Halaman

Senin, 07 Maret 2011

Seperti Selingkuhan

Aku rindu berbicang seperti dulu. Ketika malam-malam aku menyelinap tanpa ada yang tahu kemudian mengajakmu bercakap-cakap. Bergumul dalam obrolan panjang tentang segala sesuatu, dan kamu lebih banyak mendengarkan ketimbang berbicara. Tapi aku tahu, kamu mencermati semua detail yang aku bicarakan. Aku tahu kamu kadang tersenyum kadang mengernyit atau kadang marah.

Aku seperti sedang berselingkuh. Menyambangimu ketika sepi dan tidak ingin diketahui orang lain. Mengendap-endap menyibakan selimut kemudian mengetuk entah itu pintu atau jendela. Yang pasti ketika aku mengetuk maka kamu dengan segera akan mempersilahkan aku masuk. Tanpa banyak berfikir aku pasti masuk kemudian memulai perbincangan yang mungkin hanya berkutat pada persoalan yang sama.

Aku pikir kamu akan bosan. Memprotesku karena hanya berbicara menganai hal yang selalu itu. Tapi ternyata aku salah, di setiap kunjunganku kamu selalu menyambutku dengan tangan yang lengkap terbuka. Tanpa ada tanda-tanda kebosanan kamu dengan seksama mendengarkan keluh kesahku. Mungkin kamu ikut menangis meskipun aku tidak melihat air mata disana, atau mungkin justru kamu marah meski tidak pernah ada bentakan yang memekakkan telinga. Seringnya kamu hanya diam dan aku tetap saja mengajakmu berbincang.

Aku rindu momen-momen itu. Momen sunyi tanpa ada kata yang keluar dari mulutmu ketika aku bertanya tentang sesuatu. Momen dramatis ketika aku sesenggukan bercerita apa yang tengah mengganjal di lubuk perasaan. Dan aku sungguh percaya kepadamu bahwa tidak akan ada satupun yang aku laporkan kemudian kamu sebarkan pada orang lain. Sedemikian percayanya aku sampai-sampai banyak yang pacarkupun tidak tahu tapi kamu mengetahuinya.

Kita berbincang dalam hening seperti selingkuhan, padahal sebetulnya aku yang seringkali menyelingkuhimu meskipun kita tidak pacaran. Aku sering melanggar kesepakatan yang dulu sekali pernah kita tandatangani, bahkan tidak dengan diam-diam lagi. Aku melakukannya di depanmu, dan kamu tidak pernah marah. Itulah kenapa aku mencintaimu. Dimabukkan oleh buaian sayang tanpa syarat yang tidak mengekang. Entah kenapa kamu seringnya hanya diam menyaksikan aku menyelingkuhimu?

Aku rindu bercerita kepadamu. Merinci semua yang tengah aku hadapi sekedar untuk sedikit meringkan beban yang menghimpit. Meskipun kamu akan lebih banyak diam seperti biasanya, tapi aku tidak keberatan. Aku tahu kamu kemudian akan mengirimkan isyarat-isyarat sebagai tanggapan dari semua yang aku ceritakan. Kadang isyarat yang mampu aku baca seketika ataupun isyarat yang membuatku harus lebih banyak meraba, tapi kamu merespon. Membuktikan kalau kamu menyayangiku meski dengan cara yang tidak aku mengerti.

Aku ingin menyambangimu lagi, entah malam ini atau entah malam nanti. Yang pasti aku ingin berbincang intim seperti dulu, mengendap-endap seperti ketika dengan penuh kesadaran aku merasa perlu bercerita kepadamu kemudian mengetuk pintu atau melemparkan batu ke jendela sebagai tanda kalau aku sudah datang. Menunggu dengan was-was sampai kamu membuka pintu atau jendela. Dan ketika aku masuk kamu menyambutku dengan hangat walau tanpa pelukan.

Aku janji aku akan segera mengunjungimu lagi. Aku sudah rindu dengan ritual-ritual yang mendekatkan aku dan kamu seperti waktu itu. Tolong bantu untuk mengenyahkan segala hambatan agar aku dengan mudah terbangun dan menyelinap menemuimu tengah malam. Berbincang seperti layaknya kekasih yang tidak bisa terpisahkan.

Aku rindu padamu, Tuhan.

Apisindica – Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak : 1-2 kali

3 komentar:

Enno mengatakan...

nice banget....
dan ga perlu dibaca dua kali kok...

ya ampun yud, ga usah pake footline itu lagi napa! dasar!

:))

Apisindica mengatakan...

@mbak enno: hahaha, itu usul temenku Mbak. katanya biar blognya punya ciri khas tiap selesai nulis dikasih apaan gitu.

Yang kepikirian yah ulangan bacaan kayak begini. :)

Apisindica mengatakan...

@mas pau: :))