Halaman

Senin, 14 Mei 2012

Bukan Soal Nominal

Terus terang ini semata-mata bukan karena uang, tapi lebih ke arah penodaan kepercayaan.

Bagaimana mungkin, kamu yang sudah aku anggap sebagai sahabat ternyata membohongiku hanya karena sejumlah uang. Bukan soal nominal, uang bisa dicari. Tapi apakah kamu tidak sadar kalau dengan sikapmu yang seperti itu kamu justru kehilangan kepercayaan dari sahabat-sahabatmu macam aku.

Aku tidak habis pikir, kamu yang semula baik, yang tulisan-tulisannya begitu menginspirasi banyak orang ternyata bisa berubah watak hanya karena butuh uang. Aku masih ingat, tulisan-tulisan tentang ibumu yang sebegitu berjuangnya membesarkan kamu dan adikmu sendirian karena ditinggalkan oleh suami yang tidak bertanggung jawab sangat inspiratif sekaligus menggugah. Kemudian kamu yang mati-matian berusaha untuk membahagiakan beliau karena perjuangannya seringkali membuatku tertegun dan berpikir kalau aku sebagai anak ternyata tidak sehebat kamu. Aku iri.

Tapi bagaimana mungkin sekarang kamu bisa berubah seperti ini? Tidakah kamu sadar kalau justru tindakanmu ini bisa menyakiti ibumu? Tidak terbayangkan betapa sedihnya beliau kalau mengetahui anak yang dibanggakannya, yang dibesarkannya dengan penuh perjuangan ternyata mampu membohongi banyak orang hanya karena masalah uang. Lagi-lagi aku tidak habis pikir, sedangkal itukah kamu menilai arti sebuah persahabatan?

Aku luput kehilanganmu. Seorang sahabat yang pernah menemaniku menikmati sepiring besar kepiting saos padang yang super pedas, yang katamu meskipun aku kepedesan tapi mataku tak berhenti jelalatan. Sial. Aku  merindukan masa-masa itu. Tentu kamu juga masih ingat bagaimana aku susah payah membujuk pacarku (sekarang mantan) untuk datang ke pesta pernikahanmu. Saat itu kami jadi tontonan sepanjang gang menuju rumahmu. Bagaimana tidak, keberadaan kami yang terlalu mencolok mengundang banyak kepenasaran. Seorang cina berkulit kuning dengan seorang pribumi berkulit hitam berjalan berdampingan menggunakan batik yang seragam. Dan kamu terkekeh ketika aku menceritakan itu.  Aku masih mengingat semuanya.

Tapi kenapa? Hanya itu yang ingin aku tanyakan. Kalau memang kamu ada masalah, berceritalah seperti dulu. Jangan seperti ini, menghindar dan menimbulkan banyak pertanyaan. Soal uang jangan jadi beban, kalau kamu berhati besar kemudian berterus terang tidak sanggup mengembalikan maka aku akan mengikhlaskan. Persahabatan kita jauh lebih berharga dari sejumlah nominal yang kamu pinjam. Kalau aku sempat menagih, itu karena aku merasa punya kewajiban. Di agama yang aku yakini mengingatkan orang yang punya hutang adalah kewajiban, apalagi dulu kamu bilang meminjam dan bukan meminta.

Sebetulnya aku merasa sangat dibodohi. Bagaimana mungkin kamu tega memanfaatkan kepercayaanku, kenaifanku mempercayai semua apa yang kamu katakan. Tidak kamu hargaikah aku yang karena telfonmu tengah malam itu rela keluar kosan untuk mentransfer sejumlah uang? Kenapa itu aku lakukan? Karena kamu bilang itu mendesak. Kamu masuk rumah sakit, jauh dari siapa-siapa, dan rumah sakit tidak mau merawat kalau kamu tidak memasukan sejumlah uang sebagai jaminan. Dan kenapa aku percaya? Karena kamu sahabatku. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku kalau kamu justru saat itu tengah membohongiku. Tidak ada. Aku murni ingin menolong seorang sahabat.

Sekali lagi ini bukan soal uang, karena kalaupun sekarang kamu punya rezeki dan ingin mengembalikan, aku pasti tidak akan menerimanya. Belikanlah sesuatu untuk kedua keponakanku, anak-anakmu. Tapi tolong, jangan beri mereka makan dari uang hasil menipu. Apalagi belakangan aku mendengar kalau kamu melakukan hal itu tidak hanya padaku seorang, tapi pada beberapa teman lain yang juga jatuh kasihan. Dimana nuranimu? Kamu gadaikan dimana sehingga kamu tega memanfaatkan belas kasihan orang?

Tidak percayakah kamu akan karma? Bagaimana kamu tega mengeluarkan alasan kalau kamu butuh uang karena sedang sakit, mendapat kecelakaan, atau butuh uang untuk kabur dari kota suamimu tinggal karena dia kerap menyiksamu? Perkataan itu doa. Tapi semoga saja perkataan itu tidak benar nyatanya dan hanya jadi alasanmu saja untuk menarik rasa iba orang.

Kalau ada masalah, cerita. Jangan dipendam ketika kamu yakin kamu tidak akan bisa menyelesaikan sendirian. Ada aku dan teman-teman lain yang pasti akan membantu tanpa perlu diminta. Berubahlah seperti dulu, menjadi sosok yang begitu menyenangkan. Doaku selalu ditasbihkan untukmu, teman! 

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Masalah uang itu masalah yang rawan. Dalam berteman, bersaudara sekalipun, hindari kecurangan-kecurangan.

Sekali curang, kita tak akan pernah dipercaya orang lain.

@ Apis, Ikhlaskan saja. Percayalah, kalau rejeki seseorang itu tak akan pernah tertukar. Anggap saja itu 'sedekah' yang (mungkin) lupa kau distribusikan pada yang berhak.

*duh, sok-sok jadi kyai deh*