Halaman

Minggu, 26 Oktober 2008

Topeng, Cermin dan Jati Diri


Gue sedemikian terkejutnya ketika berdiri depan cermin. Kenapa bayangan yang terbentuk justru bukan gue, kenapa orang lain? Bahkan gue tidak mengenal siapa dia. Orang asing yang muncul ketika gue berkaca.

Gue masih penasaran. Gue berlari ke ruangan lain yang juga ada cerminnya. Gue berkaca, dan gue tambah terkejut karena yang terlihat masih orang asing. Tapi bukan orang asing di ruangan pertama. Siapa mereka? Mengapa meraka yang muncul ketika gue berkaca. Gue kemana?

Dengan perasaan takut gue mengeluarkan cermin lipat dari dalam tas. Gue masih penasaran, mungkin tadi karena efek ruangannya atau entah apa. Yang pasti gue bingung, karena gue yakin gue yang berkaca, tapi kenapa yang muncul mereka. Perlahan gue melihat ke dalam cermin kecil itu, sesaat muncul bayangan yang untuk ketiga kalinya ternyata bukan gue. Bukan juga orang asing di ruangan pertama, bahkan bukan dia yang muncul di ruangan kedua. Siapakah mereka?

Seharusnya gue tidak terlalu terkejut melihat kenyataan itu. Sangat manusiawi. Gue yakin semua orang pasti pernah bahkan sering mengalaminya. Bukan dalam artian kondisi yang sebenarnya ketika kita berkaca yang muncul orang lain, tapi dalam arti kondisi kiasan. Kita sering dengan atau tanpa sadar memainkan peran atau berpura-pura menjadi orang lain. Untuk berbagai alasan yang kebanyakan untuk menguntungkan posisi kita. Kita sering tiba-tiba menjadi baik, menjadi jahat, menjadi lemah-lembut, menjadi beringas yang ternyata bukan sifat kita yang sesungguhnya.

Kalau gue kemudian ditanya, biasanya kapan gue memakai topeng, berpura-pura menjadi orang lain sehingga ketika bercerminpun gue tampak menjadi seseorang asing? Gue akan menjawab dibeberapa kondisi berikut ini :

1.Di depan para siswa atau mahasiswa gue. Nggak mungkin juga kan gue bertingkah aneh-aneh, banyak cekakak-cekikik, ngomong pake bahasa indonesia yang sangat tidak baku, yang baru didengar ketika kita berada di mall atau di tempat dugem. Bisa rusak reputasi, atau parahnya tidak dipercaya lagi menjadi pendidik. Sekali-kali lupa bolehlah, mereka juga akan menganggapnya sebagai hiburan. Bukan kebiasaan.

2.Di depan bos gue di kantor. Dia membayar gue atas keilmiahan dan titel yang gue punya. Makanya gue harus bertindak sesuai dengan kaidah ilmiah (alah…..). Gue merasa ketika sangat ilmiah, justru itu bukan gue yang sesungguhnya. Trus buat apa kuliah sains yang ngejelimet? Mungkin dulu gue lagi khilaf.

3.Di depan orang baru. Gue nggak pengen orang salah persepsi sama “kegilaan” gue. Gue baru bisa melepas topeng setelah merasa nyaman. Kata temen gue, bertingkahlah serius dulu, nanti “kegilaan” lo jadi bonus buat dia.

4.Di depan gebetan gue. Tapi yang ini awalnya aja, biar nggak ilfil di pertemuan pertama. Setelah itu dia harus menerima gue apa adanya. Take it or leave it. Habis perkara.

Gue merasa beruntung memiliki teman-teman yang sangat pengertian yang mau menerima gue apa adanya. Tapi bukankah pertemanan harusnya seperti itu? Justru gue yang musti belajar menerima temen-temen gue apa adanya. Mencoba lebih mengerti mereka, bukannya ngebetein mereka ketika gue berfikir mereka itu nggak seperti yang gue harapin. Gue memang egois, maaf.

Selalu berperan menjadi orang lain dan memakai topeng itu melelahkan. Lebih baik kita belajar menerima dan menjadi diri sendiri. Pasti kita menemukan kualitas lain dari diri kita yang selama ini belum tergali. Kadang menjadi orang lain juga tidak mengenakkan, karena kita lambat laun akan kehilangan jati diri kita.

Gue bercerita sekedar mengingatkan diri gue untuk menjadi diri sendiri, bukan untuk menghakimi kalian yang sering berpura-pura. Nggak maksud dan never been there, karena menghakimi tidak akan membawa kita kemana-mana. Kecuali menghakimi diri sendiri, yang akan membuat kita menjadi manusia seutuhnya yang lebih baik.

Tidak ada komentar: