Halaman

Jumat, 18 Juli 2014

Mencederai Janji

Aku mungkin sedang mencederai janji.

Ketika belum ada yang pasti, aku pernah berujar kalau aku akan menerima yang pertama kali datang membawa kepastian. Mungkin semacam janji yang diucapkan ditengah sebuah keputusasaan. Sudah lama mencari, menunggu dan menjajal banyak kesempatan yang kesemuanya berbuah penolakan. Aku layaknya hidup dan bertahan dari satu penolakan ke penolakan lainnya. Penolakan yang membuat jiwa ini kuat sekaligus rapuh diujungnya. Dibayangi keputusasaan.

Putus asa tapi tidak menyerah. Itu yang aku lakukan. Dengan sisa-sisa tenaga dan keyakinan yang masih menempel di badan aku terus mencoba banyak peruntungan. Seperti melempar dadu ke arena perjudian. Seperti memelihara sebuah kartu yang diyakini akan membawa pada gerbang kemenangan pada sebuah judi taruhan. Aku terus mencoba, berusaha terus hidup dengan memelihara bara yang lambat laun seperti hilang titik apinya meninggalkan arang. Aku pernah berdoa agar datang angin yang bisa meniup bara yang mungkin masih tersisa di sela-sela tumpukan arang sehingga tumbuh lagi api dari sebuah keniscayaan.

Aku ingat awal tahun kemarin. Dengan lunglai kembali aku menggadaikan kepercayaanku pada sebuah janji. Tidak berharap banyak karena aku takut kecewa padahal kecewa sudah jadi makanan sehari-hari. Kecewa seolah sudah menjadi bayangan yang mengikuti kemana penggelembung janji berarak ditiup angin. Jadi pikirku kalau kecewa bertambah sekali lagi anggap saja hiburan. Pengisi jambangan kekecewaan yang sudah sejak lama menjadi sebuah tempat penyimpanan rahasia.

Penantian berbuah keputusan. Kali ini takdir sedang berpihak padaku yang justru tidak berharap sesuatu yang lebih. Kabar gembira justru hadir ketika aku berpasrah sepasrah-pasrahnya. Kabar yang memompa kepercayaan diriku yang sempat kaku digigilkan banyak kegagalan. Waktu itu aku berpikir ini jawaban atas doa yang selama ini dihembus ke udara. Pengejawantahan harap yang pernah aku ucapkan di depan multazam. Tempat paling mulia di dunia untuk berdoa.

Setidaknya aku merasa tenang dalam menentukan langkah ke depan. Tidak lagi gamang karena aku sudah menemukan pegangan. Kontrak memang belum dibubuhkan tanda tangan tapi secercah harapan sudah terbayang di ujung pandangan. Hidup kembali di hela sambil menunggu waktu untuk merealisasi jawaban atas semua doa yang pernah keluar dalam bentuk kata. Hidup kembali bersemangat karena ada suntikan ketenangan yang berwujud sebuah kepastian.

Namun kemudian datang sebuah tawaran. Jawaban dari hal serupa yang aku pertanyakan satu tahun silam. Lebih dulu digagas sebelum yang yang belakangan menemukan jawaban duluan. Aku berproses, mengikuti tahapan demi tahapan karena aku merasa yang sudah bertemu jawaban masih belum dibakukan dalam sebuah perjanjian. Terdengar serakah seperti kebanyakan sifat manusia. Aku berdalih hanya menjajal banyak kesempatan, siapa tahu Tuhan memang mempersiapkan sesuatu yang mungkin lebih baik dari yang datang duluan. Atau ini hanya sekedar cobaan? Fatamorgana yang muncul ketika perasaan dilanda kehausan karena diganjar sekian banyak kekecewaan. Entahlah. Yang pasti aku masih berjuang, setidaknya mencoba sampai batas akhir yang mampu aku berikan.

Lambat laun yang datang belakangan menampakan kepastian. Belum seratus persen memang, karena masih ada beberapa tahapan yang harus dilewatkan. Kans aku besar, hasil menghitung probabilitas dari berbagai aspek keadaan. Dan aku gamang, sulit memutuskan yang mana yang akan menjauhkan dari kemudaratan. Yang awal datang menggoda karena menjanjikan keadaan yang mendekatkan dengan orang-orang tersayang. Yang datang belakangan menggoda untuk dijajal karena menjanjikan aku untuk lebih berkembang. Bermetamorfosa dari sebuah cita-cita menjadi kenyataan. Sebuah pelunasan terhadap janji pada diri yang selalu digaung semenjak aku belum matang secara pemikiran.

Aku bingung Tuhan, terus terang. Tidak ingin salah mengambil langkah yang justru akan mengaburkan sesuatu yang sebetulnya sudah bisa digenggam. Aku bimbang, banyak pertimbangan yang justru membuat jalinan di dalam kepala menjadi seperti bola kusut yang tidak bisa dirunut mana ujung dan mana pangkal. Semua berlarian, menyajikan gambar yang saling bertindihan. Tidak jelas. Semua berteriak, menimbulkan gaduh pada terowongan terowongan hampa sehingga gema mengetuk-ngetuk dinding dalam kepala. Membuatnya seperti akan pecah.

Apabila aku menghkianati keputusan yang pertama apakah artinya aku mencederai janji yang pernah aku buat sendiri? Apakah ketika aku melepaskan genggaman yang datang belakangan artinya aku akan terus berhutang pada diri yang sudah diiming-imingi manisnya janji yang ternyata tidak terealisasi? Entahlah Tuhan, aku sungguh bingung. Bisakah Engkau turut campur memilihkan? Paling tidak menunjukan mana yang lebih baik tidak hanya untuk aku tapi untuk banyak orang. Menyelusuplah ke dalam hatiku Tuhan, menjelmalah menjadi sebuah keyakinan yang tidak bisa lagi tergoyahkan. Tolong aku.


Setelah beberapa tahun kebelakang aku berjuang mendapatkan beasiswa untuk pendidikan doktorku dan seringkali gagal. Tahun ini aku mendapatkannya. Dua tidak hanya satu. Yang pertama datang untuk di dalam negeri, dan yang hadir belakangan untuk menjajal hidup di negeri orang. Yang pertama datang sudah pasti tinggal membubuhkan tanda tangan di kertas perjanjian, sementara yang muncul setelahnya membuatku masih menjejak sebelah kaki. Tinggal selangkah lagi juga akan berbuah pasti. Aku benci memilih, tapi sepertinya aku tidak punya pilihan untuk tidak memilih. Tolong aku didoakan sehingga aku bisa memilih jalan yang benar dan tidak menyesatkan.

Senin, 07 Juli 2014

Teruntuk Jarak

Aku berbisik pada angin, mengirim isyarat pada bulan sabit yang menggantung di cakrawala hitam yang tergambar sempurna tadi malam. Tidak banyak yang ingin aku sampaikan kecuali kerinduan yang seringkali memberangus pijakan bahwa semua ini sudah disepakati. Tidak banyak yang ingin aku utarakan, hanya ingin membewarakan bisikan hati kalau banyak masa yang sudah dilewatkan dengan membuat goresan-goresan pagar di tanah halaman belakang hingga berbuah sebuah perjumpaan yang terasa jarang.

Memang tidak selalu perasaan ini diberondong rasa ingin saling berpandangan. Tidak selalu tangan ini merasa perlu untuk saling menggenggam, tapi selalu ada masa-masa dimana hati berasa sedang di kuadran paling bawah dari sebuah lingkaran. Nyaris menyentuh dasar. Seperti menaiki bianglala tetapi pada posisi terbawah ketika kita baru saja menaikinya sementara ketika kita menengadah terpampang pemandangan yang indah dengan banyak lampu-lampu berkelipan menyodorkan setangkup iri yang tidak bisa dijelaskan. Kata lenyap terbakar udara tepat ketika kita membuka suara. Bisu digigilkan dingin.

Gemetar aku melangkahkan kaki di setapak kecil yang nampak mengkerdilkan. Beringsut dari satu koordinat ke koordinat lain berharap hati segera terbebaskan. Bukan berharap bertemu dengan ujung yang akan mempertemukan karena jadwal sudah disusun dengan matang. Kapan bisa bersentuhan dan kapan kembali terenggangkan sudah dituliskan rapih di lembaran-lembaran lontar. Hati hanya berharap beranjak dari kubangan kesepian. Lepas dari jeruji kesendirian sehingga bisa berlarian lagi di taman. Bermain ayunan atau prosotan seperti hidup yang tanpa beban. Hidup yang tidak diganduli perasaan kosong hanya karena sendirian.

Sering aku terbebas dari belenggu itu tapi seperti halnya siklus, aku akan menjejak di titik yang sama pada lain kesempatan. Kembali kaki terperosok pada kubang kesedihan sehingga sulit beranjak padahal sekuat tenaga sudah dikerahkan maksimal. Bodohnya ingatan jangka panjang menolak untuk dipanggil ulang. Entahlah dia berkomplot dengan siapa. Mungkin dengan keadaan. Atau bisa jadi bersekutu dengan setan. Senang melihat hati yang lagi-lagi terseok membawa beban buah dari perasaan kosong yang hadir tanpa diundang. Riang menyaksikan hati yang meringis karena menahan tangis akibat teriris buluh kerinduan.

Katanya aku disuruh mencari berbagai kesibukan agar semua luka bisa dialihkan. Katanya aku dianjurkan untuk banyak berkawan sehingga ada yang bisa mendengarkan atau setidaknya berbagi penderitaan. Dan betul, semua memberikan jawaban. Mengurangi penat yang menghimpit, memberikan suntikan udara pada ruang yang terasa hampa. Tapi ketika aku kembali ke ruangan yang memaksa aku sendirian, maka perasaan itu lagi-lagi datang tanpa diundang. Seandainya aku tidak perlu beristirahat dari menyibukan diri, seandainya kawan-kawan itu bisa terus bersisian sehingga membentuk ingkaran dalam diagram, tentu aku tidak perlu berjalan pulang pada kesendirian.

Lalu hati bertanya sampai kapan. Sampai kapan akan terus menggunakan banyak kesibukan sebagai sebuah bentuk pelarian. Sampai kapan kawan-kawan bisa diandalkan dan diharapkan selalu datang ketika hati remuk redam. Kedewasaan tidak datang dari pelarian dan uluran tangan para handai taulan. Kedewasaan justru hadir dari sebuah keterpaksaan. Keterpaksaan mengerti bahwa titah alam adalah sesuatu hal yang memang harus dijalankan. Suka atau tidak suka kita diharuskan belajar menjadi dewasa dengan caranya sendiri. Dalam kasus aku sekarang adalah menjalani hubungan jarak jauh yang membatasi pertemuan.

Bohong kalau aku bilang hubungan terpisah jarak mudah untuk dijalankan. Dusta kalau aku kemudian berujar aku selalu keluar sebagai pemenang ketika diberondong rasa rindu yang tidak lantas bertemu jawaban. Tapi aku belajar menikmati, dipaksa untuk menikmati lebih tepatnya. Aku belajar bersabar menghitung perubahan pagi-siang-petang hingga malam dan kembali pagi lagi. Terus menerus berulang sampai aku sampai pada tujuan. Sebuah pertemuan yang layak untuk dirayakan. Sebentuk jumpa yang membuat nafas lega untuk dihela.


Jarak, berbaik hatilah pada kami. Aku tahu engkau tidak mungkin diperpendek dan dimanipulasi. Tapi selalu ada jalan keluar yang sekarang disebut dengan teknologi. Ada suara di ujung jalan yang bisa menghangatkan hati ketika berkecamuk perasaan seakan sendirian. Karenanya dukunglah apa yang tengah kami jalankan. Janganlah engkau berkomplot dengan hati sehingga memperburuk perasaan yang harusnya bebas berkeliaran untuk sekedar menghilangkan penat dan kesepian. Jangan pula bersekutu dengan kepala dan memboikotnya sehingga tidak bisa menterjemahkan keadaan. Jarak, aku mohon. Tidak hanya sekarang, tapi untuk seterusnya sampai kami menemukan jalan untuk pulang sambil berjalan bersisian.