Halaman

Selasa, 02 Desember 2014

Hello

Hai, sini duduk di sebelahku. Sudah lama kita tidak berbincang intim macam dulu. Sudah banyak drama di dalam kepala yang tidak menemukan cerita. Bermuara begitu saja tanpa sempat mengecap gegap gempitanya cerca. Menguap sebelum aksara dan kata bercumbu menghasilkan melodi yang akan menghiasi megahnya sebuah panggung pertunjukan.

Tidak ada cerita berarti tidak ada penonton yang biasanya riuh rendah bertepuk tangan atau paling tidak menggerutu karena jalinan cerita yang terhidang tidak seperti yang mereka inginkan. Kursi penonton berdebu, seperti halnya karat yang terbentuk di dalam kepala saking jarangnya sesuatu keluar dalam bentuk diorama atau melodrama. Bisa dilihat hiasan satu-satunya mungkin hanya serupa jaring laba-laba di setiap sudut ruang yang terpintal tanpa pola dan aturan.

Aku kini kembali, menyapa udara hampa yang mengisi ruang kosong setelah beberapa lama ditinggalkan. Tidak bisa aku janjikan kalau pertunjukan akan dihidang sesering dulu ketika hati sedemikian kerontang. Tidak bisa aku pastikan kalau aku akan datang mengirim kabar tentang kesedihan atau menjadi selingkuhan atau cinta yang tak terbalaskan. Masa-masa itu sudah terlewatkan, terpintal dalam berrol-rol kenangan usang yang seharusnya dienyahkan. Sayang aku tak ingin kehilangan itu sehingga semua dijejalkan dalam satu jambangan untuk suatu hari dikenang kala sedang bosan.

Terus apa yang akan diceritakan? Drama tanpa bumbu sedih percintaan seperti tidak lengkap dan tidak mengundang decak kasihan. Katanya aku akan kehilangan simbol ketika yang aku ceritakan bukanlah kepedihan. Tapi inilah hidup, tidak selamanya aku harus hidup dalam lingkaran kesedihan yang terus berputar-putar tanpa menemukan jalan keluar. Hidup selalu mengantarkan kita pada berbagai macam pemberhentian. Kemarin aku berhenti di ceruk kesedihan sedemikian panjang hingga banyak babak yang berhasil dipertontonkan. Sekarang aku keluar dari sana tanpa lagi ada drama sehingga sulit sekali menggagasnya dalam bentuk prosa. Bahkan ketika kepala dipaksa untuk mereka-reka. Tidak bisa.

Aku datang hanya ingin berkabar. Membewarakan kalau aku baik-baik saja meskipun jarang menorek cerita dalam lembaran lontar. Aku masih aku yang dulu, tidak ada yang berubah. Hanya saja drama di dalam kepala tidak lagi bersahabat untuk diumbar sedemikian terbuka. Drama-drama yang ada bisa terselesaikan tanpa harus dibahas dalam sebuah pertunjukan tanpa jeda iklan. Drama-drama yang ada bisa dibereskan lewat perbincangan panjang lewat perantaraan hitungan mundur pulsa yang selalu berkurang. Disudahi karena masing-masing mengalah demi akhir yang sudah disepakati. Tidak menodai janji.


Mungkin aku akan sering datang. Atau bisa jadi Jarang. Tapi tolong didoakan semoga saja nanti, sebentar lagi, aku akan berkabar dari negeri sebrang.

Senin, 29 September 2014

Selamat Tinggal

Aku benci berkemas. Aktivitas yang di ujung lorongnya akan mempertemukanku dengan sebuah perpisahan. Dan tidak ada perpisahan yang tidak menyakitkan, walaupun perpisahan itu digagas untuk sesuatu yang lebih baik lagi. Katanya.  Opsi yang seandainya bisa dilongkapi, dihindari dengan cara berlari melalui jalan memutar meskipun penuh belukar. Dihindari dengan berusaha menipu diri kalau semuanya akan baik-baik saja. Entahlah.

Aku tidak pandai mengucapkan selamat tinggal. Lidah biasanya seperti disimpul mati. Kelu. Bahkan ketika suara belum keluar sama sekali. Aku tidak mahir menata kata ketika lambaian tangan adalah sebuah penutup dari serangkaian perjumpaan. Rasanya seperti tercekik. Sesak tanpa bisa berbuat apa-apa kecuali air mata yang mengambang. Air mata yang justru ditahan agar tidak mengalir deras seperti aliran sungai di puncak musim penghujan.

Dari sekian banyak perpisahan yang pernah menghadang, aku tidak lantas menjadi pandai. Dari sebegitu banyak aktivitas berkemas yang telah dilakukan, aku tetap saja bermuara pada kubangan yang serupa. Dari pengalaman berkali-kali dipaksa melambaikan tangan padahal telinga menangkap suara hati yang sobek, aku tetap saja tidak berubah bebal atau bahkan kapalan. Semua terus menerus berulang tanpa aku bisa menemukan jalan keluar sebagai bentuk pengalihan. Semua berdengung seperti sekelompok lebah yang terbang rendah mendekati gendang pendengaran. Menganggu.

Aku menyebutnya rumah pendewasaan. Rumah yang sekarang aku tinggali. Rumah yang banyak menyimpan cerita tentang menjadi dewasa. Rumah yang di dindingnya tertulis pelajaran-pelajaran tentang memaklumi, tentang berusaha mengerti. Rumah yang membuatku tahu bahwa tinggal dengan orang yang sifatnya sungguh bertolak belakang itu sangat menguras emosi. Seperti menaiki jet coaster. Harus siap kapan saja menghadapi jalanan yang tiba-tiba membolakbalikan perasaan. Harus sedia memasang kuda-kuda karena aku tidak pernah tahu kapan jalan akan mengantarkan aku pada terjal jurang yang terpaksa harus dilewati. Tidak ada lagi pilihan.

Aku menyebutnya rumah kami. Rumah yang diisi tidak hanya satu hati, tapi dua. Rumah yang semula ramai kemudian senyap karena salah satu hati memutuskan untuk beranjak pergi mengejar angan. Rumah yang ikut menjadi saksi bawa hubungan berbonus jarak tidak pernah mudah dijalani. Bisa dilihat di salah satu bagian dinding kamar mandi banyak coretan-coretan serupa pagar hasil menghitung rindu. Rindu yang sering kali tidak bisa ditahan sampai membuat kepala seperti dibebani bola api raksasa. Berat sekaligus menyiksa.

Rumah yang aku tinggali memang sunyi. Asosial. Tapi disanalah aku belajar menjadi pasangan yang tidak egois. Pasangan yang tidak menghalangi pasangannya untuk bergerak maju memintal impiannya. Kebahagiaan harus diperjuangkan, tetapi ketika dalam pelaksanaannya aku tidak bisa ikut serta maka hal yang bisa dilakukan adalah mendukungnya. Membiarkannya pergi meraih impian karena jarak sebetulnya bisa dikalahkan. Secara teori. Kenyataannya aku kadang tidak sekuat itu. Bersimpuh aku meratapi rindu yang tidak bisa dientaskan lewat perjumpaan yang bisa digagas kapan saja. Rumah ini saksinya. Bagaimana aku berjuang menjadi tidak egois. Belajar mengatur strategi agar kerinduan tidak memberangus semuanya.

Dan kali ini aku harus mengucapkan selamat tinggal. Bukan pada sebelah jiwaku, tapi pada rumah ini. Rumah yang sudah dua tahun menemaniku menjalani hari. Rumah yang semula ramai dan kini sunyi. Rumah yang menjadi saksi banyak pertengkaran ketika dua pemikiran tidak menemukan jalan untuk dipersatukan. Rumah tempat aku, dia, kami, bertransformasi dari sifat ingin menang sendiri menjadi saling memahami dan mengalah bahkan ketika tidak diminta. Rumah seribu cerita. Rumah tempat kami pulang ketika lelah mengganduli langkah. Rumah tempat kami bercinta tidak hanya fisik tapi juga pemikiran. Rumah tempat pentas banyak drama.

Dan kali ini aku dipaksa pergi dari rumah oleh keadaan. Lagi-lagi dengan alasan untuk masa depan yang lebih cemerlang. Aku mulai berkemas dan menyusun rangkaian kata untuk mengucapkan selamat jalan. Tidak pernah gampang karena rumah ini terlalu banyak menyimpan cerita. Tidak akan mudah karena sudah banyak kejadian yang tertoreh di semua kisi-kisi jendelnya. Tapi semua harus dijalani. Dilewati. Dan semoga saja akan kembali menjadi sebuah pembelajaran yang mendewasakan. Mudah-mudahan.


Selamat tinggal hunian nyaman tempat aku bersarang menyulam beludru. Selamat tinggal rumah banyak kejadian. Kita akan bertemu lagi 4 tahun dari sekarang.

Selasa, 05 Agustus 2014

Email Tengah Malam

Semalam, ketika waktu sudah condong ke arah pagi. Notifikasi email di handphone saya berbunyi. Entah kenapa saya seperti tergerak untuk bangun dan membaca. Biasanya saya selalu menunda hingga pagi. Tidak ada sesuatu yang penting yang biasanya berkabar melalui email, pikir saya. Tapi malam tadi beda. Saya seperti tidak ingin menunda. Saya membaca isinya dengan sedikit terbata kemudian ditutup dengan rasa bahagia. Patjar saya mengirimi saya email. Begini isinya :

Saya belajar dengan cara yang pahit dan keras bahwa tidak ada cinta yang sempurna.. Tetapi cinta yang melengkapi dan membuat kita menjadi lengkap..

Tidak lagi bertanya atau mempertanyakan cinta yang sempurna,tidak lagi mengejar cinta harus menjadi sempurna...tetapi saat ini belajar menjadi lengkap...

Menjadi lengkap berarti belajar memahami bahwa kekurangan dan keterbatasan itu diterima dan dijadikan teman dalam menapaki hidup..bukan musuh apalagi momok yang harus ditakuti..

Belajar bahwa ketidakpuasan dan kekecewaan itu adalah sahabat yang mengingatkan bahwa kita masih manusia yang bisa merasa duka dan sedih.. Bukan musuh..

Terima kasih kamu.. Tidak terasa ya satu setengah tahun kita belajar saling melengkapi..belajar saling tidak puas, belajar saling menerima kekecawaan,keterbatasan,sedih,amarah dan masih banyak lagi,,,

Seperti yang sudah pernah kuberitahu..aku belajar kata "dicintai" "dimiliki" bukan sekedar menyayangi dan memiliki..belajar berubah dari "harus" "bisa" "musti" menjadi sebuah kepasrahan yang menyenangkan bukan kepasrahan yang meninggalkan duka..

Kamu dengan cara mu mengajarkan aku banyak hal..mengajarkan menjadi diri sendiri dan apa adanya itu bukanlah sesuatu yang mengerikan..

Terima kasih patjar... Untuk pembelajaran menjadi lengkap..

Aku berusaha belajar menjadi lengkap..Berjalanlah bersamaku sampai kita berdua bisa berkata kita sudah lengkap.. XoXo


Setelah membacanya saya tertidur lagi dengan sangat pulas. Dengan hati yang dilimpahi sejuta rasa syukur karena cinta yang sudah dia berikan, dan cinta yang sudah Tuhan siapkan perantaraan dirinya. Orang yang saya sayang.  

Jumat, 18 Juli 2014

Mencederai Janji

Aku mungkin sedang mencederai janji.

Ketika belum ada yang pasti, aku pernah berujar kalau aku akan menerima yang pertama kali datang membawa kepastian. Mungkin semacam janji yang diucapkan ditengah sebuah keputusasaan. Sudah lama mencari, menunggu dan menjajal banyak kesempatan yang kesemuanya berbuah penolakan. Aku layaknya hidup dan bertahan dari satu penolakan ke penolakan lainnya. Penolakan yang membuat jiwa ini kuat sekaligus rapuh diujungnya. Dibayangi keputusasaan.

Putus asa tapi tidak menyerah. Itu yang aku lakukan. Dengan sisa-sisa tenaga dan keyakinan yang masih menempel di badan aku terus mencoba banyak peruntungan. Seperti melempar dadu ke arena perjudian. Seperti memelihara sebuah kartu yang diyakini akan membawa pada gerbang kemenangan pada sebuah judi taruhan. Aku terus mencoba, berusaha terus hidup dengan memelihara bara yang lambat laun seperti hilang titik apinya meninggalkan arang. Aku pernah berdoa agar datang angin yang bisa meniup bara yang mungkin masih tersisa di sela-sela tumpukan arang sehingga tumbuh lagi api dari sebuah keniscayaan.

Aku ingat awal tahun kemarin. Dengan lunglai kembali aku menggadaikan kepercayaanku pada sebuah janji. Tidak berharap banyak karena aku takut kecewa padahal kecewa sudah jadi makanan sehari-hari. Kecewa seolah sudah menjadi bayangan yang mengikuti kemana penggelembung janji berarak ditiup angin. Jadi pikirku kalau kecewa bertambah sekali lagi anggap saja hiburan. Pengisi jambangan kekecewaan yang sudah sejak lama menjadi sebuah tempat penyimpanan rahasia.

Penantian berbuah keputusan. Kali ini takdir sedang berpihak padaku yang justru tidak berharap sesuatu yang lebih. Kabar gembira justru hadir ketika aku berpasrah sepasrah-pasrahnya. Kabar yang memompa kepercayaan diriku yang sempat kaku digigilkan banyak kegagalan. Waktu itu aku berpikir ini jawaban atas doa yang selama ini dihembus ke udara. Pengejawantahan harap yang pernah aku ucapkan di depan multazam. Tempat paling mulia di dunia untuk berdoa.

Setidaknya aku merasa tenang dalam menentukan langkah ke depan. Tidak lagi gamang karena aku sudah menemukan pegangan. Kontrak memang belum dibubuhkan tanda tangan tapi secercah harapan sudah terbayang di ujung pandangan. Hidup kembali di hela sambil menunggu waktu untuk merealisasi jawaban atas semua doa yang pernah keluar dalam bentuk kata. Hidup kembali bersemangat karena ada suntikan ketenangan yang berwujud sebuah kepastian.

Namun kemudian datang sebuah tawaran. Jawaban dari hal serupa yang aku pertanyakan satu tahun silam. Lebih dulu digagas sebelum yang yang belakangan menemukan jawaban duluan. Aku berproses, mengikuti tahapan demi tahapan karena aku merasa yang sudah bertemu jawaban masih belum dibakukan dalam sebuah perjanjian. Terdengar serakah seperti kebanyakan sifat manusia. Aku berdalih hanya menjajal banyak kesempatan, siapa tahu Tuhan memang mempersiapkan sesuatu yang mungkin lebih baik dari yang datang duluan. Atau ini hanya sekedar cobaan? Fatamorgana yang muncul ketika perasaan dilanda kehausan karena diganjar sekian banyak kekecewaan. Entahlah. Yang pasti aku masih berjuang, setidaknya mencoba sampai batas akhir yang mampu aku berikan.

Lambat laun yang datang belakangan menampakan kepastian. Belum seratus persen memang, karena masih ada beberapa tahapan yang harus dilewatkan. Kans aku besar, hasil menghitung probabilitas dari berbagai aspek keadaan. Dan aku gamang, sulit memutuskan yang mana yang akan menjauhkan dari kemudaratan. Yang awal datang menggoda karena menjanjikan keadaan yang mendekatkan dengan orang-orang tersayang. Yang datang belakangan menggoda untuk dijajal karena menjanjikan aku untuk lebih berkembang. Bermetamorfosa dari sebuah cita-cita menjadi kenyataan. Sebuah pelunasan terhadap janji pada diri yang selalu digaung semenjak aku belum matang secara pemikiran.

Aku bingung Tuhan, terus terang. Tidak ingin salah mengambil langkah yang justru akan mengaburkan sesuatu yang sebetulnya sudah bisa digenggam. Aku bimbang, banyak pertimbangan yang justru membuat jalinan di dalam kepala menjadi seperti bola kusut yang tidak bisa dirunut mana ujung dan mana pangkal. Semua berlarian, menyajikan gambar yang saling bertindihan. Tidak jelas. Semua berteriak, menimbulkan gaduh pada terowongan terowongan hampa sehingga gema mengetuk-ngetuk dinding dalam kepala. Membuatnya seperti akan pecah.

Apabila aku menghkianati keputusan yang pertama apakah artinya aku mencederai janji yang pernah aku buat sendiri? Apakah ketika aku melepaskan genggaman yang datang belakangan artinya aku akan terus berhutang pada diri yang sudah diiming-imingi manisnya janji yang ternyata tidak terealisasi? Entahlah Tuhan, aku sungguh bingung. Bisakah Engkau turut campur memilihkan? Paling tidak menunjukan mana yang lebih baik tidak hanya untuk aku tapi untuk banyak orang. Menyelusuplah ke dalam hatiku Tuhan, menjelmalah menjadi sebuah keyakinan yang tidak bisa lagi tergoyahkan. Tolong aku.


Setelah beberapa tahun kebelakang aku berjuang mendapatkan beasiswa untuk pendidikan doktorku dan seringkali gagal. Tahun ini aku mendapatkannya. Dua tidak hanya satu. Yang pertama datang untuk di dalam negeri, dan yang hadir belakangan untuk menjajal hidup di negeri orang. Yang pertama datang sudah pasti tinggal membubuhkan tanda tangan di kertas perjanjian, sementara yang muncul setelahnya membuatku masih menjejak sebelah kaki. Tinggal selangkah lagi juga akan berbuah pasti. Aku benci memilih, tapi sepertinya aku tidak punya pilihan untuk tidak memilih. Tolong aku didoakan sehingga aku bisa memilih jalan yang benar dan tidak menyesatkan.

Senin, 07 Juli 2014

Teruntuk Jarak

Aku berbisik pada angin, mengirim isyarat pada bulan sabit yang menggantung di cakrawala hitam yang tergambar sempurna tadi malam. Tidak banyak yang ingin aku sampaikan kecuali kerinduan yang seringkali memberangus pijakan bahwa semua ini sudah disepakati. Tidak banyak yang ingin aku utarakan, hanya ingin membewarakan bisikan hati kalau banyak masa yang sudah dilewatkan dengan membuat goresan-goresan pagar di tanah halaman belakang hingga berbuah sebuah perjumpaan yang terasa jarang.

Memang tidak selalu perasaan ini diberondong rasa ingin saling berpandangan. Tidak selalu tangan ini merasa perlu untuk saling menggenggam, tapi selalu ada masa-masa dimana hati berasa sedang di kuadran paling bawah dari sebuah lingkaran. Nyaris menyentuh dasar. Seperti menaiki bianglala tetapi pada posisi terbawah ketika kita baru saja menaikinya sementara ketika kita menengadah terpampang pemandangan yang indah dengan banyak lampu-lampu berkelipan menyodorkan setangkup iri yang tidak bisa dijelaskan. Kata lenyap terbakar udara tepat ketika kita membuka suara. Bisu digigilkan dingin.

Gemetar aku melangkahkan kaki di setapak kecil yang nampak mengkerdilkan. Beringsut dari satu koordinat ke koordinat lain berharap hati segera terbebaskan. Bukan berharap bertemu dengan ujung yang akan mempertemukan karena jadwal sudah disusun dengan matang. Kapan bisa bersentuhan dan kapan kembali terenggangkan sudah dituliskan rapih di lembaran-lembaran lontar. Hati hanya berharap beranjak dari kubangan kesepian. Lepas dari jeruji kesendirian sehingga bisa berlarian lagi di taman. Bermain ayunan atau prosotan seperti hidup yang tanpa beban. Hidup yang tidak diganduli perasaan kosong hanya karena sendirian.

Sering aku terbebas dari belenggu itu tapi seperti halnya siklus, aku akan menjejak di titik yang sama pada lain kesempatan. Kembali kaki terperosok pada kubang kesedihan sehingga sulit beranjak padahal sekuat tenaga sudah dikerahkan maksimal. Bodohnya ingatan jangka panjang menolak untuk dipanggil ulang. Entahlah dia berkomplot dengan siapa. Mungkin dengan keadaan. Atau bisa jadi bersekutu dengan setan. Senang melihat hati yang lagi-lagi terseok membawa beban buah dari perasaan kosong yang hadir tanpa diundang. Riang menyaksikan hati yang meringis karena menahan tangis akibat teriris buluh kerinduan.

Katanya aku disuruh mencari berbagai kesibukan agar semua luka bisa dialihkan. Katanya aku dianjurkan untuk banyak berkawan sehingga ada yang bisa mendengarkan atau setidaknya berbagi penderitaan. Dan betul, semua memberikan jawaban. Mengurangi penat yang menghimpit, memberikan suntikan udara pada ruang yang terasa hampa. Tapi ketika aku kembali ke ruangan yang memaksa aku sendirian, maka perasaan itu lagi-lagi datang tanpa diundang. Seandainya aku tidak perlu beristirahat dari menyibukan diri, seandainya kawan-kawan itu bisa terus bersisian sehingga membentuk ingkaran dalam diagram, tentu aku tidak perlu berjalan pulang pada kesendirian.

Lalu hati bertanya sampai kapan. Sampai kapan akan terus menggunakan banyak kesibukan sebagai sebuah bentuk pelarian. Sampai kapan kawan-kawan bisa diandalkan dan diharapkan selalu datang ketika hati remuk redam. Kedewasaan tidak datang dari pelarian dan uluran tangan para handai taulan. Kedewasaan justru hadir dari sebuah keterpaksaan. Keterpaksaan mengerti bahwa titah alam adalah sesuatu hal yang memang harus dijalankan. Suka atau tidak suka kita diharuskan belajar menjadi dewasa dengan caranya sendiri. Dalam kasus aku sekarang adalah menjalani hubungan jarak jauh yang membatasi pertemuan.

Bohong kalau aku bilang hubungan terpisah jarak mudah untuk dijalankan. Dusta kalau aku kemudian berujar aku selalu keluar sebagai pemenang ketika diberondong rasa rindu yang tidak lantas bertemu jawaban. Tapi aku belajar menikmati, dipaksa untuk menikmati lebih tepatnya. Aku belajar bersabar menghitung perubahan pagi-siang-petang hingga malam dan kembali pagi lagi. Terus menerus berulang sampai aku sampai pada tujuan. Sebuah pertemuan yang layak untuk dirayakan. Sebentuk jumpa yang membuat nafas lega untuk dihela.


Jarak, berbaik hatilah pada kami. Aku tahu engkau tidak mungkin diperpendek dan dimanipulasi. Tapi selalu ada jalan keluar yang sekarang disebut dengan teknologi. Ada suara di ujung jalan yang bisa menghangatkan hati ketika berkecamuk perasaan seakan sendirian. Karenanya dukunglah apa yang tengah kami jalankan. Janganlah engkau berkomplot dengan hati sehingga memperburuk perasaan yang harusnya bebas berkeliaran untuk sekedar menghilangkan penat dan kesepian. Jangan pula bersekutu dengan kepala dan memboikotnya sehingga tidak bisa menterjemahkan keadaan. Jarak, aku mohon. Tidak hanya sekarang, tapi untuk seterusnya sampai kami menemukan jalan untuk pulang sambil berjalan bersisian.

Sabtu, 28 Juni 2014

Ramadhan Datang

I love ramadhan because that kid who never prays, prays. That girl who never covers, covers. That guy who never fasts, fasts. Even if it’s just for a month, at least these “types” of people tasted the “sweetness of faith” just for one month. And perhaps months later down in life, if their life ever becomes bitter, they will refer back to ramadhan and yearn for that same “sweetness” they sampled just that one month. You call them “Only Ramadhan Muslims” but i call them “Muslim who may only need Ramadhan to change”

Saya bukan orang suci. Bukan orang yang tidak pernah khilaf. Bukan orang yang tidak pernah melakukan kesalahan. Bukan juga orang yang tidak pernah menyakiti perasaan orang lain baik yang tidak disengaja ataupun dilakukan secara terang-terangan. Saya manusia biasa. Sering khilaf, sering melakukan kesalahan dan sering menyakiti perasaan orang.

Saya tidak bangga, meski saya melakukannya lagi dan lagi. Saya tidak pernah jera bahkan ketika peringatan demi peringatan Tuhan hadirkan perantaraan kejadian yang membuat saya mengelus dada. Seringnya saya memaknainya sebagai sebuah kesialan karena saya tidak berhati-hati mengatur langkah. Saya bebal. Tidak kapok dan hanya sesaat tersadar untuk kemudian melakukan berbagai macam kesalahan lagi di setiap kesempatan. Saya mungkin tidak lebih pintar dari seekor keledai yang terperosok ke dalam lubang yang sama lebih dari satu kali.

Kemudian Ramadhan datang. Memberikan janji sebuah pengampunan besar di penghujungnya apabila saya menjalani setiap ibadah di bulan tersebut dengan penuh penghayatan, dengan tekad untuk melakukan sebuah pertaubatan. Dan saya tergoda untuk mengetuk pintu rahmat-Nya. Tanpa malu saya beringsut dari pojokan untuk mengiba sebuah bentuk pemaafan yang paling hakiki atas apa-apa yang sudah saya lakukan satu tahun ke belakang. Tanpa malu saya meminta lagi pengampunan seperti tahun-tahun sebelumnya. Meminta untuk dibebaskan dari segala macam ancaman dan ganjaran atas apa yang sudah pernah saya lakukan.

Ramadhan datang, membuka pintu langit untuk manusia yang ingin berjalan menuju terang. Saya kembali mengetuk, menunggu di ambang pintu seperti kebanyakan orang karena rahmat Tuhan pada bulan itu sedang banyak dibagi-bagikan. Saya dengan pakaian paling bagus berkumpul dengan khalayak ramai untuk memburu rahmatan. Pakaian paling bagus yang saya punya, yang kali ini bukan untuk bertopeng ataupun menyamarkan. Paling bagus karena saya malu untuk meminta ampunan dengan pakaian lusuh yang seperti tanpa persiapan. Pakaian bagus yang saya jahit dengan amalan yang saya kumpulkan. Pakaian paling bagus yang ternyata masih menyisakan banyak lubang di berbagai tempat yang belum bisa tertambal.

Mungkin saya termasuk orang yang tidak tahu malu. Selalu meminta sebuah pengampunan setelah sebelas bulan melakukan banyak kesalahan, padahal ketika melakukannya seringkali saya sedang  berdiri sadar. Saya tidak tahu malu karena hanya berburu ampunan ketika Ramadhan datang, dan setelah itu biasanya saya kembali menelan bara dan angkara. Tapi saya yakin Tuhan Maha Pengampun, dan saya tidak sangsi kalau Tuhan Maha Tidak Menzhalimi. Seberapapun saya melakukan tindakan kesalahan, Tuhan akan menurunkan ampunan selama saya tidak menyekutukan-Nya.

Menyambut ramadahan ini baju saya masih kotor, masih berlubang meskipun saya merasa baju itu sudah paling bagus dan paling pantas untuk dikenakan. Dan karena kesalahan saya tidak hanya pada Tuhan tetapi lebih banyak pada hadai taulan dan teman maka izinkan saya pada kesempatan kali ini untuk memintakan maaf atas semua kesalahan. Kesalahan perkataan, berbuatan maupun hanya serupa lintasan hati berupa bisikan. Saya ingin menyongsong Ramadhan dengan perasaan termaafkan. Dan seperti yang sudah dituliskan di awal, saya membutuhkan Ramadhan untuk melakukan perubahan.


Saya tidak bisa berjanji akan menjadi baik sekali setelah nanti Ramadhan usai, tapi setidaknya berikan saya sebuah kesempatan untuk belajar menjadi lebih baik perantaraan ramadhan. Karenanya sekali lagi saya mohon untuk dimaafkan.

Kamis, 26 Juni 2014

Janji

Katanya akan ada pelangi setelah hujan, atau paling tidak akan ada udara segar beraoma tanah basah setelah debunya tergerus lindian air. Tidak ada cobaan yang akan datang terus menurus karena pada suatu saat pasti cobaan tersebut berbuah manis hasil sebuah penantian. Tidak ada yang sia-sia. Semuanya hadir untuk sebuah alasan, sebuah pembelajaran atau bisa jadi sebuah peringatan.

Akan ada indah setelah penderitaan. Pasti muncul cahaya setelah gelap berkepanjangan. Jadi kenapa harus sangsi?

Katanya hidup seperti roda pedati. Kadang berada di atas tapi pasti juga berada di bawah kecuali pedatinya sedang berhenti. Entah sesaat entah untuk waktu yang lumayan lama. Hidup mengajarkan itu. Hidup memberikan pengalaman bagaimana kita bersikap ketika kita sedang di atas. Hidup memberikan peluang untuk kita berjuang bagaimana membuat tuas memutar roda ketika kita justru sedang terjerembab di kuadran paling bawah. Hidup mengajarkan semuanya.

Kadang kita hanya lupa bagaimana rasanya di bawah. Kita terbuai dengan aroma yang memabukkan ketika kita berada di atas sehingga kita lupa bahwa dalam hitungan sekejap semua bisa berubah. Kita limbung karena kita lupa memasang kuda-kuda. Kita takut karena justru kita tidak memiliki awahan untuk melompat dan tergerus bersama tanah kering dan bebatuan yang tidak jarang membuat kita kapalan. Kita lupa bahwa dengan tergerus dan mengkapal kita akan mengerahkan sekuat tenaga untuk berjuang dan lepas dari segala macam penderitaan.

Namanya juga manusia. Selalu ingin memilih hidup pada posisi nyaman yang tidak akan mengenal halangan. Namanya juga manusia. Kemudian mempertanyakan dan menggugat Tuhan karena kenyataan tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Kita marah. Kecewa. Sedih dan kemudian meratap. Tidak salah karena semua sifat itu sangat manusiawi, tapi bukankah kita harusnya merasa beruntung karena pernah didera oleh semua perasaan tersebut. Perasaan yang justru akan mendewasakan pemikiran. Perasaan yang membuat kita semakin kuat karena kita diharuskan berjuang untuk bangkit, berdiri kemudian berlari.

Tidak ada satu orangpun yang tidak pernah berada di bawah. Kalaupun banyak yang tampak hanya mengalami kebahagiaan semenjak lahir karesa sebuah proses turun temurun dalam sebuah trah yang sudah kuat mengakar, yakinlah kalau itu hanya yang tampak dari luar. Pasti ada bagian dari hidupnya yang pernah merasa ada di bagian paling bawah dari lembah, entah itu soal perasaan ataupun soal kemandirian. Jadi kenapa harus risau? Yang paling penting adalah kita tetap berjuang dan belajar. Berjuang bagaimana keluar dari keterpurukan dan belajar bagaimana senantiasa siap ketika tiba-tiba hidup berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan.

Bisnis hanya sebuah permainan. Kadang menang telak dan beruntung tapi kadang juga kalah terberangus banyak ketidakmenentuan. Tidak usah khawatir ataupun berputus asa. Mari kita berdoa, berusaha dan memulainya lagi. Tak perlu takut untuk melangkah setelah kita merasa kalah. Tidak perlu khawatir tidak bisa lagi berdiri setelah terjerembab dan dipaksa seperti mengerat nadi sendiri. Semua akan berubah baik. Semua akan menemukan jalan keluar karena seperti tadi sudah dibilang, akan ada pelangi setelah guyuran hujan yang seakan tidak pernah berhenti.

Jangan bersedih. Jangan kalut dan bimbang. Setidaknya ada aku di sini yang senantiasa menemani. Sekarang hingga nanti. Janji!

Rabu, 28 Mei 2014

Dunia Paralel

Pernah ikutan lomba menulis cerpen di nulisbuku.com beberapa bulan lalu dengan tema besar "love never fails". Saya mengirimkan sebuah tulisan dengan judul "dunia paralel" yang merupakan gabungan dua buah tulisan yang pernah saya posting di blog ini juga.

Karena saat itu pekerjaan sedang banyak-banyaknya, tulisan yang saya buat tidak sempat dibaca dan diedit ulang apakah penggabungan yang saya lakukan kongruen atau malah tidak. Sekali jadi langsung kirim, mengingat saya juga mensubmit di hari terakhir batas pengumpulan. Dan benar saja, tulisan saya tidak jadi penenang.

Kemarin malam ketika saya masuk ke kamar saya di Bandung, saya menemukan kiriman dari nulisbuku.com yang berisi buku 17 kumpulan cerpen terbaik dari lomba tersebut. Alhamdulillah "dunia paralel" tercetak di sana beserta cerpen pemenang 1, 2 dan 3.

Nggak nyangka aja. Ternyata setelah digerus menulis banyak jurnal ilmiah, saya masih bisa menulis prosa. Bangga. Itu saja. Berikut saya posting ulang cerita tersebut. Kali-kali saja ada yang penasaran :)


DUNIA PARALEL

Di sebuah gerai kopi yang nyaman seorang laki-laki duduk sambil sibuk mengetik di atas tuts-tuts keybord komputer jingjingnya. Dia sendirian. Di atas meja bundar di depannya hanya ada komputer, gelas plastik berisi es mocha milk kesukaannya dan sebuah asbak tak berpenghuni. Asbak yang merepresentasikan dirinya. Sendirian. Dan kosong.

Entah apa yang tengah dituliskannya di lembaran kertas putih yang kadang terisi beberapa kalimat tapi kemudian kosong lagi karena seketika dipijitnya ctrl A kemudian del. Sepertinya dia sedang kebingungan. Gagal menuliskan sesuatu yang tengah berkecamuk di dalam pikirannya, atau jangan-jangan dia sedang berkutat dengan sebuah pekerjaan kantornya. Tapi ini malam minggu, dan laki-laki itu bukan karyawan yang super sibuk sampai harus bekerja di malam yang katanya banyak bergelimpangan cinta.

Lama dia terdiam. Sinar dari layar komputer menerangi hampir seluruh wajahnya. Tidak tergambar raut kekalutan seperti saat dia terburu-buru menghapus beberapa kalimat yang baru saja diketikannya sebelum membentuk sebuah paragraf utuh. Tidak juga terlihat sebuah keputusasaan padahal beberapa saat sebelumnya dia menghela nafas panjang kemudian menyeruput minuman dingin favoritnya. Dia nampak biasa saja. Hanya terlihat sebagai laki-laki yang menikmati malam minggu sambil berusaha menuliskan sesuatu yang mungkin dia juga tidak tahu. Sendirian.

Laki-laki itu seperti memberikan pengumuman tidak tertulis dengan bunyi “apa yang salah dengan menghabiskan malam minggu sendirian?” Dia seolah tidak peduli dengan orang yang berlalu lalang sambil bermesraan atau sekedar berpegangan tangan. Baginya mungkin itu hanya sebuah tontonan gratis yang terlalu diobral. Romantisme yang diumbar seakan butuh pengakuan kalau mereka adalah pasangan. Picisan.

Mendadak dia bersandar. Merebahkan punggungnya yang sedikit terlihat tegang di bantalan kursi yang semula berjarak. Ada sebuah tanda tanya di wajahnya. Tanda tanya yang mungkin bisa dengan jelas terlihat oleh orang yang memperhatikannya dengan seksama. Tanda tanya di akhir pertanyaan yang mungkin menggelumbung di dadanya. Pertanyaan yang kemudian dijawabnya dengan cara berlari. Laki-laki itu seperti berlari dari berondongan pertanyaan kenapa di malam minggu seperti ini dia hanya berdiam di rumah dan sendirian dari para handai taulan. Karenanya dia berlari. Menghabiskan kesendirian di gerai kopi favoritnya. Tempat yang dia anggap aman untuk terlihat seperti mencari kesibukan.

Laki-laki itu tetap berada di dimensi yang sama. Sendirian. Entah itu di rumah ataupun di tempat persembunyiannya sekarang. Bedanya dia hanya terbebas dari serangkaian pertanyaan yang mungkin memekakkan gendang pendengaran. Pertanyaan yang laki-laki itu bosan menelannya. Pertanyaan yang sering kali tidak cukup dijawab hanya dengan diam. Apalagi sekumpulan angka terus bergerak di lingkaran usianya.

Sudah jauh laki-laki itu berjalan sendirian. Menapaki setiap pematang yang membentang ingin ditaklukan. Membuka setiap kesempatan yang menggoda untuk sekedar dijajal. Banyak yang sudah dia dapatkan entah itu kebahagiaan atau sebuah kesakitan. Pelajaran-pelajaran hidup yang justru menguatkan, menempa batin yang awalnya rapuh tak tahan cobaan. Banyak pula yang sudah dia belanjakan. Penantian, mempertaruhkan, menyodorkan perasaan, disakiti, disia-siakan. Dan dia bertahan. Berharap semakin kuat setiap harinya meski dilaluinya dengan melakukan beragam pelarian.

Menurutnya sendirian bukan berarti lemah atau menjadi bisa dilemahkan. Sendirian buat laki-laki itu menjadi sebuah jalan untuk melakukan banyak penilaian. Objektif, tidak lagi subjektif. Pematutan dari serangkaian kegiatan ketika dia mulai berjalan. Penilaian dari serangkaian penerimaan diri ketika pertama kali menyadari kalau ada yang berbeda dari sebagian besar orang. Penilaian yang mulanya lebih banyak berisi angka merah karena dipenuhi dengan banyak kemarahan. Pengugutan kepada Tuhan. Ketidakterimaan.

Apakah laki-laki itu sekarang sudah memperoleh jawaban? Entahlah. Yang pasti dia sudah mengantongi sebuah pemakluman hasil berjibaku dengan banyak pertanyaan yang dulu sering dia gadang. Hasil yang mungkin tidak sesuai dengan harapan banyak orang. Hasil yang mungkin membuat orang justru mentertawakan. Laki-laki itu tidak peduli. Hidup bukan hanya pada koridor menyenangkan hati orang lain yang justru tidak mengenal siapa dia sebenarnya. Hidup adalah bagaimana meraih kebahagiaan dengan caranya. Meskipun sendirian.

Sendirian bukan halangan. Sendirian justru membuat laki-laki itu kuat dengan caranya sendiri. Terdengar klise? Pastinya. Mudah dijalani? Tentu saja tidak. Butuh waktu tidak sebentar untuk dia sampai pada fase seperti sekarang. Butuh banyak pemakluman seperti yang sudah dia bilang. Butuh banyak menebalkan telinga karena selalu sendirian menimbulkan banyak pertanyaan dari lingkungan, seakan kalau sendirian menjadikannya seorang pesakitan. Kesepian. Butuh dikasihani. Kasihan.

Kebiasaan sendirian bukan berarti laki-laki itu tidak lantas mencari pasangan. Lagi-lagi pengalaman mengajarkan banyak hal. Bukan berarti karena ingin lepas dari stigma kesendirian dia menjadi tidak lagi memilah. Angka dikepala tidak lagi muda. Bertualang dari satu pemberhentian sesaat ke pemberhentian sesaat yang lainnya bukan lagi saatnya untuk dilakukan. Sayang memboroskan waktu untuk sesuatu yang dari awal sudah  dia tahu bagaimana ujungnya, apalagi dengan kesadaran penuh bahwa ternyata dengan sendirian dia baik-baik saja.

Laki-laki itu sudah jauh berjalan sendirian. Mencoba menikmati apa yang sudah Tuhan beri sebagai jalan yang memang harus dijalankan. Tanpa pertanyaan walaupun terjal. Sudah jauh dia berjalan sendirian. Menyemai banyak doa di setiap kesempatan, berharap suatu saat ada sebagian doa yang dikabulkan. Tidak perlu semua, karena dia tahu tidak akan semua doa bertemu dengan jawaban. Sudah jauh dia berjalan sendirian. Mengetuk pintu-pintu virtual sampai bertemu dengan apa yang (mungkin) selama ini dia idam-idamkan.

Apa laki-laki itu bosan? Tidak jarang. Tapi dia punya keyakinan kalau bosan hanya akan membunuh harapan. Kesendirian membuatnya kreatif agar terbebaskan dari belenggu bosan. Kesendirian memaksanya memutar akal agar dia tidak lantas mati perlahan. Laki-laki itu tetap harus hidup untuk berbagai alasan.

Malam ini dia masih saja berjalan sendirian, seperti biasa dia akan mengetuk pintu yang sudah dia amati sejak lama. Awalnya ragu tapi kemudian dia menantang diri untuk terus berani. Lama tak ada jawaban. Dia  menunggu. Satu, dua, tiga sampai sembilan. Tetap tak ada jawaban hingga akhirnya dia memutuskan bahwa dia harus memutar badan dan kembali berjalan. Tepat di langkah pertama yang dilakukannya, sebuah pemikiran yang tiba-tiba membuatnya seperti seakan tersadar.

Sementara itu di sebuah dunia paralel, seorang perempuan berbaju biru yang dipadu dengan celana jins ketat tampak bergelendotan manja pada tangan kekasihnya. Mereka berjalan bersisian di sebuah pusat perbelanjaan ternama di kotanya. Tanpa riskan mereka masuk dari satu gerai ke gerai lainnya  sambil terus mempertontonkan kemesraan. Cinta yang diumbar seolah tidak ada yang keberatan.

Perempuan itu sumringah. Tidak tampak sama sekali sebuah beban di hidupnya. Bagaimana tidak, di sampingnya ada seorang laki-laki yang padanya dia menggantungkan banyak pengharapan. Sedih berada jauh dari jangkauannya karena dia sudah menemukan cinta. Rasa yang dia gadang akan mengantarkannya pada perasaan pulang. Cinta yang akan menerbitkan sebentuk lain dari sebuah harap yang selama ini dia bayangkan. Termiliki. Seutuhnya.

Laki-laki di sampingnya terus mengenggam tangan sang perempuan. Seperti berlekatan kedua tangan itu tidak terpisahkan. Sesekali laki-laki itu menggoda yang dibalas dengan cubitan manja si perempuan yang mendarat di perutnya. Laki-laki itu seperti ksatria, tahu betul apa yang dibutuhkan pujaan hatinya. Sementara si perempuan berlagak jinak, seperti sudah ditaklukan lewat serentetan kejadian yang melambungkannya ke nirwana.

Mungkin bagi mereka tidak ada istilah malam minggu karena semua malam adalah serupa. Berisi hanya cinta. Mungkin bagi mereka, entah perempuan yang berbaju biru dan bercelana jins ketat atau laki-laki yang menjelma ksatria semua sudah diaturkan Tuhan. Ditulis dalam sebuah perjanjian jauh sebelum mereka dilahirkan. Sekarang mereka hanya memainkan peran, berusaha memenuhi perjanjian banyak pasal yang tidak pernah mereka ingat pernah ditandatangani berbarengan.

Ketidakingatan pada sebuah perjanjian yang dibuatkan Tuhan kadang menyebabkan seseorang salah mengambil jalan. Salah menterjemahkan bunyi pasal yang maknanya tidak tersurat secara gamblang. Salah mengejawantahkan arti karena bunyi dibaca tidak terlalu teliti. Karenanya banyak orang salah meyakini. Banyak orang salah mengambil titian langkah yang justru berputar padahal tujuan terpampang jelas di hadapan.

Di gerai kopi yang mulai sepi, laki-laki yang seperti sedang berlari kembali menuliskan sesuatu di layar komputernya. Lama dia terdiam setelahnya. Mencermati satu demi satu kata yang dia tuliskan menjadi sepenggal kalimat lengkap. Terlihat ada sebuah kepuasaan di wajahnya, seperti menemukan pencerahan. Tangannya menggeser-geser kursor kemudian menghapus kalimat yang baru saja mengantarkannya pada sebuah kepuasan. Membuat kertas di layar komputernya kembali  putih tanpa coretan.

Sesaat setelah laki-laki di gerai kopi itu menghapus kalimat yang membuatnya orgasme, tiba-tiba perempuan berbaju biru bercelana jins ketat di sebuah dunia paralel merasakan sesuatu yang lain di hatinya. Sontak dia melepaskan genggaman tangannya yang seolah menempel dengan laki-laki yang selama ini dicintainya. Entah kenapa ada desir lain yang tidak pernah muncul sebelumnya. Sebuah keraguan yang timbul dalam sebuah keyakinan. Kegamangan yang hadir dalam sebuah kepercayaan. Absurd.


Laki-laki yang berselimut kesendirian beranjak dari gerai kopi yang didatanginya sejak dua jam silam. Mulutnya bergumam merapal kembali kalimat yang sudah dia hapal benar. Kalimat yang tadi dihapusnya setelah seketika mendapatkan pencerahan. Laki-laki itu terus mengulang dan mengulang. Dia bilang “Jodohku malam ini mungkin sedang sibuk mengumbar kemesraan dengan orang yang dia anggap jodohnya”. Lagi-lagi sesaat setelah laki-laki yang nampak sedang berlari selesai mengucapkan kalimat itu, hati perempuan berbaju biru bercelana jins ketat di dunia paralel mendadak hangat. Entah karena apa.

Sabtu, 24 Mei 2014

Surat dari Kekasih

On Email :

Aku percaya konsep jiwa dan akal pikiran..
Jiwa dan akal sudah ditakdirkan seperti jalinan benang yang terikat satu sama lain tanpa saling mengenal batas awal dan akhir.
Akhir-akhir ini pikiran sering berkata kepada Sang Jiwa:
Sang Jiwa, ini tidak akan berhasil, Sang Jiwa ini terlalu berat untuk dicerna dan dikerjakan...
Sang Jiwa aku ingin bebas.. Sang Jiwa ini hal yang bodoh, Sang Jiwa aku lelah, Sang Jiwa Sang Jiwa Sang Jiwa dan Sang Jiwa...sang akal terus berbicara tanpa henti mengeluarkan semua yang dilakoninya selama ini... 
Sampai pada satu titik sang akal pun terdiam tanpa mendengar apapun dari Sahabat kekalnya..

Lalu suatu saat Sang Sahabat pun berkata: bukankah semua yang terjadi sudah sesuai keinginan mu? Aku menuruti dan mematuhi segala keinginan dan hasrat menggebu yang ingin kau lakukan. Kuberikan pasangan hidup yang mencintai mu dan menjadikan mu bagian dari hidupnya. Ku memohon pada Sang Ibu agar dialirkan nafas kehidupan  baru dan disediakan kenyaman di tempat asing yang kau tuju. Kuberikan setiap jawaban dari pertanyaan dan argumentasi tanpa ujung yang kau lontarkan. Kuberikan segala sesuatu yang kau minta sahabatKu. Mengapa sekarang kau tidak merasa puas dan bahagia?

Sang akal pun berteriak, kau berikan pasangan yang suatu saat akan meninggalkanku untuk mematuhi norma dan adat. Kau berikan pasangan yang luar biasa menyayangi tetapi juga sekaligus memberikan batas waktu untuk ada di sisiku. Kau berikan kenyamanan tetapi juga peluh keringat yang tidak henti mengucur. Apakah itu artinya Kau menyayangiku? Kau bilang Kau berikan seluruh jawaban tetapi disisi lain banyak hal yang harus kukorbankan. Itukah yang Kau bilang Kasih?

Dan Sang Jiwa pun hanya tersenyum. Wahai sahabatku apakah tidak letih kau mengejar sesuatu yang tidak berkesudahan? Tidakkah cukup waktu yang Kusiapkan untukmu setiap pagi? Apakah tidak cukup tanganKu menjaga engkau di setiap persimpangan yang kau hadapi? Tidakkah kau belajar untuk menikmati apa yang sudah kupersiapkan untukmu? Menikmati setiap tawa, setiap bulir kasih dan cinta yang kualirkan kepada mu? Sudah sedimikian butanyakah sampai kau tak melihat banyak tangan yang membantumu, menopangmu dan merengkuhmu, hanya untuk memuaskan ambisi-hasrat menggebu dan keinginan yang tak terbatas. Kehausan untuk merasa disayangi dan dicintai. Wahai sahabatku, tidakkah kau rasa dan lihat betapa kau beruntung..

Akal ku pun terdiam dan mulai melihat kebelakang. Betapa banyak tawa, cinta dan kasih yang didapat selama setahun kebelakang. Betapa banyak tangan tak dikenal yang menawarkan untuk menopang dan mengangkat setiap kali akal tersaruk oleh ulahnya.

Aku belajar untuk bersyukur. Tidak mudah memang dan seringkali menyakitkan. Aku belajar untuk berkata CUKUP-TIDAK-TERIMA KASIH dan AKU PUAS. Tidak mudah mengekang hasrat, niat dan keinginan yang mengotori sang akal. Tetapi aku bersyukur. Dalam keadaan apapun aku memahami bahwa Sang Jiwa sudah menyiapkan DIRIMU, yang memahami tanpa harus minta untuk dipahami.  Mengerti dan mencintai aku apa adanya.

Aku mengerti aku DICINTAI. Perasaan yang selama aku bertumbuh jarang kudapat bahkan langka. Ya benar, aku dicintai olehmu dan aku merasa tercukupi setelah kelaparan dan kehausan yang tidak pernah terpuaskan. Kamu mencintai aku dengan hal yang sederhana yang terkadang tidak bisa kupahami. Kamu mencintai aku dengan semangkuk sayur asem dan cumi yang meletup di wajan. Untuk pertama kalinya aku mengerti betapa nyamannya dicintai dan dimiliki oleh seseorang dan untuk pertama kalinya aku merasa aku bukan sampah yang harus membuktikan diri aku bisa, aku hebat, aku tidak bisa diremehkan dan banyak topeng lainnya. Terima kasih aku dicintai dan maafkan aku karena aku sedang belajar mencintai dengan benar. Aku belajar bahwa mencintai mu adalah membiarkanmu selama kamu bahagia seperti yang kamu lakukan kepadaku. Terima kasih. Akhirnya aku mengerti aku dicintai.

Regards,
H

Saya membacanya berulang-ulang. Semburat hangat tetiba muncul di hati saya bahkan di akhir saya membaca keseluruhannya untuk kali yang pertama. Memang ada bagian yang membuat saya tertampar semisal pada kalimat “Kau berikan pasangan yang suatu saat akan meninggalkanku untuk mematuhi norma dan adat. Kau berikan pasangan yang luar biasa menyayangi tetapi juga sekaligus memberikan batas waktu untuk ada di sisiku”. Hati saya mencelos, seperti bara pijar yang tiba-tiba dimasukan pada air dalam bejana. Andai saya punya banyak pilihan. Andai saya tidak perlu memilih, mungkin itu akan jauh lebih baik. Tapi untuk saat ini saya hanya berusaha menyemai benih maaf sehingga bila waktu itu terpaksa harus hadir maka benih sudah tumbuh menjadi pohon yang rindang. Itu saja yang saya bisa lakukan untuk saat ini. Entahlah bagaimana ke depan.

Soal belajar mencintai, saya juga sedang belajar dan terus belajar. Tidak mudah berdamai dengan banyak perbedaan. Tidak gampang mengesampingkan ego untuk menghindari percekcokan yang ujungnya hanya menghasilkan retakan-retakan yang mengancam keutuhan. Saya terus belajar karena saya yakin mencintaimu dengan cara saya adalah tidak salah. Mencintaimu dengan semangkuk sayur asem dan cumi yang meletup di wajan adalah bentuk kederhanaan yang bisa dihidangkan semua orang dengan kadar yang berlainan. Bagi saya melihatmu lahap menikmati kedua makanan tersebut sudah cukup membuktikan kalau kamu mencintai saya dengan caramu. Untuk itu saya tidak pernah menuntut lebih.

Berharap dicintai dengan cara yang sama saya mencintai hanya akan menimbulkan kebosanan. Merpercepat datangnya usang pada sebuah perasaan. Karenanya saya menikmati setiap detail caramu mencintai saya meskipun ada beberapa tindakan yang saya tidak suka. Dan kamu tahu itu.


Terima kasih sudah belajar juga mencintai saya. Sosok yang kadang rumit kadang sangat mudah ditebak sehingga keduanya menimbulkan efek sama yaitu sulit dipahami. Terima kasih sudah mengerti bahwa membuat saya bahagia adalah dengan membiarkan saya menjadi saya. Saya yang akan terus mencintaimu hingga nanti.

Minggu, 30 Maret 2014

Dia Memutuskan Untuk Pergi

Dia memutuskan untuk pergi. Menyisakan jarak yang tidak bisa sekedar dilangkahi.

Dia memutuskan untuk pergi. Katanya mencoba peruntungan baru karena di kota ini dia merasa sudah banyak hal yang membuat mutung.

Dia memutuskan untuk pergi. Membuat ceruk kesedihan menemukan jalan untuk mengalir lewat air mata yang menetes padahal sudah sekuat tenaga ditahan. Berusaha kuat padahal hati terasa sempoyongan. Mencoba tegar padahal perasaan seperti dilanda badai topan.

Aku mencoba bermufakat dengan akal. Tidak berlaku egois karena menurut nalar arti bahagia itu adalah melihatnya bahagia. Tidak peduli kalau ternyata kebahagiaan itu diperolehnya dengan cara beringsut meninggalkan kenyamanan yang sudah sekian lama kami rasakan. Tidak peduli kalau kebahagiaan itu ternyata harus diperoleh dengan perantaraan jarak yang terbentang. Jarak yang membatasi ketika hanya ingin saling memandang. Jarak yang terbentuk pada saat tangan ingin saling mengenggam. Sekedar berdekatan.

Dulu, jauh sebelum hati bersepakat untuk berjalan berisisian kemungkinan untuk saling terpisahkan sudah ada dalam frame pemikiran. Entah dia atau justru aku yang memulai. Dalam timeline kami jarak sudah dipertimbangkan akan membayang meskipun datangnya entah akan kapan. Artinya kami harus senantiasa siap memasang kuda-kuda. Tidak lantas goyang tanpa awahan ketika jarak tiba-tiba datang memaksa untuk dihadirkan. Tidak segera ambruk ketika perpisahan berbuah jarak terhidang tanpa diundang.

Dia memutuskan untuk pergi. Mendahului aku yang di babak-babak awal justru yakin akan memulai langkah itu terlebih dahulu. Dan ternyata aku tidak sesiap apa yang sudah dibayangkan. Kaki ini goyah juga meskipun tetap memasang kuda-kuda. Aku seperti direnggut paksa dari rasa nyaman yang senantiasa bisa dihidangkan ketika kapanpun ingin berduaan. Aku seperti mendadak disuruh berhenti dari kesenangan merasakan sensasi komedi putar karena arena pasar malam tiba-tiba ditertibkan oleh sekawanan orang-orang berseragam. Aku seperti kehilangan sebelah pegangan. Gamang.

Lama bergumul dengan berbagai pemikiran sampai akhirnya sanggup untuk mengiyakan. Tidak sedikit pertentangan batin ketika menimbang hingga ujungnya ikhlas membiarkan dia terbang. Aku tidak boleh egois. Menghalangi kebahagiaannya hanya untuk mendapatkan kebahagiaanku sendiri. Aku tidak boleh egois melihatnya kelelahan dengan segala hal di kota yang sudah membuatnya tidak nyaman hanya untuk membuatku merasa nyaman. Cinta tidak seperti itu.

Aku bertahan. Dia juga bertahan. Tidak mudah memang tapi seperti biasa ternyata jarak bisa dimanipulasi. Komunikasi bisa digagas dengan berbagai cara walaupun hanya tersisa selembar lontar. Perasaan masih bisa dihangatkan dengan kata-kata yang mengalir lancar lewat kabel sarat optik di udara. Memang kulit tidak bisa lagi sering bersentuhan, tapi esensi sebuah hubungan tidak melulu soal itu.


Kami belajar dewasa. Dipaksa dewasa lebih tepatnya. Dan kami bertahan. Hari sudah bergulir hingga hitungan bulan dan seperti dapat dilihat kami masih bersamaan. Saling mengenggam secara virtual dalam menghadapi segala macam masalah yang memang tidak bisa dihindarkan. Kami masih saling menyayangi, tidak peduli pada jarak yang tercipta memisahkan. Kami masih saling mencintai, tidak lantas menyerah pada dua titik koordinat yang saling berjauhan.

Senin, 27 Januari 2014

Dilangkahi

“Tuhan, Saya tidak pernah meminta untuk lahir duluan. Saya tidak pernah meminta jodoh saya untuk datang terlambat. Tapi apabila jodoh adik saya datang terlebih dahulu, maka atas nama-Mu aku ikhlas dan ridho”

Air mata saya menetes padahal sekuat tenaga saya sudah menahan diri untuk tidak terlalu terlarut dalam suasana yang memang syahdu sore itu. Lantunan kecapi suling dengan tembang entah apa semakin memperparah sesenggukan saya. Terbata-bata saya mengucapkan kalimat di atas. Kalimat yang saya buat sendiri untuk kepentingan acara tersebut. Kalimat yang menggantikan kalimat-kalimat yang sudah dipersiapkan oleh pihak WO. Kalimat yang menurut saya sederhana tetapi syarat makna.

Adik saya akan menikah, dan kebiasaan dalam tradisi sunda diadakan upacara langkahan sebelum upacara siraman apabila sang pengantin ternyata lebih dulu menikah dibanding kakaknya. Sore itu saya dan adik saya menggunakan pakaian tradisional sunda lengkap dengan bendo-nya (di jawa: blankon). Duduk saling berhadapan dengan posisi saya duduk di atas dan dia duduk di bawah. Adik saya meminta izin untuk menikah, melangkahi saya.

Sebetulnya apa yang dia ungkapkan adalah hal yang biasa. Lumrah untuk didengar. Apalagi keputusan untuk dia menikah bukan keputusan yang tiba-tiba. Dari awal saya setuju, jadi seharusnya tidak perlu upacara pelangkah ini dilakukan. Orang tua saya yang bersikukuh, katanya ini semacam tradisi. Semacam kebiasaan yang lazim dilakukan apabila adik akan melangkahi kakaknya. Saya menyerah. Upacara pelangkah ini akhirnya saya lakoni.

Saya tidak ingin jadi bahan tontonan. Cukuplah saya dicibir oleh orang-orang yang tidak pernah tahu bagaimana perasaan saya sebenarnya. Melakukan upacara tradisi yang disaksikan banyak orang hanya akan membuat saya duduk di kursi pesakitan. Semakin mendapat tatapan belas kasihan. Padahal saya tidak butuh itu. Saya bahagia, sangat bahagia karena adik saya berani merealisasikan kebahagiaanya. Jadi tidak ada alasan untuk saya bersedih. Kalaupun air mata saya sore itu tidak berhenti menetes itu semata-mata karena saya sangat terbawa suasana. Suasana dikondisikan sedemikian rupa membuat saya berulang kali seperti mengunyah hati.

Apa saya malu karena dilangkahi? Tidak. Untuk apa malu? Saya punya pekerjaan, saya mandiri secara finansial, saya tidak hidup bergantung seperti benalu pada orang lain, jadi untuk apa saya malu. Dilangkahi menikah bukan sebuah aib meski banyak orang berpendapat demikian. Buat saya dilangkahi hanya sebuah permainan waktu. Adik saya lebih dahulu menjejak finish kalau menikah itu diibaratkan sebagai garis finis, sementara saya masih melangkah di belakang. Beda usia 6 tahun ternyata tidak membuat saya berlari lebih cepat. Tapi apakah itu masalah?

Buat saya tidak. Mungkin buat orang lain iya. Saya paham orang lain selalu berdiri dengan penilaian mereka sendiri, dan itu tidak salah seperti halnya saya yang tidak salah ketika nasib mengantarkan pada moment dimana akhirnya saya harus dilangkahi menikah. Jodoh adik saya lebih dahulu tiba, jadi kenapa saya harus menghalangi mereka hanya karena jodoh saya belum lantas kelihatan. Saya berhak untuk bahagia, dan dalam memperjuangkan kebahagian saya tidak sepantasnya mempertaruhkan kebahagian orang lain. Dalam hal ini adik saya.

Saya baik-baik saja. Tidak seperti yang orang bayangkan. Tidak perlulah saya dikasihani, karena saya tidak menderita. Dilangkahi menikah bukanlah bencana yang harus ditangisi. Ikutlah berbahagia seperti halnya saya yang sangat bahagia melihat adik saya akhirnya memantapkan hati pada wanita yang dia puja. Turutlah senang seperti saya yang tidak sungkan merogoh tabungan untuk sekedar menyumbang. Dilangkahi bukan menjadi alasan untuk saya sebagai kakak kehilangan peran dalam pesta yang akan dilangsungkan.

Saya berusaha tidak egois karena saya tidak merasa dikalahkan. Mungkin satu-satunya egois yang saya lakukan adalah egois terhadap orang tua saya. Saya bisa sedemikian rupa menulikan pendengaran, membebalkan muka kepada orang-orang yang selalu ingin ikut campur, tapi orang tua saya mungkin tidak. Mau tidak mau pasti hal itu menjadi bahan pikiran. Dan saya sedih karenanya, membayangkan orang tua saya diintimidasi secara verbal dengan pertanyaan-pertanyaan kenapa anak sulungnya belum juga menikah.

Banyak cara untuk membahagiakan orang tua, menikah mungkin salah satu jalannya. Tapi tolong untuk saat ini biarkan saya mengambil jalan memutar. Biarkan saya membahagiakan orang tua dengan cara saya sendiri. Cara yang mungkin buat orang-orang di luar lingkaran itu sukar dipahami.

Senin, 13 Januari 2014

Cermin Usang

Aku terperanjat. Sontak melangkah beberapa acuan mundur ke belakang. Langkah tanpa koordinasi yang membuatku sedikit terjengkang. Untung masih ada pinggiran bufet yang bisa kujadikan sanggaan badan yang bereaksi tanpa prediksi.

Sejenak aku terdiam, berusaha menenangkan diri. Mengatur nafas yang tadinya berpacu seperti dikejar-kejar waktu. Lama. Ketenangan tidak kunjung datang, aku masih saja ketakutan. Nafas masih saja menderu. Detak jantung kurasakan lebih cepat beberapa kali dari biasanya. Keringat mulai membanjiri dahi kemudian menjalar ke tengkuk dan punggung. Kuyup.

Aku melirik ke tempat dimana tadi aku menemukan sedikit janggal. Sebuah pojokan temaram dimana di dindingnya menepel sebuah cermin usang yang tidak pernah terjamah rupa. Mungkin sudah sedemikian lama dia tidak bertemu bayangan yang tergambar. Sepertinya dia hanya mencumbui debu. Bersahabat dengan sinar matahari yang terbias dari celah-celah atap rumbia yang tidak kalah usang.

Penasaran, aku beringsut mendekat. Melangkah jingjit guna meminimalisir suara yang yang pasti tercipta. Pelan-pelan sampai aku merasa siap untuk melihat lagi ke arah cermin yang tadi menampilkan sosok yang tidak aku kenal. Entah keberanian dari mana yang tersulut saat itu, yang pasti aku hanya ingin membuktikan kepenasaranku. Membuktikan apa yang tadi kulihat bukan sekedar bayangan semu seperti yang selalu terbentuk di dalam kepala. Aku hanya mencari tahu.

Jarak sudah sedemikian dekat, ada perasaan ingin mundur dan membiarkan apa yang baru saja kejadian menjadi misteri tanpa pembuktian. Tapi keinginan untuk terus mendekat justru lebih besar hingga kini aku tepat berdiri di depan cermin misterius itu. Aku menatap lurus ke arahnya, berharap ada yang berubah seperti saat aku terjengkang ke belakang. Tidak ada perubahan. Yang teramati hanya debu tebal yang menempel seperti karat. Tidak ada bayangan padahal aku jelas berada tepat di depannya. Aneh.

Aku terpaku. Tidak lantas beranjak meskipun hasil yang kuharapkan tidak aku temukan. Aku diam. Menunggu. Aku yakin pasti ada sesuatu. Gemetar aku mengangkat sebelah tanganku, mencoba menyibak sedikit debu supaya lebih banyak cahaya yang terkumpul. Belum genap tanganku sampai pada permukaan cermin, tiba-tiba muncul bayangan seperti yang aku temui tadi di awal. Kali ini aku tidak melangkah mundur ataupun terjengkang. Kali ini aku tetap berdiri di hadapannya seperti menantang.

“Kamu siapa?” Seperti orang gila aku bertanya pada bayangan dalam kaca. Tidak ada jawaban. Hanya hening yang terpapar.

Aku kemudian mengulang, “Kamu siapa?” Lama tidak ada sahutan hingga aku hampir kehilangan kesabaran. Kuangkat tanganku, kukepalkan kemudian berniat untuk menghantam. Tapi aku lantas diam dengan kepalan mengambang di udara. Sosok di dalam cermin kusam itu tersenyum memamerkan sederetan giginya yang rapi. Perlahan dia kudengar tertawa atau lebih tepatnya mentertawakan. Sementara aku hanya bisa diam. Memperhatikan.

Dia masih saja tertawa. Menggema di hampir seluruh ruangan. Suara tawanya seperti penuh ejekan meskipun aku tidak tahu apa yang dia tertawakan atau apa yang dia cibirkan. Perlahan tawanya hilang. Perlahan aku bisa menginderai sosoknya dengan benar. Dengan jelas. Tapi aku tidak punya ingatan sedikitpun tentang sosok itu, mungkin ada sedikit tapi semuanya baur. Bias oleh cahaya yang semakin lama semakin terkumpul seperti pusaran. Aku berusaha mengingat, siapakah dia. Kenapa dia bisa muncul di dalam cermin yang aku gunakan untuk berkaca.

“Kamu tidak tahu siapa aku?” Dia bertanya balik dengan intonasi yang mengintimidasi. Aku menggeleng tanda aku tidak berhasil membongkar kotak memori untuk mengingat siapa sosok itu. Dia kemudian tertawa. Dengan isyarat tangannya dia memintaku untuk semakin mendekat.

Aku melangkah, awalnya ragu kemudian pasrah seperti dituntun tanpa bisa melakukan perlawanan. Di depan cermin usang itu aku mendekatkan telingaku. Perlahan kudengar dia berbisik “Aku adalah kamu!” Kaget, kujauhkan telingaku. Kutatap dia seakan meminta penjelasan. Tanpa perlu ditanya sepertinya dia sudah siap menjawab.


“Kamu berubah! Semenjak memiliki pasangan, kamu berubah. Sedemikian berubahnya sampai kamu tidak lagi mengenali siapa dirimu sendiri” Setelah mengatakan itu sosok dalam cermin usang menghilang dan yang aku rasakan hanyalah hitam.