Mobilnya sudah terparkir di satu-satunya car port di rumah
itu, karenanya aku memarkirkan mobilku di jalanan komplek persis di depan
rumahnya. Sedikit berlari aku menuju teras yang hanya berukuran 4x3 meter,
hujan yang turun cukup deras membuatku sedikit kuyup padahal tidak lebih dari
hitungan jari aku tadi berlari.
Kuketuk pintunya. Sekali. Tidak ada jawaban. Dua kali. Masih
tidak ada jawaban. Kukeluarkan telepon selulerku hendak meneleponnya, tapi
belum tuntas aku memijit tombol call, pintu sudah keburu terbuka. Dia muncul
dari balik pintu. Mukanya pucat. Matanya sayu.
Refleks kuletakan punggung tanganku di dahinya. Tidak panas.
Dia sudah tidak demam, padahal tadi waktu aku di kantor dia mengabari kalau dia
demam. Kuletakan bungkusan bubur yang sengaja kubeli tadi di jalan sambil
menuju ke rumahnya. Dia kulihat berbaring lagi di sofa depan tv sambil menonton
film kegemarannya. CSI. Film yang seringkali membuatku cemburu karena merasa
dinomorduakan. Konyol.
Selang nebulizer terlihat berantakan di dekat sofa. Dia
pasti sesak lagi pikirku, tapi seperti biasa dia tidak pernah mau bilang. Dan
kalau aku mempermasalahkan, sudah pasti sebuah pertengkaran yang akan dijelang.
Makanya aku lebih banyak diam, kecuali dia yang bercerita duluan.
Kuambil sendok dan menyodorkan bubur yang tadi kubeli. Dia
menggeleng. Katanya dia tidak bernafsu untuk makan. Tapi aku tidak menyerah,
aku duduk di sebelahnya kemudian menyendoki bubur tadi dan menyuapinya. Dia
memakannya. Mungkin terpaksa. Aku tidak peduli. Bubur hanya habis
seperampatnya, tapi setidaknya ada yang makanan yang masuk sebelum dia memakan
obatnya.
Tidak lama kemudian dia tertidur. Dengkuran halus teratur
terdengar lebih riuh daripada suara film yang sedang diputar di televisi.
Kuambil remote dan kemudian aku matikan tayangannya. Waktu sudah hampir jam
sepuluh malam. Kunaikan selimutnya hingga menutupi dada, kukecup keningnya dan
aku beranjak pulang.
Kunci yang masih menempel di lubang pintu aku lepas.
Kusimpan di guci tempat biasa dia meletakan kunci mobilnya. Perlahan kututup
pintu dan menguncinya dari luar. Kunci yang sengaja pernah dia titipkan agar
kapan saja aku bisa berkunjung ke rumahnya. Kunci yang memiliki simbol
kepercayaan yang dihadiahkan kepadaku. Kepercayaan yang tumbuh begitu saja
padahal hubungan kami baru saja dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar