Halaman

Selasa, 17 Juli 2012

Stuck

Saya sangat fasih berbicara mengenai masa lalu dibanding masa sekarang ataupun masa depan. Saya hapal setiap detail yang pernah saya lalui dulu di lorong bernama masa lalu. Lorong yang menghubungkan saya ke masa sekarang dan pastinya ke masa depan.

Saya fasih berbicara mengenai masa lalu karena pernah saya pernah berada di situ, dulu. Apalagi Tuhan memberikan saya anugerah berupa ingatan jangka panjang yang sedikit tajam. Ingatan yang mampu menyimpan setiap ornamen-ornamen ataupun jalinan yang pernah saya jalani tanpa takut waktu gerogoti. Hentakan detik yang akan menjadikannya kopong dan usang karena terlalu lama terbengkalai. Saya menyimpannya dalam jambangan khusus di salah satu lobus otak saya yang berkerut.

Berbicara mengenai masa depan sering kali membuat saya ketakutan. Saya hanya bisa menerawang yang dibumbui sedikit pengharapan. Mungkin lebih tepat dikatagorikan sebagai langkah menguntai impian. Memupuk asa yang digelembungkan lewat doa-doa panjang tidak kenal bosan karena ada keyakinan kalau tidak sekarang mungkin nanti pasti akan terkabulkan. Menanti saat yang tepat untuk menepi, menunggu waktu yang tak tentu. Saya hanya tahu bahwa di masa yang akan datang saya akan bahagia. Semoga.

Berbicara mengenai masa depan sering kali membuat saya ketakutan. Saya takut terbangun ketika mimpi justru belum sempat mengecap realisasi. Saya takut terpaksa membuka mata padahal mimpi yang saya reka belum menjelma nyata. Ketakutan yang sebetulnya tidak beralasan. Ketakutan yang hanya tumbuh dalam pikiran. Ketakutan yang justru membuat saya seperti orang yang tidak beriman karena menyepelekan kemampuan Tuhan. Karenanya saya akan senantiasa memintakan ampunan dan tuntunan agar semua yang saya takutkan hilang tanpa kesan yang mendalam.

Bagaimana dengan masa sekarang? Mengapa saya tidak tertarik untuk membicarakan masa kini? Terus terang sekarang hidup saya sedang membosankan, berputar-putar pada lintasan yang memusingkan. Lintasan yang hanya menghubungkan saya dengan koridor masa lalu yang tidak mau berlalu. Mengikat semua perasaan sehingga sulit beranjak. Membelenggu hampir seluruh permainan ingatan sehingga yang teringat hanya itu melulu.

Saya belum bisa move on. Entah kenapa. Cinta yang dulu pernah saya punya untuknya sudah kandas. Regas. Anehnya saya masih saja berdiri. Menatapi. Meratapi. Sungguh menyedihkan karena saya yakin kalau dia pasti sudah melupakan. Sepenggal kisah yang mungkin menurutnya tidak layak untuk dikenang, apalagi dulu saya hadir bagai ilalang. Tumbuh tidak kenal aturan di pekarangan bertuan. Jatuh cinta pada dia yang hatinya masih termiliki.

Harusnya situasi tersebut memudahkan saya untuk sekedar beranjak pergi, tapi ternyata tidak demikian. Dia menjelma menjadi sesosok teman yang tidak bisa saya abaikan. Dia mengikuti saya di semua jejaring sosial yang saya punyai. Dan terus terang itu menyakitkan karena saya seperti dipaksa untuk terus membuka luka lama. Andai saya punya banyak pilihan atau setidaknya sedikit keberanian untuk sekedar mengabaikan. Sayang saya terlalu takut dan berubah wujud menjadi pengecut.

Ketika dulu saya terpaksa mengakhiri perasaan cinta kepada dia yang hatinya masih termiliki, sebetulnya saya ingin memilih opsi kembali menjadi dua orang asing yang tidak saling mengenal daripada berteman yang ternyata menyulitkan saya untuk menyongsong masa depan.

1 komentar:

-Gek- mengatakan...

tadi nonton grey's anatomy.
katanya carpe diem.
Jngan membicarakan (memikirkan) masa lalu, sudah lewat.. gitu Bang..
:)