aku bilang kita. Kita berdua akan jadi pemenangnya di ujung batas pencapaian.

Aku mohon, jangan berhenti mencintaiku. Karena sekali kamu berhenti maka aku akan sulit untuk meyakinkanmu kembali. Aku sudah teramat jatuh cinta kepadamu walaupun bentukmu masih jauh dari yang kuharapkan. Tapi percayalah aku mengagumimu bagaimanapun keadaanmu sekarang karena aku memiliki keyakinan bahwa kamu akan berubah. Bermetamorfosis ke bentuk yang paling sempurna. Karenanya sekali lagi aku meminta, tolong jangan berhenti berusaha untuk menjadi lebih sempurna.

Apisindica sedang berbincang dengan otot di sebagian besar tubuhnya. Sudah mau setahun nge-gym, tapi bentuk tubuhnya masih begini-begini aja. Entah bagian apanya yang salah?

Senin, 05 Juli 2010

Senja

Aku membayangkan suatu senja datang mengundang. Kala langit biru bergradasi menjadi kemerahan kemudian berubah lembayung. Ketika angin berubah arah dari darat menuju lautan. Aku membayangkan senja itu kamu datang dengan senyum yang terpasang, mendekat ke arahku kemudian memeluk laksana pekat yang bercengkrama dengan malam. Erat tak terpisahkan.

Aku menunggu kala senja itu datang, karena begitu dia membayang tak sabar rasanya untuk memberimu setumpuk kertas ini. Kertas-kertas berisi tulisanku tentang kamu sebagai inspirasinya. Testimoni tentang bagaimana aku jatuh cinta, cemburu, marah, kecewa kemudian memaafkan sehingga kita bisa berjalan berpegangan tangan lagi memapah senja yang pasti akan datang.

Aku ingat kamu pernah bertanya. Katamu pernahkah aku berfikir kenapa kita saling mencinta? Aku ingat, bahkan aku abadikan semuanya dalam untai aksara di salah satu kertas yang akan kuberikan kepadamu kala senja itu datang. Aku bilang, aku tidak pernah memikirkannya. Mencintaimu adalah tindakan spontanitas, terjadi begitu saja. Tidak perlu dipertanyakan karena cinta memang tidak butuh jawaban. Tidak perlu dipersoalkan karena cinta datang membawa kedamaian.

Kamu pasti juga masih ingat ketika kita berbincang tanpa suara sambil menghitung bintang di belakang rumahmu sehabis hujan. Lihatlah, ketika cinta itu telah datang maka tidak lagi diperlukan suara sekedar untuk mengumbar sayang. Kata seperti terlebur sebelum mereka keluar dari kerongkongan. Tidak ada lagi prosa, tidak ada lagi drama. Kita hanya menikmati senyap sambil berdiskusi perantara telepati. Cinta bisa melakukan keajaiban itu.

Kala senja itu datang, aku berharap cinta yang sedari awal kita bina telah purna melewati evolusi. Kamu juga pernah bertanya, kenapa harus evolusi? Bukankah evolusi itu berlangsungnya secara perlahan? Aku tersenyum tidak menjawab. Tapi coba kamu telaah di salah satu lembar kertas itu, disana aku memaparkan. Evolusi memang perlahan, tapi hasil akhirnya merupakan bentuk paling sempurna. Bentuk yang adaptif terhadap segala macam rintangan dan penghalang. Pengejawantahan cinta yang tidak lagi bisa digugat cerca.

Aku tak sabar menanti kala senja itu datang. Aku membayangkan berbaring di perutmu selagi kamu membaca bundelan kertas-kertas yang aku berikan. Tak terdengar kamu banyak berbicara karena sepertinya kamu sibuk dengan kata yang berderet bagai sinema. Matamu sibuk hilir mudik dari satu tanda baca ke tanda baca berikutnya, tapi tanganmu tak pernah berhenti mengelus rambutku yang pastinya telah berubah warna menjadi abu-abu.

Tak perlulah kamu membacanya sedetail itu. Cukup beberapa halaman di awal, setelah itu bacalah sepintas-sepintas. Aku tidak ingin kamu melewatkan bagian akhirnya yang sudah aku persiapkan dengan matang karena keburu bosan. Tapi kamu bersikeras seperti biasanya. Katamu kamu ingin tenggelam dalam setiap frase yang membuatmu seperti melakukan perjalanan napak tilas. Kamu ingin menggelepar bahagia pada setiap koma yang mengantarkanmu pada klimaks.

Perasaanku tak karuan ketika banyak halaman sudah kamu habiskan. Antara senang dengan cemas saling baku hantam dalam keping otakku yang sepertinya mulai kehabisan kapasitas daya simpannya. Aku sudah mempersiapkan sebuah puisi berbait tiga di akhir kertas yang kuberikan. Bacalah sehingga kamu bisa meraskan semua yang selama ini aku pendam.

Waktu tidak pernah surut ke belakang
Dan dalam perjalanannya, dia mempertemukan aku dan kamu yang sama-sama ambigu
Awalnya berontak saling menghindar, menepis perasaan yang tumbuh dari sebuah ketidaklaziman
Mencaci Tuhan yang menciptakan cinta dalam ruang tak pandang penampakan

Kita belajar menerima, menganggap takdir sebagai sesuatu yang sudah ditasbihkan
Cemooh dan cibirin hanya sebuah batu sandungan yang justru menguatkan
Mempererat jalinan yang semakin pejal menggelinding di turunan yang terjal
Kita tertawa, kita merintih, kita menangis bersama
Atas nama cinta.

Tiba saatnya aku mengucapkan terima kasih kepadamu
Sosok yang sudah mau menerima dan menemaniku menapaki undakan usia
Tidak ada lagi rasa yang bisa kusembunyikan
Semuanya terumbar senja ini ketika kita berpelukan dan bercinta bagai remaja



Jumat, 02 Juli 2010

Inikah Mati?

Inikah Mati?

Sebuah lorong gelap dengan cahaya samar di kejauhan saat kemampuan mata hanya terbatas sampai sana. Lorong yang banyak orang perbincangkan karena merupakan penghubung antara dunia kasat mata dengan dunia antah berantah yang mereka sebut akhirat. Sebetulnya aku ragu, dari mana mereka tahu tentang lorong ini padahal mereka belum mengecap mati.

Inikah Mati?

Saat raga merasa melayang seringan awan. Tanpa beban, tanpa persoalan. Katanya tidak berlaku lagi hukum gravitasi Newton yang membuat kita menapak pada tanah. Sesuatu yang juga katanya membedakan antara massa dengan berat. Entahlah apa itu karena aku sama sekali tidak mengerti. Yang aku tahu adalah sekarang aku melangkah bagai terbang. Tidak kurasakan gaya gesek yang biasanya menempelkan telapak kakiku pada tanah. Aku benar-benar melayang. Tanpa sayap.

Kerongkonganku berat. Tak ada lagi suara yang bisa aku keluarkan dari sana, padahal banyak sekali kalimat yang ingin aku sampaikan. Bukan protes karena aku ingat bahwa kalau mati itu sudah tiba maka katanya tidak ada lagi proses tawar menawar. Katanya sejago apapun aku berkelit kata, semuanya hanya akan sia-sia. Lagi-lagi katanya, karena sungguh ini adalah pengalamanku yang pertama.

Inikah Mati?

Kulihat seseorang dengan wajah berpendarkan cahaya menunggu di ujung penglihatan. Seseorang dengan wujud yang tidak pernah kukenali sebelumnya. Diakah yang disebut malaikat? Perpanjangan tangan Tuhan yang bertugas untuk menghitung berapa banyak kebaikan dan kenistaan yang sudah aku lakukan? Tiba-tiba aku gemetaran. Kepalaku berdenyut tidak karuan karena sebelum aku sampai pada sosok itu, kepalaku mencoba menghitung. Semakin mendekat, semakin baur hitungan yang sudah aku lakukan.

Aku tahu aku banyak dosa. Aku tahu hidupku nista. Aku meracau sambil terus berjalan mendekat ke arahnya. Mungkin sebenarnya aku tidak berjalan karena kakiku tidak berasa melangkah. Mungkin juga aku sebenarnya tidak mendekat karena dalam diriku aku merasa berlari menghindar. Sekuat tenaga aku beringsut mundur tetapi kenapa tetap saja jarak antara kami justru mendekat padahal dia tidak bergerak. Kepalaku semakin berdenyut. Telingaku semakin berdengung. Mataku semakin silau karena semakin dekat dia semakin berpendar.

Inikah Mati?

Bingung. Tidak ada sekelompok orang dengan jubah putih dan jubah hitam yang berdiri bersebrangan seperti yang aku lihat di film-film. Aku tidak bisa melihat mereka, padahal keberadaannya bisa dijadikan petunjuk bagaimana statusku sekarang. Mati ataukah bukan. Aku semakin limbung karena cahaya menyilaukan itu terus menghantam mataku, membuatnya kehilangan daya akomodasi sama sekali.

Cahaya benderang itu terus menghadang dan dengan sisa keberanian yang terkandung di badan, aku berusaha menantang. Kubuka mataku lebih lebar, tak peduli kalau itu bisa membutakan. Membakar retinaku sampai hitam. Aku tidak peduli karena entah dari mana datangnya, keberanian itu terhunus bagai pedang.

Cahaya itu masih menyilaukan. Tapi perlahan aku menyadari kalau itu bukan datang dari sosok yang tidak pernah aku kenali. Cahaya itu terasa akrab, datang dari balik terali di atas jendela kamarku. Cahaya yang setiap harinya sengaja kubiarkan menerobos untuk memberikan sensasi terang.

Syukurlah, ternyata aku belum mati. Itu hanya cahaya matahari.

Apisindica : Tiba-tiba ingat mati…