Halaman

Senin, 14 Maret 2011

Gempa

Aku ingat kamu pernah menarikku untuk berlindung di bawah meja ketika bumi bergoncang lumayan keras sore itu. Saat itu di rumahmu, dan aku masih sedikit kaget dengan semua yang terjadi. Bumi yang bergoncang, kamu yang serta merta menarikku ke bawah meja sambil melindungi kepalaku, dan bunyi-bunyian entah apa yang masih terasa asing di telingaku. Sungguh penyambutan yang tidak biasa untuk aku yang pertama kalinya menginjakan kaki di negaramu.

Mulai saat itu aku terbiasa, belajar terbiasa. Tentu saja dengan bimbinganmu sebagai tuan rumahnya. Kamu mengajariku dengan detail apa yang harus aku lakukan ketika bumi sedang asik menari cha cha. Itu yang kamu bilang, kamu selalu bilang kalau itu bukan gempa. Itu hanya ritual bumi yang sedang menarikan tarian cha cha. Ritual yang tidak jelas waktunya, tapi sering dilakukan bumi.

Aku bilang kamu bodoh saat itu. Dan kamu hanya tersenyum, senyuman khas yang selalu menenggelamkan bola matamu. Lucu.

Gempa. Sesuatu yang sudah sangat biasa untuk orang sepertimu. Katamu lagi, sejak kecil kamu sudah terbiasa sarapan gempa. Jadi tidak ada yang spesial dengan gempa. Karenanya kamu seringkali mentertawakanku yang panik ketika bumi sedang bergoyang cha cha. Kamu juga sering meledekku dengan bilang kalau mukaku seperti orang kebelet buang hajat saat ada gempa. Kurang ajar.

Tapi gempa-gempa yang dulu sering kita rasakan bersamaan tidak sebesar gempa yang kemarin menggoyang negaramu. Aku yakin itu. Bumi tidak lagi menarikan cha cha yang beritme seperti leluconmu dulu. Dengan kekuatan 8,9 skala Richter aku tahu goyangan seperti apa yang kamu rasakan disana. Ketika aku mendengar berita itu, yang pertama terlintas dipikiranku adalah kamu. Ada khawatir yang tiba-tiba menyelinap.

Sedang dimana kamu saat itu? Apakah kamu sedang di laboratorium mengerjakan proyek-proyekmu? Atau kamu sedang ngabur dari kampus dan singgah di gerai burger seperti waktu dulu kamu sering menculikku? Aku benar-benar khawatir. Memang Tokyo letaknya jauh dari Sendai, tapi di berita aku juga mendengar bahwa di Tokyopun getarannya terasa begitu kuat. Termasuk di kampus kita dulu. Dan aku tahu kamu senang berada di kampus, duduk-duduk di lorong panjang tempat dulu kita sering curi-curi kesempatan untuk berciuman.

Apapun itu, aku dari jauh mendoakanmu. Semoga kamu dan keluargamu baik-baik saja. Tidak ada kerusakan berat yang terjadi di rumahmu. Rumah penuh kenangan, rumah yang ingin rasanya aku mengunjunginya lagi kapan-kapan. Bila kamu kemudian teringat aku yang mengkhawatirkanmu dari jauh, kirimkanlah sebuah kabar yang aku harap sebuah kabar baik. Aku mencoba menghubungimu dan rumahmu tapi masih belum berhasil tersambung sampai sekarang. Adakah kamu mengganti nomer-nomer teleponmu? Atau bukalah saja list emailmu, dan temukan email yang aku kirimkan pagi ini. Tolong balas dan kabarkan. Aku hanya ingin tahu keadaanmu.

Tuhan, ini bahasa Mu yang paling dimengerti. Ampunilah dosa orang-orang yang terkena musibah, dan dosa-dosa kami yang berdoa. Amin. #prayforjapan #prayforindonesia #prayforworld

Apisindica – Untuk memahami postingan ini diperlukan membaca sebanyak : 1 kali

4 komentar:

Farrel Fortunatus mengatakan...

another si mata segaris? hmmmhhmm... semoga semuanya baek" saja.

nita mengatakan...

Iya smoga semuanya baik2 saja dan segera dipulihkan. amin

Enno mengatakan...

semoga temenmu baik2 aja....
sukurlah temenku disana baik2 aja...

still pray for japan

Apisindica mengatakan...

@farrel: yup, another si mata segaris. hehehe... Amiiin, semoga dia baik-baik saja.

@nita: amiiin

@enno: iyah semoga dia baik-baik saja disana..amiiin.