Halaman

Senin, 23 Mei 2011

Istriku Seorang Lesbian

Tenang, bukan saya yang mengalaminya karena saya memang belum menikah. Mungkin judulnya sangat propokativ, seperti halnya saya yang terprovokasi ketika melihat judul tulisan tersebut di salah satu tulisan majalah online sepoci kopi.

Selesai membaca artikel tersebut hati saya perih. Entah saya yang memang cemen atau terlalu mendalami artikel tersebut tapi kenyataannya saya memang sedih. Tidak habis pikir bagaimana seorang laki-laki yang baik kemudian disia-siakan dengan cara dimanfaatkan oleh seorang perempuan (baca : lesbian) untuk keluar dari sebuah masalah.

Seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang belum dikenalnya terlalu lama karena desakan dari pihak si perempuan. Setelah menikah mereka memutuskan untuk segera memiliki anak, dan beruntung sebulan setelah perkawinan si perempuan kemudian hamil. Semenjak kehamilan itu, si perempuan tidak lagi mau disentuh suaminya bahkan setelah kelahiran putri cantik mereka. Masalah tidak lantas selesai sampai disana karena setelah mempunyai anak, si perempuan menjadi lebih berulah yang pada akhirnya keluarlah pengakuan kalau dia adalah seorang lesbian.

Panjang kalau saya ceritakan bagaimana detailnya, tapi kalau mau baca cerita lengkapnya bisa dibaca DISINI.

Saya mengerti bahwa dalam kultur kita, menikah adalah salah satu sarana membahagiakan orang tua. Menikah adalah jalan keluar dari serentetan pertanyaan panjang dari banyak orang yang kadang tidak berhenti mempertanyakan, meskipun kadang pernikahan bukan jawaban akhir dari sebuah pencarian kebahagiaan. Ini pendapat saya, jadi jangan terlalu dipermasalahkan karena bisa saja salah.

Tentang orientasi seksual, saya juga tidak bisa menghakimi. Seseorang terlahir, tumbuh, besar dan berkembang dengan caranya sendiri-sendiri. Jadi ketika mereka sudah sadar benar dan menentukan orientasi seksualnya akan seperti apa, kenapa kita tidak berusaha untuk sekedar menghormatinya. Mereka yang telah memilih orientasi seksual yang mungkin menurut banyak orang tidak sesuai juga berhak memperjuangkan dan mendapatkan kebahagiaannya.

Masalahnya adalah bagaimana memperjuangkan dan mendapatkan kebahagiaan itu. Bukan berarti untuk mendapatkan kebahagiaan, kita harus mengorbankan kebahagiaan orang lain. Kasus laki-laki yang berkeluh tentang istrinya yang seorang lesbian di atas adalah salah satu contoh ketidakbijaksanaan seseorang dalam mendapatkan kebahagiaannya. Apakah untuk membahagiakan kedua orang tua, jalan satu-satunya adalah menikahi laki-laki yang kemudian akan dia rusak kebahagiannya? Saya rasa tidak.

Buat saya, ketika kita sudah memilih sesuatu termasuk orientasi seksual maka kita harus bertanggung jawab penuh terhadap pilihan kita tersebut. Saya yakin pada saat akhirnya memilih dan konsisten dengan pilihannya, semua konsekuensi sudah dipahami benar sehingga tidak adil ketika kemudian kita menghancurkan kebahagiaan orang lain hanya untuk sekedar mendapatkan sebuah kebahagiaan “semu”. Lagi-lagi ini menurut saya, jadi bisa jadi lagi-lagi salah.

Saya jadi teringat curhatan seorang sahabat lesbian yang orientasi seksualnya sudah diketahui orang tuanya tentang hidupnya yang sedang dihadapkan pada tiga opsi pilihan. Mencari pasangan pria dan menikah, memberi pengertian bahwa dia tidak akan menikah dalam waktu dekat, atau memilih egois dengan memutuskan untuk tidak mengabulkan permintaan orang tuanya yang mungkin adalah permintaan terakhirnya. Saya disana ketika dia dalam posisi sulit tersebut, tidak berusaha menginterferensi karena analisis saya mungkin akan salah. Saya hanya memberinya nasihat bahwa hidup dia harus dia yang memutuskan. Dia lebih tahu apa yang dia mau.

Tapi ketika dia balik bertanya kepada saya, akan mengambil langkah yang mana bila berada dalam posisi dia? Maka saya akan mengambil langkah yang pertama. Saya akan menikah, dengan pasangan yang saya lihat kualitas di dirinya bisa merubah saya ke arah yang lebih baik. Yang mungkin bisa memberi saya kebahagiaan lain yang selama ini saya menutup mata tentangnya. Pasangan yang juga bisa menumbuhkan usaha saya untuk mencintainya lahir batin, sampai mati.

Kebahagiaan itu harus diperjuangkan, dan dalam prosesnya pantang untuk mengorbankan kebahagiaan orang lain yang sebetulnya tidak seharusnya terlibat.

Kamis, 19 Mei 2011

Sebuah Analogi

Benda itu semakin berdebu seiring waktu. Tanpa pernah tersentuh, debu menumpuk ibarat karat yang menggerogoti hampir semua permukaannya. Mengaburkan sosok aslinya yang sebetulnya mengkilat dan berkilau.

Semenjak kehadirannya, benda itu tak pernah berpindah tempat. Tetap teronggok di atas meja seperti ketika pertama kali tiba. Kehadirannya dulu mungkin ambigu, didatangkan dengan fungsi yang jelas tapi entah untuk apa. Kalaupun akan disebut sebagai hiasan, benda tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai hiasan. Tapi baiklah, kita sebut saja dia sebagai hiasan meja. Penghuni salah satu sudut yang seringkali terabaikan.

Saya tidak mengerti kenapa dulu benda itu saya datangkan. Dari awal saya tahu kalau saya tidak akan menggunakannya sesuai fungsi. Kegiatan yang seharusnya melibatkan benda tersebut tidak pernah saya jamah, entah karena alasan kesehatan atau karena alasan karena saya memang tidak suka. Jadi kalaupun benda itu digunakan pasti akan melenceng jauh dari fungsi aslinya. Itupun dulu, sekarang dia sudah benar-benar terabaikan. Bak pesakitan yang hanya menempati sebuah pinggiran, dan berdebu.

Kamar saya yang asosial membuatnya semakin tidak pernah terjamah peradaban. Mungkin dulu saya membelinya untuk berjaga-jaga kalau suatu hari kamar saya tidak lagi asosial, ada yang berkunjung kemudian membutuhkan kehadiran benda tersebut. Daripada mengotori ruangan, lebih baik saya menyediakan benda tersebut. Setidaknya membantu saya untuk tidak berjibaku dengan urusan membereskan kamar yang tidak saya suka. Tapi itu hanya sebatas teori. Sampai saat ini kamar saya masih asosial, dan benda itu tetap dingin mengigilkan kebisuan.

Harusnya saya pindahkan saja benda itu, atau kalau perlu saya buang sekalian. Tapi niat itu selalu urung sebelum eksekusinya benar-benar dilakukan. Saya masih berfikir bahwa suatu saat saya akan membutuhkan benda tersebut, entah akan sesuai dengan fungsinya ataupun tidak.

Ada sedikit ketidakrelaan di hati saya ketika harus sekedar menyingkirkannya. Entah kenapa, tapi rasanya berat. Seperti akan berpisah dengan sahabat lama yang sudah menemani saya bertransformasi. Sahabat yang menjadi saksi bisu tentang harapan-harapan yang saya umbar ke udara. Mungkin dalam ketidakterjamahannya, diam-diam dia mengucapkan amin atas semua doa yang saya ucapkan. Atau bisa jadi dia ikut berdoa tentang sesuatu yang akan membuatnya menjadi difungsikan. Entahlah.

Tapi kemarin akhirnya saya menyerah. Saya buang benda itu ke dalam tempat sampah di depan kamar. Bukan karena saya mengubur semua impian yang berkenaan dengan benda tersebut, bukan juga saya ingin menyelamatkannya dari kesunyian panjang. Satu langkah ceroboh membuatnya membentur lantai dan menjadikannya serpihan. Umurnya tidak panjang, bahkan dia berakhir sebelum dia bertemu jodohnya.

Setelah kejadian itu kemudian saya berdoa, semoga saya tidak bernasib seperti asbak berdebu yang saya simpan di atas meja. Dipaksa menyerah oleh keadaan ketika belum bertemu dengan pasangan yang seharusnya. Sebatang rokok.

Senin, 16 Mei 2011

Gamang

Kesimpulan obrolan saya dengan teman yang sedang berada di benua lain adalah : saya nggak tahu apa yang sebetulnya saya mau.

Sesederhana itu.

Bahkan yang menyimpulkan rangkaian obrolan panjang melalui BBM itu juga saya. Jadi saya sebetulnya sudah tahu biang masalahnya, obrolan tersebut hanya bentuk penguatan opini saya terhadap diri saya sendiri melalui sudut pandang orang lain. Mungkin terlihat rumit, tapi jangan khawatir saya memang rumit.

Bagaimanapun saya butuh teman diskusi. Teman yang mengerti benar siapa saya, tahu (sedikit) mau saya seperti apa, dan teman yang ada bukan untuk menghakimi. Saya memiliki teman-teman seperti itu, teman-teman yang ternyata sudah bahagia dengan jalan yang mereka tempuh masing-masing. Teman-teman yang sudah sangat tahu apa mau mereka, dan kemudian memperjuangkannya. Saya ikut bahagia ketika perjuangannya membuahkan hasil seperti yang sekarang mereka alami. Saya senang meskipun akhirnya teman-teman tersebut seperti terenggut paksa dari cengkraman. Ada, tetapi tidak lagi nyata.

Dan saya yang paling terlambat tahu, bahkan belum tahu sampai saat ini. Sebodoh itukah saya sampai-sampai tidak tahu apa yang saya mau dalam hidup ini. Tapi sepertinya bodoh tidak cocok untuk disandingkan dengan terlambat mengetahui keinginan dalam hidup. Kenapa? Karena menurut saya hidup tidak bisa dipelajari. Hidup hanya bisa dijalani kemudian kita belajar dari perjalanan tersebut. Memang apa bedanya? Silahkan cari tahu sendiri.

Mungkin saya masih gamang, bimbang menentukan jalan yang akan saya lewati kedepannya. Usia boleh hampir 30 tahun, tapi ternyata angka tidak mencerminkan kepandaian menentukan langkah yang seharusnya diambil. Otak dan hati saya seringkali tidak bisa diselaraskan. Mereka saling memblokir jalan yang awalnya sudah saya yakini untuk dilewati. Kalau seperti ini saya (lagi-lagi) terpuruk dan kembali ke titik nol. Bingung sendiri.

Saya orangnya memang banyak pertimbangan. Dan hal itu ternyata menyulitkan saya sendiri, memberatkan langkah kaki. Saya ingin menyenangkan orang-orang yang terlingkarkan dengan hidup saya, tapi ternyata tidak mudah kalau dengan cara yang saya punya. Mau tidak mau saya harus menyelaraskan berbagai kepentingan dengan kebahagiaan saya. Kalau sudah seperti ini ingin rasanya menetas menjadi egois. Tidak banyak mempertimbangkan orang lain dan hanya memperjuangkan kebahagiaan saya. Sayang saya tidak seberani itu.

Jadi salahkan saya saja kalau memang ternyata sampai sekarang saya belum tahu apa yang sesungguhnya saya mau. Banyak keinginan yang bertentangan dengan norma, banyak harap yang bertabrakan dengan dosa. Dan itu yang kemudian membuat gamang saya semakin kronis, semakin mengaburkan apa yang pernah dan masih tergambar jelas di ujung penglihatan. Saya ingin bahagia, saya ingin kedua orang tua saya bahagia, saya ingin semua pihak yang langsung beririsan dengan saya juga merasa bahagia. Andai semuanya bisa saya sederhanakan dalam sebuah persamaan matematika yang mudah dipecahkan.

Tapi katanya bukan hidup kalau tidak banyak pertentangan. Bukan hidup kalau tidak pernah bingung ketika sampai pada sebuah persimpangan. Jadi saya hanya akan berusaha menjadi lebih bijaksana, menggunakan bukan saja takaran saya ketika menilai sesuatu tapi juga takaran orang lain dan mungkin Tuhan. Memang saya sudah berhenti mempertanyakan kepada Tuhan sejak lama, tapi saya yakin Dia selalu bekerja dengan cara yang tidak saya sangka-sangka. Saya hanya perlu percaya dan meyakini.

Menjadi bijaksana itu adalah hasil sebuah pembelajaran panjang. Buah dari mengurai kusutnya sebuah jalinan yang dinamakan hidup. Saya belajar untuk terus menjadi lebih bijaksana setiap harinya.

Teman saya yang lain melalui BBM pernah bilang kalau saya beruntung karena diberi anugerah menjadi bijaksana seiring dengan bertambahnya usia. Tidak semua orang bisa memaknai hidup secara bijaksana meskipun umurnya bergerak ke arah senja.

Saya tersenyum kemudian membalas BBM-nya. “Kalaupun saya memang diberi anugerah berupa kebijaksanaan, bolehkah saya tukarkan kebijaksanaan yang saya punya dengan sebuah sosok nyata yang akan saya panggil pacar?”

MENDADAK HENING

Kamis, 05 Mei 2011

Melogikakan Hati

Mereka sedang duduk berdampingan, sesekali saling berpandangan dan salah satu dari mereka kemudian tersenyum. Saya melihat pancaran yang sama dari kedua mata mereka, saling mengirimkan pesan tanpa suara. Berpendar dalam area temaram yang diciptakan suasana malam. Seperti kembang api yang memercik perlahan tapi tetap indah menghiasai hitam sebagai layarnya.

Saya masih terpaku memandang apa yang tersaji dengan begitu jelas di hadapan. Tidak bisa bergerak seakan tersihir oleh keindahan yang terpampang tanpa riasan. Tanpa bermaksud merusak jalan cerita, saya mendekati mereka setelah berusaha menguatkan hati. Meyakinkan diri bahwa apa yang saya tengah lakukan adalah sesuatu yang benar. Hal yang tidak akan saya sesali kemudian.

Ketika saya hadir di hadapan mereka, salah satu dari mereka berdiri kemudian memeluk saya dengan erat seperti layaknya dua orang sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. Saya tenggelam sesaat dalam pelukannya, sesaat yang ternyata menghasilkan getar sama seperti beberapa tahun lalu. Hati saya hangat. Hati saya seperti diganjar hujan setelah dilanda kemarau berkepanjangan. Saya merasa menemukan sesuatu yang pernah hilang. Sesuatu yang pernah saya relakan terlindi ke dalam saluran ketika badai datang memporakporandakan. Mengoyak impian.

Seakan tersadar, saya beringsut keluar dari dekapan. Melogikakan keadaan bahwa saya sebetulnya hanya terbuai angan yang pernah singgah. Saya kemudian tersenyum kepada seseorang yang sedari tadi memandangi ketika kami saling berlekatan, mengulurkan tangan kemudian mengucapkan nama saya sendiri. Dia menyambut uluran tangan saya dan menyebutkan namanya. Dari bibirnya senyum tidak pernah lepas tersungging, dan hati saya tidak pernah lepas membatin. Betapa beruntungnya dia.

Bertiga kemudian kami terlingkarkan dalam obrolan yang tidak jelas juntrungannya. Mereka seakan lebih sering saling melempar senyum, dan saya lebih banyak diam. Meraba hati saya sendiri mungkin tepatnya. Sesekali mereka saling menggenggam tanpa ada rasa canggung, sementara saya seperti dipaksa melihat tontonan yang sebetulnya saya tidak suka. Entah kenapa tiba-tiba saya merasa cemburu padahal dari awal saya tahu benar kalau saya di luar irisan. Saya sudah meyakinkan dari awal bahwa ini hanya sebuah kegiatan memenuhi undangan tanpa ada bumbu perasaan. Saya sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk yang terburuk sekalipun.

Tapi saya salah, lagi-lagi saya salah. Bagaimanapun saya tidak bisa mendustai nurani, saya gagal melogikakan perasaan. Saya gagal memagari hati untuk tidak keluar dari batasan yang sudah saya tentukan. Hati dengan caranya sendiri bertamasya hilir mudik dalam lintasan yang dulu pernah saling menghubungkan, melindas bekas luka yang saya pikir telah sembuh benar. Dari bekas luka itu ternyata masih mengeluarkan aroma cemburu, menguak kisah masa lalu yang sebetulnya sudah benar-benar usai. Tanpa ada lagi urusan yang belum genap terselesaikan.

Beberapa hari yang lalu saya menulis di account twitter pribadi saya : “Apa yang akan kamu lakukan ketika mantan pacar mengajak bertemu untuk memperkenalkan pacar barunya?”

Banyak respon yang menanggapi dan hampir semuanya menyarankan saya untuk tidak memenuhi undangan tersebut. Semua teman mengkhawatirkan dampak dari pertemuan itu. Tapi saya bergeming. Saya merasa bahwa yang sudah berakhir pasti akan berakhir tanpa meninggalkan perasaan apa-apa, terlebih perpisahan yang dulu disepakati didasari oleh kesadaran beramunisi penuh. Saya mengabaikan kekuatan napak tilas rasa, mengabaikan kenyataan bahwa perasaan sering kali ingkar terhadap apa yang diperintahkan kesadaran

Semalam saya bertemu dengan dia dan kekasih barunya. Si mata segaris yang pernah mengisi kompartemen khusus di hati dan kepala saya. Si mata segaris yang (lagi-lagi) membuat saya gagal melogikakan hati.

Apisindica - Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak : 1-2 kali

Senin, 02 Mei 2011

Siklus

Di dunia ini semuanya bersiklus, mengikuti alur yang itu-itu saja. Bisa jadi kita sendiri yang menjalani putarannya atau justru orang lain yang mengikuti lintasan yang pernah kita lewati sebelumnya. Tanpa kita sadari ternyata kita mengikuti alur yang sudah pernah orang lain lalui, dan banyak orang di luaran sana yang juga mengikuti kita. Dunia memang aneh.

Sudah beberapa teman yang membuat pengakuan kalau mereka rajin mengikuti tulisan-tulisan saya di blog ini. Kalaupun mereka baru menemukan blog saya, mereka kemudian tidak keberatan untuk membacanya dari awal. Bayangkan, mereka membaca setiap postingan yang jumlahnya sudah sekian ratus. Entah untuk apa. Entah karena penasaran, entah karena tertarik atau justru karena mereka seperti sedang berkaca. Entahlah.

Sebut saja jumawa kalau saya mengakui ternyata ada selintas bangga yang muncul di hati saya. Bangga karena ternyata tulisan-tulisan saya yang seringnya berisi curhatan ala ABG, tulisan penuh drama, ada yang mengapresiasi sedemikian rupa. Bangga ketika mengetahui bahwa kemuraman yang seringkali saya bagi ternyata bisa membuat orang lain tersenyum karena mereka merasakan hal yang serupa. Untuk saya apresiasi tersebut adalah bonus dari konsistensi dalam menulis meskipun tujuan utama menulis buat saya adalah membuat testimoni. Bukti jalanan yang pernah saya titi ketika saya mengikuti sebuah titah takdir.

Mungkin banyak dari kita yang akan menyangsikan ketika ada orang yang mengaku bahwa telah mengikuti tulisan kita sejak lama. Bisa saja orang tersebut hanya melakukan lip service untuk dekat dengan kita atau apalah. Tapi saya tidak. Saya yakin ketika ada seseorang yang bercerita bahwa dia sudah membaca postingan-postingan kita sejak lama, artinya mereka memang melakukannya. Apa saya terlalu naif? Saya pikir tidak. Kenapa? Karena dulu saya juga melakukan hal yang sama. Mengikuti kehidupan seseorang perantaraan tulisannya di blog.

Saya memang telat mengenal blog. Baru pada awal tahun 2008 saya mengetahui eksistensi blog dan sejak saat itu saya seperti memiliki kewajiban baru. Menulis. Perkenalan saya dengan blog juga diperantarai sebuah buku yang sebetulnya berisi kumpulan postingan seorang penulis di blog pribadinya. Blog tersebut yang kemudian menjadi salah satu blog favorit saya, blog yang menginspirasi saya tiada henti. Melalui tulisan-tulisannya saya berkaca, perantaraan kalimat-kalimat di blognya saya kemudian merasa tidak kesepian. Tidak merasakan berat beban yang sedari dulu saya pikul sendirian.

Di awal perkenalan, saya menyempatkan waktu hampir setiap hari menyambangi blognya. Membaca dari awal postingannya yang jumlahnya sudah ratusan, dan saya tidak pernah lelah karena di akhir kunjungan saya selalu tersenyum atau paling tidak mengelus dada. Sebuah hiburan yang seperti mengangkat kisah hidup saya sendiri melalui tangan orang lain. Dari sana saya kemudian mencoba membuat cerita saya sendiri melalui tangan saya. Tidak ada niatan untuk dijadikan cerminan bagi orang lain, saya hanya ingin menjadi penulis kisah hidup saya sendiri. Tapi ketika kemudian ada yang tidak sengaja membaca dan merasa seperti cerita mereka, maka saya bersyukur karena saya bisa membuat orang lain tersenyum melalui prosa yang saya umbar.

Saya mengerti benar kalau tulisan saya sering kali muram. Berisi lebih banyak kesedihan dibandingkan kebahagiaan. Tapi kalau ada diantara kalian para silent reader, yang tidak pernah meninggalkan jejak di setiap kunjungannya, merasa ada kesamaan dengan apa yang kalian pernah atau sedang alami. Saya hanya ingin berbagi dan bukan meratapi kesedihan dengan berkepanjangan. Jangan kemudian berpikir bahwa ketika saya sedih maka saya akan berketerusan dan menyebarkan aura muram. Seringnya setelah menulis cerita yang sedih saya menjadi seperti dipulihkan. Menulis sesuatu yang sedih untuk saya adalah sebuah terapi untuk lepas dari kesedihan itu sendiri.

Apabila nanti, suatu hari, ketika membaca sebuah postingan di blog ini kemudian merasa ingin berbagi, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi saya. Saya siap berbagi, saya siap mendengarkan. Dan saya janji tidak akan menghakimi. Jangan mengulang kesalahan saya ketika dulu tidak berusaha mengontak sang inspirasi blog saya ini karena dibelenggu malu. Saya siap berbagi karena bukan saya merasa lebih tapi justru karena saya merasa bukan siapa-siapa.

Apisindica - Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak : 1-2 kali