Halaman

Rabu, 06 Februari 2008

CITA-CITA

Kembali ke sekitaran akhir tahun 1997 di atas pesawat New Zaeland Airlaines tujuan Jakarta-Sydney-Wellington, saat itu saya sedang dalam perjalanan menuju Wellington untuk suatu misi pertukaran pelajar. Seorang Bapak muda bertanya kepada saya “Memang cita-citanya mau jadi apa?”. Saat itu dengan keyakinan 150 persen saya menjawab “Saya ingin menjadi seorang dokter”. Sang Bapak malah balik bertanya “Kamu yakin itu cita-cita terakhirmu?”. Diberi pertanyaan itu saya tak punya jawaban pasti, saya hanya menjawab “mudah-mudahan” sambil berdoa dalam hati semoga cita-cita itu terwujud.
Cita-cita merupakan keinginan yang ingin diraih seseorang. Menjadi sangat penting apabila yang mengemukakannya adalah seorang anak. Dimata seorang anak, cita-cita dapat menjadi suatu pandangan jauh ke depan akan kehidupannya sendiri, tak peduli meskipun cita-citanya itu masih terdoktrinisasi oleh arahan orang tuanya atau hasil intrepetasinya terhadap pekerjaan atau profesi yang dia amati dari orang-orang di sekelilingnya. Cita-cita pada anak seringkali berubah, hal ini sangat wajar karena dunia yang luas ini belum terexplore seluruhnya sehingga ketika dia menemukan suatu profesi yang menarik maka tak jarang dia ingin menjadi bagian dari profesi tersebut. Berganti-gantinya cita-cita seorang anak mungkin akan berhenti atau lebih terarah pada saat dia lulus SMA dan memutskan untuk kuliah di salah satu bidang. Dari sanalah mungkin cita-citanya sedikit demi sedikit dapat diraih. Meskipun banyak orang yang profesinya tak nyambung dengan background pendidikannya yang artinya cita-cita pada awal mau kuliah di bidang tersebut tidak terlaksana.
Saya sebagai anak yang berkembang secara normal, mengalami hal yang sama. Berganti-ganti cita-cita setelah mengamati atau mengalami sesuatu. Yang saya ingat, cita-cita pertama saya adalah menjadi seorang dokter. Dalam pandangan saya waktu itu menjadi dokter sangat keren, berbaju putih bersih, kemana-mana jinjing stetoskop dan hidupnya dijamin seru karena dikerubungi banyak orang yang notabene adalah pasiennya. Belakangan saya tahu dari mantan pacar saya yang lulusan kedokteran di Amrik bahwa tidak jaminan kalau banyak pasien itu seru, tapi malah pusing katanya berseloroh. Pokoknya jaman itu saya berfikir untuk menjadi dokter.
Saya lupa tepatnya kapan saya berganti cita-cita dari dokter menjadi seorang pengacara, tapi yang pasti setelah menonton serial Ally McBeal (sekarang saya mengkoleksi DVD serial tersebut sebagai testimonial). Kemampuan seorang pengacara dalam mempertahankan argumen yang membuat saya jatuh cinta pada profesi itu. Saya sempat sebel sama kerabat saya yang bilang bahwa “orang sundamah teu pantes jadi pengacara, bakalan eleh ku orang batak atawa padang”. Saya berargumen, mau dari suku manapun semua orang pasti bisa berdebat kayak pengacara yang sering saya lihat di TV, meski saya sekarang tahu kalau pendapat kerabat saya banyak benarnya.Hehehehe.
Kalau dilihat sekarang profesi dan background pendidikan yang saya jalani ternyata tidak mengacu pada profesi dokter, pengacara atau bahkan artis (cita-cita kebanyakan anak pada saat ini. Dunia memang sudah “sedikit” gila). S-1 bidang biologi, S-2 bidang bioteknologi mikroba dan S-3 bidang biologi molekuler mikroba (yang ini sedang akan dilaksanakan). Biologi? Tak pernah sedikitpun dulu terbersit dalam benak saya ingin jadi seorang ahli biologi. Cuman saya berfikir, nggak apa-apa nggak jadi dokter yang penting bisa jadi Doktor. Amien. Meskipun rangkaian pendidikan saya seperti tersebut diatas, tapi saya lebih sering berkecimpung dalam lahan pekerjaann public relation dan master of ceremony alias MC. Nah bingung kan? Nggak nyambung banget. Jangankan orang lain, saya sendiri aja bingung. Tapi saya berusaha menjalani kedua-duanya secara berimbang. Temen saya nyeletuk, “ Ya lo kan peneliti yang ngemsi” atau temen saya yang lain bilang, honor peneliti kan kadang gak gede jadi lo musti ngemsi terus buat bikin dapur ngebul. Huahahahaha. Ya mungkin saya akan terus menekuni keduanya, entah sampai kapan.

Tidak ada komentar: