Halaman

Jumat, 01 April 2011

Saya Takut

Gemetar saya membuka surat itu.

Berbagai ketakutan hadir bergantian ditayangkan dalam bingkai ketidakpastian. Saya mencoba menguatkan hati saya, mencoba siap dengan segala kemungkinan. Yang terburuk sekalipun.

Baris demi baris saya lewati dengan detak jantung yang berdegup di luar ritme kewajaran. Belum sampai di akhir surat mata saya terasa kabur. Air mata yang mengambang membuat penglihatan saya seperti tertutup embun. Saya mendadak lemas, tulang rasanya dilolosi dari tubuh saya sendiri. Tidak lagi ada kekuatan untuk sekedar menopang bobot tubuh, Saya terduduk lemas di bangku tunggu rumah sakit tadi malam.

Seharusnya saya siap. Seharusnya saya sudah bisa menebak hasil diagnosis yang akan dokter berikan. Tapi saya salah duga, saya tidak sekuat apa yang saya bayangkan. Vonis itu tetap membuat saya seperti dihadapkan pada kiamat kecil. Bagaimanapun saya tidak akan kuat untuk menerima kenyataan bahwa penyakit itu memang benar bersarang di badan saya. Ikut tumbuh dengan leluasa tanpa bisa dihindari.

Mungkin memang saya yang telat memeriksakan. Mentolelir semua tanda keberadaannya hanya sebagai penyakit biasa. Tidak pernah berpikir lebih lanjut bahwa itu bisa saja merupakan symptom dari penyakit yang mematikan. Saya akui saya salah. Terlambat menyadari, terlambat memeriksakan, dan terlambat melakukan serangkaian tes untuk membuktikan bahwa sebenarnya itu hanyalah penyakit biasa. Saya salah prediksi, semakin saya biarkan ternyata penyakit itu justru dengan gegap gempita mensabotase tubuh saya. Membuatnya kehilangan kendali atas kekuatannya sendiri.

Saya teringat mati, dan saya belum siap untuk itu. Saya belum membahagiakan kedua orang tua saya. Saya belum memberikan kesempatan untuk jodoh saya bertemu dengan pelabuhan terakhirnya, saya. Semakin mengingat itu, semakin menyesakan beban yang seperti tertanam di rongga dada saya yang sempit. Sesak. Saya juga ingat dosa, sekian lama saya hidup pasti dosa saya tidak lagi sedikit. Bagaimana saya bisa menguranginya kalau ternyata waktu yang tersisa tidak lagi lama. Saya takut mati. Saya benar-benar takut.

Sel-sel tidak wajar itu entah bagaimana bisa sampai hidup menumpang di otak saya. Tumbuh dengan subur kemudian memblokade fungsi otak itu sendiri dengan membuat saya sering mengalami black out. Harusnya dari sana saya menyadari ada yang tidak beres dengan kepala saya, tapi seringkali saya mentolelirnya. Saya pikir itu hanyalah efek dari rutinitas saya yang akhir-akhir ini diluar batas kemampuan. Efek kelelahan luar biasa akibat tubuh dijejali beban diluar kemampuannya. Ternyata saya salah. Lagi-lagi saya salah.

Tapi minggu lalu saya menyerah. Saya menyeret tubuh saya yang sudah kehilangan banyak fungsi ke rumah sakit. Malam sebelunya saya mengalami kejang hebat kemudian sakit kepala dan mual yang disertai muntah yang tidak mau berhenti. Saya tahu ada yang tidak beres, makanya dari kamar kos saya memaksakan diri ke rumah sakit menggunakan taksi. Saya memeriksakan diri ke dokter yang kemudian menyarankan saya untuk melakukan serangkaian tes laboratorium. Dokter memberi diagnosis awal yang menakutkan, tapi untuk menyakinkan sebaiknya saya melakukan tes laboratorium.

Hasil tesnya baru keluar hari ini. Diagnosis dokter dan ketakutan saya terbukuti. Seperti jalan yang terhalang kemudian mendadak terang. Sejelas saya melihat titik akhir di ujung pandangan, sebuah kematian.

Saya belum sampai akhir membaca surat hasil analisa laboratorium itu. Belum sampai akhir, saya sudah mengulangnya lagi dari awal. Dengan demikian saya berharap bahwa ada keajaiban yang akan mengubah akhir dari surat tersebut. Tidak sanggup saya meneruskan sampai akhir, saya ketakutan. Baru sampai kalimat kanker stadium 4, saya mengulanginya lagi dari awal. Begitu terus sampai beberapa kali. Saya benar-benar takut mati.

Tapi ada kekuatan yang menggerakan yang entah datang darimana. Kekuatan itu memaksa mata saya yang kabur untuk terus membacanya sampai akhir. Menamatkan ketakutan saya, menyelesaikan sebuah kekhawatiran yang tidak lagi tidak beralasan. Saya meneruskan membaca kalimat setelah kanker stadium 4. Kalimat yang kemudian membuat saya sedikit lega, karena di akhir kalimat selanjutnya saya membaca tulisan : Maaf, anda sedang saya kerjai karena ini April Mop.

Apisindica – Untuk memahami postingan idi diperlukan membaca sebanyak : 1 kali

Note: setelah menulis ini saya mengetok-ngetok kepala dan meja secara bergantian. Knock on wood, knock on wood. Amit-amit, amit-amit.

4 komentar:

nita mengatakan...

Ya ampun, aku dah serius bacanya, jan bandel sekali *jitak..

Ceuceu mengatakan...

sudah kudugaaaaaaa...

Enno mengatakan...

aku gak ketipuuuuu!!! soalnya dari subuh tadi udah byk yg ngerjain, jd jam segini udah waspada!!!

wkwkwkwwk

:))

Apisindica mengatakan...

@nita : hihihihi. Tertipuuuuu

@dewi: yaeyalah kalo kamu!! nggak mungkin kan gw gak cerita apapun sama kamu. :))

@mbak enno: yah mbbak enno nggak bisa ditepu-tepu. Soalnya aku sudah sering nulis yang beginian yah dari dulu. udah gak surprise! :)