Halaman

Senin, 07 Mei 2012

Hati dan Nalar


Menyusuri lorong kenangan tidak selamanya menyenangkan. Padahal seharusnya hal itu meninggalkan seulas senyum tipis yang tergambar di akhir perjalanan yang memang sengaja dilakukan. Sebuah perjalanan napak tilas ketika kita ingin rehat sejenak dari putaran kehidupan yang memaksa kita untuk terus berjalan ke depan. Menoleh ke belakang akan meniupkan energi baru untuk memapah langkah kembali terayun maju.

Tapi seringkali perjalanan tanpa anggaran itu justru menimbulkan banyak persoalan. Hati tidak sepaham dengan nalar karena hati ingin tertambat di masa silam padahal nalar memerintah untuk terus mengayuh pedal dan bergerak ke depan. Hati merasa memiliki banyak peran sehingga seringkali dia meminta porsi lebih dari yang seharusnya ketika perjalanan menyusuri lorong kenangan dilakukan. Hati membelot dari perjanjian awal yang dia buat dengan nalar.

Mereka bersitegang. Saling berargumen tidak mau ada yang mengalah. Masing-masih berpijak pada pegangannya yang berlainan, saling tarik menarik seperti permainan tarik tambang yang dilakukan pada peringatan hari kemerdekaan. Keduanya bertahan, tidak peduli pada peluh yang meleleh di dahi atau di badan.

Nalar yang biasanya limbung duluan. Pertahanannya goyah oleh hati yang terus berjuang ingin tertambat sejenak pada penggalan masa silam. Nalar tidak mau disebut kalah atau mengalah, nalar lebih senang mengambil kata berkompromi. Mempersilahkan hati untuk berjalan di lajur keinginannya mengenang masa silam yang sering temaram. Nalar ongkang-ongkang kaki menunggu di sebuah titik pemberhentian yang sudah disepakati dengan hati. Menunggu dengan pasti karena nalar sangat yakin kalau hati akan kembali, dengan kesakitan yang biasanya belum sembuh terobati.

Hati sebetulnya tahu bahwa berjalan di lorong kenangan tidak selamanya menyenangkan. Banyak air mata yang harus dipunguti kembali. Banyak kesedihan yang harus digugah lagi tanpa alasan. Tapi memang seperti itu kenyataan yang terpampang. Hati lebih senang menyimpan kesakitan dalam labirin-labirin kenangan ketimbang sekedar senyuman atau kebahagiaan. Hati lebih suka kembali dikerubungi rasa sakit daripada digelantungi melodi yang sebetulnya bisa membuatnya bernyanyi. Hati berkomplot dengan sedih dan melupakan tawa yang pernah tercipta.

Begitulah hati. Meskipun dia berteman akrab dengan nalar, tapi ketika dihadapkan pada lorong bernama kenangan maka hati lebih senang berjalan sendirian. Meniti waktu ke belakang tanpa ingin direpotkan oleh nalar yang berteriak-teriak mengingatkan. Hati memilih jalannya sendiri, menyusuri pematang-pematang luka yang masih menganga dan belum sempat pulih seperti sediakala. Hati tidak lantas jera kalau di ujung perjalanan yang dilakukan dia akan kembali membawa kesakitan berulang yang sebetulnya bisa saja dilupakan. Dan hati terus akan mengulang, entah sampai kapan.

Beruntung hati bersahabat dengan nalar karena nalar tidak pernah benar-benar meninggalkan hati sendirian. Dia hanya memberi hati sedikit celah untuk berjalan sesuai dengan kemauannya. Dia menunggu dengan sabar dan memeluk hati yang kembali setelah berlari dengan mata yang membengkak karena dihujani air mata. Dia tidak pernah bosan. Dia tidak lantas menyalahkan. Dia hanya akan berperan sebagai sahabat yang menenangkan. Menasehati dengan rapalan-rapalan yang sama mengenai kebodohan hati yang dilakukannya berulang kali.

Di ujung perjalanan menyusuri lorong kenangan yang tidak selamanya menyenangkan, persahabatan antara nalar dan hati layak ditiru. Tidak saling menghakimi dan memaksakan kehendak karena bagaimanapun mereka adalah dua jiwa yang tidak akan pernah sama. 


2 komentar:

a.simple.guy mengatakan...

...ckckck....untuk menjelaskan sebuah kata bernama "Galau" bisa jadi 1 posting yak...

Apisindica mengatakan...

@simple guy: salah kalau cuma jadi 1 posting. jadi banyak posting doonk! coba lihat post-post terdahulu :))