Halaman

Rabu, 04 Maret 2009

Im So Sorry


Aku masih mengingat senyuman itu dengan jelas. Senyuman yang menemaniku melewati sepenggal kehidupanku yang dihiasi dengan riset penuh target. Senyuman yang menenangkan saat aku sedang sakit dan merasa sendirian di negeri orang. Semuanya masih jelas terbingkai disana, dalam imaji. Kenangan-kenangan yang kemudian membuatku teringat pada senyuman terakhirnya di bandara malam itu. Senyuman terakhir setelah siangnya kita berdebat hebat tentang banyak hal. Tentang masa depan.

Siang itu kamu bersikukuh kalau semua tidak harus diakhiri, kamu sangat yakin kalau semuanya bisa diakali. Jarak katanya tak akan mempengaruhi perasaanmu, tak lantas melunturkan semua rasa yang masih terpelihara. Kamu sangat yakin akan hal itu. Sayang aku tidak demikian. Aku melihat bahwa semuanya cukup sampai disana, semua jalan sudah buntu, persimpangan yang ada tak akan bisa dilalui. Aku merasa bahwa kemungkinanku untuk kembali ke tempat itu sangat kecil, mungkin bisa, tapi entah kapan. Aku tak mau bertaruh dengan waktu, apalagi dengan kamu dan perasaanmu.

Kini ketika aku sudah mengubur kenangan tentangmu dan berjalan di setapak kecil kehidupanku bersama orang lain, kenapa kamu justru datang kembali. Memang bukan datang dalam bentuk nyata, tapi tetap saja kamu menghadirkan kenangan yang pernah tercipta. Datang melalui perantaraan email-email panjang yang menceritakan kerinduanmu, kenyataan bahwa perasaanmu padaku tak pernah pudar walau waktu sudah beranjak lama dari terakhir kali kita bertemu. Rentetan tawaran untuk melanjutkan studi doktorku dengan bimbinganmu, bahkan kau menawarkan mencarikan beasiswa dengan rekomendasi langsung darimu. Semua itu kamu tawarkan dengan satu syarat, aku mau kembali kesana.

Kembali kesana untuk melanjutkan studiku mungkin aku mau, tapi untuk kembali ke hatimu, kembali ke lingkaran seperti dulu, aku tidak bisa. Aku sudah bersama orang lain. Seseorang yang mencintaiku dengan caranya, dan aku juga mencintainya. Aku harap kamu mengerti itu meski kamu berulang kali berkata bahwa kamu nggak peduli dengan semua itu. Kamu bersikeras bahwa kamu bisa merubah pendirianku mencintainya ketika kita sudah bersama. Aku mohon jangan lakukan itu, aku tidak bisa. Mencintaimu memang menyenangkan, memberi damai. Tapi itu dulu, saat semuanya tidak seperti sekarang. Saat pelabuhan itu masih kulihat ada padamu. Tidak sekarang.

Aku mengerti kalau kamu tulus menyayangiku, mengharapkan semuanya kembali seperti dulu. Hanya saja aku tidak bisa. Aku mohon jangan terus menerus menggugat, menggoyahkan pendirianku. Aku menyayangimu, tapi tidak dengan cara yang sama seperti dulu. Aku menyayangimu sebagai sahabat, seseorang yang pernah menorehkan pengalaman-pengalaman manis yang hanya bisa dikenang. Aku yakin kamu akan mengerti. Aku mohon…Jangan membuatku jadi membencimu. Aku tak kuasa melakukan itu. Aku terlalu menyayangimu. As a best friend!

Biarkan aku dengan kehidupanku yang sekarang. Biarkan aku mengecap rasa bahagiaku tanpa harus kamu ada. Kalau kamu memang menyayangiku maka kamu akan bahagia melihatku bahagia bersamanya. Terima kasih sudah menawarkan semuanya, termasuk kemungkinan melanjutkan studiku. Kamu seorang mentor yang menyenangkan, pasti ada mahasiswa lain yang bersedia menjadi anak bimbingmu, kalau tujuan utamamu menghubungiku karena sedang butuh mahasiswa PhD untuk mengerjakan penelitianmu. Aku mendoakan yang terbaik untukmu.

Maafkan aku tidak bisa melakukan yang kamu harapkan. Aku punya cinta lain yang sedang kusemai, yang kuyakin bisa dipertahankan, seperti keyakinanmu padaku sampai saat ini. Jangan datang lagi dalam bentuk apapun, aku mohon. Kehadiranmu hanya membutku merasa bersalah. Meninggalkan jejak kesedihan dihatimu. Maafkan aku Prof!

Tidak ada komentar: