Halaman

Jumat, 11 Mei 2012

Angkara

Sleeping around is totally none of my business. Tapi please deh hati-hati dan bertanggung jawab sama apa yang sudah kamu lakukan.

Rasanya saya ingin berteriak seperti itu ketika saya nanti bertemu dengannya. Tapi semua itu hanya rencana, dan rencana tinggal rencana. Saya urung melakukannya ketika bertemu langsung dengan dia sore itu. Apalagi dia yang tiba-tiba memeluk kemudian menangis di hadapan saya.

Panggil saja Angkara. Laki-laki berumur 22 tahun yang saya kenal perantaraan taman aksara. Laki-laki yang entah kenapa tiba-tiba menghubungi saya melalui email dan bercerita panjang lebar mengenai masalah yang sedang dihadapinya. Mungkin salah saya karena sering membagi kegamangan dan kebimbangan dalam postingan-postingan di taman aksara sehingga menarik banyak pembaca untuk sekedar menghubungi dan berbagi. Tapi berkat mereka-mereka inilah yang membuat saya tidak pernah benar-benar merasa sendiri.

Angkara baru saja lulus dengan nilai “menakjubkan” dari salah satu jurusan favorit di kampusnya, kampus kami. Argggh, kenapa harus kampus itu lagi? Seakan-akan dunia saya hanya berputar-putar di seputaran kampus itu. Cinta pertama, dikhianati, bangkit, berteman, bersahabat, mencintai sahabat, mencintai kekasih orang, mencintai kekasih orang (lagi) semuanya beraroma gajah. Dan sekarang Angkara datang membawa aroma yang sama, gajah. Karena itupulalah secara tidak resmi kalau kami berkorespondensi melalui surat elektornik selalu diawali dengan kalimat ini : “Salam Ganesha! Bakti kami untukmu, Tuhan, Bangsa dan Almamater. Merdeka!!”

Garing.

Saya mengenal Angkara kurang lebih satu bulan yang lalu, dan saya dibuat ternganga oleh hidupnya. Ketakutan yang tengah dia hadapi membuat saya mengelus dada, kasihan. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali memberinya suntikan semangat. Saya lebih sering berperan sebagai pendengar karena dalam posisinya sekarang dia sedang tidak butuh dihakimi. Saya berusaha membesarkan hatinya karena bagaimanapun noda sudah tergambar. Butuh waktu untuk membuatnya hilang atau sekedar membuatnya pudar.

Sore minggu lalu adalah pertemuan saya yang pertama dengan Angkara. Kebetulan saya ada tugas dinas ke kampus saya dulu untuk menggagas sebuah joint research, dan saya mengajaknya bertemu. Selepas wisuda bulan lalu dia belum kembali ke kampung halamannya di Medan, masalah yang dia hadapi ini yang membuatnya gentar untuk pulang.

Saya menunggunya di salah satu sudut taman di kampus itu. Udara  Bandung terasa segar selepas diguyur hujan hampir 2 jam, dan dia datang terlambat. Mungkin karena hujan. Waktu dia datang, sosoknya tak ada yang berbeda dengan foto-foto yang dipajang di jejaring sosialnya, hanya saja dia nampak kuyu. Tak ada semangat, tidak nampak seperti anak muda yang berhasil menaklukan studi dengan nilai yang gemilang. Semua samar, dibalut kegalauan.

Kami berpelukan seperti 2 orang sahabat yang sudah saling mengenal lama. Kemudian dia menangis, awalnya hanya meneteskan air mata yang lambat laun berubah menjadi isakan. Saya hanya diam, bingung harus berlaku seperti apa. Saya hanya mengelus-elus punggungnya berharap tangisanya segera mereda.

“Gue takut banget Pis!” Hanya kalimat itu yang keluar di sela-sela isakannya.

Angkara sedang menunggu waktu jendela. Waktu tunggu antara dinyatakan tidak terinveksi dengan kemunculan antibodi yang dapat dideteksi. Waktu sekitar 3 bulan yang membuatnya kalang kabut seperti mau mati besok hari. Angkara baru saja melakukan tes HIV, dan meskipun hasilnya negatif tapi dia masih khawatir karena gejala-gejala yang dipertontonkan tubuhnya mirip dengan gejala orang yang terinfeksi HIV.

Tidak saya lihat semangat untuk menjalani hidup pada diri Angkara. Serentetan tes itu benar-benar melenyapkan semua mimpi yang mungkin telah dia rintis dari dulu. Angkara tidak ingin pulang, Angkara tidak ingin mencari kerja. Angkara hanya ingin bangun dari mimpi buruk yang dirasakannya terlalu panjang. Itu yang dia bilang kemarin. Dia juga meminta dukungan doa agar hasil dari menunggu “waktu jendela” nya sesuai dengan apa yang dia harapkan.

Angkara bukti nyata sebuah kebodohan. Betapa tidak memikirkan dampak dari yang telah dilakukan harus di bayar belakangan. Sekali lagi saya bilang, untuk Angkara dan untuk kalian semua. Sleeping around is none of my business, tapi bertanggung jawablah dengan itu. Lindungi diri kita, karena kalau bukan kita yang melindungi maka ancaman bisa datang tanpa diundang. Saya bukan sok suci, tidak sedang menggurui, tapi saya hanya tidak ingin melihat ada Angkara-Angkara lain yang harus mengorbankan atau paling tidak menggadaikan masa depannya pada banyak ketakutan.

Hari ini “waktu jendela” Angkara berakhir, dan dia akan mengetahui kejelasan mengenai hidupnya. Mari kita mendoakan yang terbaik untuknya apapun nanti hasil yang harus dia telan. Dan semoga Angkara menjadi sebuah pembelajaran. 

1 komentar:

Farrel Fortunatus mengatakan...

jadi ingat jargon alm Harry Roesli dalam sebuah iklan layanan masyarakat untuk mencegah HIV/Aids: "KENAKAN atau KENA!!!"... kalo bukan kita sendiri yang care dengan hidup kita, siapa lagi coba?
Buat Angkara: Semoga semuanya baik-baik saja.