Halaman

Kamis, 12 Juli 2012

Yang Mana?

Sebuah sms dari seorang teman saya terima semalam. Sms yang saya baca dengan terbata ketika kantuk sudah menggelayuti mata sedemikian rupa. Sms sederhana yang seharusnya tidak menimbulkan efek apa-apa, tapi semalam rasanya berbeda. Mata yang semula sulit diajak terbuka seketika membelalak seolah ingin lepas dari tempatnya.

Saya merasa ditampar. Berulang-ulang. Di tempat yang nyaris sama. Panas.

Dalam sms-nya teman tersebut mengajukan pertanyaan yang membuat saya linglung. Tidak bisa menjawab segera karena saya merasa tersesat. Lupa dimana sebenarnya sekarang saya berada. Memang itu hanya sementara karena sesaat kemudian saya menemukan kalau saya seperti sedang berdiri di tepian hati. Lagi. Dengan jawaban yang masih mengambang. Bimbang.

Pertanyaan itu terus mengiang-ngiang seperti suara kumbang yang sedang kasmaran. Menghantui tidak mau pergi, mengikuti kemanapun saya sembunyi.  Tidak ada kesempatan untuk saya melarikan diri, karena pertanyaan itu seperti mengikat erat kaki yang sedang berdiri. Bergaung berulang-ulang meminta saya merefleksi hati. Termasuk kedalam kelompok manakah saya selama ini.

“Ada yang terpaksa mencintai. Ada yang memaksakan diri agar dicintai. Lebih cenderung kemanakah kamu?”

Begitu pertanyaan teman yang dikirimkannya melalui sms tadi malam. Pesan singkat yang membuat mata saya tiba-tiba terbelalak. Pesan singkat yang tidak mudah untuk saya jawab karena ternyata butuh analisis lebih, bukan asal menjawab untuk sekedar menipu diri. Seharusnya pertanyaan tersebut dapat dengan mudah saya jawab, karena saya tahu dimana selama ini saya berada. Tapi tetap saja saya bingung, linglung dilimbung banyak pertikaian antara akal dan perasaan. Lagi-lagi saya harus bercermin pada hati dan kemudian menjawab dengan pasti. Tidak lagi abu-abu, tidak lagi penuh ragu.

Dulu saya sering terpaksa mencintai. Mungkin lebih tepat belajar mencintai walaupun diembel-embeli dengan imbuhan “terpaksa” belajar mencintai. Saya senang sanjungan, saya gila dielu-elukan,  jadi ketika seseorang datang dengan bekal sayang yang sangat berlebihan saya merasa tertawan. Hanya itu biasanya, karena kemudian saya cepat merasa bosan. Merasa menyesal telah meladeni tawaran hati dan ingin segera berlari. Tapi perasaan kadung ikut terlibat, saya jatuh kasihan sehingga saya melayani. Tanpa tendensi. Saya terpaksa mencintai. Terpaksa belajar mencintai.

Sebut saya jahat. Karena memang itu yang seringkali terjadi. Dulu. Ketika darah muda dalam diri saya mendidih butuh sarana. Ketika saya belum bisa menerima kesendirian berkepanjangan. Sebetulnya saya hanya takut, takut tidak dicintai. Takut sanjungan keburu pergi tanpa pernah sempat saya rasai. Saya ketakutan, karenanya saya memilih opsi terpaksa mencintai. Terpaksa belajar mencintai hanya untuk sekedar mengisi amunisi hati. Memanfaatkan keadaan.

Sebut saya jahat. Nilai saya tidak punya hati.

Kemudian saya menyadari, meski terlambat karena waktu tidak bisa diputar ulang seperti jam pasir yang bisa dibolak-balikan. Saya sadar kalau selama ini saya banyak melakukan manipulasi hati. Menipu perasaan sendiri hanya untuk sekedar merasa dicintai. Saya terbuai tapi lambat laun hati saya lapuk seperti kayu yang terus menerus diguyur hujan tanpa perlindungan.

Saya memperbaiki diri. Saya berbenah, mengganti hiasan yang selama ini saya gadang menghiasi ruang penuh kepalsuan. Saya memperbaiki diri, berani menolak tawaran hati ketika saya tidak merasakan apa yang selama ini saya cari. Cinta itu sendiri.

Sayang saya lupa kalau saya hidup di dunia penuh karma. Selalu ada balasan untuk semua tindakan yang pernah dilakukan. Akan ada ganjaran atas sesuatu yang pernah berlaku. Dan saya membayarnya sekarang. Tidak bisa langsung dilunasi karena ternyata harus diangsur hari demi hari, saya harus melunasi melalui penantian panjang tidak bertepi.

Sekarang saya mati-matian berusaha untuk sekedar bisa dicintai. Dan tidak ada yang peduli. Tidak ada yang kemudian mendekati untuk sekedar mengamati. Sekarang saya mati-matian berusaha untuk sekedar bisa dicintai, tanpa perlu menipu hati. Tapi tidak ada yang percaya lagi. Saya berlari kesana kesini sendiri . Berusaha sekedar untuk dicintai.

Ini harga yang harus saya bayar. Balasan atas apa yang dulu pernah saya lakukan. Entah sampai kapan saya harus membayar karena sepertinya penantian ini masih panjang. Untung saya masih memiliki stok sabar yang berlebihan. Satu atau dua tahun ke depan sepertinya saya masih akan sanggup bertahan. Mudah-mudahan.

Tidak ada komentar: