Halaman

Rabu, 27 Maret 2013

Ala Orang Dewasa


Aku selayaknya dia adalah pemuja drama, tapi kami selalu meletakannya di halaman tanpa pernah sekalipun membawanya masuk ke dalam.

Katanya ini adalah hubungan ala orang dewasa. Hubungan yang tidak perlu mengumbar banyak kata cinta ke udara. Hubungan yang tidak patut dibumbui oleh drama banyak babak yang justru akan menjerumuskan hubungan itu sendiri pada sebuah prahara. Awal dari kehancuran karena terlalu banyak intrik seperti sinetron striping yang selalu mencari-cari alasan untuk memperpanjang durasi tanyang.

Tidak. Aku tidak keberatan. Aku justru ditantang untuk terus belajar, bukan hanya belajar menerima ketidakbiasaan karena ternyata aku sekarang tidak sendirian. Tapi juga belajar bagaimana merebahkan tangguh, melunturkan ego dan meredam letupan emosi tak perlu demi sebuah tujuan yang lagi-lagi tidak diperbincangkan secara mendalam. Katanya orang dewasa sudah saling tahu kemana tujuan akan dilabuhkan. Diskusi berkepanjangan hanya menghabiskan banyak energi dan seringkali malah saling berbenturan emosi.

Bagaimanapun sudah sedemikian lama aku sendirian. Terbiasa memutuskan banyak hal tanpa meminta pandangan orang lain termasuk pasangan. Kesendirian membuat aku sedemikian mandiri, kesendirian membuat aku merasa mampu melakukan ini dan itu tanpa bantuan dari siapapun. Kesendirian membuat aku terninabobokan nyaman. Tidak lagi mencari karena otak seperti sudah teraklimatisasi. Buat apa berdua kalau dengan sendiri semua juga bisa dijalani.

Dan aku dikagetkan. Terkejut dengan banyak ketidakbiasaan yang ternyata harus dikompromikan. Terbelalak oleh perasaan yang jauh lebih nyaman ketika melakukan hal remeh temeh seperti melaporkan dimana posisi kita sekarang. Dulu tidak pernah ada yang peduli dimana aku berdiri. Tidak pernah ada yang mencari ketika malam-malam justru aku habiskan dengan melakukan hal yang aku senang. Sebut saja sekarang aku jet lag.

Tidak ada yang tidak bisa dipelajari. Begitupun hubungan ala orang dewasa yang sekarang ini sedang aku jalani. Hubungan tanpa banyak telpon berdering untuk saling mengawasi. Hubungan minim interogasi karena kami mencoba untuk saling mempercayai. Menganggap bahwa semua akan terpulang pada janji yang diucapkan ketika semua ini dimulai.

Aku mencintainya, dan dia tahu itu. Dia mencintaiku dan akupun mengetahuinya. Kalau sudah begitu kenapa harus saling berlomba untuk memamerkan rasa cinta? 

Kamis, 21 Maret 2013

Fragmen satu


Mobilnya sudah terparkir di satu-satunya car port di rumah itu, karenanya aku memarkirkan mobilku di jalanan komplek persis di depan rumahnya. Sedikit berlari aku menuju teras yang hanya berukuran 4x3 meter, hujan yang turun cukup deras membuatku sedikit kuyup padahal tidak lebih dari hitungan jari aku tadi berlari.

Kuketuk pintunya. Sekali. Tidak ada jawaban. Dua kali. Masih tidak ada jawaban. Kukeluarkan telepon selulerku hendak meneleponnya, tapi belum tuntas aku memijit tombol call, pintu sudah keburu terbuka. Dia muncul dari balik pintu. Mukanya pucat. Matanya sayu.

Refleks kuletakan punggung tanganku di dahinya. Tidak panas. Dia sudah tidak demam, padahal tadi waktu aku di kantor dia mengabari kalau dia demam. Kuletakan bungkusan bubur yang sengaja kubeli tadi di jalan sambil menuju ke rumahnya. Dia kulihat berbaring lagi di sofa depan tv sambil menonton film kegemarannya. CSI. Film yang seringkali membuatku cemburu karena merasa dinomorduakan. Konyol.

Selang nebulizer terlihat berantakan di dekat sofa. Dia pasti sesak lagi pikirku, tapi seperti biasa dia tidak pernah mau bilang. Dan kalau aku mempermasalahkan, sudah pasti sebuah pertengkaran yang akan dijelang. Makanya aku lebih banyak diam, kecuali dia yang bercerita duluan.

Kuambil sendok dan menyodorkan bubur yang tadi kubeli. Dia menggeleng. Katanya dia tidak bernafsu untuk makan. Tapi aku tidak menyerah, aku duduk di sebelahnya kemudian menyendoki bubur tadi dan menyuapinya. Dia memakannya. Mungkin terpaksa. Aku tidak peduli. Bubur hanya habis seperampatnya, tapi setidaknya ada yang makanan yang masuk sebelum dia memakan obatnya.

Tidak lama kemudian dia tertidur. Dengkuran halus teratur terdengar lebih riuh daripada suara film yang sedang diputar di televisi. Kuambil remote dan kemudian aku matikan tayangannya. Waktu sudah hampir jam sepuluh malam. Kunaikan selimutnya hingga menutupi dada, kukecup keningnya dan aku beranjak pulang.

Kunci yang masih menempel di lubang pintu aku lepas. Kusimpan di guci tempat biasa dia meletakan kunci mobilnya. Perlahan kututup pintu dan menguncinya dari luar. Kunci yang sengaja pernah dia titipkan agar kapan saja aku bisa berkunjung ke rumahnya. Kunci yang memiliki simbol kepercayaan yang dihadiahkan kepadaku. Kepercayaan yang tumbuh begitu saja padahal hubungan kami baru saja dimulai.

Rabu, 20 Maret 2013

(pasti) Berujung


Aku masih memiliki keyakinan kalau suatu hari jalan ini akan berujung. Entah kapan, karena sampai sejauh ini yang kutemui selalu hanya serupa simpangan. Simpangan yang mau tidak mau membuatku berhenti sejenak dan memilah ke arah mana kaki ini harus dilangkahkan.

Selain lurus ke depan, jalanan juga menghadirkan belokan ke kanan, ke kiri dan awahan untuk beringsut mundur ke belakang. Dan aku selalu mengeliminasi opsi untuk mengambil jalanan yang pernah dititi. Mundur ke belakang hanya akan membuatku semakin jauh ketinggalan. Padahal waktu terus diputar, kehidupan terus dijalankan.

Sering kali aku memilih untuk terus lurus, mengabaikan belokan ke kiri ataupun ke kanan. Aku pikir dengan terus lurus jalanan akan lebih mudah untuk dilalui. Sering kali benar, tapi tidak jarang juga yang kutemui adalah sebuah kebuntuan. Jalan berujung rintangan yang tidak mengantarkan aku pada sebuah tujuan. Terpaksa aku berjalan memutar, membuka setapak asing sambil berharap menemukan jalanan besar yang tidak lagi membingungkan.

Tujuan. Apa yang aku ketahui tentang tujuan? Nihil. Aku hanya merasa kalau harus terus berjalan. Pernah aku menuliskan tujuan pada lembar-lembar lontar dan menyelipkannya di ikatan pinggang. Lembaran yang kemudian aku baca ulang ketika gamang menghampiri tanpa ada permisi. Tujuan yang membuatku merasa tetap harus hidup walau kenyataan hanya selayak ilusi. Mudah dibayangkan tetapi sulit untuk direalisasi.

Dan aku tersadar. Tujuan yang aku tuliskan tidak sesuai dengan harapan banyak orang. Awalnya aku tidak peduli, memilih menulikan telinga dan membutakan mata. Aku tidak hidup untuk mereka. Aku tidak berkewajiban memuaskan dahaga mereka mengenai cinta. Tapi aku salah. Lagi-lagi salah. Bagaimanapun aku dan mereka akan beririsan pada banyak hal. Bersinggungan pada kepentingan-kepentingan kolektif yang ternyata tidak bisa begitu saja diabaikan. Kompromi dijadikan jalan keluar. Melunakkan ego dijadikan landasan untuk membuat banyak pemakluman.

Apa yang aku dapatkan kemudian? Tidak ada. Aku tetap saja gamang. Bingung mau terus lurus ke depan atau berbelok ke kiri dan ke kanan. Tujuan yang semula dipegang lambat laun teruapkan. Tidak lagi jadi sebuah prioritas yang ingin dilakoni. Hidup dengan sederhana. Membahagiakan banyak pihak. Tidak lagi ramai mengajukan tuntutan. Berhenti mempertanyakan. Mengurangi gugatan. Cukup.

Impian yang dari dulu dilambungkan ketika mulai tersadar kalau aku tidak sama, pelan-pelan meranggas. Keinginan yang semula menggebu ketika mulai merasa bahwa aku berbeda, lama-lama berkurang. Aku kemudian merevisi arti bahagia itu sendiri. Menyesuaikan dengan putaran-putaran angka yang semakin lama semakin membesar. Tumbuh subur dipupuki kenangan dan pengalaman.

Jalan ini pasti berujung. Entah kapan. Karena sampai saat ini aku masih saja sendirian. Meski  (mungkin) bahagia.

Sabtu, 16 Maret 2013

Penyangkalan


Pernah marah sama Tuhan?

Tidak

Pernah mempertanyakan?

Saya sudah berhenti

Kenapa?

Mempertanyakan tidak membuat saya menjadi siapa-siapa

Lantas?

Tidak ada lantas. Saya masih tetap hidup (mungkin) bahagia

Hidup dalam penyangkalan?

Tidak ada yang saya sangkal. Saya hanya menjaga perasaan banyak orang.

Apakah itu kewajiban?

Bukan. Saya merasa cukup saya saja yang menanggung apa yang tidak perlu mereka tanggung.

Ah lagi-lagi kamu menyangkal.

Mereka bilang saya hidup dalam penyangkalan padahal saya tidak tahu apa yang saya sangkal. Takdir Tuhan? Tidak. Saya tidak menyangkal itu. Tidak lagi. Dulu mungkin pernah. Tapi sekarang tidak. Buat apa disangkal kalau ternyata saya bisa berdamai. Buat apa melelahkan diri dikejar aktivitas mempertanyakan kalau sebetulnya saya sudah mengantongi sebuah jawaban.

Mereka bilang saya menyerah. Tidak berusaha menjadi siapa saya yang seharusnya. Bagaimana mereka bisa sebegitu yakin padahal saya juga tidak tahu harus menjadi apa saya seharusnya. Bisa jadi mungkin saya memang menyerah, tidak lagi bertarung untuk hal-hal yang awalnya saya amini. Tapi waktu mengajarkan itu. Bagaimanapun lantang menyuarakan ternyata tidak membuat saya terbebaskan. Saya masih seperti saya yang dulu. Hidup (mungkin) bahagia dengan banyak ketakutan di kepala.

Saya tidak bisa menyenangkan semua orang. Memuaskan pihak-pihak yang merasa memiliki kewajiban mengingatkan saya untuk terus bertahan pada apa yang sebetulnya tidak saya yakini dengan benar. Kata mereka saya disuruh bertanya pada hati, padahal mereka tidak tahu hati saya sudah sedemikian bebal. Kapalan karena ditindih berat beban dari awal saya menyuarakan kegamangan.

Tapi apa yang saya dapatkan? Tidak ada kecuali kesakitan. Penderitaan yang ternyata mendewasakan. Pelajaran yang membuat saya belajar untuk bungkam. Membekap suara yang pernah lancang terlontar. Mengikat keliaran imaji pada ranah yang dibuat oleh sebagian besar orang yang merasa dirinya Tuhan.

Apakah karena saya melakukan itu semua lantas saya dikatagorikan hidup dalam penyangkalan? Entahlah. Saya juga tidak tahu.

Selasa, 12 Maret 2013

Surga Kecil Bernama Derawan

Derawan. Mungkin sebagian besar kita pernah mendengar kepulauan yang beberapa tahun terakhir ini sedang naik daun. Beberapa majalah travel dalam maupun luar negeri bahkan mengkatagorikannya sebagai tempat wisata yang wajib dikunjungi sebelum kita mati. Kepulauan yang katanya masih sangat asri nan alami. Kepulauan yang tidak kalah indah dibandingkan dengan Wakatobi di Bau-Bau maupun Raja Ampat di Papua sana. Katanya.

Sayapun demikian. Hanya tahu mengenai keberadaan kepulauan Derawan dari berbagai majalah dan situs internet yang dikunjungi ketika senggang atau ketika sedang mencari refernsi tempat wisata. Dan saya kemudian menganga melihat keindahan yang ditampilkan kepulauan Derawan perantaraan gambar-gambar yang dipasang di majalah maupun situs internet tersebut. Tidak pernah terbayangkan akan mengunjunginya mengingat biaya yang harus dikeluarkan untuk berwisata ke sana tidak murah. Lagi-lagi katanya.

Dan saya salah. Bulan Januari kemarin saya berempat bersama teman geng jalan-jalan di kantor entah bagaimana awalnya tiba-tiba sudah memiliki tiket penerbangan ke sana lengkap dengan voucher hotelnya. Sebetulnya dari dulu kami merencanakan untuk pergi ke sana, tapi karena masalah biaya kami lebih sering mengeliminasi kemungkinannya untuk direalisasi. Sampai akhir tahun kemarin ketika kami berempat mendapatkan rezeki lebih dan kemudian memutuskan untuk merealisasi mimpi. Mendatangi Kepulauan Derawan.

Kepulauan derawan berada di Provinsi Kalimantan Timur, tepatnya masuk ke Kabupaten Berau. Untuk menuju ke kepulaun ini dari Jakarta ada dua alternatif dan dua-duanya harus ditempuh dengan dua penerbangan. Alternatif pertama rutenya adalah Jakarta – Balikpapan – Berau, dan yang kedua Jakarta – Balikpapan – Tarakan. Kami memilih alternatif yang pertama karena waktu yang dibutuhkan untuk menyebrang sampai ke Pulau Derawan lebih singkat dibandingkan alternatif kedua yang membutuhkan waktu menyebrang hampir 3 jam dari Tarakan.

Pergi dengan budget perjalanan yang tidak terlalu besar, kami berangkat dari Jakarta menggunakan pesawat Lion Air jam 6 pagi dan disambung dengan pesawat Batavia Air pada jam 11 siang waktu setempat. Ketika tulisan ini dibuat maskapai Batavia Air sudah dipailitkan, entah diganti oleh maskapai apa kalau sekarang kita ingin menuju Berau. Sampai di Berau, kami sudah ditunggu oleh mobil carteran yang akan mengantarkan kami ke pelabuhan untuk menyebrang ke Pulau Derawan. Dibutuhkan waktu sekitar 2,5 jam perjalanan darat untuk menuju Tanjung Batu, pelabuhan tempat banyak speed boat yang bisa mengantarkan wisatawan menuju Derawan.

Kondisi laut saat kami menyebrang sedang tidak terlalu bagus. Gelombang tinggi membuat boat yang kami naiki melompat-lompat, apalagi boat kami adalah boat ukuran kecil yang hanya cukup diisi oleh maksimal 5 orang termasuk pengemudi. Doa tidak lepas keluar dari mulut kami berempat karena sejauh mata memandang yang terlihat hanya laut dan gelombang. Saking tingginya gelombang yang ada, baju saya sampai kuyup berulang kali tersiram oleh gelombang yang tingginya melebihi boat yang kami naiki. Kebetulan saya mengambil tempat duduk di bagian depan di sebelah pengemudi boat yang nampak sudah terbiasa.

Waktu tempuh Tanjung Batu – Derawan hanya 30 menit dengan catatan kondisi laut sedang cerah dan tidak ada gelombang. Jadi bisa dibayangkan kalau kemarin itu kami memakan waktu tempuh yang jauh lebih lama dari waktu yang sewajarnya. Cottage kami serupa rumah kayu yang langsung berada di atas laut jadi speed boat yang kami naiki langsung berhenti tepat di bagain depan cottage. Di Pulau Derawan jangan khawatir mengenai tempat menginap, berbagai jenis penginapan terdapat di sana. Mulai dari yang eksklusif sampai yang murah meriah karena memanfaatkan rumah warga yang biasa disewakan.

Salah satu pintu gerbang menuju pulau Derawan

Berbagai jenis penginapan yang bisa dimanfaatkan selama tinggal di pulau Derawan

Untuk ukuran Pulau yang jauh dari mana-mana, Derawan sudah cukup ramai. Perekonomian mulai bergerak seiring dengan banyaknya wisatawan yang datang. Konsekuensi lainnya adalagi Derawan menjadi tidak sebersih apa yang saya dan teman-teman bayangkan. Sampah sudah mulai banyak tercecer di perairan dangkal sekitar pemukiman penduduk dan penginapan. Tapi di luar itu panorama yang disuguhkan pulau derawan memang indah, tidak jauh dengan yang ditampilkan oleh gambar di banyak brosur biro perjalanan.

Sebagai penggila senja, mata saya sungguh terpuaskan oleh senja yang tergambar sempurna di horizon langit berbatas samudera. Lukisan Tuhan yang indah tanpa cacat. Romantis.

Senja yang menggulung penghujung siang

Kolaborasi cantik langit, matahari dan lautan

Bagian pulau yang tidak membosankan untuk dieksplorasi


Lelah yang mengendap di hampir seluruh sendi badan, seketika hilang karena bau laut yang segar dan pemandangan yang indah tak berkesudahan. Aktivitas yang tidak bosan saya lakukan berulang-ulang adalah berjalan di dermaga kayu, menikmati awal titian hingga ujung berupa akhiran. Perlahan-lahan.

Dermaga seolah jalan tak berujung

Dermaga lain yang tak kalah ciamik

Petualangan saya selama di Kepulauan Derawan masih panjang untuk diceritakan, mungkin akan saya ulas di postingan-postingan mendatang. Kalau waktu saya sedikit luang.

Senin, 04 Maret 2013

Suratku


Dear You,

Rasanya nggak perlu meminta maaf untuk semua yang sudah aku lakukan, karena menurutku itu bukan suatu kesalahan, jadi untuk apa meminta maaf. Berjuang untuk sesuatu yang kita yakini benar adanya adalah suatu proses dan dalam berproses itu kesalahan bisa diabaikan, jadi kembali aku tekankan, aku tidak akan meminta maaf karena telah memperjuangkan cinta.

Mungkin selama ini aku berjuang melebihi batas kewajaran, mengambil langkah yang terlalu berani, mengekspresikan perasaan dengan cara yang terlalu brutal. Sehingga aku kini sadar bahwa semua yang aku lakukan justru membuatmu menjauh, membuatku justru kehilangan kesempatan mengenalmu lebih banyak. Ah sudahlah, aku tak perlu menyesal karena memang perjuangan tak perlu disesali dan kamupun tak perlu meminta maaf untuk ketidakpedulianmu padaku.

Ketika malam-malam aku berpikir dan mempertanyakan kenapa kamu begitu sangat tidak peduli padaku, aku sampai pada suatu kesimpulan bahwa kamu memang tidak menyukaiku. Jangankan menyukaiku, belajar untuk mengenalku dengan benar saja rasanya kamu tidak mau. Kalau sudah begitu aku mau apa? Sekuat apapun aku berusaha tetapi kalau kamu tetap di jalurmu aku tak bisa bergerak, aku membatu di tengah perasaan tandus. Tidak berarti apa-apa. Sebenarnya aku sedih. Tapi aku bisa apa?!

Beberapa hari yang lalu, ada seseorang yang menelponku, menyuruhku untuk menjauh darimu. Dia mengaku kalau dia itu pacarmu. Aku tertawa dalam getir, dalam perasaan antara ingin percaya dan ingin buta rasa. Ketika akal sehat memaksaku untuk mempercayainya, maka yang kudapat hanyalah sepi. Tapi ketika egois mengajarkanku untuk buta rasa, aku benar-benar tak peduli kalau kamu memang sudah punya seseorang. Yang aku lakukan adalah terus berharap agar kamu meyakini bahwa kamu hanya terlanjur menjatuhkan pilihan. Coba kamu mengenalku lebih awal, ceritanya pasti lain. Perang batin itu hanya membuatku merasa kerdil.

Sekarang aku sudah membuat keputusan. Aku akan mundur, mungkin untuk selamanya

-aku-