Halaman

Senin, 21 Mei 2012

Kami dan Pernikahan

“Kalau kamu nikah, nanti aku sama siapa?” Pertanyaan seperti itu pernah terlontar begitu saja tanpa ada tendensi apa-apa.

Saya sadar benar kalau kejadian itu lambat lain akan terjadi. Tidak peduli seberapa lama kami telah bersama. Dari saling tidak mengenal, mengenal kemudian berujung saling memaklumi. Posisi itu pasti harus dilalui sebagai jalan hidup. Entah dia yang duluan, atau bisa jadi justru saya yang mendahuluinya. Entahlah, semua masih misteri.

Bersamanya saya bisa menjadi diri saya sendiri. Tidak perlu lagi berbasa-basi sebagai kedok yang melindungi dari apa yang tidak ingin saya pertontonkan. Bersamanya saya jatuh, bangun kemudian berlari dan tersandung. Tidak ada hal yang saya tutup-tutupi, rahasia saya aman bersamanya. Tidak perlu was-was kalau dia marah kemudian mengumbar apa yang telah saya titipkan selama saya bersamanya sejak awal. Dia dapat dipercaya.

Dan saya melakukan hal yang sama. Berusaha dapat dipercaya setelah dia menitipkan banyak rahasia yang tidak bisa saya umbar sembarangan. Beragam permasalahan baik itu tentang keluarga, pekerjaan, bahakan masalah paling pribadi telah kami hadapi dan pecahkan bersama. Kadang kami lelah didera masalah yang tidak kunjung reda sehingga tidak jarang kami duduk gontai di lantai sambil pasrah. Membiarkan yang terjadi memang harus terjadi.

Pertengkaran bukan tidak pernah ada diantara kami. Dari awal kami bertemu pertengkaran sudah menjadi bumbu sehari-hari. Dia yang terlalu cuek dan saya yang terlalu sensitif menjadi sebuah kombinasi pas untuk mengantarkan pada mulut sebuah pertengkaran, bahkan untuk hal-hal yang terasa sepele. Tapi dari sana lagi-lagi kami belajar memaklumi. Belajar menerima kalau tidak pernah mudah menerapkan apa yang biasa kita terapkan pada diri kita kepada orang lain. Dia dengan kebiasaannya, saya dengan kebiasaannya. Selamanya akan begitu.

Bersamanya saya bukan hanya nyaman. Saya lebih merasa seperti diberkahi. Seperti diberi hadiah yang tidak habis dibagi. Dia memiliki banyak teman, saya juga. Ketika saya dan dia sedang melebur pada mereka maka diantara kami tidak pernah ada rasa saling cemburu, saling ditinggalkan karena kami yakin bahwa ketika kerian itu sudah usai maka kami akan bertemu lagi di satu titik. Berjalan bersamaan. Mentertawakan hidup. Menganalisis takdir. Menjaga kewarasan yang bercokol di dalam otak kami.

Tapi pernikahan pasti akan memisahkan. Paling tidak menjauhkan.  Tidak akan ada lagi kebersamaan seperti dulu karena kami sadar kalau masing-masing dari kami harus menjaga perasaan pasangan. Tidak bisa saya atau dia mengganggu waktu untuk keluarga karena kami tidak lagi sama. Bukan lagi kami yang bebas bertemu, bercerita atau sekedar membodoh-bodohi. Tidak lagi bebas ngobrol di cafe sampai diusir pelayannya karena tidak juga sadar kalau cafe hampir tutup. Tidak lagi bisa bertemu kapan saja, entah mau apa meski ujung-ujungnya kami berdua menenteng tas belanjaan berisi barang yang tidak direncanakan.

Seperti itu bertahun-tahun jadi ketika ada wacana pernikahan, masing-masing dari kami terutama saya mendadak bisu. Jujur saya tidak ingin melepaskan kenyamanan ini, tapi saya juga sadar kalau saya tidak boleh egois. Umur sudah condong mejauhi muda, dan menikah adalah jalan yang harus dilalui demi kebaikan semuanya.

Tentu saja saya ingin bahagia, saya juga tidak lepas mendoakan segera dia bertemu jodohnya. Seseorang yang akan membahagiakannya lebih dari saya. Seseorang yang akan membahagiakannya dunia akhirat. Bukan seorang sahabat seperti saya yang hanya bisa memberinya jatah masalah untuk ikut dia pecahkan. Semoga saja jodohnya segera datang. Amin.

Ditulis spesial untuk Dewi Siti Rochmah. My trully partner in crime. 

1 komentar:

Ceuceu mengatakan...

omaygaaaattt...

thank you thank you thank youuuu!!!

gw sampe nangis loooohhh...

gw juga berdoa semoga lo cepet dipertemukan dgn jodoh yaaaa.. :)