Halaman

Selasa, 25 Maret 2008

BELAJAR DARI IKLAN

Belakangan ini di semua televisi swasta lagi sering diputar salah satu iklan tentang tabungan masa depan sebuah bank swasta yang menurut gue salah kaprah. Dikisahkan seorang anak usia kuliah yang membuka garasi rumahnya, di garasi tidak ditemukan mobil tapi ayahnya yang sedang siap-siap pergi kerja dengan motor plus jas hujan karena diceritakaan saat itu sedang hujan. Di layar televisi kemudian muncul tulisan “ketika butuh biaya untuk kuliah”. Sang ayah keluar garasi menggunakan motor sambil menatap sinis pada anaknya yang berwajah penuh pengharapan dan merasa bersalah. Untuk lebih mendramatisasi jalan ceritanya, si ibu lari keluar rumah membawa payung untuk sebentar memayungi si ayah. Ketika ayahnya beranjak melewati rumah, di depan rumah terpangpang plang bertuliskan “ rumah ini akan dijual”.
Semua orang yang menyimaknya pasti mengerti maksud dari iklan itu. Ketika sang anak butuh biaya untuk kuliah maka orang tua sampai “rela” menjual mobil dan rumahnya. Gue yakin pasti semua orang tua akan rela melakukan apa saja demi pendidikan anaknya, pendidikan sekarang sudah menjadi semacam investasi meskipun tak jarang setelah lulus nanti tetap susah mencari kerja. Jangan salahkan pendidikan, salahkan sistem! Sistem pemerintahan yang merugikan masyarakat secara umum.
Kembali ke masalah kerelaan orang tua dalam iklan tersebut. Kerelaan sama sekali tidak tergambar dan tersampaikan dalam iklan tersebut. Kerelaan hanya diakomodir melalui kerelaan sang ayah berangkat kerja ujan-ujanan (tanpa mobil) dan kerelaan menjual rumahnya. Sementara kerelaan yang lebih penting dari itu tidak tergambarkan, kerelaan rasa. Intinya, ketika kerelaan rasa tidak terjadi maka yang ada adalah keterpaksaan. Apapun alasannya. Kerelaan rasa yang tak tergambar di iklan tersebut adalah ketika sang ayah menatap sinis dan penuh kecewa pada anaknya. Seharusnya menurut gue yang bodoh soal iklan, ayah tersebut lebih tepat kalo menghampiri anaknya terus mengusap-usap kepala anaknya dan bilang gak apa-apa. Bukannya menatap sinis si anak. Inilah kesalahkaprahan terbesar dari iklan tersebut.
Iklan tersebut sebenarnya menggambarkan kondisi sosial kita saat ini. Seringkali kita tidak menyadari bahwa kita tidak memiliki kerelaan rasa. Kita memang membantu sesama secara materi, tapi dibelakang itu kita ngedumel atas bantuan yang kita berikan. Ngomel dan ngedumel setelah memberikan bantuan itulah yang dapat dikatagorikan sebagai tidak adanya kerelaan rasa. Berarti iklan tersebut sebetulnya gak salah-salah amat, karena menggambarkan apa yang sekarang banyak terjadi.
Memberikan bantuan seharusnya diiringi dengan keikhlasan, dalam artian tidak mengungkit-ngungkit apa yang sudah kita berikan atau lakukan terhadap orang lain apalagi terhadap keluarga sendiri. Keikhlasan dan kerelaan itu yang harus terus diasah dalam kehidupan bersosial agar menjadikan kita individu yang senantiasa menyenangkan dan disukai banyak orang. Kecerdasan inilah yang akan menjadikan kita lebih berharga di mata orang lain.
Jadi, ketika kita melihat sesuatu yang menurut kita salah kaprah jangan cuma bisa mengkritik meskipun kadang kritik menjadikan sesuatu lebih baik. Cobalah berpikiran keluar dari kotak (out of the box), telaah hal-hal apa yang menjadi kesalahannya dan belajar tentang kehidupan dari hal itu. Selalu belajar dari hal-hal kecil secara berkesinambungan tentu akan lebih baik daripada belajar sekaligus hal besar tanpa memegang esensinya. Gali terus potensi kita melalui berbagai hal, termasuk iklan. Jadilah orang yang lebih peka, lebih peduli sehingga hidup kita lebih harmonis dan dinamis. Jangan malu belajar pada sesuatu yang dianggap remeh, karena tanpa sadar karena keremehannya itu dapat menjadikan kita lebih dewasa. Selamat belajar dan menjadi dewasa! Dewasa itu indah meski kekanak-kanakan seringnya menyenangkan.

Tidak ada komentar: