Halaman

Kamis, 02 Agustus 2012

Gara-gara Lengan

Dulu waktu saya masih kelas 1 SMP, dia mendapat kecelakaan yang lumayan hebat. Saya ingat, hari itu hari minggu, seperti biasa dia menghabiskan minggu pagi dengan bersepeda keliling kota. Tidak ada firasat apa-apa karena kegiatan itu rutin dia lakukan setiap minggu pagi ketika kesibukan tidak terlalu mengikatnya. Sekedar berolah raga, sekedar menyehatkan jantung. Begitu alasan yang selalu dia kemukakan. Tapi hari minggu itu berbeda, entah bagaimana ceritanya dia bertabrakan dengan angkot. Beberapa tulang di badannya patah, banyak gigi di mulutnya rontok.

Saya sedih. Otak kanak-kanak saya belum bisa menganalisis lebih, waktu itu saya hanya tidak ingin kehilangannya begitu cepat. Saya masih membutuhkannya, saya masih ingin bergantung kepadanya. Saya berdoa sesering saya menghela nafas, saya melafadzkan hampir semua ayat yang saya bisa. Saya terlalu menyayanginya.

Tuhan mendengar doa saya, doa kami semua. Waktu menyembuhkan. Lambat laun dia kembali pulih, perlahan dia kembali disibukan dengan banyak kegiatan dan anehnya dia tetap saja menyukai bersepeda seakan tidak pernah ada trauma. Tapi saya yakin setelah kejadian itu dia menjadi lebih berhati-hati apalagi dia tahu kalau banyak yang menyayanginya, terutama saya.

Tahun terus bergerak dan saya pikir kejadian itu serta trauma yang ditimbulkannya akan berhenti sampai titik dulu. Ternyata saya salah, kami semua salah. Kejadian itu menimbulkan titik yang terus membesar, seperti sel kanker yang terus berproliferasi hingga membentuk benjolan yang bisa teraba. Kami tidak ada yang bisa memperediksi, bahkan dulu mesin MRI pun gagal mendeteksi. Mau tidak mau sekarang kami menuai hasil dari kejadian waktu itu.

Dia, yang kegiatannya super padat luar biasa harus menyerah setelah beragam pengobatan modern maupun alternatif tidak menimbulkan dampak apa-apa. Dari beberapa tahun belakangan lengannya sedikit demi sedikit mengalami atropi, mengecil dengan pasti. Ada urat syaraf yang entah dimana terjepit oleh bagian entah apa yang menyebabkan suplai oksigen ke bagain lengan terhambat. Itu efek dari jatuh saat tabrakan jaman dulu.

Bisa dibayangkan bagaimana frustasinya dia. Seseorang yang sedari dulu tidak bisa diam dan selalu aktif di berbagai kegiatan sekarang ‘terganggu’ karena lengannya yang seperti tidak bertenaga. Memang masih bisa berfungsi tapi mudah sekali lelah dan gemetar, bahkan untuk menyetirpun sekarang dia tidak lagi bisa dan mengandalkan jasa sopir pribadi. Untungnya dia kuat, atau mungkin tabah karena tidak pernah sekalipun saya melihat dia meratapi atau putus asa dengan penyakit yang dia alami. Dia masih bersemangat seperti dulu.

Saya yang justru selalu merasa kalah karena seringkali keadaan itu membuat saya bersedih. Menangis diam-diam ketika mengamati dia kesulitan untuk sekedar berpakaian atau menjingjing barang bawaan. Saya seringkali membantunya tapi saya tidak bisa selalu berada di dekatnya ketika dia membutuhkan sedikit pertolongan. Saya merasa sangat berhutang banyak karena justru ketika dia membutuhkan bantuan saya tidak bisa diandalkan, tidak seperti dia yang sedari dulu bisa saya andalkan kapan saja.

Dia Papih saya. Seseorang yang telah sangat berjasa membuat saya menjadi seperti sekarang. Seseorang yang sudah membuat hidup saya serba kecukupan. Pahlawan yang selalu berjuang demi kebahagiaan saya dengan mengabulkan apa yang saya inginkan sebisanya. Pahlawan yang di mata saya tetap terlihat gagah meskipun kedua lengannya kehilangan fungsi seperti sedia kala. Lengan yang sebetulnya fungsinya telah purna.

Hari ini Papih saya berulang tahun yang ke-56. Dan saya ingin bilang kalau saya sangat menyayanginya dan selalu bangga menjadi anaknya. Tidak peduli pada lengannya yang sudah tidak berdaya, tidak peduli pada atropi yang menggerogoti pertumbuhan jaringan di belikatnya, saya tetap mencintainya dan mengaguminya. Dia akan tetap menjadi pahlawan saya selamanya.

Beberapa minggu lalu ada perkataannya yang membuat hati saya menciut. Mencelos seperti sisa bara api unggun yang bertemu embun pagi. Papih bilang kalau dia minta maaf karena nanti ketika saya punya anak suatu hari maka anak saya tidak akan bisa dia gendong, padahal dia sangat ingin bisa menggendong cucunya seperti layaknya kakek pada umumnya. Dan saya menangis. Saya merasa terlambat memberinya kebahagiaan ketika dulu lengannya masih normal. Saya terlambat memberinya kebanggaan menjadi seorang kakek yang pasti akan dikagumi cucunya.

Di hari ulang tahun Papih yang sekarang, ijinkan saya untuk meminta maaf atas semua keterlambatan yang sudah saya lakukan. Saya juga terus berdoa untuk kesembuhan Papih, karena saya yakin selalu ada keajaiban ketika kita mempercayainya seperti yang sering Papih ajarkan. Doakan saya juga Pih, agar saya bisa menebus semua keterlambatan dengan cara saya sendiri.

I Love You, Papih!

Tidak ada komentar: