Halaman

Rabu, 09 Mei 2012

Antologi Hujan

Aku berlari ke halaman berusaha mengejar dia yang nampak baru keluar dari pagar. Terlambat. Ketika aku sudah sampai di depan pagar sosoknya sudah hilang di ujung gang. Masih terlihat tas gendongnya sepersekian detik, tapi aku tidak kuasa untuk mengejar. Aku tidak pakai sandal.


Gontai aku kembali ke dalam rumah sambil menenteng barang yang lagi-lagi dia lupakan. Sebuah payung biru yang sudah aku siapkan untuk dibawanya pergi lagi-lagi tidak dia masukan ke dalam tasnya. Kebiasaan, padahal dia paling benci hujan apalagi kehujanan. Penyakit asmanya mudah sekali kambuh kalau air hujan mengguyurnya tanpa perlindungan.


Payung berwarna biru langit itu sengaja aku belikan untuk melindunginya dari hujan. Butuh banyak perdebatan sampai akhirnya dia mau memasukkan payung itu ke dalam tasnya setiap dia akan meninggalkan rumah. Sering kali dia melupakannya sehingga aku yang lebih sering memasukannya, tidak peduli nanti akan dipakainya atau tidak tapi setidaknya barang itu ada di tempatnya ketika dia butuh untuk menerobos hujan yang dia tidak suka.

Hari ini aku lupa, aku disibukan dengan telepon yang terus berdering dan ketika aku angkat tidak ada yang berbicara di seberang. Aku bahkan hanya menganggukan kepala ketika dia berpamitan sambil menempelkan jarinya yang merentang mirip telepon di telinga dan mulutnya. Artinya “Nanti aku telepon” Dia memang rutin menelponku ketika dia punya kesempatan, kadang di tengah marathon rapat yang harus dilaluinya dia menelponku hanya untuk berucap rindu. Kadang aku malah menganggapnya lucu dan kekanakan, dan dia seringkali marah karena merasa kalau usahanya tidak dihargai.

Sambil meletakan payung biru yang seharusnya dia bawa, aku merasakan khawatir yang lebih dari biasanya. Apalagi kumpulan awan hitam sudah bergelayut di minggu pagi ini. Hari ini seharusnya dia libur, tapi tadi dia bilang kalau ada sedikit masalah di kantor yang mengharuskannya datang sebentar. Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa dia tidak memasukan payung biru yang aku belikan ke dalam tasnya, pergi hanya sebentar dan hujan pasti mau menunggunya pulang.

Aku makin khawatir ketika di luar aku dengar hujan mulai turun perlahan. Gemericik air yang menyentuh kanopi garasi menimbulkan aroma tersendiri yang membuat aku tak menentu hati. Aku ambil telponku dan akan menghubunginya tapi urung aku lakukan. Dia tidak suka aku telpon ketika dia sedang dalam perjalanan. Katanya ribet untuk mengangkat telpon di tempat umum. Jadi sudah menjadi kebiasaan kalau aku akan menelponnya ketika aku sudah benar-benar yakin dia ada di tempat tujuan kalau dia tidak yang melakukannya duluan.

Banyak kesepakatan-kesepakatan yang kami lakukan semenjak kami memutuskan untuk tinggal bersama 5 bulan silam. Tidak mudah mempersatukan 2 karakter yang sudah terbentuk kuat dalam sebuah rumah yang dibangun atas dasar cinta dan kepercayaan. Pertengkaran dan selisih faham terjadi lebih banyak dibanding jumlah ornamen yang menghiasi ruang tamu mungil di rumah kami. Tapi kami tidak lantas menyerah, seiring dengan waktu masing-masing dari kami melunak. Tidak lagi saling memaksakan kehendak dan berusaha memahami setiap kebiasaan yang sudah mendarah daging sebagai suatu paket lengkap.

Tidak ada lagi aku yang setiap pagi teriak-teriak karena dia lupa menjemur handuk basah yang digeletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak ada lagi omelan dia yang memprotes kebiasaan mandiku yang katanya selalu lebih lama dari Bandung Bondowoso membangun Prambanan. Semua perlahan berubah menjadi sebuah pemakluman, mungkin bentuk kompromi paling besar yang pernah kami lakukan selama hidup. Tahapan yang memang harus dijalani ketika angka 2 berubah menjadi 1.

Hujan di luar semakin deras. Bau basah sudah tidak lagi tercium digantikan suara air yang terlindi mencari saluran. Hatiku semakin tidak karuan karena aku kenal betul siapa dia, seseorang yang sudah membuatku merubah banyak kebiasaan sejak 5 bulan silam. Dia orangnya tidak sabaran, jadi kalau hujan menghadang dia tetap akan berjalan dengan tempo yang dibuatnya 4 kali lebih cepat dari biasanya. Tidak peduli kuyup yang akan membasahi seluruh badan dan bajunya. Tidak peduli dengan sakit yang bisa saja dideritanya. Tidak peduli dengan aku yang biasanya marah-marah kemudian.

Hujan datang terlalu dini, merenggut hari yang masih bayi. Tanpa melewati gerimis dia langsung berubah wujud menjadi deras. Payung biru langit yang tadi aku geletakan di meja kemudian aku genggam, berharap hangat yang tercipta dari genggaman sampai pada dia yang mungkin saja sedang hujan-hujanan. Seseorang yang sudah membuatku menjadi sesuatu yang baru sejak 5 bulan silam. Seseorang yang memberiku benih kepercayaan kalau cinta itu benar adanya, cinta yang ternyata bisa melintasi berbagai batas keniscayaan.

Aku memijit panggilan cepat di tombol telepon genggamku. Tak ada jawaban. Kuulangi lagi dan tetap tak ada jawaban. Kuulangi sampai 4 kali dan tetap tak ada sahutan. Aku berlari ke teras, mengamati hujan yang turun seperti ditumpahkan. Rumput-rumput jepang yang kami tanam di kebun sempit pinggir garasi kuyup tak berdaya, terbungkam hujan yang datang kepagian. Pandanganku tetap tertuju pada ujung gang, meski dikaburkan bias air yang tercurah aku tetap memandang ke arah sana. Berharap dia muncul dan kembali pulang karena bajunya basah dan tidak layak dipakai bepergian.

Akan aku siapkan air hangat untuknya mandi kemudian secangkir cokelat panas, minuman kegemarannya. Aku gosokan kayu putih di punggung dan perutnya seperti bayi agar dia merasa hangat, kemudian aku peluk dari belakang. Lama. Prosesi yang sering kami lakukan sambil mengintip bulan dari jendela kamar belakang.

Hujan belum ada tanda-tanda berhenti. Jalanan becek menggenang di kanan kiri jalan. Dan aku masih berdiri di teras depan, menunggu tanpa kepastian. Payung masih kugenggam dengan kedua tangan, barangkali tanpa diduga di muncul di mulut gang sehingga dengan mudah aku bisa berlari menjemput ke depan. Tapi dia tidak muncul, hanya bunyi hujan yang terus terdengar memenuhi ruang pendengaran.

Telponku berbunyi. Sigap aku bergegas masuk ke ruang depan. Nama dia yang muncul di layar. Seketika hatiku berubah tenang, ada semacam kelegaan yang muncul bertandang tanpa diundang. Kujawab telponku dan sesaat kemudian aku dengar suara dari arah seberang.

“Aku tidak kehujanan. Aku memilih berteduh di tepian jalan karena aku ingat kalau aku begitu menyayangimu” Begitu katanya sesaat setelah aku berujar halo.

Kubayangkan seulas senyuman tergambar di wajahnya yang tadi pagi sempat aku elus halus. Kelegaan benar-benar memenuhi rongga dada pagi itu saat hujan datang terlalu dini. Ternyata kebersamaan yang baru sekejap ini mampu membuat kami berkompromi sampai tahap yang kadang tidak dapat dipahami. 5 bulan yang begitu menakjubkan, 5 bulan yang sudah kami lalui sebagai awalan untuk hidup bersamaan. Semoga tanpa akhiran kecuali sebentuk kematian.

Dia membuatku lengkap, seperti hujan yang melengkapi hari pagi ini. Dia memberiku kenyamanan seperti payung biru yang memberi naungan saat dipakai menerjang hujan. Dan yang pasti dialah seseorang, laki-laki yang membuatku menjadi seorang laki-laki.


Bumi Serpong Damai, 9 Mei 2012 jam 2 kurang 5 pagi.
Sebuah Antalogi ketika mata dipaksa terjaga

2 komentar:

nita mengatakan...

wakakakakak, aku takjub sama crt dibagian akhirnya :) *crt yg apik.

Apisindica mengatakan...

@Nita: hehehe. Terima kasih Kakaaaa...