Halaman

Senin, 23 Juli 2012

Anak Kost


Saya anak kost sejati. Sejak memutuskan untuk keluar dari rumah selepas menyelesaikan pendidikan untuk bekerja, saya berkelana dari satu rumah kost ke rumah kost yang lainnya. Sepertinya terlalu berlebihan kalau saya bilang rumah kost karena sebetulnya saya hanya mampu menyewa sebidang kamar kost dan bukannya satu rumah utuh.

Banyak yang menyarankan untuk saya menyewa rumah saja atau bahkan ada yang gencar menyuruh saya membeli rumah mengingat pekerjaan saya yang sudah mapan. Mapan dalam artian tidak akan ada ancaman bagi saya di PHK atau diberhentikan sepihak. Menurut mereka apa lagi yang saya tunggu, padahal harga rumah di kawasan pinggiran Jakarta dimana sekarang saya tinggal setiap tahunnya merangkak dengan kenaikan yang fantastik.

Terus terang saya belum kepikiran. Saya masih nyaman berlindung di dalam sepetak kamar kostan yang semakin sempit karena sepertinya barang-barang yang saya miliki beranak pinak tak bisa ditahan. Sekarang, satu-satunya area yang lenggang di dalam kamar kost saya hanyalah area yang menghubungkan dipan dengan kamar mandi. Selebihnya sesak berisi tumpukan barang dalam container-container plastik, entah itu berisi baju, buku bahkan sepatu.

Tidak bisa saya bayangkan bagaimana kalau ke depan saya menyewa atau beruntung memiliki sebidang hunian yang akan saya sebut rumah tempat saya pulang. Keinginan saya untuk berbelanja pasti tidak bisa lagi ditahan, apalagi akan banyak ruangan kosong yang sepertinya sayang kalau tidak diisi oleh barang. Pasti selalu ada alasan atau sekedar pemakluman untuk saya membeli barang yang mungkin tidak terlalu dibutuhkan. Tapi saya memiliki keyakinan kalau suatu saat barang tersebut pasti akan dibutuhkan. Kalau tidak sekarang, pasti nanti akan bisa digunakan. Satu dari sekian pemakluman yang sering saya ucapkan.

Tidak heran kalau kamar kost saya penuh berisi barang. Dan anehnya saya tetap saja nyaman berdiam di dalamnya. Nyaman itu diciptakan di pikiran, jadi kalaupun kita tinggal di rumah yang luas luar biasa tapi pikiran kita tidak nyaman pasti rumah tersebut menjadi berasa tidak nyaman. Lagi-lagi satu dari sekian pemakluman. Jadi biarkan saja saya dengan kenyamanannya tinggal di sebidang kamar yang sesak oleh barang.

Di bulan Ramadhan seperti sekarang, sebagai anak kost saya juga mempersiapkan banyak hal terutama yang berhubungan dengan aktivitas sahur dan berbuka. Dan saya senang dibuatnya karena  ada alasan untuk saya (kembali) mempergunakan magic com yang selama ini berdebu di dalam kardusnya karena tidak pernah dipakai. Atau ada alasan bagi saya mengeluarkan beberapa wadah tupperware yang dulu saya beli dari seorang teman kantor karena jatuh kasihan, untuk diisi abon atau kering kentang yang saya pesan dari Bandung. Lihat apa saya bilang, suatu saat barang-barang tersebut pasti akan terpakai. Tidak ada yang sia-sia.

Saya anak kost sejati. Saya tidak khawatir dengan ketakutan banyak anak kost lainnya yang takut ibadahnya terganggu karena tinggal sendirian, seakan sendirian adalah sebuah beban. Buat saya, sendirian atau berpasangan puasa akan tetap berasa lapar. Saya terbiasa memasak nasi sendiri, membuat minuman hangat sendiri, membeli masakan jadi sendiri, dan itu tidak pernah menjadi beban. Saya menikmati kesendirian saya menjalankan puasa di bulan Ramadhan.

Soal banyak pertanyaan yang bernada miring yang sering ditujukan kepada saya sebagai anak kost, saya tidak lagi gentar. Pertanyaan sahur sama siapa tidak lagi membuat saya gelagapan, karena sudah bertahun-tahun sebetulnya saya sahur tidak pernah benar-benar sendirian. Saya sahur selalu berdua. Bersama masa lalu.  K

4 komentar:

Gloria Putri mengatakan...

wahhh..... #ngebayanginkamarnyakangapis
pasti sesek bgt ya kang? wkwkwkkwk

Gloria Putri mengatakan...

wahhh..... #ngebayanginkamarnyakangapis
pasti sesek bgt ya kang? wkwkwkkwk

-Gek- mengatakan...

sekarang sendirian ya Bang.. yg sabar yaaa...

novi rahantan mengatakan...

hidup anak kost!!!

itu magic com dikeluarin bukan buat masak supermi kan?